Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata eu yang artinya baik, tanpa
penderitaan dan tanathos yang artinya mati. Jadi euthanasia artinya mati dengan baik
atau mati tanpa penderitaan. Euthanasia merupakan permasalahan dibidang kesehatan
yang menyulitkan bagi para dokter dan tenaga kesehatan dikarenakan pada kasus-kasus
tertentu seorang pasien yang menderita penyakit yang tidak bisa diobati mereka memohon
kepada dokter untuk mengakhiri hidupnya salah satunya dengan suntik mati, kasus inilah
yang dinamakan euthanasia.
Hal ini yang menimbulkan dilema bagi para dokter, dimana di satu sisi apabila dokter
mengakhiri hidup pasien atas permintaan pasien itu sendiri maka ia akan menghadapi
konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 344 KUHP dan bertentangan dengan hak asasi
manusia tetapi di sisi lain apabila ia mengindahkan permintaan pasien maka pada diri
pasien itu akan merasakan penderitaan yang berkepanjangan dan juga menguras dana
pasien.
Sejauh ini khususnya di Indonesia, melarang adanya tindakan euthanasia walaupun
sampai saat ini ada pihak yang menyetujui tentang euthanasia dan ada pula yang tidak
setuju. Pihak yang setuju dengan adanya euthanasia berpendapat bahwa setiap manusia
mempunyai hak menentukan nasib apakah ia akan mengakhiri atau melanjutkan hidupnya,
sedangkan pihak yang tidak setuju berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai hak
untuk mengakhiri hidupnya karena masalah hidup dan mati merupakan kehendak Tuhan.
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa Barang
siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359

KUHP (seperti yang dijelaskan diatas) yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur
delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di
negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.

1.2. Rumusan Masalah


Kontroversi tindakan euthanasia ditinjau dari sisi hukum dan etik kedokteran di
Indonesia.
1.3. Tujuan
Mempelajari kontroversi tindakan euthanasia ditinjau dari sisi hukum dan etik
kedokteran di Indonesia.
1.4. Manfaat
Memahami kontroversi euthanasia di Indonesia sehingga sebagai dokter kita
mempunyai persepsi yang benar dan dapat mengambil keputusan yang tepat terhadap
tindakan euthanasia.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terminologi Euthanasia


Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah
mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa
muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien
(bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
1. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat
dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah
tablet sianida.
2. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien
menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis
meskipun

mengetahui

bahwa

penolakannya

akan

memperpendek

atau

mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan


membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif
pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang
bersangkutan.
3. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang
tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan

pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara


sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi
yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun
pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin tetapi tetap akan
mengakibatkan kematian.
Euthanasia ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan
menjadi tiga yaitu :
1. Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang
bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
2. Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang
seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan
yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri
Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali
mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
3. Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri,
namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Euthanasia ditinjau dari beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara
lain yaitu :
1. Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
2. Eutanasia hewan

3. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada


eutanasia agresif secara sukarela

2.2 Permasalahan Dalam Euthanasia


Persoalan euthanasia bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Ada banyak soal di
balik euthanasia yang amat mempengaruhi pilihan dan tidakan untuk melakukan atau tidak
melakukan euthanasia. Masalah-masalah tersebut adalah:
2.2.1. Kekaburan Batas Antara Kematian Kehidupan serta Kemajuan Iptek Kedokteran
Dalam perjalanan sejarah, ada banyak perubahan untuk menentukan apakah seorang
dapat dinyatakan mati atau tidak. Definisi kematian tetap sama yaitu berhentinya secara
irreversible seluruh fungsi pengaturan manusia sebagai organisme secara keseluruhan baik
mental maupun fisik. Namun kriteria kematian seseorang sendiri berubah seturut
perkembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran. Jaman modern mencatat bahwa kriteria
kematian telah berubah dari cardiac-respiratory (berhentinya denyut jantung dan
pernafasan) menjadi kriteria neurologis yaitu kematian seluruh otak yakni batang otak dan
otak besar. Dalam perkembangan sejarah, kapan orang dikatakan mati merupakan masalah
serius dan menimbulkan banyak perdebatan. Pada abad XVIII kekhawatiran akan nasib
orang mati suri yang terlanjur dikubur dipecahkan dengan memasang sistem pembebasan
dari peti mati, misalnya: tali untuk membunyikan bel. Atau orang yang baru mati dijaga
kalau-kalau memberi tanda-tanda kehidupan.
Munculnya aneka macam alat kedokteran seperti stetoskop (abad XIX) membantu
para dokter untuk mendengarkan denyut jantung dengan lebih jelas sehingga lebih bisa
memastikan apakah seseorang sudah mati atau belum. Pada abad XX ditemukan
Electrocardiogram (ECG) yang merupakan sarana teknis yang lebih cermat untuk
memeriksa

kegiatan

jantung.

