Anda di halaman 1dari 17

Fakultas Ilmu Hukum 1

Universitas Bung Karno

JURNAL ILMU HUKUM


PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA TERHADAP TUBUH MANUSIA MELALUI METODE
PEMBUKTIAN OTOPSI MENURUT HUKUM DI INDONESIA
Disusun Oleh :

Karmila1, Hudi Yusuf2


Fakultas Hukum Universitas Bung Karno
Email : karmila77485@gmail.com
Abstract

Forensic autopsies cannot be separated from the methods of proof regulated by


applicable law in Indonesia as contained in articles 133, 134, 135 of the Criminal
Procedure Code, which regulate forensic autopsies. Autopsy actions performed by
forensic doctors at the request of investigators to reveal criminal acts against the human
body. However, until now it has become an obstacle in itself to get the support or
sympathy of the victim or the victim's family, this is due to the lack of openness of
information that should be conveyed openly and transparently by investigators or
forensic medicine regarding the actions and processes of the autopsy, the results of the
autopsy, besides that information on the actions of forensic doctors is only obtained or
explained by the investigator, even though the actions, procedures and results of the
autopsy forwarded by the investigator to the victim or the victim's family are very likely
to be inaccurate due to the limited knowledge they have. Apart from that, the role of
forensic medicine to find material truth in a criminal offense is very necessary, and it
requires support from the investigator as well as support from the victim and the victim's
family itself.

Keywords: Forensic Autopsy, Evidence, Information Disclosure, Victim.

Abstrak

Autopsi forensik tidak dapat dipisahkan dengan metode pembuktian yang diatur oleh
hukum yang berlaku di indonesia sebagaimana yang dimuat dalam pasal 133, 134, 135
KUHAP, yang mengatur mengenai autopsi forensik. Tindakan autopsi yang dilakukan oleh
dokter forensik atas permintaan penyidik untuk mengungkapkan tindak pidana terhadap
tubuh manusia. Akan tetapi sampai saat ini menjadi kendala tersendiri untuk
mendapatkan dukungan atau simpatisan korban atau keluarga korban, hal ini akibat
kurangnya keterbukaan informasi yang mestinya disampaikan secara terbuka dan
Fakultas Ilmu Hukum 2
Universitas Bung Karno

transparan oleh penyidik atau kedokteran forensik terkait tindakan serta proses autopsi,
hasil autopsi tersebut, selain itu informasi tindakan dokter forensik hanya didapatkan
atau dijelaskan oleh pihak penyidik, padahal tindakan, prosedur serta hasil autopsi yang
diteruskan oleh penyidik kepada pihak korban atau keluarga korban sangatlah mungkin
tidak akurat karena terbatasnya pengetahuan yang dimilikinya . Terlepas dari itu peran
kedokteran forensik untuk menemukan kebenaran materiil dalam suatu tindak pidana
sangat diperlukan, dan hal itu butuh dukungan dari pihak penyidik maupun dukungan
dari korban maupun keluarga korban itu sendiri.

Kata kunci : Autopsi Forensik, Pembuktian, Keterbukaan informasi, Korban

A. Tinjauan Yuridis

Dalam rangka pemeriksaan atau autopsi guna kepentingan penyidikan, kepentingan


penuntutan, peradilan, penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan seorang
ahli. keterangan ahli merupakan perintah atau amanat undang-undang. Hal ini ditegaskan
pada ketentuan Pasal 133, 134 dan 135 KUHAP yang memberi wewenang kepada
penyidik untuk mengajukan permintaan keterangan ahli, baik kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter maupun ahli lainnya, apabila keterangan ahli sangat diperlukan
untuk kepentingan peradilan. Kehadiran ahli forensik merupakan suatu keterangan ahli
bersifat “diminta”, ahli tersebut membuat laporan sesuai dengan yang dikehendaki
penyidik. hasil keterangan ahli akan dituangkan kedalam bentuk berita acara penyidikan.
Hal ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP.1

Selain dari itu keterangan ahli forensik dalam melakukan otopsi (bedah mayat)
merupakan suatu alat bukti, baik itu alat bukti surat maupun alat bukti keterangan ahli,
Kedua alat bukti ini merupakan alat bukti yang sah sebagaimana yang dijelaskan pada
pasal 184 KUHAP bahwa :

“Alat bukti yang sah adalah:

1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk; dan

1
Dumais, J. (2015, JULI). kewajiban polisi (penyidik) untuk meminta otopsi (visum et repertum)
terhadap korban kejahatan (kajian pasal 133KUHAP). Lex Crimen, Vol. IV/No. 5, 5-12. Hal. 5
Fakultas Ilmu Hukum 3
Universitas Bung Karno

5. Keterangan terdakwa;”2

Outopsi yang dilakukan oleh dokter forensik Pada jenazan (orang mati) yang belum
diketahui penyebab kematiannya, diperlukan peran ilmu kedokteran kehakiman disebut
juga sebagai ilmu kedokteran forensik yang merupakan istilah yang diambil dari
gerechtelijk geneeskunde atau forensic medicine atau legal medicine atau medical
jurisprudence, yang merupakan cabang dari ilmu kedokteran khusus yang berkaitan
dengan interaksi (hubungan) antara medis dan hukum. Dokter melakukan autopsi adalah
pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar
maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera,
melakukan interpretasi atas penemuan- penemuan tersebut, menerangkan penyebab
kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan
atau didapatkan dengan penyebab kematian. Hasil Otopsi diharapkan dapat
menjelasakan penyebab kematian3.

