Anda di halaman 1dari 8

EUTHANASIA

A. Latar Belakang masalah


Dunia kedokteran yang dahulu seakan-akan tak terjangkau oleh hukum,
dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan tentang perlindungan
hukum, menjadikan dunia pengobatan bukan saja menimbulkan hubungan
keperdataan, bahkan sering berkembang yang akhirnya menjadi persoalan hukum
pidana. Ada dua masalah dalam bidang kedokteran yang berkaitan dengan aspek
hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu kewaktu.1
Pada hal sesungguhnya masalah ini dalam dunia kedokteran bisa disebut
sebagai masalah klasik, yaitu abortus provokatus dan euthanasia. Kedua masalah ini
sudah diingatkan oleh Hippokrates dalam sumpahnya.2 Persoalan menjelang akhir
kehidupan manusia juga semakin problematis dan dilematis, setelah teknologi
biomedis dapat merekayasa teknik-teknik perpanjangan hidup secara mekanik atau
teknologi respirator. Melalui teknik respirator, kematian pasien dapat ditunda untuk
jangka waktu tertentu.
Dengan demikian, masalah kematian seolah-olahhanya merupakan hasil
perhitungan teknologi biomedis belaka. Padahal, konsep kematian bukan hanya
fenomena-fenomena biomedis kedokteran, tetapi juga merupakan fenomena-
fenomena budaya, sosial, agama, dan kewajiban yang disertai dengan berbagai
peristiwa ritual yang kesemuanya sangat kukuh tertanam dalam setiap masyarakat.3
Membicarakan euthanasia eu (baik), thanatos (mati, mayat), sebenarnya tidak
lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of
determination) pada diri pasien. Hak ini merupakan salah satu unsur utama dari hak
asasi manusia dan karena itulah selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-
kemajuan cara berpikir masyarakat telah menimbulkan kesadaran-kesadaran baru
mengenai hak-hak tersebut demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan
teknologi khususnya dalam bidang kedokteran, telah mengakibatkan perubahan yang
sangat dramatis dan berarti atas pemahaman mengenai euthanasia.4

