Anda di halaman 1dari 29

AUTOPSI ATAU BEDAH MAYAT MENURUT

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM


ISLAM
Muhammad rasyid

Porgram Studi Hukum Kekuarga, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri


Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda

E-mail: rasyid.ganteng373@gmail.com

Abstrak

Berdasarkan hukum positif yang ada di Indonesia, autopsi atau bedah


mayat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU. No. 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan UU. Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dari ketiga undang-undang tersebut telah
diketahui bahwa dibenarkan untuk melakukan tindakan autopsi dengan tujuan
untuk menegakkan keamanan, dan keadilan bagi masyarakat. Hasil pemeriksaan
autopsi forensik akan tertuang dalam sebuah laporan tertulis dalam bentuk visum
et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Dalam hukum
Islam, autopsi forensik dilarang karena dapat merusak mayat dan melanggar
kehormatan mayat. Namun, ada beberapa ulama membenarkan autopsi forensik
dengan alasan untuk mewujudkan kemaslahatan ummat (maslahah mursalah)
baik di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Berdasarkan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Autopsi Jenazah menyebutkan
bahwa pada dasarnya autopsi dilarang atau haram, namun dalam keadaan
terntentu yang darurat atau mendesak maka diperbolehkan.

Kata kunci: Autopsi, Hukum Positif, Hukum Islam


Abstract

Based on positive law in Indonesia, autopsy or post-mortem is regulated


in the Criminal Code, UU. No. 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure
Code and Law. Number 36 of 2009 concerning Health. From the three laws it is
known that it is justified to carry out an autopsy with the aim of upholding
security and justice for the community. The results of the forensic autopsy
examination will be contained in a written report in the form of a visum et
repertum which can be used as evidence in court. In Islamic law, forensic autopsy
is prohibited because it can damage the corpse and violate the honor of the
corpse. However, there are some scholars who justify forensic autopsies on the
basis of realizing the benefit of the ummah (maslahah mursalah) both in the fields
of security, justice and health. Based on the Fatwa of the Indonesian Ulema
Council Number 6 of 2009 concerning Autopsies on Bodies, it states that
basically autopsies are prohibited or forbidden, but in certain emergency or
urgent circumstances it is permissible.

Keywords: autopsy, Indonesian Postive Law, Islamic Law

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berkembang saat ini.


Perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian pesat pada akhir-akhir ini
mengakibatkan perubahan yang cepat dalam kehidupan umat manusia. Hal ini
disebabkan oleh semakin banyaknya penemuan-penemuan teknologi modern,
yang tentunya bertujuan untuk kemaslahatan kehidupan umat manusia dan
meningkatkan taraf serta kualitas kehidupan manusia di dunia. Di antara
penemuan-penemuan teknologi yang selalu mengikuti perkembangan di zaman
era modern dan juga demikian pesatnya adalah penemuan dalam dibidang ilmu
kedokteran.
Pada zaman yang serba modern saat ini, pengaruh teknologi dalam
perkembangan ilmu kedokteran sangat tinggi, selain dapat meningkatkan
kecepatan, ketepatan dan kualitas profesi medik, tetapi dapat juga menimbulkan
berbagai permasalahan baik permasalahan hukum maupun etika kedokteran.
Misalnya, dalam permasalahan tindak pidana, kasus pembunuhan misalnya, untuk
mengetahui penyebab matinya korban maka dilakukanlah tindakan pembedahan
mayat (autopsi). Namun, kebanyakan keluarga korban tidak mengizinkan karena
dianggap menyakiti korban, merusak mayat dan bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan.1

Beberapa kasus autopsi yang dilakukan oleh kedokteran dalam rangka


mengungkap tindak pidana antara lain : pada tanggal 6 Oktober 2016 terjadi
sebuah peristiwa yang ramai ditayangkan di media, seorang wanita bernama
Mirna yang tewas usai meneguk Kopi Vietnam yang dipesan pelaku Jessica
Kumala Wongso. Kopi itu telah diberi HCN oleh pelaku. Tim forensik kemudian
melakukan autopsi jenazah Mirna. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
forensik (labfor), diketahui jika pada salah satu sampel kopi mengandung zat
racun HCN. Ditemukan pendarahan pada lambung Mirna dikarenakan adanya zat
yang bersifat korosif masuk dan merusak mukosa lambung.2

Kasus tindak pidana lain yang cukup menyita pandangan publik adalah
peristiwa kematian Munir Said di dalam pesawat jurusan Amsterdam, Belanda
pada 7 September 2004. Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari
Singapura, Munir menderita sakit. dua jam sebelum mendarat di Bandara Schipol
Amsterdam, tepat pukul 08.10 waktu Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah
meninggal dunia dan jenazah Munir kemudian diautopsi oleh Institut Forensik
Belanda (NFI). Lembaga independen di Belanda ini menemukan kandungan
arsenik (As) di dalam darah Munir yang mematikan.3

1
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan Hukum
Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19, 2019, h.
28.
2
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 1-2.
Untuk mengungkap penyebab kematian korban secara tidak wajar, seperti
pada kasus yang ada di atas, pihak penegak hukum membutuhkan ilmu bantu
yaitu ilmu autopsi yang dilaksanakan oleh dokter forensik untuk meneliti bagian-
bagian tubuh korban yang masih tersisa atau tubuh korban yang sudah terlanjur
dikubur oleh pihak keluarga. Autopsi telah menjadi salah satu ilmu kedokteran
sangat penting yang bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari anatomi
manusia, mendiagnosis penyakit, dan hasil autopsi dapat dijadikan alat bukti di
pengadilan untuk mengungkap sebab musabab kematian manusia.4

Dari sudut pandanhg hukum Islam, perkembangan suatu ilmu pengetahuan


harus ditelaah lebih jauh berkenaan dengan kepentingan, kemaslahatan dan
keabsahannya menurut hukum Islam. Semua penemuan baru, termasuk dibidang
ilmu autopsi, bukan hanya dilihat dari sisi kemanfaatannya saja tetapi hendaknya
harus sejalan dengan kaidah-kaidah hukum Islam.