Tindakan yang dilakukan oleh dokter forensik sebenarnya bukan saja terbatas pada
Tindakan medis pada tubuh jenazah (orang mati) akan tetapi pada tubuh korban yang
mengalami kejahatan kekerasan pada tubuh korban (korban hidup), dan hasil
pemeriksaan autopsi yang dilakukan oleh dokter forensik akan kelaur berupa bentuk
surat “visum et repertum” (bukti surat pemeriksaan dokter forensik).

Regulasi autopsi forensik ditentukan di dalam pasal 133,134 dan pasal 135
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) sebagai sumber utama hukum pidana formil di
Indonesia. Pada kedua aturan itulah yang menjelaskan secara tegas mengenai tata cara
pelaksanaan autopsi forensik, permintaan autopsi oleh penydik dengan segala akibat
hukumnya. autopsi forensik tidak selalu dapat dilaksanakan dalam praktik penegakan
hukum dalam kasus-kasus kematian.4

Tindakan kedokteran forensik itu sebenarnya mengalami hambatan atau rintangan


khususnya, kurangnya pemahaman autopsi oleh keluarga korban, kurangnya informasi

2
Solahudin, (2008, Juni). KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA, ACARA PIDANA & PERDATA
(KUHP, KUHAP, &KUHPdt), jakarta : penerbit visimedia, Hal. 193
3
Descaperine, M, Dkk. (2020, Desember). METODE PEMBUKTIAN OTOPSI BARU DALAM KASUS
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. Jurnal, Seminar of Social Sciences Engineering & Humaniora, Hal. 588
4
Widowati, dkk. (2021, Oktober). PERANAN AUTOPSI FORENSIK DAN KORELASINYA DENGAN.
REFLEKSI HUKUM, Volume 6 Nomor 1, 1-18.Hal.3
Fakultas Ilmu Hukum 4
Universitas Bung Karno

terkait tindakan autopsi itu sendiri serta tindakan apa saja yang dilakukan dalam
penanganan tersebut.

Berangkat dari persoalan itu pihak keluarga korban merasa kurangnya kepercayaan
atas Tindakan yang dilakukan oleh dokter forensik dan penyidik dalam hal mendapatkan
informasi yang layak dan terbuka yang menurut pihak keluarga korban yang mestinya
perlu didapatkan, selain dari itu tindakan yang diambil oleh dokter forensik hanya
terbatas pada permintaan penyidik semata yang mungkin tidak pernah musyawarah
dengan keluarga korban. (pen)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran autopsi forensik dalam pembuktian tindak pidana kekerasan
terhadap tubuh manusia menurut Hukum di Indonesia
2. Bagaimana keterbukaan informasi autopsi forensik yang dapat diakses oleh
korban atau keluarga korban terhadap tindak pidana kejahatan terhadap tubuh
manusia Menurut Hukum di indonesia
C. Metode penelitian

Metode yang dipakai dalam penulisan merupakan dua jenis metode kualitatif dan
normatif, yaitu :

1. Metode penelitian kualitatif yaitu metode penelitain yang melakukan


pendekatan dan pengumpulan data dengan melakukan wawancara terhadap
narasumber dan,
2. Metode library research yaitu metode yang berusaha mempelajari bahan
pustaka dan karya-karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti guna memperoleh landasan teori serta hukum yang
berkaitan dengan pembahasan atau masalah-masalah yang diteliti.

Kerangka teori

Dalam tulisan ini penulis berusaha untuk menganalisis bahan hukum dengan
mengacu kepada asas-asas dan norma-norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan seperti yang termuat dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
kitab Undang-undang hukum acara pidana, PP No 18 tahun1981, Undang-Undang
No 36 tahun 2009 tentang kesehatan serta melakukan wawancara narasumber,
Fakultas Ilmu Hukum 5
Universitas Bung Karno

perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen serta semua bentuk


tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian.5

D. Pembahasan

Hasil Wawancara Dan Diskusi

Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu disiplin ilmu yang berbicara secara
spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu
penegakan hukum dan pemecahan masalah-masalah di bidang hukum.6 kedokteran
forensik bukan saja berbicara tentang jenazah (korban mati) melainkan berbicara tentang
seluruh korban tindak pidana, korban tindak pidana bukan saja korban hidup melainkan
korban mati yang berhubungan dengan tindak pidana kekerasan, penganiyayaan serta
segala bentuk korban yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan. Dalam mengungkap
suatu kejahatan tersebut perlu melakukan tindakan guna memastikan penyebab luka-
luka, memar, retak tulang, keracunan bahkan kematian tersebut maka dokter forensik
perlu melakukan tindakan pemeriksaan yang dikenal dengan istilah forensik. Dalam ilmu
forensik terdapat dua jenis autopsi biasa dilakukan yaitu :

