Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Keperawatan merupakan suatu bentuk asuhan yang ditujukan untuk kehidupan orang
lain sehingga semua aspek keperawatan mempunyai komponen etika. Pelayanan
keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan, maka permasalahan etika
kesehatan menjadi permasalahan etika keperawatan pula.
Saat ini masalah yang berkaitan dengan etika telah menjadi masalah utama
disamping masalah hukum, baik bagi pasien, masyarakat maupun pemberi asuhan
kesehatan. Masalah etika menjadi semakin kompleks karena adanya kemajuan ilmu dan
tehnologi yang secara dramatis dapat mempertahankan atau memperpanjang hidup
manusia. Pada saat yang bersamaan pembaharuan nilai sosial dan pengetahuan masyarakat
menyebabkan masyarakat semakin memahami hak-hak individu, kebebasan dan
tanggungjawab dalam melindungi hak yag dimiliki. Adanya berbagai faktor tersebut sering
sekali membuat tenaga kesehatan menghadapi berbagai dilema. Setiap dilema
membutuhkan jawaban dimana dinyatakan bahwa sesuatu hal itu baik dikerjakan untuk
pasien atau baik untuk keluarga atau benar sesuai kaidah etik.
Berbagai permasalahan etik yang dihadapi oleh perawat telah menimbulkan
konflik antara kebutuhan pasien (terpenuhi hak) dengan harapan perawat dan falsafah
keperawatan. Contoh nyata yang sering dijumpai dalam praktek keperawatan adalah
euthanasia, penolakan tindakan transfusi darah, dan penolakan transplantasi organ.
Menghadapi dilema semacam ini diperlukan penanganan yang melibatkan seluruh
komponen yang berpengaruh dan menjadi support system bagi pasien.
Dokter dan perawar merasa mempunyai tanggung jawab untuk membantu
menyembuhkan penyakit pasien, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai
hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka
mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam
dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan
kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas tentang praktik euthanasia
yang mana melalnggar etika dalam keperawatan dan penyelesaiannya dengan pendekatan
proses keperawatan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari euthanasia?
2. Bagaimana klasifikasi euthanasia?
3. Bagaimana Euthanasia menurut hukum dan agama?
4. Apa Hak Pasien dalam kasus Euthanasia?
5. Apa Kewajiban Perawat dalam kasus Euthanasia?
6. Apa contoh kasus Euthanansia dan menanganannya?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk mengetahui definisi euthanasia
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari euthanasia
3. Untuk mengetahui Euthanasia menurut hukum dan agama
4. Untuk mengetahui hak Pasien dalam kasus Euthanasia
5. Untuk mengetahui kewajiban perawat dalam kasus Euthanasia
6. Untuk mengetahui contoh kasus Euthanasia dan penanganannya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Euthanasia

Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, eu (mudah, bahagia, baik) dan thanatos
(meninggal dunia) sehingga diartikan meninggal dunia dengan baik atau bahagia. Pada
hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang
disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien.
Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai
hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi
(khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas
pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat
ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum
kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa
kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan
kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
Menurut Oxfort English Dictionary eutanasia berarti tindakan untuk mempermudah
mati dengan tenang dan mudah. Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan
tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita
penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. Di dunia etik
kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam
bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati
cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda)
menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk
kepentingan pasien itu sendiri”.

2.2 Klasisfikasi Euthanasia

Ditinjau dari cara pelaksanaannya Euthanasia dibagi menjadi :

a. Euthanasia aktif (euthanasia agresif) adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat
keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan
yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah.
- Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter
yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
b. Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara
dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
- Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada
harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang
jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
c. Eutanasia non agresif atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)
yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara
tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui
bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-
eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
2.3 Euthanasia Menurut Hukum dan Agama

- Pandangan Agama Tentang Euthanasia


Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia
ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun
alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan
yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh
penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan
putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada
seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan
apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari
pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa
menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi
penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan
mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai
upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat
dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering
menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum
hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi
pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka
dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

- Pandangan Hukum Indonesia Tentang Euthanasia

- Euthanasia di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari
ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat
pada pasal 344 KUHP.
 Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini
perlu diketahui oleh dokter.
 Pasal 338 KUHP
Barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati,
dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
 Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, di hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman
mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.
 Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
 Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.