Sekarang

ada

alat

yang

lebih

canggih

lagi,

Electroencefalogram (EEG) sehingga dokter dapat memantau kegiatan elektris dalam otak,
misalnya interaksi antara fungsi-fungsi otak, jantung dan paru-paru.

Permasalahan kekaburan kematian manusia tidak hanya berhenti pada cara


penentuan kematian seseorang melainkan juga semakin dikaburkan dengan kemajuan
teknologi kedokteran. Beberapa fungsi vital organ manusia dapat didukung oleh teknologi
baru, sehingga orang yang secara klinis mati dapat dihidupkan kembali dengan saranasarana artifisial. Kesepakatan mengenai kematian seseorang akan menentukan sikap dan
tindakan yang sama.
Di satu sisi, kemajuan teknologi kedokteran disambut dengan gembira, tapi di sisi
lain menimbulkan kekuatiran dan ketakutan baru. Kemajuan itu adalah berkat bagi
manusia untuk memulihkan kesehatan sekaligus kutuk karena usaha melanjutkan
kehidupan berarti juga memperpanjang penderitaan dan ketidakpastian.
2.2.2. Kewajiban Memelihara hidup
Permasalahan euthanasia berkait erat dengan kewajiban memelihara hidup. Misalnya
saja sumpah Hipokrates mengandung dua gagasan yaitu: kesediaan menolong penderita
dan menolak membantu orang untuk bunuh diri. Dua gagasan sumpah ini dimasukkan ke
dalam aneka kode etik kedokteran dewasa ini. Sumpah ini membantu para tenaga medis
untuk menghadapi situasi dan masalah baru karena kemungkinan penundaan saat
kematian yang bahkan menjadi kabur dengan teknologi canggih.
2.2.3. Otonomi Penderita
Euthanasia juga berhadapan dengan gagasan tentang otonomi manusia (penderita).
Keyakinan akan martabat pribadi manusia sebagai subjek pengemban hak asasi makin
meningkat, justru dalam berhadapan dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang
disediakan ilmu dan teknologi kedokteran canggih. Berkaitan dengan otonomi manusia
setidaknya menyangkut dua hal yaitu: hak atas privacy dan hak untuk menolak penanganan
serta hak untuk mati.
Di sini ada pergeseran arti. Semula hak untuk mati berarti hak asasi untuk menolak
penanganan (basic right to refuse treatment). Namun dewasa ini hak untuk mati berarti hak
untuk menolak penanganan yang menyelamatkan hidup (the right to refuse life-saving
treatment). Gagasan ini timbul sehubungan dengan penolakan transfusi darah karena alasan
keagamaan oleh penganut sekte Saksi Yehovah, meskipun transfusi darah termasuk sarana

biasa atau proporsional dalam moral tradisional. Hak untuk menolak penanganan yang
memperpanjang proses meninggal (the right to refuse death-prolonging treatment) juga
berarti hak agar penanganan demikian itu dihentikan atas permintaan penderita atau
keluarganya.
Hak untuk mati tumbuh dari gabungan antara hak untuk menolak penanganan yang
menyelamatkan hidup berdasarkan kebebasan agama dan hak untuk menolak penanganan
yang menunda kematian seseorang berdasarkan hak privacy. Perkembangan menjadi hak
untuk mati dapat dipahami sejauh dalam konteks konkret menolak life-saving treatment
dan menolak death-prolonging treatment atau life-support system berarti kematian.
2.3 Pro dan Kontra Tindakan Euthanasia
Pada dewasa ini, para dokter dan tenaga kesehatan lain menghadapi sejumlah
masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis
Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang
menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan. Mereka seringkali dihadapkan pada
kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya
kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya.
Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya. Di sini yang
dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
Beberapa pendapat dari pihak yang menyetujui euthanasia:
1. Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat. Maka seseorang
mempunyai hak memilih cara kematiannya.
2. Adanya hak privacy yang secara legal melekat pada tiap orang. Maka
seseorang berhak sesuai privacy-nya (band. Pro-choice dalam kasus Aborsi).
3. Euthanasia adalah tindakan belas kasihan/kemurahan pada si sakit. Maka
tidak bertentangan dengan peri-kemanusiaan. Meringankan penderitaan
sesama adalah tindakan kebajikan.
4. Euthanasia adalah juga tindakan belas kasih pada keluarga. Bukan hanya si
sakit yang menderita, tetapi juga keluarganya. Meringankan penderitaan si
sakit berarti meringankan penderitaan keluarga khususnya penderitaan
psikologis.