1. Autopsi forensik

Autopsi forensik adalah autopsi yang dilakukan atas dasar perintah yang berwajib
atau penyidik untuk kepentingan peradilan, karena adanya peristiwa yang diduga
merupakan tindak pidana. Untuk keperluan penyidikan tersebut maka penyidik
berwenang meminta untuk dilakukan suatu autopsi (bedah mayat) sebagaimana yang
dimuat dalam pasal 133 ayat (1) KUHAP yaitu :

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang


korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya”. 7

Selain dari itu guna keperluan penyidikan, penuntutan serta sebagai pembuktian sebagai
alat bukti yang dihadirkan dimuka sidang, dokter forensik akan bertindak dan melakukan

5
Hadi, S. N., & SD. Fuji Lestari Hasibuan. (2022, agustus). Analisis Pembongkaran Jenazah Dalam
Prespektif Kedokteran forensik untuk melakukan otopsi yang kedua. Jurnal Pro Justitia (JPJ), Vol. 3, No. 2,
1-16. Hal. 6
6
Ibid. Hal. 2
7
Op.cit. Hal. 180
Fakultas Ilmu Hukum 6
Universitas Bung Karno

autopsi harus didasarkan pada permintaan beberapa pihak, hal itu didasarkan petunjuk
undang-undang sebagaimana termuat dalam :

1) Pasal 133, 134, 135 KUHAP, pada ketiga pasal ini bahwa penyidiklah yang
berhak untuk mengajukan permintaan keterangan ahli forensik untuk
melakukan autopsi
2) Sedangkan didalam pasal 180 KUHAP yaitu Hakim pidana yang berhak untuk
meminta menghadirkan ahli forensik
3) Kemudian, yang berwenang melakukan autopsi (bedah mayat) menurut
KUHAP pasal 133 ayat 1, yaitu:
• Dokter
• Ahli lainnya.
2. Autopsi klinis

Dalam PP No 18 tahun1981 pasal 1 huruf a, bedah mayat klinis adalah


pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk
mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk
penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan.

Syarat autopsi klinis sesuai Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal
119 ayat (3) :

1. Atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya


2. Persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien

Pasal 121 ayat 1 dan 2 Undang-Undang RI No 36 tahun 2009 tentang kesehatan


menerangkan, bahwa bedah mayat klinis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai
dengan keahlian dan kewenangannya. Bila pada saat melakukan bedah mayat klinis dan
bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak pidana, tenaga kesehatan wajib
melaporkan kepada penyidik.8

Artinya pada kedua jenis autopsi ini sebenaranya tidak ada perbedaan yang sangat
subtansi mengenai cara penanganan dan cara melakukan autopsi yaitu sama-sama
melakukan bedah mayat, baik bagian luar maupun bagian dalam akan dibuka atau akan
dilkeluarkan semua bagian dalam organ tubuh mayat guna untuk dilakukan

8
https://news.detik.com/berita/d-6201417/apa-itu-autopsi-arti-jenis-dan-prosedur-autopsi.
Diunduh pada tanggal 09-02-2024, jam 14:23 Wib
Fakultas Ilmu Hukum 7
Universitas Bung Karno

pemerikasaan, meskipun demikian terdapat perbedaan terkait dengan penggunaan atau


peruntukan hasil autopsi tersebut, yang dimana hasil autopsi forensik atas dasar
permintaan penyidik dan digunakan untuk keperluan pembuktian dimuka sidang dengan
diberikan keterangan pro justicia, sedangkan autopsi klinis merupakan autopsi yang
dapat diajukan oleh siapapun yang menginginkan atau oleh pihak yang merasa
berkepentingan untuk mengetahui penyebab kematian, akan tetapi hasil autopsi klinis
tidak dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian dimuka sidang meskipun terdapat
suatu temuan adanya dugaan tindak pidana sebelum temuan tersebut disampaikan atau
dilaporkan kepada pihak penyidik dan akan ditindak lanjuti untuk dilakukan penyidikan.
(Pen)

Cara Kematian Yang Dapat Dilakukan Autopsi (Bedah Mayat) Oleh Dokter Forensik

Kematian merupakan suatu peristiwa yang dialami oleh setiap manusia, dengan
demikian Secara umum ada dua cara kematian yang dapat dilakukan otopsi yang oleh
dokter forensik yaitu wajar & mati tidak wajar

1. Mati wajar Yaitu suatu peristiwa kematian dalam kondisi alamiah (proses
alam), berupa faktor usia atau dalam keadaan sakit tapi diawasi oleh pihak
medis.
2. Sedangkan mati tidak wajar yaitu cara mati yang dialami oleh korban yang
gejala mati nya masih dipertanyakan karena sifatnya mendadak. Contohnya
ada seorang korban yang mati dibawah jembatan akibat serangan jantung.
Mati yang semacam itu oleh dokter forensik akan dinilai sebagai mati dalam
keadaan tidak wajar yang matinya sadendek.