Dalam ruang lingkup hukum pidana, berdasarkan Pasal 133 dan 134
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
menjelaskan bahwa penyidik dapat bekerja sama kepada dokter forensik untuk
melakukan autopsi terhadap korban demi kepentingan penegakkan hukum.
Namun, pada kenyataannya, keluarga korban selalu ada yang menolak
dilakukannya autopsi dengan berbagai alasan. Penolakkan autopsi tersebut ada
juga yang di dasarkan kepada kewenangan pasien atau keluarga pasien untuk
menerima dan menolak tindakkan kedokteran (informed consent) sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan
Menteri Kesehatan (PMK) No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran.5

3
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 2.
4
D. Hastuti, Perspektif Hukum Islam Terhadap Otopsi (Studi Kasus di RSUP.
Dr. Sardjito Yogyakarta), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2019), h. 3.
5
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan Hukum
Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19, 2019, h.
29.
METODE

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau sering juga


disebut dengan penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif bertujuan
untuk menganalisis peraturan perundang-undangan, konsep hukum, kaidah
hukum, perbandingan hukum dan lain sebagainya.6

Menurut Made Pasek Diantha, penelitian hukum normatif banyak


menggunakan pendekatan, misalnya pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan sejarah hukum (historical approach), pendekatan kasus
(case approach), pendekatan konsep (concept approach) dan perbandingan
hukum (comparative approach). Namun, penelitian ini menggunakan pendekatan
perbandingan hukum (comparative law) dengan tujuan untuk membandingkan
pelaksanaan autopsi menurut hukum positif Indonesia dengan hukum Islam.7

Data yang diperoleh menggunakan mekanisme studi dokumentasi (studi


kepustakaan). Teknik pengumpulan data seperti ini bertujuan untuk mendapat
buku-buku, jurnal, laporan, arsip, keputusan pengadilan dan hasil penelitian
lainnya baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan objek penelitian
yaitu bedah mayat (autopsi) forensik yang ditinjau dari hukum Indonesia dan
hukum Islam. Selanjutnya, data tersebut diolah dan dianalisis secara kualitatif
supaya dapat memahami, merangkai, dan menyusun secara sistematis data-data
tersebut serta membuat suatu kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengertian Autopsi

Istilah autopsi berasal dari bahasa latin autopsia yang bermakna pembedahan
mayat. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah autopsy yang berarti

6
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan Hukum
Islam ”,.. h. 30.
7
Made Pasek Diantha, “ Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam
Justifikasi Teori Hukum ”, (Jakarta: Prenanda Media Grup, 2017), h. 159.
pemeriksaan terhadap jasad orang yang telah mati untuk mencari penyebab
kematian.

Secara bahasa, bedah mayat terdiri dari dua kata, bedah dan mayat, dalam
kamus Bahasa Indonesia, bedah memiliki arti “tindakan penyembuhan penyakit
dengan cara memotong atau mengiris bagian tubuh yg sakit; operasi”, sedangkan
mayat berarti “tubuh atau badan manusia yang sudah mati; jenazah”.

Istilah autopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemeriksaan


tubuh manusia yang tidak bernyawa melalui pembedahan untuk mengetahui
penyebab kematian.8. Namun dalam pengertian menurut terminologi ilmu
kedokteran, autopsi ialah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat,
termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam setelah
dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan mengetahui penyebab
kematian seseorang, baik untuk keperluan ilmu kedokteran maupun keperluan
penegak hukum sebagai pengungkap misteri suatu tindak pidana.9

Scott A. Wagner dalam bukunya yang berjudul Color Atlas Of Autopsy


memberikan definisi bahwa Autopsi adalah “evaluasi lengkap dari kematian
individu dan keadaan sekitar kematian itu. Ini termasuk pemeriksaan lengkap dari
tubuh”, atau disebut juga dengan “́the ultimate physical examination”.10

Setiap mendapati kata autopsi, banyak artikel selalu menyandingkan dengan


istilah forensik. Sugono menyebutkan bahwa forensik biasanya selalu dikaitkan
dengan tindak pidana atau autopsi dilakukan untuk mengetahui identitas korban,
apa yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan keperluan pembuktian di
pengadilan.

8
Sugono, “Kamus Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Depdiknas Pusat Bahasa, 2008)
h. 103.
9
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan Hukum
Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19, 2019, h.
31.
10
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”,
dalam Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 1-2.
Secara teknis, dokter yang mempunyai keahlian dibidang forensik dan
kriminal memiliki kesungguhan yang tinggi dan selalu diperlukan dalam
penyidikan terhadap tindakan kriminal, terutama dalam kasus kriminal dengan
korban meninggal dunia. Namun secara keilmuan, cabang ilmu forensik ada
beberapa macam seperti kedokteran forensik, toksikologi forensik, odontologi
forensik, psikiatri forensik, entomologi forensik, antrofologi forensik, balistik
forensik, fotografi forensik, dan serologi/biologi molekuler forensik. Semua
cabang ilmu forensik tersebut dapat digunakan sesuai dengan perkara yang sedang
ditangani oleh penegak hukum.11

Tidak semua dokter yang bisa melakukan autopsi, walaupun hanya


mengambil benda atau bagian dalam organ tubuh sesorang yang telah meninggal
dunia. Sagai berpendapat bahwa autopsi adalah suatu penyelidikan atau
pemeriksaan orang yang tidak bernyawa, termasuk organ tubuh dan susunannya
organ bagian dalam melalui pembedahan untuk mengetahui penyebab korban
meninggal dunia atau mengungkap misteri kematian korban supaya dapat dibawa
kehadapan pengadilan untuk proses pembuktian sehingga menemukan kebenaran
materiil.12

Bedah mayat merupakan tindakan pengirisan atau pemotongan pada bagian


tubuh guna pengobatan atau rekontruksi jaringan atau bagian tubuh si mayat.
Seseorang dinyatakan meninggal dunia bilamana sistem jantung-sirkulasi dan
sistem pernapasan terbukti tidak berfungsi atau batang otak seseorang telah mati.
Untuk melakukan pemeriksaan terhadap tubuh seseorang yang sudah mati disebut
pemeriksaan post-mortem atau necropsy. Post mortem bermakna pemeriksaan
yang dilaksanakan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya terhadap orang yang
telah mati Sedangkan, necropsy bermakna pemeriksaan yang dilaksanakan oleh
dokter yang mempunyai kepakaran tertentu untuk melihat jaringan yang telah
mati.
11
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 31.
12
Sagai, “Aspek Hukum Terhadap Autopsi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Berencana ”, dalam Journal Lex Crimen No. 8, Vol. 06, 2017, h.8.
Berdasarkan hukum syariat Islam, autopsi diistilahkan dengan jirahah
attasyrih yang artinya yang berarti melukai, mengiris, atau membedah. Namun
pada saat itu, pembedahan mayat tidak sama pada zaman modern sekarang dengan
pengertian autopsi melainkan pembedahan dilakukan terhadap perut mayat karena
diduga di dalam tubuh mayat tersebut terdapat harta atau jasad tersebut sedang
mengandung janin kemungkinan masih bernyawa.