5. Euthanasia mengurangi beban ekonomi keluarga. Dari pada membuang dana


untuk usaha yang mungkin sia-sia, lebih baik uang dipakai untuk keluarga
yang masih hidup.
6. Euthanasia meringankan beban biaya sosial masyarakat, bukan hanya dari
segi ekonomi tetapi juga beban sosial misalnya dengan mengurangi biaya
perawatan mereka yang cacat secara permanen.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah
suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama
menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh
dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan
penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Argumen yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan
terhadap mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan
untuk pulih. Argumen pokok mereka adalah pemahaman bahwa kematian menjadi jalan
yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si
pasien. Argumen kedua adalah perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada
hubungannya dengan suatu pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki
hak asasi. Di dalamnya termasuk hak untuk hidup maupun hak untuk mati.
Beberapa pendapat dari pihak yang menyetujui euthanasia :
1. Tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan seseorang melakukan
pembunuhan maupun bunuh diri. Maka tidak ada hak manusia untuk
memilih cara kematiannya.
2. Hak privacy adalah hak yang dinikmati dalam hidup. Hak hidup memang
tak terbatas, tetapi hak privacy selalu terbatas, bahkan dalam kehidupan
yang dijalani sehari-hari. Maka hak privacy tidak relevan digunakan
mengklaim hak untuk memilih cara kematian seseorang.
3. Walaupun euthanasia dapat mengakhiri penderitaan, euthanasia tetaplah suatu
pembunuhan.
4. Penderitaan tidak bisa dijadikan sebagai alat pembenaran praktek euthanasia.
5. Manusia lebih berharga daripada materi. Maka melakukan euthanasia demi
untuk kepentingan penghematan ekonomi tidak dibenarkan secara moral.

Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia


merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak
Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen
kesucian hidup. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak
pernah boleh diakhiri dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia
langsung atau aktif karena takut akan menginjak lereng licin (the slippery slope). Jika
kita boleh membunuh orang yang sedang dalam proses meninggal dunia atau pasien koma
yang irreversible maka bisa jadi kita akan memperluas pengertian dan mulai membunuh
bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak cacat mental, orang yang tidak produktif
atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas untuk membunuh diperluas, tidak
ada lagi orang yang aman.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada
gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi
dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu
tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten
melakukan perawatan medis dan dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang
penganiayaan, yang berbunyi:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Mantan Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober
2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau pembunuhan tanpa penderitaan hingga saat ini
belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia. Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa
dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.

2.4 Euthanasia Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran


Prinsip umum UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah jiwa
manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar
sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi
hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP
menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang.
Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasalpasal dalam KUHP tersebut:

Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena
pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
belas tahun.

Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu


menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan
berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya duapuluh tahun.

Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum
penjara selama-lamanya duabelas tahun.

Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi
bunuh diri.

Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian,


dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana
kurungan selama-lamanya satu tahun.

Berdasarkan pasal 344 KUHP, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum,
apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang
bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak
bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan hukuman penjara
selama-lamanya 15 tahun. Dokter bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar
kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes/SK/X/1983
pasal 10 menyebutkan: Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya
untuk melindungi hidup makhluk insani.
Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a.

Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).


b. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
akan mungkin sembuh lagi.
Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk
mengakhirinya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan
obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.

3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.


4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis
adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates
jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun
memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya. Sumpah ini
kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik
kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun
menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah
dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali,
maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut.
Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman
yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah
diadakan

konsultasi

dengan

dokter

yang

berpengalaman,

selain

harus

pula

dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang
diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.
Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia.
Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat
profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru
bertentangan radikal dengan hakikat itu.

