Anda di halaman 1dari 36

Kasus Pengajuan Euthanasia Oleh Berlin Silalahi Di

Aceh

Disusun oleh :

Irmawati ( J1A118011 )
Iqrayati Kasrudin (J1A118074)
Wahyu Kurniawan Ramadhan (J1A118095)
Wa Insa (J1A118116)
Ummul Khaery (J1A118207)
Wa Neli (J1A118249)
Wa Ode Sri Muliani (J1A118269)
Fadhilah Azzahra Hasan ( J1A118291)

KELAS : KESEHATAN LINGKUNGAN


KELOMPOK : 3 (Euthanasia)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepadasemua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini khususnya kepada teman-teman dan
pak Rahman selaku dosen mata kuliah Etika dan Hukum Kesehatan fakultas
kesehatan masyarakat Universitas Haluoleo yang selalu memberikan dukungan
serta bimbingannya sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik. Semoga
Makalah yang telah kami susun ini turut memperkaya khazanah ilmu serta bisa
menambah pengetahuan dan pengalaman para pembaca.
Meskipun kami sangat berharap agar makalah ini tidak memiliki
kekurangan, tetapi kami menyadari bahwa pengetahuan kami sangatlah terbatas,
sehingga kami tetap mengharapkan masukan serta kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk laporan ini demi terlaksananya penelitian dengan
baik, sehingga tujuan diadakannya penelitian ini juga bisa tercapai.

Kendari, 15 November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

Kasus Euthanasia Berlin Silalahi ............................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat ........................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
A. Tinjauan Teori .............................................................................................. 5
1. Pengertian Euthanasia .............................................................................. 5
2. Jenis-jenis Euthanasia............................................................................... 5
3. Faktor-Faktor Penyebab dan Alasan Orang Melakukan Euthanasia ........ 7
4. Pandangan etis terhadap Euthanasia ....................................................... 10
B. Regulasi ........................................................................................................ 13
C. Kronologi kasus ............................................................................................ 15
D. Posisi kasus ................................................................................................... 17
E. Analisa kasus .............................................................................................. 18
F. Penerapan Pertanggungjawaban pidana dalam peraturan di Indonesia ........ 19
G. Argumentasi Sebagai Pengambil Kebijakan Untuk Mengatasi Masalah Atau
Cara Pencegahan Euthanasia ............................................................................. 20
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 22
A. Kesimpulan ................................................................................................... 22
B. Saran ........................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24
LAMPIRAN .......................................................................................................... 26
0
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus
kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Kematian,
bagi sebagian besar umat manusia itu merupakan suatu hal yang tidak
menyenangkan dan mungkin menakutkan. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan merupakan kehendak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak
menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Setiap orang
berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan dan meningkatkan taraf
kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum
lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar
biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan
putusan Pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana
mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada 2 hal
tersebut inilah hak untuk hidup dapat dibatasi(Purwastuti Yudaningsih, 2015).
Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba.
Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih
dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi. Tetapi tidak
demikian halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup karena
penyakit yang diderita sangat menyiksanya. Mereka ingin segera mempercepat
kematiannya. Kematian yang diinginkan orang seperti ini tentu saja kematian
yang jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Hal inilah yang dalam dunia medis
disebut sebagai "Euthanasia".
Euthanasia dapat diartikan sebagai “tindakan pengakhiran hidup seseorang
(atau makhluk lain) dengan sengaja karena sakitnya yang membuat dia terlalu
menderita”. Dalam euthanasia, seorang yang menginginkan atau dianggap
menginginkannya memerlukan bantuan orang lain untuk mendapatkan kematian
tersebut. Peranan orang lain itulah yang membedakan euthanasia dari bunuh
diri.Dalam bunuh diri, seseorang tidak menggunakan orang lain untuk
memperoleh kematiaannya(Hayati, 2004).