Walaupun dalam hukum Islam merusak tubuh mayat adalah suatu perbuatan
yang diharamkan, namun ulama-ulama kontemporer membolehkan tidnakan
tersebut dengan alasan untuk kepentingan kemaslahatan ummat tetapi dengan
beberapa pembatasan. Misalnya, maslahat pribadi bagi setiap mayat adalah
jasadnya tidak dirusak, namun untuk kepentingan maslahat secara umum maka
diperlukan dilakukan autopsi untuk menemukan solusi terhadap suatu perkara
hukum. Selain itu, autopsi bisa menyebabkan mufsadah (kerusakan). Sedangkan
ketidaktahuan akan sebab kematian seseorang maka dapat berakibat menyebarnya
suatu penyakit, tidak ditemukannya keadiilan atau tidak dapat menyembuhkan
seseorang dari penyakitnya merupakan suatu mafsadah yang jauh lebih besar

B. Sejarah Autopsi

Autopsi atau bedah mayat pertama kali dilakukan pada abad ke-3 Sebelum
Masehi (SM) oleh seorang pakar autopsi dari Yunani yang bernama Erasistratus
dan Herophilus. Namun, pada tahun 150 SM, Raja Roma membuat kebijakan
tentang batasan dalam melakukan autopsi dengan berbagai kepentingan. Pada
abad ke 13, Raja Frederik II (Jerman) memperkenalkan autopsi untuk kepentingan
perkembangan pendidikan ilmu kedokteran. Namun, autopsi forensik guna
keperluan penegak hukum (medicolegal autopsy) diperkenalkan Bartholomeo
Devarignana pada tahun 1320 di Bologna, Italia. Barulah, pada abad ke 13 dan 14,
autopsi dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap
mahasiswa Fakultas Kedokteran diseluruh dunia.13

Pada awal mula ditemukannya ilmu autopsi, autopsi dilakukan oleh


mahasiswa kedokteran adalah untuk mempelajari anatomi tubuh manusia. Pada
dasarnya, mayat yang digunakan untuk dilakukannya autopsi berasal dari korban
kejahatan atau korban kecelakaan seperti korban pembunuhan, mayat bunuh diri,
korban hukuman mati dan korban kecelakaan lalu lintas. Pengembangan ilmu
anatomi melalui teknik autopsi dilakukan oleh Giovanni Morgagni pada tahun
1682-1771. Demikian pentingnya peranan autopsi dalam perkembangan ilmu
anatomi dalam pendidikan kedokteran, maka Giovanni Morgagni disebut sebagai
bapak Ilmu Anatomi dunia.14

Pada abad ke 17, pakar hukum di negara-negara Eropa mulai berpikir bahwa
ilmu autopsi sangat dibutuhkan untuk membuktikan penyebab hilangnya nyawa
korban. Pemikiran tersebut ditindaklanjuti oleh dokter dengan
mengembangkangkan ilmu kedokteran untuk membuktikan kesalahan pelaku
kejahatan melalui ilmu autopsi. Hasil pemeriksaan dokter tersebut akan dijadikan
alat bukti melalui pemberian keterangan saksi ahli di sidang pengadilan.
Penggunaan autopsi di pengadilan disebut dengan istilah Official Medicine, State
Medicine, Medical Police dan Medical Jurisprudence. Dalam dunia praktisi
hukum, ilmu kedokteran yang digunakan untuk keperluan penegak hukum di
pengadilan disebut Medicolegal Science.15

Autopsi merupakan bagian dari ilmu kedokteran yang dapat digunakan untuk
melakukan pemeriksaan pada mayat baik pada bagian luar mayat maupun bagian
dalam mayat untuk keperluan penegak hukum. Manakala untuk korban kejahatan

13
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 33.
14
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”,... h. 34.
15
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 34.
yang luka-luka, patah, benturan benda keras dan korban penganiayaan maka
pemeriksaan digunakan melalui meknisme visum et repertum. Pemeriksaaan yang
dilaksanakan oleh dokter baik melalui autopsi maupun visum et repertum dapat
dijadikan alat bukti dipengadilan. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter tersebut,
pihak penegak hukum mendapatkan gambaran dan informasi tentang penyebab
korban meninggal dunia dan bagaimana cara pelaku menghilangkan nyawa
korban.

Berdasarkan sejarah peradaban Islam, ada beberapa dokter wanita yang pada
masa itu seperti Ukhtu al-Hufaid binti Zuhur dan anak-anaknya berkeja sebagai
dokter istana Khalifah Raja al-Mansur di Andalusia. Pada masa pemerintahan
Bani Umayyah, ada seorang dokter wanita yang mempunyai kepakaran dibidang
penyakit mata dan ilmu bedah yang bernama Zainab. Selain itu, banyak ulama-
ulama Islam diantaranya al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Hayyan yang
mempunyai jasa besar dalam pengembangan ilmu kedokteran modern dan
melakukan penemuan terhadap ilmu bedah dan anatomi tubuh manusia.

Salah satu ulama Islam yang terkenal dibidang Ilmu pembedahan adalah Abu
al-Qasim al-Zahrawi al-Qurthubi atau di Eropa dikenal dengan sebutan Abucasis
al-Zahr. Abu al-Qasim merupakan dokter muslim di Spanyol pada masa
pemerintahan Abdurraman III (890-961). Kitab yang dikarangnya sangat
fenomenal yang berjudul al-Tasrif li man Arjaza ‘an al-Ta’lif. Kitab ini terdiri
dari 30 bab dan berisi berbagai penjelasan tentang diagram 200 macam alat bedah,
termasuk perkara bedah terhadap mayat. Abu al-Qasim juga menukilkan cara-cara
membersihkan luka dan melakukan post mortum terhadap mayat supaya penyebab
kematiannya dapat diketahui. Abu al-Qasim juga menerbitkan buku yang berjudul
Kitab al-Mansur yang menjelaskan teknik pembedahan dan sampai pada abad 15,
terjemahan kitab al-Mansur masih digunakan dalam perkuliahan mahasiswa
Fakultas Kedokteran di Universitas Tubingen, Jerman.16

16
Saipudin Shidiq, “ Fikih Kontemporer ”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016),
h. 145.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa ilmu autopsi sudah berkembang sejak
dahulu baik dalam sejarah modern maupun peradaban Islam. Walaupun dalam
sejarah perkembangan ilmu kedokteran Islam tidak secara spesifik menyebutkan
tentang ilmu autopsi tetapi dokter-dokter Islam mempunyai andil yang besar
dalam perkembangan ilmu autopsi melalui pengambangan ilmu bedah (surgery)
seperti yang dilakukan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Abu al-Qasim al-
Zahrawi al-Qurthubi atau Abucasis al-Zahr, Ibnu Nafis dan Ibnu Hayyan yang
mempunyai konstribusi besar dalam pengembangan ilmu kedokteran secara
menyeluruh.17

