Anda di halaman 1dari 7

Makalah Euthanasia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan dunia yang semakin maju, peradaban manusia juga tampil gemilang
sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi, persoalan-persoalan norma dan
hukum kemasyarakatan dunia bisa bergeser, sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat
yang bersangkutan.
Di dalam masyarakat modern seperti Barat, kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati
kedudukan yang tinggi, sehingga berdasarkan itu suatu produk hukum baru di buat. Dari sini
dapat digambarkan bahwa apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, maka interprestasi
terhadap hukum juga bisa berubah. Dari perbuatan yang dahulu di anggap tabu, pada waktu
tertentu pandangan itu bisa saja berubah menjadi serba boleh.
Kalau dahulu perbuatan mengakhiri hidup sendiri merupakan perbuatan tabu dan aneh,
namun pada saat ini bukan lagi hal aneh bahkan sering terjadi, dan bisa melalui legalitas
pengadilan seperti yang sering terjadi di beberaspa negara barat.
Begitu juga dengan masalah Euthanasia yang telah lama dipertimbangkan oleh kalangan
kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara Barat. Di indonesia masalah ini pernah
diperbicangkan, seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminarnya
tahun 1955 yang melibatkan para ahli kedokteran dan ahli hukum positif serta para ahli hukum
islam. Pro dan kontra terhadap Euthanasia itu masih berlangsung terutama ketika masalahnya
dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan hak mati itu hak siapa dan dari sudut manakah
harus dilihat.
Oleh sebab itu, melalui makalah ini diharapkan bisa mengungkap suatu pandangan yang
komprehensif mengenai hukum Euthanasia menurut islam, akan tetapi tetap harus meninjau
terlebih dahulu dari segi kedokteran dan hukum positif.
B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi euthanasia dan apa saja macam-macamnya.


2. Bagaimana kriteria mati menurut kedokteran.
3. Bagaimana euthanasia menurut KUHP dan kode etik kedokteran.
4. Bagaimana euthanasia dalam tinjauan hukum islam.
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Apa definisi euthanasia dan apa saja macam-macamnya.
2. Mengetahui kriteria mati menurut kedokteran.
3. Mengetahui euthanasia menurut KUHP dan kode etik kedokteran.
4. Mengetahui hukum euthanasia dilihat dari perspektif islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya.
Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu mati.
Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh
karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang.[1]
Dilihat dari kondisi pasien tindakan euthanasia bisa dikategorikan menjadi dua macam
yaitu aktif dan pasif :
1.

Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, jika kondisi pasien
berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Dengan
kata lain tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.

2.

Sedangkan yang dimaksud Euthanasia Pasif adalah suatu tindakan membiarkan pasien atau
penderita dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengalaman maupun ukuran
medis sudah tidak ada harapan hidup atau tanda-tanda kehidupan tidak terlihat lagi padanya.

B. Kriteria Mati.

Perbincangan Euthanasia berkaitan erat dengan masalah definisi mati, namun definisi
tentang mati itu sendiri tampaknya mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan semakin
majunya perkembangan ilmu pengatahuan, terutama dibidang teknologi kedokteran.
Dahulu ukuran kematian dilihat pada nafas kemudian ukuran itu ditanggalkan dan diganti
bahwa kematian itu diukur dengan tidak berfungsinya jantung. Oleh karena itu, di daerah yang
tidak mempunyai pengukur jantung biasanya cukup hanya dengan mengetahui gerak nadi.
Dan kini diketahui bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang
terletak pada bagian batang otak dikepala. Jadi, kalau hanya terjadi pendarahan pada otak belum
tentu penderita mati. Para ahli kedokteran tampaknya sepakat bahwa yang menjadi patokan
dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika batang otak beul-betul mati maka harapann
hidup seseorang sudah terputus.
Untuk menentukan kerusakan otak pada manusia menurut Prof. Mahar Madjono tidaklah
terlalu sulit: Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai alat Electro Enceflograf (EEG) yakni alat
ditektor otak, maka cukup dengan mengetes refleksi kornea mata, apakah pupil (anak mata)
masih memberi reaksi terhadap cahaya. Bisa juga dengan memeriksa refleks vestibula okular
(meneteskan 20cc air es ke telinga kiri dan kanan, kemudian memeriksa reaksi motoriknya pada
mata). Tindakan ini bisa dilakukan oleh setiap dokter, walaupun dengan peralatan rumah sakit
yang sederhana.[2]
C. Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran.
Prinsip umum Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah
jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak hidup secara wajar sebagaimana
harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, maka
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Dan juga pasal 388 KUHP dinyatakan:
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun. [3]
Dokter yang melakukan tindakan Euthanasia (aktif khususnya) bisa diberhentikan dari
jabatannya karena melanggar kode etik kedokteran. Di dalam kode etik kedokteran yang
ditetapkan oleh Mentri Kesehatan nomor : 434 / Men.Kes / SK / X / 1983 yang di sebutkan pasal

10 : Setiap Dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk
insani.
Berarti bahwa baik menurut Agama dan Undang-undang Negara, maupun menurut etik
kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan :
a) Menggugurkan Kandungan (Abortus Provactus).
b) Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin ada
sembuh lagi (Euthanasia).[4]
D. Euthanasia Dlam Tinjauan Hukum Islam.
1. Kedudukan Jiwa Dalam Islam.
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak ayat-ayat AlQuran dan Hadits yang mengharuskan kita untuk memelihara jiwa manusia (hifzhal al-Nafs).
Oleh karena itu, seorang manusia tidak sama sekali berwenang dan tidak boleh melenyapkannya
tanpa kehendak dan aturan Allah sendiri. Diantara firman Allah yang menyinggung mengenai
jiwa atau nafs ini adalah sebagai berikut :
a.