Penanganan Yang Dilakukan Oleh Dokter Forensik

Sebagaimana penjelasan diatas bahwa suatu peristiwa kematian yang dialami oleh
seseorang baik itu kematian tidak wajar maupun secara wajar, apabila dalam suatu
kematian itu terdapat tanda-tanda kematian tersebut masih dipertanyakan oleh pihak
keluarga, atau pihak keluarga yang menginginkan untuk diketahui penyebab kematian
dari korban, maka tindakan yang dilakukan oleh dokter forensik yaitu :

1. Screening
Fakultas Ilmu Hukum 8
Universitas Bung Karno

Screening merupakan langkah yang paling sederhana untuk mengetahui,


apakah benar korban mati karena kekerasan, keracunan atau mengarah ke
tindak pidana.
2. Autopsi
Autopsi atau yang dikenal dengan istilah (bedah mayat) merupakan suatu
Tindakan yang diambil oleh dokter forensik untuk melakukan pemeriksaan
bagian luar maupun bagian dalam jenazah korban guna memastikan
penyebab kematian.

Tindakan autopsi yang dilakukan oleh dokter forensik tidak terbatas pada autopsi
jenazah yang masih segar (jenazah baru meninggal) melainkan pada jenazah yang sudah
dalam bentuk tulang belulang (penggalian jenazah yang sudah terkubur), hal itu
didasarkan pada petunjuk pasal 135 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan


penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-
undang ini”.

Tata Cara Melakukan Autopsi (bedah mayat) Oleh Dokter Forensik

Sebelum dilaksanakan autopsi oleh dokter forensik, mayat yang kirimkan kepada
dokter forensik tersebut harus diperlakukan dengan penuh penghormatan, hal tersebut
didasarkan Pada ketentuan pasal 133 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP, pada ayat (3)
dijelaskan Bahwa :

1. Mayat korban diperlakukan dengan penuh penghormatan


2. Mayat korban harus diberi tanda yang menjelaskan identitas
3. Mayat korban diberi lak, dibubuhi cap pada bagian ibu jari kaki atau bisa juga
pada bagian lain badan mayat.

Adapun proses autopsi (bedah mayat) yang dilakukan oleh dokter forensik,
diantaranya :

1. Sayat
Autopsi yang dilakukan oleh dokter forensik adalah sayat mulai dari bagian
luar kulit di kerongkongan sampai bagian sekitaran pusaran perut, kepala dibuka,
Fakultas Ilmu Hukum 9
Universitas Bung Karno

dan akan dikeluarkan seluruh isi atau organ tubuh dan akan diletakan diatas meja
guna diperiksa satu-persatu kemudian akan difoto, setelah itu akan dimasukan
Kembali dalam tubuhnya (artinya tidak ada satupun organ yang akan diambil diluar
dari kepentingan pemeriksaan). Apabila dalam suatu organ tersebut terdapat
kelainan maka akan diambil 1 cm untuk sample untuk dilakukan microskopik (dilihat
melalui mikroskop) apakah ada kelainan atau tidak.
2. Melakukan jahit ulang

Setelah melakukan rangkaian autopsi dan memastikan seluruh organ yang


dikeluarkan tadi akan dimasukan kedalam tubuhnya korban dan akan melakukan
jahitan Kembali. Pada kasus tertentu sering sekali pihak keluarga korban ketika
melihat mayat yang terlihat ada jahitannya, keluarga korban yang melihat kondisi
jahitan tersebut dengan penuh rasa kaget, sebab sering sekali keluarga korban
yang mempersoalkan perihal tersebut, sehingga dinilai sebagai tindakan yang salah
dilakukan oleh dokter forensik dan yang lebih parahnya munculnya asumsi bahwa
korban yang diautopsi tersebut dianggap telah diambil sebagian organ tubuhnya.

