PENDAHULUAN
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, eu (mudah, bahagia, baik) dan thanatos
(meninggal dunia) sehingga diartikan meninggal dunia dengan baik atau bahagia. Pada
hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang
disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien.
Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai
hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi
(khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas
pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat
ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum
kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa
kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan
kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
Menurut Oxfort English Dictionary eutanasia berarti tindakan untuk mempermudah
mati dengan tenang dan mudah. Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan
tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita
penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. Di dunia etik
kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik”. Di dalam
bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati
cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda)
menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu
untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk
kepentingan pasien itu sendiri”.
a. Euthanasia aktif (euthanasia agresif) adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat
keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan
yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah.
- Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter
yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
b. Euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara
dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan
terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
- Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada
harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang
jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
c. Eutanasia non agresif atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)
yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara
tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui
bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-
eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
2.3 Euthanasia Menurut Hukum dan Agama
- Euthanasia di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari
ketentuan tersebut, ketentuan yang berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat
pada pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini
perlu diketahui oleh dokter.
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dngan sengaja menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati,
dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, di hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman
mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua
puluh tahun.
Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.
Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara
selama-lamanya empat tahun penjara.
Seorang laki-laki usia 65 tahun menderita kanker kolon terminal dengan metastase yang
telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi dibawa ke IGD karena jatuh dari kamar
mandi dan menyebabkan robekan di kepala. laki-laki tersebut mengalami nyeri abdomen dan
tulang dan kepala yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis
morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri
bertambah hebat saat laki-laki itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur namun
ia sering meminta diberikan obat analgesik. Kondisi klien semakin melemah dan mengalami
sesak yang tersengal-sengal sehingga mutlak membutuhkan bantuan oksigen dan berdasar
diagnosa dokter, klien maksimal hanya dapat bertahan beberapa hari saja.
Melihat penderitaan pasien yang terlihat kesakitan dan mendengar informasi dari dokter,
keluarga memutuskan untuk mempercepat proses kematian pasien melalui euthanasia pasif
dengan pelepasan alat-alat kedokteran yaitu oksigen dan obat obatan lain dan dengan keinginan
agar dosis analgesik ditambah. Dr spesilalist onkologi yang ditelp pada saat itu memberikan
advist dosis morfin yang rendah dan tidak bersedia menaikan dosis yang ada karena sudah
maksimal dan dapat bertentangan dengan UU yang ada. Apa yang seharusnya dilakukan oleh
anda selaku perawat yang berdinas di IGD saat itu menghadapi desakan keluarga yang terus
dilakukan?.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma).
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan
atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam
dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang
harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan pemecahan
dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan
/ pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).
Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :
1. Mengembangkan data dasar
2. Mengidentifikasi konflik
3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat
5. Mendefinisikan kewajiban perawat
6. Membuat keputusan
Penderitaan klien dengan kanker colon yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri
yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Keluarga meminta
penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya dan memutuskan
untuk tidak memberikan alat bantu apapun termasuk oksigen, Keluarga mendukung keinginan
klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah :
a) Tidak memberikan Oksigen dan penambahan dosis pemberian morphin dapat
mempercepat kematian klien yang berarti melanggar prinsip etik Beneficience-
Nonmaleficience
b) Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien yang
dapat melanggar nilai autonomy.
Konsekuensi :
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian pasien
2) Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan
ambang nyeri)
3) Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan
apabila diperlukan.
d.
Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat
cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
5) Beresiko melanggar peraturan yang berlaku.
e. Tidak menuruti keinginan keluarga dan membantu keluarga dalam proses berdukanya.
Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian klien
2) Keluarga dapat melewati proses berduka dengan seharusnya
3) Keluarga tidak menginginkan dilakuakn euthanasia terhadap pasien
Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang
secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu
didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan
dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat
keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam
asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan
mekanisme koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga serta
sistem berduka keluarga dan lain-lain.
6. Membuat keputusan
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-
masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling
menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu
dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau
meditasi) beserta perbaikan terhadap sistem berduka keluarga dan kemudian dievaluasi
efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak
efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya
akan dilaksanakan.
Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun dapat
mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia
aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari
euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan euthanasia pasif bertujuan
untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak
pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian
klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas
kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak
dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu. Upaya untuk mengurangi
penderitaan nyeri klien mungkin akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari
tindakan adalah untuk mengurangi nyeri dan penderitaan klien.