1
Tindakan membunuh bisa dilakukan secara legal dan dapat diprediksi
waktu dan tempatnya itulah yang selama ini disebut dengan euthanasia,
pembunuhan yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan belum bisa
diatasi dengan baik atau dicapainya kesepakatan yang diterima oleh berbagai
pihak. Di satu pihak, tindakan euthanasia pada berbagai kasus dan keadaan
memang diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak diterima karena
bertentangan dengan hukum, moral, dan agama. Hal ini dilakukan dengan alasan
yang cukup mendukung, yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan pasien yang
tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat
melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian
pihak yang tidak memperbolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia
tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya karena masalah hidup dan mati
adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Secara umum, argumen pihak anti euthanasia adalah kita harus mendukung
seseorang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka
untuk mati(Pradjonggo, 2016).
Euthanasia sebenarnya bukanlah merupakan suatu persoalan yang baru.
Bahkan eutha-nasia telah ada sejak zaman Yunani purba. Dari Yunanilah
euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik di Benua
Eropa sendiri, Amerika maupun Asia. Di negara-negara barat, seperti Swiss,
euthanasia sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan
euthanasia sudah dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana (Rada, 2013).
Praktik euthanasia yang pernah terjadi di dunia antara lain, di India yang
pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke
dalam sungai Gangga, di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-
laki tertuanya, di Uruguay mencantumkan kebebasan praktik euthanasia dalam
undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933, di beberapa negara Eropa,
praktik euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902
memperlakukannya sebagai kejahatan khusus, di Amerika Serikat, khususnya di
semua negara bagian, euthanasia dikategorikan sebagai kejahatan. Bunuh diri atau
membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat. Dan
satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan euthanasia bagi para

2
anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan
tertentu dapat meminta tindakan euthanasia atas dirinya. Ada beberapa warga
Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya tidak
pernah dilakukan euthanasia aktif, namun mungkin ada praktik-praktik medis
yang dapat digolongkan euthanasia pasif.
Sejak tahun 1970-an, masalah euthanasia telah menjadi topik hangat yang
diperdebatkan di Belanda. Kasus berawal dari seorang dokter yang melakukan
pembunuhan dengan niat sebenarnya ‘mambantu pasien melepaskan diri dari
derita berkepanjangan’, bahwa pasien tersebut menderita sakit yang menbuatnya
merasa sangat kesakitan dan tidak dapat disembuhkan. Perbuatan ini dilakukan
oleh dokter tersebut atas permintaan pasien, dan euthanasia dilakukan dengan
memberikan tablet dan suntikan. Kasus ini dihadapi olae Rb Utrecht, tanggal 11
Maret 1952, NJ 1952, 275. Rb Utrecht menjatuhkan pidana bersyarat 1 tahun.
Vonis ini dikuatkan oleh Hof.Rb yang menolak pembelaan yang diajukan
terdakwa bahwa ia bertindak atas dorongan hati nurani dengan
mengargumentasikan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 293 Sr. (pasal 344
KUHP, pasal 556, 557, 558 Rancangan KUHP tahun 2004)(Lizasoain et al., 2015).
Di Indonesia, euthanasia tidak dapat dilakukan dan merupakan perbuatan
yang ilegal. Baik dalam hukum positif maupun dalam kode etik kedokteran diatur
bahwa melakukan euthanasia tidaklah diperbolehkan. Bila dikaji dalam perspektif
Hukum Islam, diatur bahwa euthanasia aktif adalah perbuatan yang diharamkan
dan diancam oleh Allah SWT dengan hukuman neraka bagi yang melakukannya
(Rada, 2013).
Kasus Euthanasia di Indonesia mencuat ketika ada dua permohonan
penetapan euthanasia, yaitu kasus pasangan Ny. Agian Isna Nauli Siregar dan
Hasan Kusuma (tahun 2004), dan Ny. Siti Zulaeha dan Rudi Hartono (tahun 2005),
yang kedua-duanya mengalami koma selama tiga bulan dan hidupnya
membutuhkan alat bantu pernafasan (respirator), karena alasan kasih sayang, tidak
tega melihat istrinya lebih lama menderita, ditambah dengan biaya yang kian
membengkak, baik Hasan Kusuma maupun Rudi Hartono memberanikan diri
untuk meminta penetapan izin euthanasia dari PN Jakarta Pusat. Ada juga kasus
Pak Berlin Silalahi korban gempa dan tsunami di Aceh yang mengajukan