Selain itu sering sekali pihak keluarga yang menemukan luka di paha atau
dibagian lain luka lebam dinilai sebagi siksaan, padahal luka atau lebam itu
merupakan Tindakan yang dilakukan oleh dokter untuk melakukan suntikan
formalin (keperluan medis) dll. keluarga jangan sampai kaget Ketika melihat jahitan
yang ada karena itu merupakan jahitan yang dilakukan oleh dokter forensik setelah
dilakukan autopsi tadi dan tidak boleh menimbulkan spekulasi apalagi sampai
menyebarkan hoax yang sebenarnya tubuh yang dijahit itu adalah perlakuan dokter
dianggap organnya sudah diambil, misalnya kasus pembunuhan bigadir Joshua,
dokter menjelaskan kepada adeknya terkait proses autopsi, akan tetapi informasi
yang diterusakan kepada keluarganya atau orang tua korban tidak sesuai sehingga
jasad yang dilihat oleh pihak keluarga dianggap disiksa, padahal luka yang
dilihatnya adalah luka sayat, ada siksa dipaha padahal itu adalah luka lebam
dibagian paha tersebut adalah bekas suntikan formalin yang dilakukan oleh dokter
yang menangani tubuh korban, artinya luka tersebut adalah luka yang dibuat oleh
dokter guna kepentingan medis sehingga tidak terjadi mis interprestasi, semua
informasi terkait dengan adanya temuan pada saat dilakukan otopsi akan diberikan
100 % (seratus persen) kepada pihak penyidik, adapun terkait dengan presentase
informasi yang disampaikan kepada pihak keluarga, media yang tidak diberikan
Fakultas Ilmu Hukum 10
Universitas Bung Karno

secara utuh atau maksimal itu menjadi kewenangan media dan bukan menjadi
kewenagang dokter forensik (kewenangan penyidik untuk menjelaskan).

Dokter Forensik Bukan Saksi Mata

Dalam tindakan autopsi yang dilakukan oleh dokter forensik masih menyisahkan
pertanyaan besar dalam kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat maupun keluarga
korban itu sendiri, apakah tindakan autopsi dokter forensik dapat menentukan orang
atau pelaku tindak pidana jawabnnya adalah tidak.

Dokter forensik itu hanya menjelaskan terkait dengan cara kematiannya dan sebab
kematiannya dalam artian bahwa kedokteran Forensik tidak bisa menentukan pelaku
tindak pidana, melainkan hanya bisa menjelaskan cara kematian yang dialami oleh
korban, misalnya dalam ilustrasi kasus tentang kejadian yang belakangan ini yang
menjadi pusat perhatian publik yaitu kasus sambo, apakah sambo itu menembak atau
tidak?

Dalam ilmu forensik tersebut tidak bisa mengatakan bahwa sambo itu adalah
penembaknya karena dokter forensik bukan saksi mata melainkan saksi ahli, akan tetapi
dokter forensik hanya dapat menentukan misalnya adanya suatu jenis peluru yang
bersarang didalam tubuh, diameter luka. Artinya dengan jenis dan diameter peluru
tersebut ilmu forensik bisa mencocokan dengan senjata yang dipegang atau dimiliki oleh
pelaku.

Atau misalkan terjadi kejahatan kesusilaan (pemerkosaan), Dimana dalam ditubuh


korban atau jenajah ada bercak sperma kemudian dokter forensik akan mengambil
sperma tersebut kemudian akan dilakukan pemerikasaan di lab. DNA untuk di running
sampai keluar hasilnya. Dari hasil tersebut dokter forensik mengambil sample kemudian
akan dicocokan dengan DNA yang bersarang ditubuh korban atau mayat, begitulah cara
forensik dalam membantu proses untuk mencari pelaku tindak pidana.

Yang lebih menariknya dalam suatu tindak pidana terhadap tubuh manusia,
terhadap kejahatan pasti akan ada meninggalkan jejak dan jejak inilah yang menjadi
tanggung jawab forensik karena berhubungan dengan biologis artinya tubuh manusia
atau produk tubuh manusia misalnya, tulang, darah, jantung, hati, lambung, air liur, urin,
cairan mani, fases, dll akan menjadi kewenangan dokter forensik untuk memeriksanya,
tegasnya apabila jejaknya bukan biologis bukannya menjadi urusan atau kewenangan
Fakultas Ilmu Hukum 11
Universitas Bung Karno

dokter forensik, misalkan ada jejaknya di CCTV itu akan dijelasakn oleh ahli digital
forensik, sidik jari itu ahli yang lain.

Sebagaimana kasus yang pernah terjadi di kalideres yang awalnya di bilang mati
kelaparan, setelah dibuktikan ternyata bukan disebabkan oleh tidak makan, padahal
faktanya setelah dilakukan autopsi oleh dokter forensik masih ditemukan fesesnya,
jadikan kalau orang masih ada feses berarti dia sudah makan berarti dapat dikatakan
orang tersebut bukan mati kelaparan kedokteran. Artinya forensik ini dapat
menyingkirkan asumsi-asumsi yang berkembang dimasyarakat, jadi ada kejahatan yang
harus di buktikan secara saintifik.

