PENDAHULUAN
KUHP (seperti yang dijelaskan diatas) yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur
delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di
negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
mengetahui
bahwa
penolakannya
akan
memperpendek
atau
kegiatan
jantung.
Sekarang
ada
alat
yang
lebih
canggih
lagi,
Electroencefalogram (EEG) sehingga dokter dapat memantau kegiatan elektris dalam otak,
misalnya interaksi antara fungsi-fungsi otak, jantung dan paru-paru.
biasa atau proporsional dalam moral tradisional. Hak untuk menolak penanganan yang
memperpanjang proses meninggal (the right to refuse death-prolonging treatment) juga
berarti hak agar penanganan demikian itu dihentikan atas permintaan penderita atau
keluarganya.
Hak untuk mati tumbuh dari gabungan antara hak untuk menolak penanganan yang
menyelamatkan hidup berdasarkan kebebasan agama dan hak untuk menolak penanganan
yang menunda kematian seseorang berdasarkan hak privacy. Perkembangan menjadi hak
untuk mati dapat dipahami sejauh dalam konteks konkret menolak life-saving treatment
dan menolak death-prolonging treatment atau life-support system berarti kematian.
2.3 Pro dan Kontra Tindakan Euthanasia
Pada dewasa ini, para dokter dan tenaga kesehatan lain menghadapi sejumlah
masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis
Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang
menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada
kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya
kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya.
Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang
dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
Beberapa pendapat dari pihak yang menyetujui euthanasia:
1. Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang
mempunyai hak memilih cara kematiannya.
2. Adanya hak privacy yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka
seseorang berhak sesuai privacy-nya (band. Pro-choice dalam kasus Aborsi).
3. Euthanasia adalah tindakan belas kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka
tidak bertentangan dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan
sesama adalah tindakan kebajikan.
4. Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si
sakit yang menderita, tetapi juga keluarganya. Meringankan penderitaan si
sakit berarti meringankan penderitaan keluarga khususnya penderitaan
psikologis.
Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
belas tahun.
Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum
penjara selama-lamanya duabelas tahun.
Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi
bunuh diri.
Berdasarkan pasal 344 KUHP, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum,
apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang
bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak
bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan hukuman penjara
selama-lamanya 15 tahun. Dokter bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar
kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes/SK/X/1983
pasal 10 menyebutkan: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya
untuk melindungi hidup makhluk insani.
Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a.
konsultasi
dengan
dokter
yang
berpengalaman,
selain
harus
pula
dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang
diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.
Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia.
Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat
profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru
bertentangan radikal dengan hakikat itu.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004
telah diajukan oleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega
menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3
bulan pasca operasi Caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban
biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Hasan mengatakan kekecewaannya kepada Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari
yang pernah menjanjikan akan menanggung biaya Ny. Agian selama berada di Rumah
Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) Jakarta beberapa waktu lalu di hadapan media
massa. Tapi kenyataannya menurut Iskandar, sampai saat ini hal tersebut belum terealisasi.
Kondisi Ny. Agian sendiri menurut pengamatan Tempo hingga Rabu (3/11) masih
belum pulih. Bahkan kini makin memburuk dengan adanya luka parah dibagian punggung
dengan diameter 15 cm dan kedalam 7 cm. Berat badan Ny. Agian selama dua minggu ini
juga melorot 7 hingga 8 kilogram. Menurut Ketua Divisi Malpraktek dari LBH Kesehatan
Christ Benjamin, jika hal ini dibiarkan terus, malahan akan terjadi euthanasia pasif.
Mengutip pembicaraannya dengan dokter vaskuler yang menangani Agian, Christ
menyebut bahwa penderita yang lumpuh, seharusnya posisi badan digerakkan tiap setengah
jam sekali. Tapi untuk kasus Ny. Again, itu tidak mungkin dilakukan. Bisa dua atau tiap
tiga jam sekali digerakkan saja sudah bagus," ujarnya. Christ sendiri mendatangi Ny. Agian
sebagai wakil dari Forum Dokter Pembanding.
Christ mengungkapkan, semakin kurus dan semakin banyaknya luka yang dialami
Ny. Again, membuat semakin besar kemungkinan ketidakberdayaan. "Dan secara tidak
langsung telah dilakukan euthanasia pasif," tegasnya. Ini berarti ujung-ujungnya sama
saja," kata Christ. Soal kondisi penyakit primer Ny. Agian yang menyangkut masalah otak,
Christ mengaku sampai saat ini belum diketahui pasti, karena belum ada laporan lagi,
katanya.