BAB III
ILUSTRASI KASUS
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004
telah diajukan oleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega
menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3
bulan pasca operasi Caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban
biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Hasan mengatakan kekecewaannya kepada Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari
yang pernah menjanjikan akan menanggung biaya Ny. Agian selama berada di Rumah
Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) Jakarta beberapa waktu lalu di hadapan media
massa. Tapi kenyataannya menurut Iskandar, sampai saat ini hal tersebut belum terealisasi.
Kondisi Ny. Agian sendiri menurut pengamatan Tempo hingga Rabu (3/11) masih
belum pulih. Bahkan kini makin memburuk dengan adanya luka parah dibagian punggung
dengan diameter 15 cm dan kedalam 7 cm. Berat badan Ny. Agian selama dua minggu ini
juga melorot 7 hingga 8 kilogram. Menurut Ketua Divisi Malpraktek dari LBH Kesehatan
Christ Benjamin, jika hal ini dibiarkan terus, malahan akan terjadi euthanasia pasif.
Mengutip pembicaraannya dengan dokter vaskuler yang menangani Agian, Christ
menyebut bahwa penderita yang lumpuh, seharusnya posisi badan digerakkan tiap setengah
jam sekali. Tapi untuk kasus Ny. Again, itu tidak mungkin dilakukan. Bisa dua atau tiap
tiga jam sekali digerakkan saja sudah bagus," ujarnya. Christ sendiri mendatangi Ny. Agian
sebagai wakil dari Forum Dokter Pembanding.
Christ mengungkapkan, semakin kurus dan semakin banyaknya luka yang dialami
Ny. Again, membuat semakin besar kemungkinan ketidakberdayaan. "Dan secara tidak
langsung telah dilakukan euthanasia pasif," tegasnya. Ini berarti ujung-ujungnya sama
saja," kata Christ. Soal kondisi penyakit primer Ny. Agian yang menyangkut masalah otak,
Christ mengaku sampai saat ini belum diketahui pasti, karena belum ada laporan lagi,
katanya.
"Memang kita tidak bisa langsung mengatakan ini kesalahan dari pihak rumah sakit.
Tapi tugas kami di sini memberitahu Komisi Perawatan ataupun Departemen Kesehatan,
kata Christ. Lebih lanjut Christ menyebut bahwa kasus Agian adalah prototip untuk melihat

kasus-kasus yang sebenarnya sering terjadi di masyarakat. "Bahwa pemerintah sering


menutup mata atas kejadian seperti ini. Bisa jadi karena Menteri Kesehatan tidak langsung
menunjuk orang untuk menangani kasus semodel ini secara intensif," tegasnya.
Hasan Kusuma, suami Agian, menyayangkan pihak RSCM yang tidak memberitahu
dirinya tentang adanya luka pada Again ketika ukurannya masih kecil. "Kenapa saya baru
diberitahu setelah ada luka sebesar itu?" ujarnya sedih. Akibat luka itu, Hasan mengaku
tidak berani menggerakan atau memindah posisi berbaring istrinya. "Kan ada standar
perawatan mereka (RSCM). Nanti kalau saya pindahkan sendiri, kalau ada apa-apa, saya
disalahkan," tuturnya.
Semenjak Agian dibesuk Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari beberapa waktu lalu,
Hasan mengatakan tidak ada perubahan sikap dari RSCM, terutama tentang pembayaranpembayaran obat. Hasan sempat mempertanyakan gratisnya pengobatan pada perawat
bernama suster Eni, tapi kemudian dijawab dengan pertanyaan, "Tidak ada itu, lha wong
menteri hanya datang berkunjung kok", Hasan Cuma melongo.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan
pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah
menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah
mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

Ny Agian Isna Nauli Siregar (33 tahun) menderita kerusakan saraf permanen di otak besar kanan
dan kiri, otak kecil kanan dan kiri, batang saraf dan pusat saraf di otak, setelah menjalani
perawatan pasca melahirkan. (16/7/2004)

47 hari tergolek di rumah sakit, Hasan mulai kebingungan membiayai ongkos pengobatan di
rumah sakit.

Suami merasa kasihan dan berat

Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani
perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan
dalam pemulihan kesehatannya.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada

prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari

setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam
Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Penjelasan dari Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 16 No. 2 Oktober 2007
dalam esei dari Haryadi, S.H., M.H., Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Jambi, yang berjudul Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana yang kami
unduh

dari

laman

resmi

Lembaga

Ilmu

Pengetahuan

Indonesia

(LIPI)

http://isjd.pdii.lipi.go.id. Disebutkan bahwa euthanasia berasal dari kata Yunani euthanatos,


mati dengan baik tanpa penderitaan. Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam
pengetahuan hukum kedokteran mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang
dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yang
menyatakan euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk
kepentingan pasien sendiri (M. Yusup & Amri Amir, 1999:105).
Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar hak
asasi manusia yaitu hak untuk hidup. Dalam salah satu artikel hukum online meski tidak
secara tegas diatur, euthanasia tetap melanggar KUHP, pakar hukum pidana Universitas
Padjadjaran Komariah Emong berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) mengatur tentang larangan melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344
KUHP yang bunyinya:
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia
aktif dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344
KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana,

sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan
yang ada melarang euthanasia aktif dan sukarela.
Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas
menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya
dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga
pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama dan etika
dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
Berkaca