Second Opinion Kedokteran Forensik Terhadap Tindakan Autopsi

Dalam ilmu kedokteran perbedaan pendapat tentang suatu tindakan forensik,


Dimana ada dua pendapat yang salin bersilangan tidak menjadi persoalan misal, terdapat
dua autopsi pada satu kasus yang sama (autopsi pembanding), autopsi pembanding
tersebut pernah terjadi pada kasus pembunuhan (pasal 340 KUHP) Brigadir Joshua,
Dimana pihak penyidik melakukan suatu autopsi sementara pihak keluarga melakukan
autopsi pembanding karena autopsi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dinilai oleh
pihak keluarga masih dianggap kurang memuaskan atau tidak dapat menjelaskan secara
detail dan dinilai ada cacat dalam proses autopsinya. Contoh lain misalkan Ketika si A
mendatangi Dokter X kemudian tidak kunjung sembuh maka pasien A berhak meminta
second opinion kepada dokter lain, dan hal tersebut dibenarkan asalkan dengan tujuan
mencari kebaikan dan keadilan.

Kewenangan Dokter Forensik Dalam Menyampaikan Atau Menjelaskan Hasil Otopsi Pada
Pihak Korban Aatau Keluarga Korban.

Adapun terkait dengan kejelasan atau penjelasan terkait dengan tindakan autopsi
oleh dokter forensik tidak dibenarkan untuk menjelaskan terkait tindakan apa saja yang
dilakukan serta bagaimana hasilnya, hal itu hanya dapat disampaikan kepada pihak
penyidik dan pihak keluarga di haruskan untuk meminta penjelasan autopsi tersebut
melalui penyidik pula.

Selain itu, kedokteran forensik tidak menjelaskan adanya temuan dalam autopsi
akan tetapi hanya menjelaskan terkait dengan prosedur autopsi pada pihak keluarga
(bukan hasil temuan melainkan prosedur penanganan semata)
Fakultas Ilmu Hukum 12
Universitas Bung Karno

Keterbukaan Informasi Terkait Tindakan Dan Prosedur Otopsi Oleh Dokter Forensik

Pada prinsipnya tindakan yang dilakukan oleh dokter forensik adalah


perpanjangan tangan dari kepentingan penyidik guna menemukan suatu alat bukti,
sebelum penyidik meminta dokter forensik untuk melakukan autopsi (bedah mayat),
sebenarnya penyidik punya kewajiban untuk menyampaikan secara jelas dan terang
terlebih dahulu tindakan yang harus dilakukan oleh dokter forensik terhadap jenazah
korban kepada kelurga korban (pen), hal itu didasarkan pada petunjuk pasal 134 ayat
(1) KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian


bedah mayat tidak mungkin lagi diindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban”.9

Artinya dalam hal penyampaian informasi terkait tindakan, proses serta hasil
autopsi hanya terbatas pemberitahuan atau apa yang dijelaskan oleh penyidik semata.
Dokter forensik menyampaikan kepada korban atau keluarga korban terbatas pada
informasi tertentu dan tidak pada hasil tindakan serta apa saja temuan tersebut. dan hal
inilah yang membuat keluarga korban banyak yang tidak menghendaki autopsi, selain
drai itu banyaknya informasi yang beredar dimasyarakat bahwa tindakan autopsi tersebut
sangat rentan dengan pengambilan organ tubuh (pen). Meskipun dibeberapa hal
tindakan dokter forensik yang tidak menjelaskan dimedia, talksow atau acara yang
berbau wilayah publik untuk tidak menyebarkan informasi sangat di apresiasi.

karena menurut dokter forensik (dokter farah) platform ahli forensik bukanlah
dimedia (medsos) melainkan informasi hasil temuan tersebut akan disampaikan
dipersidangan, selain dari itu adanya standar etika kedokteran yang tidak boleh
membocorkan rahasia kedokteran, hal ini juga yang membuat keluarga korban akan sulit
mendapatkan informasi yang utuh, dan dokter hanya bisa menjelaskan pada pihak korban
atau keluarga korban atas alasan tertentu dan salah satu alasan tersebut yaitu
kepentingan hukum dimuka hakim (hanya di waktu sidang), dipersidangan tidak ada
satupun informasi yang ditutupi oleh dokter dan semua hal terkait dengan hasil autopsi
yang dilakukan akan disampaikan secara jelas dan transparan, misalnya luka tembaknya
dimana, organ apa yang terkena tembakan.

9
Op.cit. Hal. 180
Fakultas Ilmu Hukum 13
Universitas Bung Karno

Artinya bisa saja keluarga korban pra autopsi atau pasca autopsi (hasil autopsi)
tidak mendapatkan secara utuh dan penuh terhadap informasi tersebut dan akan di
dapatkan atau didengarkan dimuka sidang (pen).