1
Hendrik, Etika dan hukum Kesehatan, (Jakarta: Buku kedokteran EGC, 2010), hal 100.
2
M.Yusup dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Penerbit: Jakarta, Buku Kedokteran
EGC, 1999)
3
Karyadi Petrus, Euthanasia dalam Perespektif Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), hal.
7
4
Hanafi M. Yusuf dan Amir Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC,
1999), hal 118.
Sejalan dengan perkembangan zaman, yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana hubungan antara euthanasia dengan hak-hak asasi manusia (HAM),
sebagaimana kita ketahui, HAM telah dan sedang menjadi isu internasional. HAM
pada dasarnya tidak saja menyangkut permasalahan politik, ekonomi, sosial, dan
budaya secara global/tetapi lebih dari pada itu HAM pada hakikatnya menyangkut
persoalan individu.5
Timbulnya permasalahan hak untuk mati ini disebabkan penderitaan pasien
yang tetap berkelanjutan, walau sekalipun di temukannya teknologi canggih, namun
penderitaan tidak dapat dihilangkan sama sekali. Penderitaan yang berkelanjutan ini
menyebabkan pasien atau keluarga pasien kadang-kadang tidak mampu untuk
menanggungnya baik moril maupun materil. Oleh karena itu, mungkin pasien ataupun
keluarganya menginginkan agar hidupnya diakhiri apabila sudah sampai pada klimaks
penderitaan yang tidak tertahankan lagi. Pengakhiran hidup pasien dapat dilakukan
dengan mencabut segala alat pembantu yang telah dipasang oleh dokter yang
merawatnya apakah melanggar Hak Asasi Manusia.6
B. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari Bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti indah, bagus, terhormat, atau gracefully and with dignity, sedangkan thanatos
berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan
baik (a good death). Seorang penulis Romawi yang bernama Suetonis, dalam bukunya
yang berjudul Vita Ceasarum, mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa
derita”.7 Ada beberapa jenis euthanasia. Yang pertama adalah euthanasia dilihat dari
cara dilaksanakannya dibagi menjadi dua:
a) Euthanasia Pasif
Perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang
perlu untuk mempertahankan hidup manusia.
b) Euthanasia Aktif
Perbuatan yang dilakukan secara medis melalui intervensi aktif oleh seorang
dokter atau perawat dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.
Euthanasia aktif ini masih dibedakan dalam dua hal:
5
Ahmad Ubbe, “Laporan AkhirTim Pengkajian Masalah Hukum Pelaksanaan Euthanasia”. (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Perundang-Undangan Rl, 2000)
6
Hanafi M. Yusuf dan Amir Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC,
1999), hal 119.
7
Yunanto Ari dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktek Medik Tinjauan dan Prespektif Medikolegal, (Yogyakarta:
C.V. Andi Offset, 2010), hal. 57
a) Euthanasia aktif langsung
Dilakukannya suatu tindakan medis secara terarah yang diperhitungkan akan
mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien yang dikenal
dengan mercy killing.
b) Euthanasia aktif tidak langsung
Dilakukannya tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun
mengetahui adanya risiko memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
Contohnya adalah pemberian obat penenang dalam jumlah yang terus
ditambahkan.
Euthanasia dilihat dari bagaimana mendapatkannya, yaitu:
a) Sukarela Euthanasia didapatkan dengan cara diminta oleh pasien sendiri
secara sukarela dan diminta berulang-ulang.
b) Bukan atas permintaan pasien Didapatkan karena permintaan keluarga pasien
karena pasien sudah tidak sadarkan diri dalam jangka waktu yang lama dan
tidak tahu kapan akan pulih kesadarannya. Jika dilihat dari tiap jenis
euthanasia ada aspek moral dan etika yang harus menjadi pertimbangan yang
mendalam, mengingat penentuan hidup dan mati tidak ditangan manusia
semata.8
C. Perkembangan euthanasia di berbagai negara
Perkembangan euthanasia di Belanda Pada tanggal 10 April 2001 Belanda
menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini
dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda
menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien
yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya. dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di
pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.9
Perkembangan euthanasia di Amerika Serikat Pada tahun 1973 mayoritas
orang Amerika Serikat (53 persen) berpendapat bahwa salah untuk memberikan hak
kepada seseorang pasien yang sakit berkepanjangan dan tidak punya harapan sembuh

8
Notoatmodjo Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. P.T. Rineka Cipta. Jakarta hal.146 .
9
Karyadi Petrus, Euthanasia dalam Perespektif Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), hal.
43
untuk melepaskan diri dari penderitaan. Riset ini dilakukan oleh Louis Harris and
Associates, seperti dituangkan dalam Inside America, 1987 (Editor, No. 8,1987: 54).
Pada tahun 1985, opini publik Amerika berubah drastis setelah pertanyaan
yang sama seperti tersebut diatas, 61 persen dari orang-orang yang duninta mengisi
angket menyatakan bahwa adalah benar memberikan hak untuk mati kepada pasien.
Hasil angket lainnya pada tahun 1973, menunjukkan bahwa 62 persen percaya bahwa
seseorang pasien yang sakit berkepanjangan dan terus menerus bergantung pada alat
penopang hidupnya mempunyai hak untuk minta kepada dokternya agar mencabut
alat penopang hidupnya dan membiarkannya mati.
Jumlah yang setuju atas hak pasien untuk mati ini kemudian menjadi 85
persen pada tahun 1985. Bila pasien dalam keadaan koma, tidak sadarkan diri dan
tidak ada tanda-tanda kesembuhan, maka berhakkah keluarga pasien memberi tahu
dokter untuk mencabut semua alat penopang hidupnya dan membiarkannya mati.
Ternyata jawabnya, pada tahun 1977 ada 66 persen orang Amerika setuju memberi
hak kepada keluarga pasien. Bahkan hasil angket pada tahun 1985 semakin
meningkat, yaitu menjadi 80 persen yang setuju.
Perkembangan di Korea Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang
mengatur tentang euthanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum
(yurisprudensi) yang di Korea dikenal dengan “Kasus rumah sakit Boramae” dimana
dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada
seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya.
Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan
diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun
kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti
kata euthanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa pada kasus tertentu dari
penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan euthanasia
pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian perawatan
terhadap dirinya.