Q.S. al-Hijr ayat 23 :


.............................................................
Dan sesungguhnya benar-benar kamilah yang menghidupkan dan mematikan .[5]

b. Q.S. al-Najm ayat 44 :


...................
Dan bahwasannya Dialah yang mematikan dan menghidupkan.[6]
Tindakan menghilangkan jiwa milik orang lain maupun milik sendiri adalah perbuatan
melawan hokum Allah, tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga peradilan
(Pemerintah Islam) sesuai dengan aturan pidana islam.
Begitu besarnya penghargaan islam terhadap jiwa, sehingga perbuatan yang merusak atau
menghilangkan jiwa manusia akan di ancam dengan hukuman yang setimpal (Qishash atau
Diyat).
2. Bagaimana Islam Menghukumi Euthanasia.
Dari segi Nash, islam secara tegas melarang pembunuhan. Akan tetapi apakah Euthanasia
dengan begitu saja digolongkan sebagai pembunuhan? Sedangkan aspek tindakan sebagai unsur
kedua sudah jelas ada, karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam

penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungi saraf dalam dosis tertentu
(Neurasthenia). Sementara aspek pelaku sudah jelas terdiri dari dokter, pasien dan keluarga.
Begitu pula terjadinya Euthanisia aktif itu sendiri tidak terlepas dari alasan-alasan berikut
ini :
Alasan pertama, bahwa pasien sudah tidak tahan menanggung derita yang
berkepanjangan, tidak ingin meningggalkan beban ekonomi, atau tidak punya harapan sembuh,
adalah refleksi dari kelemahan iman. Cara euthanasia yang ditempuh oleh pasien tersebut salah,
maka yang bersangkutan terkena larangan Allah, yaitu sebagai tindakan bunuh diri dan termasuk
mengingkari Rahmat Allah.
Islam menghendaki setiap muslim untuk selalu optimis, islam tidak membenarkan dalam
situasi apapun untuk melepaskan nyawanya, bahkan berdoa meminta dimatikanpun tidak
diperbolehkan.
Sedangkan pertimbangan kedua, yaitu dari pihak keluarga yang merasa
kasihan kepada pasien yang masih termasuk bagian dari keluarga
mereka, atau karena tidak sanggup lagi menanggung biaya perawatan,
maka apabila diselesaikan dengan euthanasia berarti perbuatan itu
tergolong pembunuhan sengaja, dan Allah mengancam pelakunya
dengan azab neraka, sebagaimana dalam firman-Nya dalam Q.S an....................................................: Nisa ayat 93
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya adalah jahanam, kekal didalamnya dan Allah murka kepadanya,
dan mengutuknya serta menyediakannya azab yang besar baginya..
Adapun pertimbangan ketiga, bahwa keluarga atau salah seorang diantara mereka yang
bekerjasama dengan dokter untuk melakukan Euthanasia, dengan harapan agar segera
memperoleh harta warisan dan sebagainya, maka tindakna ini jelas sekali sebagai penbunuhan
sengaja.
K.H. Syukron Makmun berpendapat bahwa kematian itu adlah urusan Allah, manusia tidak
mengetahui kapan kematian dating menyapanya. Jadi, mempercepat kematian tidak dibenarkan,
tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh, kalaupun tidak sanggup kembalikan
kepada keluarga.
Apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu
tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan adanya
tanda-tanda kehidupan, maka islam mengharamkannya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.

Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanya Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang
mengakhiri hidup dengan cara atau alas an yang bertentangan dengan ketentuan Agama (Laisa bi
al-haq), seperti Euthanasia Aktif adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam
Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.

2. Euthana Aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, undang-undang hukum
pidana, lebih-lebih menurut islam yang menghukuminya haram.
3.

Euthanasia Pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pesien beruoa batang
otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.

B. Saran-saran
Untuk menghadapi masalah yang berkaitan dengan adanya Euthansia ini, perlu kiranya
dikemukakan saran-saran berikut :
1.

Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak
memungkinkan lagi, baik karena biaya yang amat terbatas maupun rumah sakit yang
peralatannya lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :

a) Menghentikan perawatan atau pengobatan, artinya membawa pasien pulang kerumahnya.


b)

Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi
menghendaki kematiannya.

2.

Umat islam diharapkan tetap berpegang teguh terhadap kepercayaannya yang menganggap
segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang dating dari Allah. Hal itu
hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan justru keadaan yang kritis
tersebut merupakan masa penentuan kokoh dan tidaknya iman seseorang, serta konsekuensi dari
sikap yang di ambil akan dipertanggung jawabka dikemudian hari.

3. Para dokterk diharapkan tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya,
sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.

http://ashimmurtadlo.blogspot.com/2010/12/makalah-euthanasia.html

Anda mungkin juga menyukai