Tindakan Dokter Forensik Yang Tidak Termasuk Autopsi

Sebagaimana kita ketahui bahwa autopsi merupakan suatu Tindakan yang diambil
oleh dokter forensik untuk melakukan pemeriksaan bagian luar maupun bagian dalam
jenazah korban guna memastikan penyebab kematian. Jadi pemeriksaan yang dilakukan
oleh dokter forensik meliputi bagian luar maupun bagian dalam dan bahkan akan
dikeluarkan seluruh organ tubuh jenazah guna diperiksa.

Jadi apabila ada yang mengatakan autopsi kalau misalkan hanya membuka
lambung (tegasnya itu bukanlah otopsi). Misalnya yang terjadi pada kasus mirna
diautopsi atau tidak jawabanya adalah tidak. karena berdasarkan pengakuan dokter farah
(dokter yang menangani mirna) tidak melakukan autopsi, sehingga dokter farah, dokter
slamet dan dokter arif yang menjadi saksi ahli dipersidangan mengatakan tidak
melakukan autopsi.

Kenapa dokter yang menangani kasus mirna (korban racun sianida) tidak
melakukan autopsi ? karena tindakan yang dilakukan oleh dokter forensik hanya terbatas
pada apa yang diminta oleh penyidik semata (dokter forensik tidak berwenang melakukan
tindakan diluar dari apa dimintakan oleh penyidik tersebut). Hal itu didasarkan pada
petunjuk Pasal 133 ayat (1) KUHAP menyebutkan:

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang


korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia (penyidik) berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.

Tegasnya disini adalah kewenangan penyidik untuk meminta apa yang harus
dilakukan oleh dokter guna kepentingan penyidiknya.

Pada waktu kasus mirna penyidik tidak meminta untuk dilakukan autopsi,
berdasarkan surat visumnya adalah berupa pengambilan sample semata.
Fakultas Ilmu Hukum 14
Universitas Bung Karno

Yang menjadi persoalan dan pertanyaan apakah kasus mirna yang tidak dilakukan
autopsi tersebut dapat mengetahui penyebab kematian tersebut jawabannya adalah
tidak. Dalam standar untuk penentuan COD (Cos Ovdate) harus melalui pemeriksaan
autopsi atau beda mayat, jadi apabila tidak dilakukan autopsi tidak akan diketahui secara
pasti penyebab kematiannya.

Dokter forensik Tunduk Pada Permintaan Penyidik

Berdasarkan petunjuk pada pasal 133 ayat (1) KUHAP menyebutkan:

“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang


korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia (penyidik) berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya”.

Artinya segala rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dokter forensik tidak boleh
melampaui dari apa yang dimintakan oleh penyidik. apakah wajib dokter forensik
mengikuti perintah penyidik? Jawaban nya betul karna UUD menyatakan demikian (pasal
133 ayat (1) KUHAP).

kuasa daya paksa terhadap segala tindakan dokter forensik ada di penegakan hukum,
dokter forensik dan penyidik terikat di ibaratkan hanya sebagai konsumen artinya dokter
forensik hanya terbatas sebagai pelaksana, konsumen adalah penyidik itu sendiri.

Jadi apabila penyidik meminta hanya untuk melakukan pemeriksaan bagian luar
maka tindakan dokter forensi hanya terbatas pada permintaan penyidik tersebut, apabila
penyidik meminta untuk melakukan otopsi maka kami dokter forensik akan melakukan
autopsi. Tapi sebagai seorang dokter forensik kami akan menjelaskan resiko yang terjadi
jika tidak melakukan apapun, kalau resiko hanya PL (pemeriksaan luar) maka tidak akan
tau penyebab kematiannya, misalnya luka tusuk didada dokter tidak dapat mengatakan
penyebab kematian apabila pemeriksaan autopsi bagian PL (pemeriksaan luar).

Didalam hal melakukan autopsi atas permintaan penyidik maka dokter forensik
tidak boleh menolak apabila surat itu ditujukan ke RS sesuai dengan surat tersebut,
apapun permintaan penyidik, dari RS (rumah sakit) ke dokter forensik wajib mengikuti.
Akan tetapi dokter hanya punya kewenangan untuk menyampaikan dan menjelaskan
sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter forensik. Sebagai mana yang
Fakultas Ilmu Hukum 15
Universitas Bung Karno

dibacakan oleh dokter slamet (dokter yang turut menangani perkara mirna) waktu sidang
dikatakan tidak melakukan autopsi. Sedangkan divisum autopsi yang dimiliki oleh
pengacara sebab mati yang dituliskan dalam surat (visum et repertum) oleh dokter
forensik tidak juga menjelaskan bahwa kematian tersebut berasal dari sianida (dokter
tidak mengatakan kematian berasal dari sianida) karena pada waktu penanganan tidak
ada temuan tersebut, tegasnya tidak ada autopsi berarti tidak diketahui sebab
kematiannya.