C. Tujuan Autopsi
Wagner berpendapat nahwa fungsi dasar dari otoritas yurisdiksi yang
menyelidiki kematian, yaitu, pemeriksa medis atau petugas koroner. Yang
merupakan tujuan dasar dari autopsi adalah untuk mengetahui penyebab dan cara
kematian. Penyebab kematian adalah penyakit atau cedera yang menggerakkan
rantai peristiwa yang menyebabkan kematian. Cara kematian adalah sistem
klasifikasi untuk kematian (alami, pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan
ditambang tanpa gangguan).18

D. Jenis Autopsi
Autopsi terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Autopsi Anatomi
Autopsi anatomi adalah autopsi yang dilakukan oleh mahasiswa di
laboratorium fakultas kedokteran di bawah bimbingan langsung pakar dokter
anatomi.19 . Disiplin ilmu ini bertujuan untuk mengetaahui berbagai jaringan dan
susunan tubuh manusia. Sarjana kedokteran harus mengetahui organ dan

17
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 36
18
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 36.
19
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”,... h. 36.
jaringan tubuh manusia melalui proses pembelajaran disiplin ilmu ini. Pada
mulanya tubuh manusia yang digunakan untuk melakukan autopsi adalah jasad
yang tidak bernyawa yang berasal dari korban kecelakaan dan jasad dari koban
kejahatan.
Dalam hal ini mayat yang digunakan adalah jasad yang tidak diketahui ahli
warisnya atau seseorang yang sejak semula telah memberikan persetujuan
supaya kelak ketika ia meninggal dunia maka tubuhnya dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu kesehatan dengan membuat surat persetujuan
secara tertulis.20
2. Autopsi Klinis
Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, maka
diperlukan autopsi klinis. untuk melakukan diagnosis sehingga dapat
menyimpulkan penyebab kematian seseorang merupakan tujuan dari autopsi
klinis. Tujuan lengkap melakukan autopsi klinis adalah:21
a. Untuk mencari tahu kerusakan (patologis) terhadap tubuh pasien;
b. Untuk mencari tahu penyebab kematian seseorang;
c. Untuk mencari tahu kesesuaian antara diagnosa klinis dengan hasil
pemeriksaan post-mortem;
d. Untuk menentukan obat-obat yang sesuai untuk dimasukkan kedalam
ubuh pasien;
e. Untuk memantau penyakit yang ada dalam tubuh korban;
f. Untuk mencari tahu obat atau terapi bagi menyembuhkan penyakit yang
serupa;
g. Untuk mengetahui penyebab dari suatu penyakit yang mengakibatkan
kelainan pada organ dan jaringan tubuh.
Dalam pelaksanaan autopsi klinis biasanya dilakukan pemeriksaan secara
lengkap, misalnya pemeriksaan bakteriologi, histopatologi, serologi,

Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan


20

Hukum Islam ”,... h. 36.


21
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”,... h. 37.
mikrobiologi, toksikologi, dan lain sebagainya.22 Penemuan jenis-jenis penyakit
dan terapi yang dilakukan berkat hasil autopsi klinis yang telah dijalankan
diberbagai rumah sakit dari dahulu hingga sekarang. Disiplin ilmu ini
memberikan konstribusi yang besar kepada pengembangan ilmu kedokteran
secara luas.
Dalam sejarah Indonesia, autopsi klinis sudah berkembang bahkan banyak
dilakukan oleh dokter-dokter pada zaman Hindia Belanda. Namun, perkembangan
autopsi klinis ini menurun setelah Indonesia merdeka karena banyak sarjana
kedokteran enggan mengambil disiplin ilmu ini pada jenjang akademik
selanjutnya.
Aktivitas autopsi klinis mulai digalakkan kembali. Demi kemajuan ilmu
kedokteran di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
81 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat dan atau jaringan Tubuh Manusia.23 Autopsi klinis baru bisa
dijalankan apabila mendapat izin dari ahli waris korban. Namun, autopsi dapat
lakukan begitu saja sekiranya pasien menderita penyakit menular yang dapat
membahayakan khalayak ramai..
3. Autopsi Forensik
Autopsi forensik sering disebut dengan bedah mayat kehakiman. Apabila ada
perintah dari pihak penyidik yang sedang menangani suatu perkara pidana yang
berhubungan dengan kematian seseorang, maka autopsi forensik diperlukan. Pada
dasarnya, pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, keracunan atau seseorang yang
meninggal dunia secara tiba-tiba. Autopsi tersebut paling sering dilaksanakan
untuk kepentingan penegakkan hukum atau pembuktian di pengadilan.
Autopsi forensik ini menjadi permasalahan dalam masyarakat. Permasalahan
yang dihadapi dalam menjalankan autopsi forensik, misalnya ahli waris tidak
setuju jasad dibedah, dianggap bertentangan dengan ajaran agama dan masih
banyak alasan lainnya. Walaupun pelayanan autopsi tidak mudah dan penuh
22
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 37.
23
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”,... h. 38.
tantangan, namun menyadari pemeriksaan ini penting untuk menyelesaikan
perkara yang berkaitan dengan pelanggaran hukum pidana yang memerlukan
bantuan dokter dan terdapat ketentuan hukum yang mengatur kewajiban dokter
untuk melaksanakannya, maka setiap dokter akan melakukan pemeriksaan ini bila
telah terpenuhi syarat diperlukan. Untuk mengetahui hambatan, gangguan bahkan
ancaman dalam pelaksanaan autopsi forensik, Menteri Kesehatan mengeluarkan
Surat Edaran tentang Pelaksanaan Autopsi Forensik pada tahun 2001.24
Tindakan-tindakan bedah mayat dengan tujuan apapun seperti disebutkan di
atas harus dilakukan sesuai dengan etika dan hukum-hukum yang berlaku untuk
itu. Melalui pemeriksaan dan hasil autopsi forensik, penegak hukum diharapkan
mendapatkan bukti atau jawaban terhadap perkara yang sedang ditanganinya.25
Tujuan pembuktian melalui autopsi forensik untuk menemukan “kebenaran
materiil” sehingga dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan bagi para pihak
yang berperkara. Dalam menjalankan tugasnya, dokter forensik harus bekerja
secara profesional karena hasil pemeriksaannya akan menentukan seseorang
bersalah ataupun tidak di dalam proses peradilan nantinya.26
E. Autopsi Menurut Hukum Positif Indonesia
Ilmu kedokteran mempunyai peran yang sangat penting untuk menyelesaikan
kasus-kasus yang terkait dengan aspek pembuktian. Untuk mengungkapkan
misteri terjadinya suatu tindak pidana akan terasa sulit tanpa bantuan ilmu
kedokteran.27

Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu bantu dalam hukum pidana atau
sering disebut dengan istilah ilmu kedokteran kehakiman atau sering juga disebut
dengan istilah kedokteran forensik. 28
Menurut Sutomo Tjokronegoro, ilmu
kedokteran kehakiman merupakan salah satu disiplin ilmu kedokteran yang
24
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 38.
25
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”,... h. 38
26
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”,... h. 38
27
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 6.
digunakan untuk keperluan meja hijau dalam mencari kebenaran dan keadilan. 29
Ilmu kedokteran kehakiman mempunyai peranan yang sangat penting dalam
penegak hukum untuk memecahkan semua permasalahan yang berhubungan
dengan aspek pembuktian.