2.4 Hak Pasien Dalam Kasus Euthanasia

Penghormatan hak pasien untuk penentuan nasib sendiri masih memerlukan


pertimbangan dari seorang dokter terhadap pengobatannya. Hal ini berarti para dokter harus
mendahulukan proses pembuatan keputusan yang normal dan berusaha bertindak sesuai
dengan kemauan pasien sehingga keputusan dapat diambil berdasarkan pertimbangan yang
matang.Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan nasibnya tanpa
adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberikan informasi yang cukup sehingga
keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas. Beberapa pasien tidak dapat
menentukan pilihan pengobatan sehingga harus orang lain yang memutuskan apa tindakan
yang terbaik bagi pasien itu. Orang lain disni tentu dimaksudkan orang yang paling dekat
dengan pasien dan dokter harus menghargai pendapat-pendapat tersebut.
Di bawah ini merupakan beberapa hak individu yang akan meninggal, antara lain:
1. Hak diperlakukan sebagaimana manusia hidup sampai ajal tiba
2. Hak untuk mempertahankan harapananya, tidak peduli apapun perubahan yang terjadi
3. Hak untuk mengekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan dengan kematian
yang sedang dihadapinya sesuai dengan kepercayaannya.
4. Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan
perawatannya
5. hak untuk memperoleh perhatian dalam pengobatan dan perawatan secara
berkesinambunagn walaupun tujuan penyembuhannya harus diubah menjadi tujuan
memberikan rasa nyama.
6. Hak untuk tidak meninggal dalam kesendirian
7. Hal untuk bebas dari rasa sakit
8. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya secara jujur
9. Hak untuk memperoleh bantuan dari perawat atau medis untuk keluarga yang ditinggal
agar dapat menerima kematiannya
10. Hak untuk meninggal dalam keadaan damai dan bermartabat
11. Hak untuk tetap dalam kepercayaan atau agamanya dan tidak diambil keputusan yang
bertentang dengan kepercayaan yang dianutnya
12. Hak untuk memperdalam dan meningkatkan kepercayaannya, apapun artinya bagi
orang lain
13. Hak untuk mengharapkan bahwa kesucian raga manusia akan dihormati setelah yang
bersangkutan meninggal.

2.5 Kewajiban Perawat Dalam Kasus Euthanasia

a. Memfasilitasi klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya


b. Membantu proses adaptasi klien terhadap penyakit / masalah yang sedang
dihadapinya.
c. Mengoptimalkan system dukungan
d. Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah
yang telah dihadapi.
e. Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa sesuai
dengan keyakinannya.
2.6 Contoh kasus Euthanasia dan penanganannya
KASUS 1

Seorang laki-laki usia 65 tahun menderita kanker kolon terminal dengan metastase yang
telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi dibawa ke IGD karena jatuh dari kamar
mandi dan menyebabkan robekan di kepala. laki-laki tersebut mengalami nyeri abdomen dan
tulang dan kepala yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis
morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri
bertambah hebat saat laki-laki itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur namun
ia sering meminta diberikan obat analgesik. Kondisi klien semakin melemah dan mengalami
sesak yang tersengal-sengal sehingga mutlak membutuhkan bantuan oksigen dan berdasar
diagnosa dokter, klien maksimal hanya dapat bertahan beberapa hari saja.
Melihat penderitaan pasien yang terlihat kesakitan dan mendengar informasi dari dokter,
keluarga memutuskan untuk mempercepat proses kematian pasien melalui euthanasia pasif
dengan pelepasan alat-alat kedokteran yaitu oksigen dan obat obatan lain dan dengan keinginan
agar dosis analgesik ditambah. Dr spesilalist onkologi yang ditelp pada saat itu memberikan
advist dosis morfin yang rendah dan tidak bersedia menaikan dosis yang ada karena sudah
maksimal dan dapat bertentangan dengan UU yang ada. Apa yang seharusnya dilakukan oleh
anda selaku perawat yang berdinas di IGD saat itu menghadapi desakan keluarga yang terus
dilakukan?.

Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma).
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan
atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam
dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang
harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan pemecahan
dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan
/ pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).

Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :
1. Mengembangkan data dasar
2. Mengidentifikasi konflik
3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat
5. Mendefinisikan kewajiban perawat
6. Membuat keputusan

- PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK

1. Mengembangkan data dasar :


Mengembangkan data dasar disini adalah dengan mencari lebih lanjut informasi yang
ada mengenai dilema etik yang sedang dihadapi. Mengembangkan data dasar melalui :
a) Menggali informasi lebih dalam terhadap pihak pihak yang terlibat meliputi : Klien,
keluarga dokter, dan perawat.
b) Identifikasi mengenai tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan keluarga
untuk melepas alat bantu nafas atau juga untuk memberikan penambahan dosis
morphin.
c) Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien dan tidak
melanggar peraturan yang berlaku.
d) Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak menuruti keluarga untuk melepas
alat bantu nafas dan tidak diberikan penambahan dosis morphin, klien dan
keluarganya menyalahkan perawat karena dianggap membiarkan pasien menderita
dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan di IGD mereka bisa
menuntut ke rumah sakit.