KASUS 2
Seorang ibu Ny.T, umur 36 tahun, diantar oleh tenaga kesehatan ke RS. C, klien melahirkan
anak pertama, ibu dilakukan tindakan operasi ceaser oleh dokter. Pada saat operasi tiba-tiba TD
menurun, dokter memberikan obat untuk meningkatkan TD, tapi kondisi klien malah sebaliknya,
kesadaran menurun, keadaan umum memburuk dan akhirnya klien dirawat di ruangan ICU, bayi
klien selamat. Saat ini sudah lebih 1 bulan klien di ICU dengan diagnosa Braindeath. Keluarga
tidak sanggup membayar biaya perawatan dan keluarga meminta tindakan euthanasia saja.
PERTANYAAN:
1. Apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga, tenaga kesehatan dan dokter dalam kasus ini?
2. Bagaimana peran masing-masing profesi jika dikaitkan dengan etik dan hukum dalam kasus
tersebut?
3. Siapa yang memegang peranan penting?
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak mamutuskannya? Berikan alasan!
JAWABAN:
Tindakan euthanasia yang diminta oleh keluarga adalah hak pasien dan keluarga, tetapi
sebaiknya pasien atau keluarga tidak meminta tindakan euthanasia tersebut.
Memberikan asuhan keperawatan seoptimal dan semaksimal mungkin dan tidak melakukan
tindakan yang mengarah kepada tindakan euthanasia, seperti: melepas alat ventilator, melepas
selang oksigen, dll.
- Peran dokter
Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyakit dan perkembangan kesehatan
pasien tersebut.
Dokter, perawat dan tenaga kesehatn lainnya memegang peranan penting dalam pengambilan
keputusan, akan tetapi keluarga adalah penentu dan pemegang peranan yang paling penting dalam
pengambilan keputusan tersebut. Dokter memberikan masukan kepada keluarga untuk memikirkan
kembali niatnya meminta tindakan euthanasia, sebabajal ada di tangan Tuhan. Bisa jadi keadaan
pasien sekarang yang berada di ruangan ICU dengan dilakukannya perawatan secara intensif maka
akan mengalami kemajuan secara perlahan – lahan dalam pemulihan kesehatannya.
Memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa tindakan euthanasia itu di larang di Indonesia,
jika masalah pasien adalah biaya perawatan, masalah tersebut bisa di cari solusinya. Seperti,
meminta bantuan ke Dinas Sosial untuk mendapatkan jaminan kesehatan.
Pertanyaan:
1. Apakah ada unsur kelalaian dalam kasus euthanasia?
2. Apakah ada tindakan malpraktek?
3. Bagaimana tindakan yang professional?
Jawaban:
- Tidak ada unsur kelalaian dan malpraktek karena karena selama operasi berlangsung sudah
sesuai dengan standar operasional prosedur SC, tenaga kesehatan sudah melakukan
tindakan medis yang benar pada saat kondisi pasien menurun dengan memberikan obat
untuk menaikkan tekanan darah. Tetapi kondisi pasien tidak juga membaik dan akhirnya
pasien di kirim ke ICU.
- Dalam kasus ini perawat mempunyai peran dalam memberikan asuhan keperawatan. Peran
advokat (pelindung) serta sebagai counselor yaitu membela dan melindungi pasien tersebut
untuk hidup dan menyelamatkan jiwanya dari ancaman kematian.
- Perawat diharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada keluarga
pasien bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan
tidak melakukan euthanasia.
- Perawat hendaknya menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar
dalam hal mencari sumber biaya yang lain seperti melalui BAZDA, DINAS SOSIAL,
JAMKESDA, JAMKESMAS dll.
- Perawat berusaha menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga kesehatan lain dan
keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi yang sejelas- jelasnya tentang
kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa besar biaya yang
telah dan akan dikeluarkan.
- Perawat memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada keluarga dalam
hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny. T atau dilakukannya
euthanasia pasif.
- Perawat tetap memberikan perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar
pasien selama perawatan di ICU.
- Membantu keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah
Sakit.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, eu (mudah, bahagia, baik) dan thanatos (meninggal
dunia) sehingga diartikan meninggal dunia dengan baik atau bahagia. Ditinjau dari cara
pelaksanaannya Euthanasia dibagi menjadi :
a. Euthanasia aktif
b. Euthanasia pasif
c. Auto-Euthanasia
3.2 Saran
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini,
perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak
memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap
terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :
2. Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang
segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah.
3. Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah
jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa
dihindari.
1. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian
atas permintaan sendiri.
2. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan
tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap
famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini
sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang
lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi
seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain
euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek
samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk
pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto"
dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.[3]