D. Euthanasia menurut hukum para ulama dan hukum positif


1. Menurut Para Ulama
Esensi daripada dilakukan euthanasia ini adalah untuk meringankan
penderitaan si pasien yang telah mengalami penyakit menahun (akut) dan sudah
tipis harapan untuk sembuh. Di samping itu alasan-alasan yang dipertimbangkan
sehingga terjadi euthanasia adalah untuk dapat meringankan pula keluarga pasien
yang ditinggalkan apalagi kalau kehidupan mereka tergolong ekonomi lemah.
Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat
menentang dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang
menantang euthanasia ini, ada beberapa ulama yang mana mendukungnya.
Menurut pendapat para ulama, bahwa euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap
penderita penyakit menular apalagi kalau tidak bisa disembuhkan. Pendapat
Ibrahim Hosen ini disandarkan kepada suatu kaidah ushul fiqh: AlIrtifaqu Akhaffu
Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Jadi katanya, langkah ini
boleh dipilih karena ia merupakan pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama,
penderita mengalami penderitaan. Kedua, jika menular membahayakan sekali.
Artinya dia menjadi penyebab orang lain menderita karena tertular penyakitnya,
dan itu dosa besar. Dan beliau bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif tapi
juga euthanasia aktif.10
Sedangkan menurut Hasan Basri pelaksanaan euthanasia bertentangan, baik
dari sudut pandang agama, undang-undang, maupun etik kedokteran. Dan lebih
lanjut beliau menjelaskan bahwa persoalan hidup mati sepenuhnya hak Allah SWT.
Manusia tidak bisa mengambil hak Allah SWT itu.11
Menurut pendapatnya Syukron Makmun bahwa kematian itu merupakan
urusan dari Allah SWT, manusia tidak dapat mengetahui kapan kematian itu
menimpa dirinya. Soal sakit, menderita dan tidak kunjung sembuh itu adalah
qudratullah. Kewajiban kita hanya berikhtiar. Mempercepat kematian tidak
dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukanlah membunuh. Kalau
dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.12
Lalu bagaimana dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa Al-Irtifaqu
Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua mudlarat. Ataukah kaidah
ushul yang menyatakan Darurat membolehkan yang haram. Berdasarkan beberapa
pendapat ulama di atas dan juga pembahasan batasan-batasan darurat yang telah
10
Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM, dan Isuisu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, (Cet. I, Bandung: Pustaka
Hidayah. 1998), hlm. 180
11
Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:60
12
Majalah Amanah, No. 27, 16-29 Juni 1989:14
dijelaskan pada teori terdahulu, tidak ada ditemukan pendapat yang membenarkan
euthanasia ini. Dan menurut Hasan Basri sendiri kaidah itu sama sekali tidaklah
dibenarkan. Kaidah tersebut dengan sendirinya bisa saja gugur bila tidak dijumpai
dalil qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis. Lagi pula dalam Islam, hak dan
martabat manusia itu sangat dijunjung tinggi meskipun penderita misalnya banyak
mengundang mudarat atau tidak.13
Tokoh Islam di Indonesia, seperti Amir Syarifuddin bahwa euthanasia adalah
pembunuhan seseorang bertujuan menghilangkan penderitaan si sakit. Euthanasia
yang sering terjadi pada umumnya dalam dunia kedokteran misalnya tindakan
dokter dengan memberi obat atau suntikan.14 (Chuzaimah T. Yanggo, 1995: 61)
Para ulama telah sepakat bahwa apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa
euthanasia aktif, yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat
yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam
mengharamkannya.
2. Menurut Hukum Positif
Sejauh ini Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia.
Akan tetapi secara yuridis formal dalam hukum positif di Indonesia hanya dikenal
satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana dapat dipahami
dalam Pasal 344 KUHP bahwa “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.15
Mengacu pada ketentuan pasal tersebut, maka munculnya kasus permintaan
tindakan euthanasia masing-masing oleh Hasan Kusuma terhadap istrinya Ny.
Again dan Rudi Hartono terhadap istrinya Ny. Zulaeha. Akan tetapi secara
konseptual ia dikualifikasi sebagai non-voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis
formal (KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia,
sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi
(yang paling mungkin) untuk kedua kasus tersebut adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, secara tegas dinyatakan Barang