3
euthanasia karena tidak sanggup lagi hidup dengan keadaan sulit. Berdasarkan
contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa selain alasan karena tidak tega
melihat pasangan mereka lebih lama menderita, alasan lain karena pertimbangan
ekonomis dan finansial.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tinjauan teori Euthanasia ?
2. AparegulasiEuthanasia ?
3. Bagaimana kronologi kasus Euthanasia Berlin Silalahi ?
4. Bagaimana posisi kasus Euthanasia Berlin Silalahi?
5. Bagaimana analisa kasus Euthanasia Berlin Silalahi?
6. Bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana kasus Euthanasia
Berlin Silalahi ?
7. Bagaimana argumentasi sebagai pengamat kebijakan untuk mengatasi
masalah atau cara pencegahan Euthanasia?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengetahui tinjauaan teoriEuthanasia
2. Untuk mengetahui regulasiEuthanasia
3. Untuk mengetahui kronologi kasus Euthanasia Berlin Silalahi
4. Untuk mengetahui analisa kasus Euthanasia Berlin Silalahi
5. Untuk mengetahui posisi kasus Euthanasia Berlin Silalahi
6. Untuk mengetahui penerapan pertanggungjawaban pidana kasus
Euthanasia Berlin Silalahi
7. Untuk mengetahui argumentasi sebagai pengamat kebijakan untuk
mengatasi masalah atau cara pencegahan Euthanasia

4
BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Teori

1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia (dari bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik",
dan θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan
kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan
rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan
cara memberikan suntikan yang mematikan(Antipati, 2013).
Dalam ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti,
yaitu:
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan menyebut nama Allah di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya. (Hayati, 2004)
Dari pengertian-pengertian diatas, maka euthanasia mengandung unsur-
unsursebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian atau tidak memperpanjang
hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya
Jadi, euthanasia adalah meminta untuk diakhiri hidupnya dengan bantuan
orang lain untuk menghilangkan atau meminimalisir rasa sakit yang dialami
penderita.

2. Jenis-jenis Euthanasia
Jenis-jenis euthanasia antara lain, sebagai berikut :

5
1) Euthanasia aktif yaitu perbuatan dengan sengaja secara langsung atau
tidak langsung mengambil tindakan untuk mengakhiri hidup seseorang
atau menyebabkan kematian seseorang. Misalnya dengan memberi tablet
sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan kedalam tubuh
seseorang atau dokter memberi penderita sakit kanker ganas atau sakit
yang mematikan dan dia tidak akan hidup lama lagi, obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya
tetapi justru menghentikan pernafasannya sekaligus. Euthanasia aktif
dibedakan atas :
a. Euthanasia aktif langsung (direct) adalah dilakukannya tindakan
medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup
pasien atau memperpendek hidup pasien.
b. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect) adalah dimana dokter
atau tenagakesehatan melakukan tindakan medik untuk
meringankan penderitaan pasien,namun mengetahui adanya resiko
tersebut dapat memperpendek ataumengakhiri hidup pasien.
2) Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak
memberikan tindakan pertolongan biasa, atau dengan menghentikan
tindakan pertolongan biasa yang sedang berlangsung, misalnya tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan
pernafasan, Atau tenaga medis dengan sengaja tidak lagi memberikan atau
melanjutkan bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup pasien.
Contohnya: orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan
benturan pada bagian kepalanya yang tidak ada harapan untuk sembuh
atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak
diobati akan mematikan penderita, jika pengobatan terhadapnya dihentikan
akan mempercepat kematiannya.(Purwastuti Yudaningsih, 2015).

Ditinjau dari permintaan euthanasia dibedakan atas:


1. Euthanasia volunter (Euthanasia secara sukarela) adalah penghentian
tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas permintaan sendiri.

6
Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari
pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
2. Euthanasia involunter (Euthanasia secara tidak sukarela) adalah jenis
euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak sadar yang
tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini
dianggap keluarga pasien yang bertanggung jawab atas penghentian
bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan
kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga
mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh,
diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi,
mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis
besarnya, yaitu:
a. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang
tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha
perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
b. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian
dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di
sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,
hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek
kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
c. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan
pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
d. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan
keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga
(misalnya keluarga), atau atas keputusan.

3. Faktor-Faktor Penyebab dan Alasan Orang Melakukan Euthanasia


Faktor-faktor orang melakukan euthanasia antara lain, sebagai berikut :
1. Faktor kemanusiaan