Ilmu kedokteran kehakiman (gerechtelijk geneeskunde atau forensik medicine)


yang berhubungan dengan interaksi antara dua disiplin ilmu yaitu disiplin ilmu
medis dan ilmu hukum. Menurut Waluyadi, dalam ilmu kedokteran kehakiman
terdapat dua cabang disiplin ilmu, yaitu Clinic forensik medicine dan Clinic
pathology.30 Disiplin ilmu clinic forensik medicine berhubungan dengan manusia
yang masih hidup, sedangkan disiplin ilmu clinic pathology selalu berhubungan
dengan mayat atau orang yang sudah mati.

Hukum positif di Indonesia juga telah mengatur tentang praktik bedah mayat
yang digunakan dalam ilmu kedokteran. Adapun dasar hukum tentang bedah
mayat antara lain:

1. UU. No. 8 tahun 1981 tentang : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
Autopsi untuk tujuan forensik diatur dalam pasal 133 ayat(1) menjelaskan
bahwa penyidik mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana.31
Pada pasal 133 ayat (2) menyebutkan bahwa Permintaan keterangan ahli
sebagaimana disebut dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat

28
B.Y.D Sagai, “ Aspek Hukum Terhadap Autopsi Dalam Tindak Pidana
Pembunuhan menggunakan racun ”, dalam Jurnal Lex Crimen, no. 6, Vol. 8, 2017, h. 10.
29
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 39.
30
Waluyadi, “ Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan
Aspek Hukum Praktik Kedokteran ”, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2007.), h. 1-2.
31
Kastubi, “ Fungsi Bedah Mayat Forensik Autopsi Untuk Mencari Kebenaran
Materiil Dalam Suatu Tindak Pidana. ”, dalam Jurnal Spektrum Hukum No. 1, Vol. 13,
2016, h. 76.
itu diterangkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat.32
Dalam pasal 133 ayat (2) di atas ditemui dua istilah yaitu “pemeriksaan
mayat” dan “pemeriksaan bedah mayat”. Pemeriksaan mayat adalah
pemeriksaan bagian luar mayat saja dan pemeriksaan. Pemeriksaan bedah
mayat adalah pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam mayat atau lazimnya
disebut autopsi.
Dalam praktik autopsi oleh dokter, patut diperhatikan etika terhadap
mayat, sebagaimana dijelaskan pada ayat (3) yang menyebutkan bahwa Mayat
yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan, terhadap mayat
tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap
jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.33
Pasal 133 menjadi dasar bagi penyidik utuk mendapatkan keterangan ahli
dari dokter untuk menangani perkara pidana yang berhubungan dengan tubuh
korban misalnya peristiwa kecelakaan lalu-lintas, tindak pidana penganiayaan
dan pembunuhan. Setiap korban yang diakibatkan dari tindak pidana tersebut
ditemukan korban dalam keadaan luka ringan, luka berat, atau korban yang
sudah tidak bernyawa. Apabila korban mengalami luka ringan atau luka berat,
penyidik biasanya membawa korban ke rumah sakit agar dapat segera diobati
dan meminta dokter melakukan visum et repertum. Dokter yang memeriksa itu
adalah dokter yang mempunyai keahlian dibidang ilmu kedokteran kehakiman
atau jikalau di tempat itu tidak ada dokter yang ahli, maka pemeriksaan boleh
dilakukan dokter umum dan penyidik harus melakukan permintaan
secaratertulis kepada dokter ahli yang bersangkutan.34

32
Kastubi, “ Fungsi Bedah Mayat Forensik Autopsi Untuk Mencari Kebenaran
Materiil Dalam Suatu Tindak Pidana.”... h. 76.
33
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 7.
34
Muhammad Hatta, “ Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan
Hukum Islam ”, dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, No. 1, Vol. 19,
2019, h. 41.
Penjelasan lebih rinci dalam Pasal 134 KUHAP ayat (1) menjelaskan:
dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat
tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban. Jika keluarga korban merasa keberatan terhadap
autopsi/pembedahan mayat, maka penyidik harus menerangkan sejelas-
jelasnya tujuan pembedahan tersebut sebagaimana dijelaskan pada ayat (2).
Dan apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apa pun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik dapat
melaksanakan penyidikan.35
Pasal 135 KUHAP menentukan bahwa dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 (2) dan pasal 134
(1) undang-undang ini. Tafsiran “penggalian mayat” dalam Pasal 135 adalah
pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan. Namun,
penggalian mayat harus mendapat persetujuan dari pihak keluarga korban atau
penyidik harus melakukan pemberitahuan terlebih dahulu. Apabila keluarga
korban merasa keberatan maka pihak penyidik atau penegak hukum lainnya
memberikan keinsyafan atau pengertian dengan memberikan keterangan
sejelas-jelasnya berkenaan dengan maksud dan tujuan serta perlunya diadakan
penggalian mayat tersebut, sehingga keberatan keluarga bisa hilang dan yang
berkepentingan menjadi insyaf.
2. UU. No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Dalam Undang-undang ini, autopsi diatur pada bagian ke-18. Pada pasal
118 dijelaskan bahwa mayat tak dikenal harus dilakukan usaha untuk
mengidentifikasi mayat tersebut. Tanggung jawab identifikasi ini dilakukan
oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat.
Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan
sebagaimana diterangkan pada pasal 119, dapat dilakukan autopsi klinis di
rumah sakit, yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan/atau

35
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 7.
menyimpulkan penyebab kematian, atas persetujuan tertulis pasien semasa
hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.36
Selain autopsi klinis, pasal 120 Undang-undang ini juga mengatur tentang
bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan
kedokteran untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan
biomedis. Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang
tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya.
Sebagai pencegahan terhadap tindakan seenaknya terhadap bedah mayat,
maka Pasal 124 menyatakan bahwa tindakan bedah mayat oleh tenaga
kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan
etika profesi.