13
Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996:61
14
Chuzaimah T., Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. II, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
1995), hlm. 61
15
Henny Said flora, Euthanasia Dalam Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Kesehatan, (Medan: FH
Universitas Katolik Santo Thomas, Vol.02, No.02, 2022) hlm. 82-86
siapa sengaja merampas nyawa orang lain karena salah telah melakukan
pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Atau pembunuhan berencana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 340 KUHP
dinyatakan Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun.16
Hubungan hukum dokter-pasien dapat pula dikaji dari sudut perdata, yakni
berkaitan dengan perjanjian/perikatan yang diatur dalam pasal-pasal 1313, 1314,
1315, 1319, dan 1320 KUHP Perdata. Pasal 1320, misalnya, mengatur mengenai
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, antara lain: kemauan (yang bebas
tentunya) dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Selain itu, harus
diingat pula adanya pasal 351 KUHP. Dalam pengertian pasal 351 KUHP ini, suatu
tindakan yang dilakukan terhadap pasien tanpa izin, dapat dikategorikan sebagai
penganiayaan. Menurut Leenen, kasus demikian disebut sebagai pseudo-euthanasia
(tindakan melepaskan alat penunjang hidup yang dilakukan oleh dokter atau tenaga
medis lainnya terhadap pasien mati batang otak, digolongkan sebagai Pseudo-
Euthanasia) dan secara hukum tidak dapat diterapkan sebagai euthanasia. Dalam
bahasa Indonesia, mungkin istilah yang tepat adalah euthanasia semu. Bentuk-
bentuk pseudo-euthanasia sebagaimana diuraikan oleh Leenen, adalah:17
a) Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati otak atau batang otak.
Dahulu, berakhirnya pernafasan dan detak jantung merupakan gejala utama
yang menentukan kematian seseorang. Akan tetapi, dengan perkembangan
kedokteran yang sangat pesat, kini telah dibedakan antara mati klinis dan mati
vegetatif (yakni mati yang sebenarnya atau true death).
b) Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya. Sebagaimana
telah disinggung di depan, KUH Perdata telah mengatur tentang perikatan atau
perjanjian. Demikian juga dengan syarat-syarat sahnya perjanjian. Salah satu
syarat yang harus dipenuhi, menurut Pasal 1320 KUH Perdata ialah kehendak
bebas. Artinya, perjanjian atau perikatan itu bebas dari paksaan, tipuan, atau
salah pengertian. Selain itu, suatu tindakan yang dilakukan tanpa izin pasien

16
Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 143
17
Chrisdiono dan M.Achadiat, Pernik-Pernik Hukum Kedokteran, (Jakarta: Widya Medika, 2000), hlm. 2-3
dapat dikategorikan sebagai penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal
351 KUHP.
c) Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan
(force majeure). Keadaan ini sebenarnya telah diatur dalam Pasal 48 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana. Misalnya, di suatu RS hanya ada dua buah alat bantu nafas
(respirator) yang telah terpakai oleh pasien yang membutuhkan. Jika kemudian
datang pasien ketiga yang juga memerlukan respirator tersebut, dokter harus
memilih kepada siapa respirator itu dipasang. Harus diingat bahwa dokter
tidak berhak melepaskan respirator dari kedua pasien pertama tanpa izin yang
bersangkutan. Seandainya pasien ketiga meninggal karena tidak mendapat
respirator, dokter tidak mungkin disalahkan karena ia berada dalam situasi
darurat dan tidak melakukan sesuatu tindakan yang dapat dihukum.
d) Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medik yang diketahui tidak ada
gunanya lagi. Bagaimanapun juga, ilmu kedokteran tetap mempunyai batas.
Hal ini erat hubungannya dengan kompetensi seorang dokter. Sesuatu yang
berada di luar batas ilmu kedokteran, bukan merupakan kewenangan dokter
untuk menanganinya. Bagi dokter yang bekerja di luar kompetensinya dan
apalagi tanpa izin pasien, maka dapat dikatakan ia telah melakukan
penganiayaan terhadap pasien.

Anda mungkin juga menyukai