7
Faktor ini dilakukan oleh seorang dokter baik atas permintaan pasien
ataukeluarganya atau kehendak dokter itu sendiri. Hal ini dilakukan oleh seorang
dokterkarena merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang
berkepanjangan, yang secaramedis sulit untuk disembuhkan. Dengan demikian
seorang dokter mengabulkanpermintaan pasiennya.
2. Faktor Ekonomi
Faktor yang kedua ini diakui oleh wakil ketua Umum Pengurus
BesarIkatanDokter Indonesia (IDI) Dr.Kartono Muhammad bahwa mengenai
Euthanasia pasif banyak dilakukan atas permintaan keluarga penderita yang tidak
sampai hati melihatkeluarganya terbaring berlama-lama di rumah sakit. Oleh
karena itu, mereka memilihmembawa pulang pasien dengan harapan biarlah ia
meninggal di tengah familinya.
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang.
Dilakukannya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari
beberapa survey negara dan penyaringan sumber, terdapat tiga alasan
utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:
1. Rasa Sakit yang Tidak Tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si
pasientersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini,
penemuansemakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara
langsung menyebabkanpresentase terjadinya “assisted suicide”
berkurang. Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang
disebabkan olehrasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang
dinamakan “drugged state” atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit
apapun karena pengaruh obat. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa
sebenarnya tidak ada rasa sakityang tidak terkendali, namun beberapa pendapat
menyatakan bahwa hal tersebut memang dapat dilakukan dengan mengirim
seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit. Akan tetapi mereka tetap harus
dieuthanasiakan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit dapat dihilangkan. Namun adapun yang sudah
sebegituparah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan
baik.Tapi euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk

8
masalahini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan
denganmenginformasikan pada setiap pasien yaitu apa saja hak-hak mereka
sebagai seorangpasien.Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan
“pain management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka
tidak tahu bagaimana harusbertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit
yang luar biasa. Jika hal initerjadi, hendaklah pasien tersebut mencari dokter lain.
Dengan catatan dokter tersebutharuslah seseorang yang akan mengontrol rasa
sakit itu bukan yang akan membunuhsang pasien. Ada banyak spesialis yang
sudah dibekali dengan keahlian tersebut yangtidak hanya dapat mengontrol rasa
sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasidepresi dan penderitaan mental
yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
2. Hak untuk Melakukan Bunuh Diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat
hal paling dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang
kita bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi
memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata
lain, euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk
membunuh. Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri
hidupnya tapisebaliknya. Hal ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter,
kerabat, atau oranglain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri. Hal seperti itu tidak
melanggarhukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi dan aksi sendiri. Euthanasia
bukanlah aksi pribadi, melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian
orang lain. Hal inidapat mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang
menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap
hidup. Desakan melawan permintaan pasien menunda kematian dengan alasan
hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat
itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak
bijak, atau tidak terdengarsebagai perilaku medis. Hal yang harus dilakukan
adalah dengan menyediakan perawatan di rumah,bantuan dukungan emosional

9
dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa
waktunya.

4. Pandangan etis terhadap Euthanasia

a. Tinjauan Kedokteran
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab
profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan.
Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak
kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan
memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini
kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah
seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan
Hipokrates sendiri yang membuatnya (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran,
2004)
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban
dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa
menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup
seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang
otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara
keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian
tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang
mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan
setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik
yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri
hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa
euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan

10
euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah
menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan
radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan
melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat
dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang
dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut
dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan
medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak
lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

b. Tinjauan Filosofis-Etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan
pandangan otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai
dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan
bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat
diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia,
manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga
seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia
menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu
argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita
mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa
dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang
dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu
kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan
sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah
suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada
secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama
dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari
pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-

11
masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh
karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu,
manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai
suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia.
Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die.
Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta
agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh
penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar
mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”,
tanpa penderitaan yang tidak perlu.

c. Tinjauan Hukum Islam


1) Kedudukan jiwa dalam Islam
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup
banyak ayat Al-Qur‟an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk
menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Meskipun jiwa
merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau
“nafs” itu adalah :
a. Menurut Surat Al-Hijr ayat 23 : “Dan sesungguhnya benar-benar kami-
lah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang
mewarisi”.
b. Menurut Surat Al-Najm ayat 44 : “Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang
mematikan dan menghidupkan”.
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun
jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya
penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau
menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash
atau diyat).
2) Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :

12
A. “Nash” yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman
terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syar’i).
B. “Tindakan” yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan
nyata maupun sikap “tidak berbuat”. Unsur ini disebut unsur material
(rukun maddi).
C. “Pelaku” yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-
jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral
(rukun abadi)(Suryaningsih, Septiana Restiana, Rahmawati, Imaroh, &
Alifah, 2011).