"Memang kita tidak bisa langsung mengatakan ini kesalahan dari pihak rumah sakit.
Tapi tugas kami di sini memberitahu Komisi Perawatan ataupun Departemen Kesehatan,
kata Christ. Lebih lanjut Christ menyebut bahwa kasus Agian adalah prototip untuk melihat
Ny Agian Isna Nauli Siregar (33 tahun) menderita kerusakan saraf permanen di otak besar kanan
dan kiri, otak kecil kanan dan kiri, batang saraf dan pusat saraf di otak, setelah menjalani
perawatan pasca melahirkan. (16/7/2004)
47 hari tergolek di rumah sakit, Hasan mulai kebingungan membiayai ongkos pengobatan di
rumah sakit.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani
perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan
dalam pemulihan kesehatannya.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada
prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari
setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam
Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Penjelasan dari Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 16 No. 2 Oktober 2007
dalam esei dari Haryadi, S.H., M.H., Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Jambi, yang berjudul Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana yang kami
unduh
dari
laman
resmi
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
(LIPI)
sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan
yang ada melarang euthanasia aktif dan sukarela.
Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas
menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya
dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga
pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama dan etika
dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
Berkaca
dari
pengalaman
di
Belanda,
Komariah
mengatakan
BAB V
PENUTUP
5.1
KESIMPULAN
Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Contoh kasus euthanasia di Indonesia meliputi kasus Rudi Hartono dan kasus Panca
Satria Hasan Kusuma, kasus tersebut pada umumnya merupakan euthanasia yang diluar
keinginan pasien, pihak keluarga mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat namun tidak disetujui.
Dilihat dari sudut pandang etika dan moral euthanasia merupakan hal yang
melanggar etika dan perbuatan yang tidak bermoral. Prinsip etika yang sangat mendasar
ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya
dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan
lain. Dilihat dari sudut agama yang ada di Indonesia yaitu agama Buddha, Hindu, Islam
dan Katholik euthanasia merupakan perbuatan yang tidak diijinkan oleh agama.
Euthanasia juga melanggar HAM karena perbuatan euthanasia dapat menghilangkan
nyawa manusia itu artinya euthanasia melanggra hak manusia untuk hidup.
Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya
tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga
keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas. Beberapa pasientidak dapat
menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan
yang terbaik bagi pasien itu. Orang lain disini tentu dimaksudkan orang yang paling dekat
dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.
5.2
SARAN
Euthanasia merupakan tindakan yang melanggar hukum dan etik kedokteran.
Diharapkan pemerintah menyususn dasar hukum tentang tindakan euthanasia lebih jelas,
dan dalam penerapannya pemerintah harus lebih tegas. Jika euthanasia merupakan hal yang
melanggar hukum, sebaiknya pihak yang terlibat harus ditindak tegas. Jangan sampai kasus
euthanasia menjadi alasan dan dijadikan kambing hitam dalam upaya untuk
menghilangkan nyawa orang lain (pasien).
DAFTAR PUSTAKA
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta,hal. 144.
Rabdhan Purnama, Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana di Indonesia ( http
://euthanasia- ditinjau-dari-aspek-hukum.html ) (diakses terakhir : 24 Agustus 2014)
Visobar Bankulon. 2008. Euthanasia; Sebuah Dilema Abu-Abu Dunia Kedokteran.
http://www.in-christ.net/artikel/misi/euthanasia_sebuah_dilema_abuabu_dunia
kedokteran. (diakses terakhir : 24 Agustus 2014)
Kusmaryanto, CB., Moral Hidup, Diktat Kuliah Fakultas Teologi USD, Yogyakarta.
Peschke, Karl-Heinz, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere:
Penerbit Ledalero, 2003.
Shannon, Thomas A., Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Kubler-Ross, Lima Tahap Proses Terminal, Seri Pastoral 330 No 11, Yogyakarta: Pusat Pastoral
Yogyakarta, 2001.
Anonim.2010.Hukum Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran. http://www.scribd.com/doc/
26876842/Hukum-Euthanasia-Dan-Kode-Etik-Kedokteran,
(diakses
terakhir
24 Agustus 2014)
Hukum Online, 2004. Meski Tidak Secara Tegas Diatur, EuthanasiaTetap Melanggar KUHP.
Diakses dari : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11197/meski-tidak-secarategas-diatur-ieuthanasiai-tetap-melanggar-kuhp (diakses terakhir : 24 Agustus 2014)