KESIMPULAN

Ilmu kedokteran forensik adalah salah satu disiplin ilmu yang berbicara secara
spesialistik ilmu kedokteran yang memanfaatkan ilmu kedokteran untuk membantu
penegakan hukum dan pemecahan masalah-masalah di bidang hukum. kedokteran
forensik bukan saja berbicara tentang jenazah (korban mati) melainkan berbicara tentang
seluruh korban tindak pidana, korban tindak pidana bukan saja korban hidup melainkan
korban mati yang berhubungan dengan tindak pidana kekerasan, penganiyayaan serta
segala bentuk korban yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan. Dalam mengungkap
suatu kejahatan tersebut perlu melakukan tindakan guna memastikan penyebab luka-luka,
memar, retak tulang, keracunan bahkan kematian tersebut maka dokter forensik perlu
melakukan tindakan pemeriksaan yang dikenal dengan istilah forensik. Dalam ilmu
forensik terdapat dua jenis autopsi biasa dilakukan yaitu :

1) Autopsi forensik Autopsi forensik adalah autopsi yang dilakukan atas dasar perintah
yang berwajib atau penyidik untuk kepentingan peradilan, karena adanya peristiwa
yang diduga merupakan tindak pidana. Untuk keperluan penyidikan tersebut maka
penyidik berwenang meminta untuk dilakukan suatu autopsi (bedah mayat)
sebagaimana yang dimuat dalam pasal 133 ayat (1) KUHAP. Selain itu guna
keperluan penyidikan, penuntutan serta sebagai pembuktian yang bernilai alat bukti
yang dihadirkan dimuka sidang, dokter forensik akan bertindak dan melakukan
autopsi harus didasarkan pada permintaan beberapa pihak, hal itu didasarkan
petunjuk undang-undang sebagaimana termuat dalam : 1) Pasal 133, 134, 135
KUHAP.
2) Autopsi klinis Dalam PP No 18/1981 pasal 1 huruf a, bedah mayat klinis adalah
pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk
mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan
Fakultas Ilmu Hukum 16
Universitas Bung Karno

untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan. Syarat autopsi klinis sesuai UU RI
No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 119 ayat (3).

Artinya pada kedua jenis autopsi ini sebenaranya tidak ada perbedaan yang sangat
subtansi mengenai cara penanganan dan cara melakukan autopsi yaitu sama-sama
melakukan bedah mayat, baik bagian luar maupun bagian dalam akan dibuka atau akan
dilkeluarkan semua bagian dalam organ tubuh mayat guna untuk dilakukan pemerikasaan,
meskipun demikian terdapat perbedaan terkait dengan penggunaan atau peruntukan
hasil autopsi tersebut, yang dimana hasil autopsi forensik atas dasar permintaan penyidik
dan digunakan untuk keperluan pembuktian dimuka sidang dengan diberikan keterangan
pro justicia, sedangkan autopsi klinis merupakan autopsi yang dapat diajukan oleh
siapapun yang menginginkan atau oleh pihak yang merasa berkepentingan untuk
mengetahui penyebab kematian, akan tetapi hasil autopsi klinis tidak dapat digunakan
untuk kepentingan pembuktian dimuka sidang.

REFERENSI

Dumais, J. (2015, JULI). kewajiban polisi (penyidik) untuk meminta otopsi (visum et
repertum) terhadap korban kejahatan (kajian pasal 133KUHAP). Lex Crimen, Vol.
IV/No. 5, 5-12. Hal. 5
Solahudin, (2008, Juni). KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA, ACARA PIDANA &
PERDATA (KUHP, KUHAP, &KUHPdt), jakarta : penerbit visimedia, Hal. 193
Descaperine, M, Dkk. (2020, Desember). METODE PEMBUKTIAN OTOPSI BARU DALAM
KASUS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN. Jurnal, Seminar of Social Sciences
Engineering & Humaniora, Hal. 588
Widowati, dkk. (2021, Oktober). PERANAN AUTOPSI FORENSIK DAN KORELASINYA
DENGAN. REFLEKSI HUKUM, Volume 6 Nomor 1, 1-18.
Hadi, S. N., & SD. Fuji Lestari Hasibuan. (2022, agustus). Analisis Pembongkaran Jenazah
Dalam Prespektif Kedokteran forensik untuk melakukan otopsi yang kedua. Jurnal
Pro Justitia (JPJ), Vol. 3, No. 2, 1-16.
https://news.detik.com/berita/d-6201417/apa-itu-autopsi-arti-jenis-dan-prosedur-
autopsi. Diunduh pada tanggal 09-02-2024, jam 14:23 Wib

Undang-Undang
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang hukum acara pidana
PP No 18 tahun1981 Tentang Bedah Mayat Klinis Dan Bedah Mayat Anatomis Serta
Transplantasi Alat Atau Jaringan Tubuh Manusia
Fakultas Ilmu Hukum 17
Universitas Bung Karno

Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan

Anda mungkin juga menyukai