B. Regulasi
Sampai sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan
jelas mengenai mengenai euthanasia (MercyKilling). Namun ditinjau dari aspek
hak asasi manusia bahwa hak hidup merupakan hak fundamental yang dimiliki
oleh setiap manusia. Konsekuensi dari hak hidup ini adalah kewajiban bagi setiap
manusia untuk menjunjung tinggi kemuliaan hidup manusia. Dalam pasal 3
Deklarasi Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas
penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang. Sedangkan UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 9 ayat 1 menegaskan bahwa
setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf
hidupnya. Pernyataan terhadap hak hidup dipertegas dalam Penjelasan Pasal 9
ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 yaitu :
Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan dan
meningkatkan tarap kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat
pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau
keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus
aborsi atau berdasarkan putusan Pengadilan dalam kasus pidana mati, maka
tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut(Purwastuti
Yudaningsih, 2015).
Peraturan yang dapat dihubungkan dengan euthanasia ada dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan dalam Bab XIX pasal

13
338 sampai dengan pasal 350 tentang kejahatan terhadap jiwa orang. Kejahatan
terhadap jiwa manusia terdiri atas 5 jenis yaitu:
(1) Pembunuhan dengan sengaja (doodslag), pasal 338 KUHP
(2) Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu (moord), pasal 340
KUHP
(3) Pembunuhan dalam bentuk yang dapat memperberat hukuman
(gequalificeerde doodslag), pasal 339 KUHP
(4) Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan yang sangat dan tegas
oleh korban, pasal 344 KUHP
(5) Tindakan seseorang yang dengan sengaja menganjurkan atau membantu
atau memberi daya upaya kepada orang lain untuk melakukan bunuh diri,
pasal 345 KUHP.
Dalam KUHP tidak diketemukan pasal yang secara eksplisit mengatur
tentang eutahanasia. Akan tetapi jika dicermati maka pasal yang digunakan untuk
menunjukkan pelarangan terhadap euthanasia adalah pasal 344 KUHP yaitu
mengenai pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan sangat dan tegas oleh
korban[4,20]. Pasal 344 KUHP menyebutkan bahwa:
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, di hukum
penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Pada rumusan pasal ini disyaratkan bahwa permintaan untuk membunuh
harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika syarat ini
tidak terpenuhi maka pelaku akan dikenakan pasal 338 KUHP yaitu pembunuhan
biasa. Pasal-pasal lain yang bisa dihubungkan dengan euthanasia adalah sebagai
berikut:
(1) Pasal 304 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
menbiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum
yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara
selama-lamanya 2 tahun 8 bulan”. Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal 9 tahun. Pasal ini
sesuai dengan rumusan euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia,

14
(2) Pasal 340 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan
direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau penjara
seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun”,
(3) Pasal 345 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja mengahasut orang lain
untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau
memberikan daya upaya kepadanya untuk itu, maka jika orang itu jadi
membunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya 4 bulan”(Pemerintah
Indonesia, n.d.)
Keberadaan pasal-pasal tersebut diatas mengingatkan kepada setiap orang
untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia. Walaupun secara khusus kasus
euthanasia tidak dijelaskan dalam KUHP, namun mengingat euthanasia dapat
menghilangkan nyawa seseorang secara disengaja maka tindakan euthanasia
adalah perbuatan yang dilarang dilakukan oleh siapaun termasuk oleh para dokter
atau tenaga medis(Prihastuti, 2018)

C. Kronologi kasus
Berlin adalah salah seorang korban penggusuran dari barak pengungsi
tsunami di Gampong Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Dia juga sempat
bekerja sebagai petugas ticketing pada angkutan minibus L-300 Trayek Antar
Kota Dalam Propinsi (AKDP). Pasca musibah gempa dan tsunami, Berlin tinggal
di barak hunian sementara, karena rumah yang mereka sewa hancur dilanda
tsunami. Berlin mulai sakit-sakitan sejak tinggal di barak. Hingga akhirnya pada
tahun 2014 lalu, ia mengalami kelumpuhan setelah menjalani pengobatan medis
dan alternatif di Kota Lhokseumawe.
Sejak kembali ke Banda Acehia sudah bolak balik menjalani perawatan ke
rumah sakit. Tapi penyakit yang dideritanya belum kunjung sembuh. Kini
kondisinya semakin parah. Berlin yang menikah dengan Ratnawati tahun 2002
dikaruniai dua orang putri, Tasya Maizura (11) dan Fitria Balqis (5). Saat ini
Tasya akhirnya diserahkan kepada kakak sang istri Ratnawati untuk dirawat agar
bisa melanjutkan sekolah karena merka tidak mampu untuk membiayai sekolah
anaknya. Sementara sang istri, Ratnawati, mengatakan, puncak keputusasaan sang