Autopsi forensik dilakukan untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan


kejadian yang dialami korban dan kapan diperkirakan korban meninggal dunia.
Misalnya, apabila ingin mengetahui korban mati disebabkan over dosis obat-
obatan dan keracunan maka dokter forensik melakukan pemeriksaan toksikologi
untuk mendeteksi adanya zat terlarang di dalam tubuh si korban. Suatu peristiwa
pidana yang menyebabkan meninggalnya korban mempunyai bukti penting yaitu
mayat korban. Namun, dalam persidangan, tidak mungkin mayat korban di bawa
ke pengadilan, dimana kemungkinan sudah bau dan membusuk. Selain itu,
persidangan membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak mungkin membawa
mayat ke persidangan.37

F. Autopsi Menurut Hukum Islam

Bedah mayat atau autopsi memang pada zaman Nabi Muhammad SAW tidak
pernah dilaksanakan. Maka dari itu, tidak ada dalil nash yang secara tegas
menerangkan hukum dari autopsi.

36
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”... h.
8.
Sagai, “Aspek Hukum Terhadap Autopsi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
37

Berencana ”, dalam Journal Lex Crimen No. 8, Vol. 06, 2017, h.11.
Dalam kitab Ahkam Al-Jirahah Al-Tibbiyah wa al-Atsar al-Murattabah
‘alaiha, Al-Syinqithy menyebutkan bahwa ada 2 pendapat yang berbeda terkait
masalah autopsi ini, diantaranya :

1. Pendapat menerima
Kebolehan autopsi dalam bidang kedokteran diqiyaskan kepada bolehnya
membedah perut mayat seorang ibu yang sedang mengandung, untuk
mengeluarkan janin yang diperkirakan dapat diselamatkan hidupnya. Atau
qiyas kepada kebolehan membedah perut sang ibu untuk mengeluarkan janin
yang membahayakan dirinya dan anaknya, dan qiyas kepada operasi bedah
mayat untuk mengeluarkan harta yang ditelan oleh seorang yang marah.
Dalam maqashid syariah, bedah mayat ini termasuk ke dalam menjaga
keselamatan jiwa (Hifz al-Nafs). Otopsi forensik Bedah mayat dilakukan agar
apabila terjadi kematian yang tidak wajar, dapat ditelusuri informasi hal-hal
yang berkaitan dengan kematiannya. Kapan waktu terbunuhnya, apa
penyebabnya, apakah diracun, atau ditusuk benda tajam atau dipukul.
Berdasarkan informasi tersebut maka para penegak hukum dapat melacak
pembunuhnya apabila ia dibunuh, dan hakim dapat memutuskan perkara
dengan adil sesuai dengan bukti-bukti yang ada.
Selain untuk kemaslahatan autopsi forensik, bedah mayat untuk otopsi
klinikal (riset) juga memiliki kemaslahatan yang darurat dalam upaya
melindungi manusia dari ancaman wabah penyakit. Otopsi klinikal bedah
mayat sangat diperlukan untuk penelitian medis dalam rangka menemukan
sumber penyakit, pencegahannya dan penyediaan obatnya. Sehingga dengan
otopsi bedah mayat tersebut risiko kematian akibat wabah penyakit seperti sars,
ebola, corona dll dapat ditekan seminimal mungkin.
Kaidah fikih berbunyi

ِ ‫ت الْم َف‬
ِ ‫َألعلَى ِمْنها وِإ َذا َتزامَح‬ ِ‫ت الْمصال‬
ِ
‫ِّم‬
َ ‫د‬ ‫ق‬
ُ ‫د‬
ُ ‫اس‬ َ َ َ َ َ ْ ‫ا‬
ْ َ ُ َ َ َ‫ِإ َذا َتَزامَح‬
‫ِّم‬
‫د‬ ‫ق‬
ُ ‫ح‬

‫ف ِمْن َها‬
ُّ ‫َألخ‬
َ ْ‫ا‬
Artinya : Jika terdapat pertentangan pada dua kemaslahatan maka
didahulukan yang lebih kuat di antara keduanya, dan apabila terdapat dua
kerusakan, maka dipilih yang lebih ringan
Dalam hal autopsi pada kasus ini terdapat dua pilihan yang sama-sama
buruk, antara kerusakan tubuh mayat atau kerusakan yang ditimbulkan oleh
penyakit dan bisa membahayakan umat manusia. Maka dalam hal ini harus
dipilih yang lebih kecil resiko kerusakannya demi menghilangkan kerusakan
yang lebih besar.
Ulama-ulama yang mendukung pembedahan mayat antara lain :
a. Majelis Ulama Besar di Saudi Arabia pada muktamar kesembilan tahun
1396 H / 1976 M
b. Majma’ Al-Fiqh Al-Islami di Mekkah Al-Mukarramah pada Muktamar ke
10 tahun 1408 H.
c. Lajnah Al-Ifta’ di kerajaan Yordania Al-Hasyimiyyah pada tanggal 20-5-
1397 H.
d. Lajnah Al-Ifta’ di Al-Azhar Mesir, fatwa ini dikeluarkan pada tanggal 29-
2-1971 M.
2. Pendapat Menolak
Para ulama yang mendukung pendapat ini antara lain, Syeikh Muhammad
Bakhit Al-Muthi’iy, Syeikh Al-Arabi Al-Ṭabakhi, Syekh Hasan bin Ali Al-
Siqaf, Syeikh Muhammad Abdul Wahhab Buhairi.
Mereka menolak pembedahan mayat karena mereka bersandar pada dalil
hukum. Dalam surah al-Isra ayat 70 yang berbunyi:

