LATAR BELAKANG
Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat dalam peradaban manusia, hal
ini bertujuan untuk kemanfaatan kehidupan dan kepentingan umat manusia dengan
segala konsekuensi terhadap kesehatan.
Salah satu kemajuan ilmu didalam peradaban manusia yaitu kemajuan ilmu
kedokteran.
Pengetahuan
kedokteran
dapat
memperkirakan
kemungkinan
ataupun
pengurangan
penderitaan,
apakah
seseorang
boleh
mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? apabila segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia atau bahkan dapat dituduhkan suatu kebohongan,
karena disamping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret
dalam pengurasan dana yang banyak atau bahkan lebih berbahaya jika dibiarkan
karena penyakit yang diderita adalah penyakit yang menular penyakit AIDS
misalnya.yang menderita penyakit yang tidak dapat di sembuhkan, tindakan
eutahasia ini dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya.
Kontroversi menyangkut euthanasia tidak saja santer didiskusikan
dikalangan dunia medis, tapi telah merambah kemana-mana. Di Amerika, Dr. Jack
Kevorkian yang keluar masuk pengadilan akibat tekadnya untuk tidak saja
membenarkan euthanasia, tapi bahkan melakukannya secara terbuka, menambah
semaraknya kontroversi yang diliput secara luas oleh media massa.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya tidak memperbolehkan
Euthanasia, demikian juga dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Euthanasia SUHERMI YENTI | 1
Di dalam Al-Quran Surat Al-Mulk ayat 2 diingatkan bahwa hidup dan mati
ialah di tangan Tuhan yang Ia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan
manusia terhadap Tuhan, Penciptanya.
Adapun bunyi dari Surat Al-Mulk ayat 2 adalah :
Artinya : Yang menjadikan mati dan hidup. Supaya Dia menguji kamu. Siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa Lagi
Maha Pengampun.
Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik,
sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum
mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa derita(dikutip dari 5).
Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan
peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan
pertolongan dokter.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Jenis-Jenis Euthanasia Dari Cara Dilaksanakannya :
1. Dilihat dari cara dilaksanakannya euthanasia dapat dibedakan atas
a. Euthanasia pasif
Di mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau melanjutkan
bantuan medik. Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter
menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara
medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian
pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak
efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,
yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang
menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat
tinggi (Utomo, 2003:176).
b. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut.
Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah
atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis
sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan
mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
Euthanasia aktif baik secara langsung atau tidak langsung, dimana
dokter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup
pasien.
Contoh euthanasia aktif, misalnya :
Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
Euthanasia SUHERMI YENTI | 4
koma
selama
tiga
bulan
dan
dalam
hidupnya
Adanya hal moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang
C. PANDANGAN MEDIS
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos dalam bentuk tunggal
yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari
ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan. Lebih lanjut, disimpulkan bahwa :
etika adalah sama dengan akhlak, yaitu pemahaman tentang apa yang baik dan apa
yang buruk, serta pemahaman tentang hak dan kewajiban orang. Etika sebagai
kajian ilmu membahas tentang moralitas atau tentang manusia terkait dengan
perilakunya terhadap makhluk lain dan sesama manusia.
Etika atau ethic memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku
manusia dalam pengambilan keputusan moral. Berdasarkan pengertian di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa etika merupakan suatu aturan yang mengatur
tingkah laku dalam bermasyarakat sehingga bisa membedakan apa yang baik dan
apa yang buruk serta mana yang hak dan mana kewajiban.
Secara garis besar etika dikelompokkan menjadi dua, yaitu etika umum dan
etika khusus. Etika umum merupakan aturan bertindak secara umum dalam
kelompok masyarakat tertentu. Etika khusus, yang selanjutnya berkembang menjadi
etika profesi adalah aturan bertindak pada kelompok-kelompok masyarakat yang
bersifat khusus, yakni kelompok profesi. Tujuan dari etika profesi ini adalah agar
tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan profesi. Oleh karena itu, etika
profesi ini harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap orang yang menjalankan profesi
tertentu, misalnya seorang dokter yang harus tunduk dan taat pada Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan
keahliannya yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya
serta perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam Pasal
2 Kode Etik Kedokteran, yaitu seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Standar
profesi tertinggi yang dimaksud adalah melakukan profesi sesuai dengan ilmu
pengetahuan kedokteran yang mutakhir atau sesuai dengan perkembangan IPTEK
kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama.