15
suami terjadi saat barak yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka dibongkar
oleh Satpol PP Kabupaten Aceh Besar. Sebelumnya pihak Bupati sudah
memberikan surat peringatan bahwa barak akan dibongkar, tapi setelah itu ada
surat edaran dari Plt Gubernur Soedarmo yang mengatakan bahwa untuk
sementara barak jangan dibongkar dulu, dan kemudian, gubernur Zaini Abdullah
pun sepekan sebelum pembongkaran barak juga sudah memerintahkan bahwa
barak jangan dibongkar. Jadi ketika satpol PP datang, keluarga Berlin belum siap,
dan merasa kaget sekali. Pasca "pengusiran" dari barak, Berlin pun semakin
tertekan,untuk mengurangi beban keluarga, lantas Berlin mengajukan
permohonan suntik mati ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, Rabu (3/5/2017)(Jaya,
2018)
Sidang perdana itu berlangsung diruang sidang utama yang dipimpin
hakim tunggal, Ngatimen SH, Senin, (15/5/2017).Sidang itu beragendakan
pembacaan berkas permohonan dan pemeriksaan dua saksi yaitu Puspita Dewi
dan Habibah, tetangga Berlin saat di barak. Kedua saksi adalah tetangga Berlin
saat tinggal di barak Bakoy.Di hadapan hakim, para saksimengetahui niat dan
keinginan Berlin mengajukan euthanasia, karena frustasi dan kesehatan yang
memburuk. Kuasa hukum Berlin Silalahi, Safaruddin dari Yayasan Advokasi
Rakyat Aceh (YARA) menyampaikan kliennya saat ini sedang mengalami sakit
kronis dan lumpuh. Ia meminta hakim untuk mengabulkan permohonan langka
tersebut. Penolakan permohonan euthanasia dibacakan oleh hakim tunggal,
Ngatimindi depan tim kuasa hukum Berlin Silalahi dari Yayasan Advokasi Rakyat
Aceh (YARA), Jumat (19/7/2017).
Dalam amar putusan setebal 24 halaman, hakim memaparkan dalil-dalil
penolakan permohonan tersebut. Di Indonesia, belum memiliki hukum positif
membenarkan melakukan euthanasia. Apalagi, euthanasia merupakan upaya
mengakhiri hidupnya dengan cara disuntik yang dilakukan oleh pihak yang
dimintakan sebagai eksekutornya. Ngatimin dalam amar putusannya juga
menyebutkan, kode etik dokter juga tidak diperbolehkan melakukan praktek
euthanasia. Bila mereka melakukannya, dokter yang melakukan bisa dipidanakan.
Hakim juga meninjau dari aspek hukum positif di Indonesia, hukum agama yang
dianut oleh pemohon yang beragama Islam dan aspek adat dan budaya yang

16
berkembang di Indonesia. Semuanya tidak membenarkan melakukan tindakan
euthanasia. Serta beliau mengutip beberapa pendapat ahli dan pakar hukum,
hingga mengutip beberapa ayat Al-Quran dan hadist Rasulullah SAW, yang
semuanya tidak membenarkan perbuatan euthanasia. Apalagi dalam Islam,
euthanasia yang dapat diartikan melakukan bunuh diri diharamkan menurut
hukum Islam. “Perbuatan euthanasia itu sama saja telah melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM). Dokter juga berpendapat tidak sepakat melakukan suntik mati.
Dalam agama, kematian itu adalah takdir, euthanasia tentunya dilarang dalam
agama. Jumat (19/7/2017).
Berdasarkanitu, hakim menolak permohonan pemohon untuk melakukan
euthanasia. Selain itu, Ngatimin juga membacakan bahwapasal 344, 340 dan 345
dalam KUHP melarang untuk menghilangkan nyawa orang lain. Bila seseorang
melakukannya, bisa dipidanakan 4 tahun sampai seumur hidup. Perbuatan
euthanasia juga dilarang dalam UU HAM.
Usai pembacaan putusan hakim, tim kuasa hukum Berlin Silalahi dari
YARA, Mila Kesuma mengatakan, pihaknya akan melakukan musyawarah
dengan anggota tim kuasa hukum dan pihak keluarga Berlin Silalahi untuk
langkah selanjutnya. “Kita akan melakukan pertemuan dan musyawarah termasuk
berembuk dengan keluarga Berlin untuk proses selanjutnya,” ujar Mila Kusuma.
Sementara itu, di penampungan YARA, Berlin Silalahi mengaku menyerahkan
semuaputusan tindak lanjut kepada kuasahukumnya.