‫ٰه ْم‬ ِ ‫ولََق ْد َكَّرمنَا بيِن ْٓي اٰدم ومَح ْلنٰهم ىِف الْبِّر والْبح ِر ور َز ْقنٰهم ِّمن الطَّيِّٰب‬
ُ ‫ض ْلن‬
َّ َ‫ت َوف‬ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ََ َ ْ َ
ِ ‫ع ٰلى َكثِ ٍ مِّمَّن خلَ ْقنَا َت ْف‬
‫ضْياًل‬ َ ْ ‫رْي‬ َ
Artinya: Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan
Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari
yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami
ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.
Dari dua pendapat ini, Al-Syinqiti mentarjihnya dengan menyebukan
bahwa boleh bedah mayat, namun hanya terhadap orang kafir, tidak kepada
jasad seorang muslim. Alasan yang ia kemukakan antara lain adalah : bahwa
hukum asal membedah mayat seorang muslim adalah haram, kecuali ada
alasan syar’i, sedangkan bedah mayat tidak termasuk ke dalamnya. Adapun
kebutuhan terhadap bedah mayat dapat dilakukan terhadap orang kafir, sebab
seorang muslim dimuliakan Allah baik ketika hidup maupun ketika sudah mati.
Pembedahan mayat seorang muslim juga menghalanginya untuk dilaksanakan
fardhu kifayah, baik memandikannya, mengafaninya, dan menguburkannya,
dan ini bertentangan dengan hadis Nabi untuk menyegerakan penguburan
jenazah.
G. Autopsi Menurut Maqashid Syariah
Secara etimologi, Maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata., yakni
Maqashid dan syari’ah. Maqashid adalah bentuk jama’ dari Maqshad, Qashd,
Maqshid atau Qushud yang merupakan bentuk kata dari Qashada Yaqshudu
dengan beragam makna, seperti menuju suatu arah, tujuan, tengah-tengah,
adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah antara berlebih
lebihan dan kekuarangan. Adapun Syari’ah secara bahasa berarti jalan
menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikaitkan sebagai
jalan ke sumber pokok kehidupan.38
Imam Al-Syathibi mengatakan bahwa sesungguhnya syari’at itu bertujuan
untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat. Atau
hukum-hukum itu disyari’atkan untuk kemashlahatan hamba. Kemaslahatan
dapat diwujudkan, jika lima unsur pokok (al-kulliyat alkhams) dapat
diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok itu adalah din (agama), nafs
(jiwa), nasl (keturunan), mal (harta), dan ‘aql (akal).39
1. Memelihara Agama

38
Ahmad Imam Mawardi, “ Fiqih Minoritas Fiqh al-Aqliyat dan Evolusi
Maqashid al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan. ”, (Yogyakarta: Lkis, 2010), h. 178-
179.
39
Zamakhsyari, “ Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqh dan ushul Fiqh. ”,
(Bandung: Citapusaka Media Perintis, 2013), h. 7.
Tujuan Syariat yang paling penting yang Allah turunkan kepada
manusia adalah semata-mata dalam rangka penghambaan kepada Allah,
dan semua Nabi dan Rasul diutus tidak lain adalah untuk menyeru
manusia untuk menyembah Allah.30 Namun Iblis dan syaitan selalu
berusaha menggelincirkan manusia untuk berbuat syirik kepada Allah.
Penelitan dan riset ilmu kedokteran dengan menggunakan jasad
orang mati adalah termasuk membaca dan mempelajari ayat-ayat
kauniyyah, sehingga pada akhirnya manusia akan sampai kepada
keyakinan kepada Allah melalui ciptaan Nya. Maka ilmu bedah mayat
sebagai sarana untuk mempelajari ciptaan Allah dengan tujuan
mendekatkan diri kepada Allah.40
2. Memelihara Jiwa
Islam memberikan sanksi yang sangat tegas bagi orang yang
melakukan pembunuhan, agar orang tidak semena-mena menghilangkan
nyawa orang lain, maka pelaku pembunuhan dihukum dengan qiṣaṣ.
Hukuman setimpal dengan apa yang direnggutnya dari orang lain.
Bagaimana membuktikan seseorang itu mati karena dibunuh atau
tidak, siapa yang melakukan pembunuhan? apa penyebab kematiannya?
karena biasanya ketika terjadi pembunuhan sulit untuk melacak jejak sang
pembunuh. Salah satu cara untuk adalah mengungkap penyebab kematian
seseorang adalah dengan melakukan otopsi Bedah mayat.41
Maka dalam rangka untuk meraih kemaslahatan bagi umat
manusia, bedah mayat dibolehkan dengan kaidah-kaidah fiqh antara lain

ِ ‫ت الْم َف‬
‫اس ُد‬ ِ ‫َألعلَى ِمْنها وِإ َذا َتزامَح‬‫ا‬ ‫ِّم‬
‫د‬ ‫ق‬ ‫ح‬ِ‫ت الْمصال‬
ِ ‫ِإ‬
َ َ َ َ َ ْ ْ َ ُ ُ َ َ َ‫َذا َتَزامَح‬
‫ف ِمْن َها‬
ُّ ‫َألخ‬
َ ْ‫ِّم ا‬
َ ‫قُد‬

40
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 12.
41
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 13.
Artinya: Jika ada beberapa kemaslahatan bertabrakan, maka
maslahat yang lebih besar (lebih tinggi) harus didahulukan. Dan jika ada
beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih
adalah mafsadah yang paling ringan
3. Memelihara Akal
Tuntutan Al-Qur’an untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu
pengetahuan sangat besar. Ada sebanyak 854 kali kata ‘ilm terulang dalam
Al-Qur’an dalam berbagai bentuk dan arti. Ilmu menurut Al-Qur’an
mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam
kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau metafisika.
Bedah mayat adalah salah satu cabang dari ilmu kedokteran yang
sangat bermanfaat bagi umat manusia. perannya dalam pengembangan
ilmu pengetahuan sangat besar. Hal ini bisa dillihat jejak historis
perkembangan ilmu bedah mayat atau otopsi.42
Berdasarkan rekam historis menunjukan bahwa ilmu autopsi sudah
berkembang sejak dahulu baik dalam sejarah modern maupun peradaban
Islam. Ilmu autopsi bedah mayat merupakan sarana dalam perkembangan
peradaban umat manusia melalui penelitian, riset, pengembangan dan
teknologi. Maka sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi

‫ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب‬


Artinya: Sesuatu yang menjadi perantara wajib maka hukumnya
wajib
4. Memelihara Harta
Salah satu alasan kebolehan dilakukan bedah mayat adalah untuk
mengeluarkan sesuatu berupa harta yang kemungkinan ditelan atau
tertelan oleh seseorang sebelum ia mati. Hal ini termasuk ke dalam suatu

Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam


42

Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 14.
yang ḍaruriyyah, sebab harta yang ditelan oleh si mayat harus
dikembalikan kepada pemilik harta.43
Jika harta itu tetap berada di perut mayat, maka ia mendatangkan
mafsadah. Pertama mafsadah kepada si pemilik harta, karena bisa saja
harta itu sangat bernilai bagi kehidupannya atau keluarganya. Kedua,
mafsadah kepada si mayit sendiri, sebab ia membawa sesuatu yang haram
di dalam perutnya sampai ia mati. Dalam sebuah hadis Rasulullah pernah
bersabda “setiap daging yang tumbuh dari harta yang haram maka neraka
lebih layak baginya”.
5. Memelihara Keturunan
Bedah mayat dapat dilakukan untuk mengeluarkan janin dari perut
ibunya yang telah wafat. Kondisi ini merupakan maslahat daruriah untuk
menyelamatkan kehidupan janin yang diperkirakan dapat diselamatkan
dengan melakukan operasi membedah perut ibunya.44
Hal ini bersesuaian dengan firman Allah dalam QS Al-Maidah
5:32