Pendidikan kedokteran mutakhir yang dimaksud di atas adalah sesuai
dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran, yaitu setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktek wajib mengikuti
Euthanasia SUHERMI YENTI | 6
D. PANDANGAN ISLAM
Dalam
bahasa
Arab,
Euthanasia
dikenal
dengan
istilah qatl
ar-
sunnah (mandb), bukan wajib (Zallum, 1998: 69), termasuk dalam hal ini
memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang
membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk
di atas kuburan !
Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai
kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan
menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya
orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan
membedah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau
memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh
dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan
mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbuatan
ini haram dilakukan terhadap mayat. Hanya saja penganiayaan terhadap mayat
dengan memecahkan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada
denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup.
Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap
seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu
sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk
memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah.
Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat
dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan
membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan
kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran
terhadap kehormatan mayat serta merupakan penganiayaan dan pencincangan
terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah
diharamkan secara pasti oleh syara.
Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini,
meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan
Euthanasia SUHERMI YENTI | 9
hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan
Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan
upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini
disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan
kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan
penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang
merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan
menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak
pidana , yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undangundang.
Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan
hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik
yang berkaitan dengan masalah keperdataan maupun pidana. Khusus yang
berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup manusia, dalam hukum pidana
Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya hukuman qishash, hadd,
dan diat.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat
matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan,
kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana disebutkan dalam hadits:
Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah
satu dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah
berkeluarga), maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang
yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka
ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam
(murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia
harus
dibunuh,
disalib
dan
diasingkan
dari
tempat
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi kehidupan
kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di
tetapkan-Nya. Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat
menyerah pada keadaan (fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu
berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan
untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada harapan, sebab kepadanya
masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits Nabi sw disebutkan betapapun
beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR Ahmad dan Muslim).
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana
dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itutermasuk dalam kategori praktik
penghentian pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan
kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta)
dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan hukum melakukan pengobatan
yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakh wajib atau sekedar sunnah.
Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya
sunnah dan tidak wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang
mewajibkannya, seperti kalangan ulama syafiiyah dan hanbali sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar
(tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam
kitab shahih dari seorang wanita yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta
kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau menjawab: Jika engkau mau
bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau
mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Wanita itu
menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah
agar ia tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga
tidak tersingkap ketika kambuh. Disamping itu, terdapat banyak contoh dari
kalangan sahabat dan tabiin yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di
antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Kaab dan Abu Dzar AlGhifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan sahabat
Euthanasia SUHERMI YENTI | 12
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu
lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih
dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada
Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:
Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan
surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. `Sebenarnya saya
tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar
saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan orang itu agar
tidak meminta dihilangkan penyakitnya.
Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in
yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih
sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzarradhiyallahu`anhuma.
Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab
tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah
orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa
pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan
bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian
kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit
dari golongan kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya
apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai
dengan sunnah Allah Ta`ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan
menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi
saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib,
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak
ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang
diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada
seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan
cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau
menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu
kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja
tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak
mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang
wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah,
sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan
syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan
melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi
seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas.
Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang
membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya
menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang
mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
E. KESIMPULAN
Euthanasia adalah tindakan untuk mempercepat kematian seseorang yang
sedang dalam keadaan kesakitan atau sedang menderita penyakit yang sangat hebat
dan sulit disembuhkan bahkan menjelang kematian. Tindakan ini dilakukan atas
dasar permintaan dari pasien atau dari keluarga ataupun dokter.
Seorang Dokter harus menjaga dan melindungi hidup seseorang insan, ini
berarti dokter tidak boleh :
Euthanasia SUHERMI YENTI | 17
a. Menggugurkan kandungan
b. Mengakhiri hidup seseorang meskipun ia tidak akan sembuh lagi.
Dan dilihat dari sudut pandang Islam Euthanasia tidak diperbolehkan karena
bertentangan / melanggar kehendak dan wewenang Tuhan, seperti dalam Firman
Allah Surat An-Nisa 29 - 30 dan Surat AI-An'am ayat 151.
DAFTAR PUSTAKA
1. Permatasari, Leya Indah. Euthanasia Dalam Pandangan Islam. 13 Desember
2015. http://nursemuslimfikunpad.blogspot.co.id/
2. Hanafiah Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC.
EUTHANASIA
TUGAS FILSAFAT KEMUHAMMADIYAHAN
NAMA
: SUHERMI YENTI
NPM
: 1509047030
SEMESTER
: I (SATU)
ANGKATAN
: 18