2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :

Penderitaan klien dengan kanker colon yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri
yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Keluarga meminta
penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya dan memutuskan
untuk tidak memberikan alat bantu apapun termasuk oksigen, Keluarga mendukung keinginan
klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah :
a) Tidak memberikan Oksigen dan penambahan dosis pemberian morphin dapat
mempercepat kematian klien yang berarti melanggar prinsip etik Beneficience-
Nonmaleficience
b) Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien yang
dapat melanggar nilai autonomy.

3. Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi


tindakan tersebut
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri dan
melepaskan oksigen.

Konsekuensi :

1) Tidak mempercepat kematian klien


2) Membiarkan Klien meninggal sesuai proses semestinya
3) Tidak melanggar peraturan mengenai pemberian morfin
4) Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
5) Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
6) Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut

b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.

Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian pasien
2) Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan
ambang nyeri)
3) Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi

c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan
apabila diperlukan.
d.
Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat
cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
5) Beresiko melanggar peraturan yang berlaku.

e. Tidak menuruti keinginan keluarga dan membantu keluarga dalam proses berdukanya.

Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian klien
2) Keluarga dapat melewati proses berduka dengan seharusnya
3) Keluarga tidak menginginkan dilakuakn euthanasia terhadap pasien

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :

Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang
secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu
didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan
dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat
keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam
asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan
mekanisme koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga serta
sistem berduka keluarga dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat :

1) Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri yang sesuai


2) Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri
3) Mengoptimalkan sistem dukungan keluarga untuk pasien
4) Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan keyakinannya
5) Membantu Keluarga untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif
terhadap masalah yang sedang dihadapi
6) Memfasilitasi sistem berduka keluarga dengan memberikan support.

6. Membuat keputusan

Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-
masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling
menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu
dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau
meditasi) beserta perbaikan terhadap sistem berduka keluarga dan kemudian dievaluasi
efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak
efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya
akan dilaksanakan.
Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun dapat
mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia
aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari
euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan euthanasia pasif bertujuan
untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak
pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian
klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas
kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak
dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu. Upaya untuk mengurangi
penderitaan nyeri klien mungkin akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari
tindakan adalah untuk mengurangi nyeri dan penderitaan klien.
KASUS 2
Seorang ibu Ny.T, umur 36 tahun, diantar oleh tenaga kesehatan ke RS. C, klien melahirkan
anak pertama, ibu dilakukan tindakan operasi ceaser oleh dokter. Pada saat operasi tiba-tiba TD
menurun, dokter memberikan obat untuk meningkatkan TD, tapi kondisi klien malah sebaliknya,
kesadaran menurun, keadaan umum memburuk dan akhirnya klien dirawat di ruangan ICU, bayi
klien selamat. Saat ini sudah lebih 1 bulan klien di ICU dengan diagnosa Braindeath. Keluarga
tidak sanggup membayar biaya perawatan dan keluarga meminta tindakan euthanasia saja.

PERTANYAAN:

1. Apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga, tenaga kesehatan dan dokter dalam kasus ini?
2. Bagaimana peran masing-masing profesi jika dikaitkan dengan etik dan hukum dalam kasus
tersebut?
3. Siapa yang memegang peranan penting?
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak mamutuskannya? Berikan alasan!

JAWABAN:

1. Hal yang seharusnya dilakukan oleh:


- Keluarga

Tindakan euthanasia yang diminta oleh keluarga adalah hak pasien dan keluarga, tetapi
sebaiknya pasien atau keluarga tidak meminta tindakan euthanasia tersebut.

- Tenaga kesehatan dan Dokter

Menolak permintaan pasien atau keluarga terhadap tindakan euthanasia tersebut.


Dari segi agama kematian adalah semata-mata hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya.
Dari segi hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah
seiring dengan perubahan norma-norma budaya, di beberapa negara euthanasia di anggap legal,
sedangkan di negara lain di anggap melanggar hukum. Di negara maju seperti Amerika Serikat,
Belanda di akui hak untuk mati walaupun tidak mutlak. Dalam keadaan tertentu euthanasia
diperbolehkan untuk dilakukan di Amerika S erikat, namun di Indonesia masalah euthanasia tetap
di larang.
2. Peran masing-masing profesi:
- Peran perawat

Memberikan asuhan keperawatan seoptimal dan semaksimal mungkin dan tidak melakukan
tindakan yang mengarah kepada tindakan euthanasia, seperti: melepas alat ventilator, melepas
selang oksigen, dll.

- Peran dokter

Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan perkembangan kesehatan
pasien tersebut.

