Oleh
Kelompok 1
Bab I
• Latar belakang
Sejak berabad-abad yang lalu, dokter dalam pandangan
masyarakat khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan
martabat yang tinggi. Faktor yang menciptakan keadaan tersebut
adalah karena masyarakat khususnya pasien merupakan pihak yang
awam atau tidak mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
pemeriksaan otopsi forensik.
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah dokter yang
melakukan pemeriksaan bedah mayat forensik tidak sesuai dengan
standar profesi kedokteran, (walaupun terhadap mayat dan bukan
pasien hidup) dapat dipersalahkan menurut Pasal 351, 352, dan 353
kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun Hukum Perdata. Oleh
karena tentunya pesien itu sendiri tidak akan dapat melakukan tindakan
atau gugatan ganti rugi kepada dokter yang telah melakukan
malpraktek, maka dapat berarti melakukannya adalah para pihak yang
merasa dirugikan dengan dilakukannya pemeriksaan otopsi forensik
yang tidak sesuai dengan standar profesi.
Lanjutan…
• Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
identifikasi masalah tersebut sebagai berikut :
a. Otopsi dan Kegunaannya ?
b. Bagaimana pengaturan Otopsi menurut Agama,hukum dan sosial budaya?
• Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakannya penelitian hukum ini adalah :
a. Untuk mengetahui Otopsi dan Kegunaannya
b. Untuk mengetahui pengaturan Otopsi menurut Agama, hukum dan sosial
budaya.
Bab II
• Tinjauan Pustaka
1. Definisi
Otopsi secara terminologis berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh
mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunannya pada bagian dalam
setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab
kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab
misteri suatu tindak kriminal.
2. Tujuan
Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak
pidana dapat dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur
dalam proses perkara di pengadilan.
Lanjutan…
b. Tinjauan Agama Katolik
Pandangan Agama Katolik mengenai otopsi diperbolehkan. Hal ini
disampaikan didalam Katekismus Gereja Katolik, 2301 “Otopsi jenazah
demi pemeriksaan pengadilan atau demi penyelidikan ilmiah
diperbolehkan secara moral.
• Saran
Proses pembedahan mayat harus di lakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan tugas tersebut.
Pelaksanaan medis juga harus dilakukan dengan memperhatikan norma
yang berlaku dalam masyarakat yaitu norma hukum, agama, dan kesopanan
Materi tambahan
• Aspek Agama Islam
• Esty (kelompok 2)
Menurut MHTI (Masjelis Hisbut Tahrir Indonesia) tidak memperbolehkan karena :
1. tidak ada dalil syari yang syah yang memperbolehkan tentang otopsi
2. dalil tahsis : kemaslahatan otopsi itu jelas kemaslahatan otopsi dibatalkan oleh dalil
yang menyebutkan tidak boleh merusak mayat (hadist sahih).
Hadits riwayat Abu Daud
Hadits riwayat Ahmad no 24 783 : memecahkan tulang mayat sama artinya memecahkan
tulangnya saat hidup.
3. Syarat memperbolehkan otopsi (wasiat saat hidup/izin ahli waris)menurut MUI tidak
sah karena wasiat saat hidup seseorang hanya berlaku untuk harta. Adapun wasiat
otopsi tidak sah karena setelah mati tidak ada lagi hubungan antara dirinya dengan
hukum.
4. Otopsi menurut hukum pidana Islam : tidak bisa menjadi bukti pembunuhan karena
pembuktian pembunuhan hanya sah dengan jalan pembuktian : pengakuan atau ikrar
dari pihak pembunuh , kesaksian atau syahadah
5. Otopsi menurut MUI sudah gugur karena ada PMCT.
• Mei (kelompok 7) : Agama Budha
Kitab Satthipathana Sutha bahwa kematian itu
merupakan lenyapnya nama (roh) dan rupa
yang terdiri dari lima khanda (5 kelompok
jasmani) namun dalam peraturan dalam
perawatan jenazah harus menghormati
nama / roh. Tetap diperbolehkan otopsi.
• Aspek Hukum
Endang Palupi (kelompok 3)
Pasal 222 KUHP : lanjutan pasal 133, dapat
dijatuhi pidana pada siapa yang mencegah dan
menghalangi dan menggagalkan proses
penyidikan terhadap otopsi pada bedah mayat.
UU Kesehatan Pasal 79 Tahun 1992
Ayat 1 : Selain penyidik, pejabat negeri dan polisi
RI diberikan wewenang untuk melakukan otopsi
Ayat 2 : Tentang tugas dan wewenang penyidik.
Ayat 3 : Kewenangan penyidik diatur dalam UU
No.8 Tahun 1981 tentang KUHP.
Aspek Hukum
• Rizki (Kelompok 4)
Sanksi tenaga kesehatan yang tidak memiliki
keahlian.
UU No. 36 tahun 2009 Pasal 82 ayat 1 E dan Pasal 70
ayat 2 dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun
dan atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.
Dipertegas juga dengan Pasal 70 yang boleh
melakukan otopsi adalah tenaga kesehatan yang
menempuh pendidikan forensik dan memperhatikan
norma yang berlaku.