dari

pengalaman

di

Belanda,

Komariah

mengatakan

prosedur euthanasia yang diberlakukan di Belanda tidak sembarangan. Diperlukan


penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan tersebut. Meskipun keluarga pasien
menyatakan kehendaknya untuk melakukan euthanasia, namun pengadilan bisa saja
menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di Belanda, kata
Komariah, seorang keluarga pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak oleh
pengadilan walaupun akhirnya dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak ada
jalan lain, tidak lagi ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut
nyawanya melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses
tersebut.
Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau pihak yang
memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter, sehingga dokter tidak
bisa disebut malpraktik. Selain penetapan pengadilan, keterangan dari kejaksaan juga harus
diminta agar di kemudian hari negara tidak menuntut masalah euthanasia tersebut. Terlepas
dari masalah di atas, menurutnya hidup mati seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.
Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di
penghujung 2004, suami Ny. Agian mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun permohonan itu
ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, tindakan
euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi.
Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan euthanasia tidak
sewenang-wenang.

Euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia aktif dapat


dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak
mudah menjerat pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi.

BAB V
PENUTUP

5.1

KESIMPULAN
Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Contoh kasus euthanasia di Indonesia meliputi kasus Rudi Hartono dan kasus Panca
Satria Hasan Kusuma, kasus tersebut pada umumnya merupakan euthanasia yang diluar
keinginan pasien, pihak keluarga mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat namun tidak disetujui.
Dilihat dari sudut pandang etika dan moral euthanasia merupakan hal yang
melanggar etika dan perbuatan yang tidak bermoral. Prinsip etika yang sangat mendasar
ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya
dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan
lain. Dilihat dari sudut agama yang ada di Indonesia yaitu agama Buddha, Hindu, Islam
dan Katholik euthanasia merupakan perbuatan yang tidak diijinkan oleh agama.
Euthanasia juga melanggar HAM karena perbuatan euthanasia dapat menghilangkan
nyawa manusia itu artinya euthanasia melanggra hak manusia untuk hidup.
Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa adanya
tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga
keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas. Beberapa pasientidak dapat
menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan
yang terbaik bagi pasien itu. Orang lain disini tentu dimaksudkan orang yang paling dekat
dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.

Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang


melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dari sekian banyak nilai, kiranya jelas bahwa hidup merupakan nilai dasar. Tanpa
hidup banyak nilai lainnya menjadi tidak atau kurang berarti. Karena itu, hidup juga
merupakan nilai yang sangat tinggi, bahkan dalam arti tertentu juga nilai tertinggi di antara
nilai-nilai dunia fana. Martabat hidup manusia tidak berubah meskipun ia berada dalam
status vegetatif (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari
segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena
itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak
berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan
vegetatif=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.

5.2

SARAN
Euthanasia merupakan tindakan yang melanggar hukum dan etik kedokteran.
Diharapkan pemerintah menyususn dasar hukum tentang tindakan euthanasia lebih jelas,
dan dalam penerapannya pemerintah harus lebih tegas. Jika euthanasia merupakan hal yang
melanggar hukum, sebaiknya pihak yang terlibat harus ditindak tegas. Jangan sampai kasus
euthanasia menjadi alasan dan dijadikan kambing hitam dalam upaya untuk
menghilangkan nyawa orang lain (pasien).

DAFTAR PUSTAKA

Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta,hal. 144.
Rabdhan Purnama, Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana di Indonesia ( http
://euthanasia- ditinjau-dari-aspek-hukum.html ) (diakses terakhir : 24 Agustus 2014)
Visobar Bankulon. 2008. Euthanasia; Sebuah Dilema Abu-Abu Dunia Kedokteran.
http://www.in-christ.net/artikel/misi/euthanasia_sebuah_dilema_abuabu_dunia
kedokteran. (diakses terakhir : 24 Agustus 2014)
Kusmaryanto, CB., Moral Hidup, Diktat Kuliah Fakultas Teologi USD, Yogyakarta.
Peschke, Karl-Heinz, Etika Kristiani Jilid III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere:
Penerbit Ledalero, 2003.
Shannon, Thomas A., Pengantar Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Kubler-Ross, Lima Tahap Proses Terminal, Seri Pastoral 330 No 11, Yogyakarta: Pusat Pastoral
Yogyakarta, 2001.
Anonim.2010.Hukum Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran. http://www.scribd.com/doc/
26876842/Hukum-Euthanasia-Dan-Kode-Etik-Kedokteran,

(diakses

terakhir

24 Agustus 2014)
Hukum Online, 2004. Meski Tidak Secara Tegas Diatur, EuthanasiaTetap Melanggar KUHP.
Diakses dari : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol11197/meski-tidak-secarategas-diatur-ieuthanasiai-tetap-melanggar-kuhp (diakses terakhir : 24 Agustus 2014)

Anda mungkin juga menyukai