3. Yang memegang peranan penting:

Dokter, perawat dan tenaga kesehatn lainnya memegang peranan penting dalam pengambilan
keputusan, akan tetapi keluarga adalah penentu dan pemegang peranan yang paling penting dalam
pengambilan keputusan tersebut. Dokter memberikan masukan kepada keluarga untuk memikirkan
kembali niatnya meminta tindakan euthanasia, sebabajal ada di tangan Tuhan. Bisa jadi keadaan
pasien sekarang yang berada di ruangan ICU dengan dilakukannya perawatan secara intensif maka
akan mengalami kemajuan secara perlahan – lahan dalam pemulihan kesehatannya.

4. Solusi yang dilakukan:

Memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa tindakan euthanasia itu di larang di Indonesia,
jika masalah pasien adalah biaya perawatan, masalah tersebut bisa di cari solusinya. Seperti,
meminta bantuan ke Dinas Sosial untuk mendapatkan jaminan kesehatan.

Pertanyaan:
1. Apakah ada unsur kelalaian dalam kasus euthanasia?
2. Apakah ada tindakan malpraktek?
3. Bagaimana tindakan yang professional?

Jawaban:
- Tidak ada unsur kelalaian dan malpraktek karena karena selama operasi berlangsung sudah
sesuai dengan standar operasional prosedur SC, tenaga kesehatan sudah melakukan
tindakan medis yang benar pada saat kondisi pasien menurun dengan memberikan obat
untuk menaikkan tekanan darah. Tetapi kondisi pasien tidak juga membaik dan akhirnya
pasien di kirim ke ICU.
- Dalam kasus ini perawat mempunyai peran dalam memberikan asuhan keperawatan. Peran
advokat (pelindung) serta sebagai counselor yaitu membela dan melindungi pasien tersebut
untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian.
- Perawat diharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada keluarga
pasien bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan
tidak melakukan euthanasia.
- Perawat hendaknya menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar
dalam hal mencari sumber biaya yang lain seperti melalui BAZDA, DINAS SOSIAL,
JAMKESDA, JAMKESMAS dll.
- Perawat berusaha menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga kesehatan lain dan
keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi yang sejelas- jelasnya tentang
kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa besar biaya yang
telah dan akan dikeluarkan.
- Perawat memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada keluarga dalam
hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny. T atau dilakukannya
euthanasia pasif.
- Perawat tetap memberikan perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar
pasien selama perawatan di ICU.
- Membantu keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah
Sakit.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, eu (mudah, bahagia, baik) dan thanatos (meninggal
dunia) sehingga diartikan meninggal dunia dengan baik atau bahagia. Ditinjau dari cara
pelaksanaannya Euthanasia dibagi menjadi :

a. Euthanasia aktif
b. Euthanasia pasif
c. Auto-Euthanasia

Menurut pandangan Agama Tentang Euthanasia, Kelahiran dan kematian merupakan


hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Berdasarkan hukum di Indonesia
maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada
peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359. Dalam
kasus euthanasia pasien memiliki hak, dan Perawat memiliki kewajiban dalam kasus
euthanasia yang harus dilaksanakan.

3.2 Saran
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini,
perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :

1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak
memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap
terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :

a. Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.

b. Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya,


apalagi menghendaki kematiannya.

2. Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang
segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah.
3. Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah
jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa
dihindari.

Tambahan macam-macam euthanasia

1. Euthanasia volunter

Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian
atas permintaan sendiri.

2. Euthanasia involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan
tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap
famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini
sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.

Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang
lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi
seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain
euthanasia secara garis besarnya, yaitu:

1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa


memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang
bersangkutan dapat mati dengan "baik".

2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek
samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk
pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto"
dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.[3]

3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan


pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau
bahkan bertentangan dengan pasien.

4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan


pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas
keputusan pemerintah.[4]
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2008.Euthanasia dalam Medis dan Pidana. http://www.lawskripsi.com/index.php?


option=com_content&view=article&id=97&Itemid=97, diakses 3 Agustus 2010

Anonim.2010.Hukum Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran. http://www.scribd.com/doc/


26876842/Hukum-Euthanasia-Dan-Kode-Etik-Kedokteran, diakses 3 Agustus 2010

Anonim.2009.Euthanasia. http://mytaste.wordpress.com/euthanasia/, diakses 2 Agustus 2010

Iwan.2004.Seputar Euthanasia. http://www.mentaritimur.com/mentari/oct04/euthanasia.htm,


diakses 3 Agustus 2010

Lebaron.Garn.2010.The Etics of Euthanasia. http://www.quantonics.com/The_Ethics_of_


Euthanasia_ By_Garn_LeBaron.html, diakses 2 Agustus 2010

Anda mungkin juga menyukai