ٍ ‫ك ۛ َكتَْبنَ ا َع ٰلى بَيِن ْٓي اِ ْس َراِۤءيْل اَنَّ ٗه َم ْن َقتَ ل َن ْف ًس ۢا بِغَرْيِ َن ْف‬


‫س‬ َ
ِ‫ِمن اَج ِل ٰذل‬
ْ ْ
َ َ
‫اه ا فَ َكاَمَّنَ ٓا اَ ْحيَ ا‬ ۗ ِ ‫ض فَ َكاَمَّنَ ا َقت ل الن‬
ِ ‫ىِف‬ ٍ ‫اَو فَس‬
َ َ‫َّاس مَج ْي ًعا َو َم ْن اَ ْحي‬
َ َ َ ‫ر‬
ْ َ ‫اْل‬‫ا‬ ‫اد‬ َ ْ
ِ ِ ِ ‫النَّاس ِ يعًا ۗولَق د ج اۤء ْتهم رس لُنا بِالْبِّين‬
َ ‫ٰت مُثَّ ا َّن َكثِْي ًرا ِّمْن ُه ْم َب ْع َد ٰذل‬
‫ك‬ َ َ ُ ُ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ ‫َ مَج‬
ِ ‫ىِف ااْل َْر‬
‫ض لَ ُم ْس ِر ُف ْو َن‬
Artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu
membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi,

43
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 15
44
Armaya Azma, “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”, dalam
Jurnal Syariah dan Hukum, No. 01, Vol. 03, 2021, h. 16.
maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah
memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah
datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui
batas di bumi.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil antara lain:


1. Bedah mayat merupakan salah satu ilmu yang berkembang dalam ilmu
kedokteran. bedah mayat termasuk ke dalam rangkaian pemeriksaan mayat
yang dikenal dengan istilah autopsi atau otopsi yaitu pemeriksaan tubuh
mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian.
autopsi bedah mayat dilakukan dengan tujuan : 1) pendidikan atau autopsi
anatomi; 2) keilmuan atau autopsi klinis 3) forensik kehakiman;
2. Secara Yuridis, prosedur dan etika bedah mayat diatur dalam hukum
positif di Indonesia, antara lain pada UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur tentang bedah
mayat untuk tujuan forensik yang dilakukan oleh dokter sebagai
keterangan ahli untuk menjadi bukti di pengadilan. Bedah mayat juga
diatur pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. pada UU ini
disebutkan bahwa bedah mayat dilakukan untuk a) kepentingan klinis,
yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan
penyebab kematian, b) bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan
atau di institusi pendidikan kedokteran untuk kepentingan pendidikan di
bidang ilmu kedokteran dan biomedik. dan c) bedah mayat forensik yang
dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum, yang dilakukan oleh
dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli
forensik.
3. Dalam hukum Islam bedah mayat merupakan kajian kontemporer, terdapat
tiga pandangan ulama terhadap hukum bedah mayat : 1) Boleh untuk
kemaslahatan umum, 2) tidak boleh secara mutlak, dan 3) dibolehkan
hanya bagi mayat yang non Muslim.
4. Dalam Persepektif Maqasid Al-Syariah, bedah mayat pada dasarnya
merupakan sesuatu yang dilarang, namun dibolehkan dengan
pertimbangan kemaslahatan. Dalam kerangka Al-Syatibi ada lima tujuan
diturunkannya syariat :
a. Memelihara agama: Bedah mayat sebagai sarana untuk mengenal Allah
melalui pembacaan ayat-ayat kauniah, sehingga manusia dapat
mengetahui kebesaran Allah dan dapat menghindarkannya dari
kesyirikan.
b. Memelihara Jiwa: : Bedah mayat sebagai metode ilmiah yang
digunakan untuk menemukan penyebab kematian, yang berkaitan
dengan kejahatan pembunuhan, sehingga dapat ditelusuri pelaku
pembunuhan. Hal ini memberikan proteksi melindungi jiwa manusia.
Bedah mayat juga dapat menghindarkan manusia dari kematian massal
akibat wabah penyakit, dengan dilakukan autopsi klinis terhadap mayat.
c. Memelihara Akal: Ilmu autopsi bedah mayat merupakan sarana dalam
perkembangan peradaban umat manusia melalui penelitian, riset,
pengembangan dan teknologi.
d. Memelihara harta: Bedah mayat dalam prakteknya digunakan untuk
mengeluarkan harta yang tersimpan di perut mayat, untuk
menghindarkan dirinya dari mafsadah membawa harta orang lain
sampai mati.
e. Memelihara keturunan: : Ilmu bedah mayat juga berguna untuk
menyelamatkan janin yang berada di perut mayat yang sedang
mengandung

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku
Diantha, Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi

Teori Hukum. Jakarta: Prenanda Media Grup. 2017.

Mawardi, Ahmad Imam. Fiqih Minoritas Fiqh al-Aqliyat dan Evolusi Maqashid al-

Syariah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: Lkis. 2010.

Shidiq, Saipudin. Fikih Kontemporer. Jakarta:Prenadamedia Group. 2016.

Sugono, D. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas Pusat Bahasa. 2008.

Waluyadi. Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek

Hukum Praktik Kedokteran. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2007.

Zamakhsyari. Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung:

Citapusaka Media Perintis. 2013.

2. Jurnal

Azma, Armaya. “ Bedah Mayat Dalam Perspektif Maqashid al-Syariah ”. dalam

Jurnal Syariah dan Hukum. No. 01. Vol. 03. 2021.

Hatta, Muhammad. “Autopsi Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia dan Hukum

Islam ”. dalam Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan. No. 1.

Vol. 19. 2019.

Hastuti, D. Perspektif Hukum Islam Terhadap Otopsi (Studi Kasus di RSUP. Dr.

Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2019.


Kastubi. “Fungsi Bedah Mayat Forensik Autopsi Untuk Mencari Kebenaran

Materiil Dalam Suatu Tindak Pidana.”. Dalam Jurnal Spektrum Hukum.

no. 1. Vol. 13. 2016

Sagai, B.Y.D. “ Aspek Hukum Terhadap Autopsi Dalam Tindak Pidana

Pembunuhan menggunakan racun ”. dalam Jurnal Lex Crimen. no. 6. Vol.

8. 2017.

Anda mungkin juga menyukai