D. Posisi kasus
Sampai sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan
jelas mengenai mengenai euthanasia (MercyKilling). Namun di Indonesia suntik
mati atau euthanasia dengan menyuntik mati akan disamakan dengan tindakan
pidana pembunuhan seperti apa yang sudah ada dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), yaitu Pasal 340, Pasal 344, Pasal 359 dan Pasal 345.
Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam
skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan
tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP yang berbunyi barang
siapa dengan sengaja mendorongorang lain untuk bunuh diri, atau

17
memberikansarana kepadanya untuk itu, diancam denganpidana penjara dengan
acaman penjara selama-lamanya empat tahun penjara (Moeljatno,1999:127).
Sekarang ini kasus pak berlin telah selesai dengan hasil putusan ditolaknya
pengajuan euthanasia. Sehingga tidak terjadi tindak pidana apapun karena kasus
diatas merupakan kasus pengajuan euthanasia yang mana euthanasia belum
dilakukan maka belum ada pihak manapun yang melanggar baik itu dokter,
keluarga pasien maupun pasien itu sendiri.

E. Analisa kasus
Kami menganalisa kasus dari dua sudut pandang, yaitu :

 Dari sudut pandang pelaku (Pak Berlin yang mengajukan euthanasia)


Dari kasus diatas, alasan pak Berlin mengajukan euthanasia adalah karena
faktor kesulitan ekonomi dan kurangnya perhatian pemerintah serta
dikarenakan penyakit yang dideritanya semakin lama semakin parah sehingga
hal itu membuat beliau tidak dapat bekerja untuk menafkahi keluarganya dan
membuat beliau merasa sangat menderita, malu dan putus asa akan
keadaannya. Juga keluarga telah pasrah akan keputusan pak Berlin karena
merasa tidak tega melihat keadaannya yang terbaring sakit di pengungsian
selama bertahun tahun tanpa ada bantuan.

 Dari sudut pandang diluar pelaku (pengadilan dan dokter)


Pengadilan tempat diajukannya euthanasia pak Berlin memproses kasus
tersebut dan memutuskan untuk menolak pengajuan euthanasia atas pak
Berlin karena dianggap telah melanggar hak fundamental setiap manusia,
yaitu hidup dan juga melanggar kode etik kedokteran Pasal 9, bab II Kode
Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Juga di Indonesia euthanasia dilarang
karena menurut 344 KUHP bahwa “Barang siapa menghilangkan jiwa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
dengan sungguh-sungguh, di hukum penjara selama-lamanya 12
tahun”.s(Pemerintah Indonesia, 2007)

18
F. Penerapan Pertanggungjawaban pidana dalam peraturan di Indonesia
Sampai sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan
jelas mengenai mengenai euthanasia (MercyKilling). Namun di Indonesia suntik
mati atau euthanasia dengan menyuntik mati akan disamakan dengan tindakan
pidana pembunuhan seperti apa yang sudah ada dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), yaitu Pasal 340, Pasal 344, Pasal 359 dan Pasal 345.
Keputusan pengadilan untuk menolak pengajuan euthanasia pak Berlin
sudah seharusnya karena sebagaimana pasal 344 KUHP “Barang siapa
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, di hukum penjara
selama-lamanya 12 tahun”.
Namun pemerintah sebagai penanggungjawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana belum secara maksimal menjalankan tanggungjawabnya
sebagaimana yang tercantum dalam UU RI No.24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana BAB III Pasal 6 tentang tanggungjawab pemerintah
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana :
a. Pengurangan resiko bencana dan pemaduan pengurangan resiko bencana
dengan program pembangunan;
b. Perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
c. Penjaminpemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkenna
bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;
d. Pemulihan kondisi dari dampak bencana
e. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran
pendapatan dan belanja nnegara yang memadai
f. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk siap pakai;
dan
g. Pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dn
dampak bencana(Pemerintah Indonesia, 2007)
Pada UU diatas (poin b,c, dan d) disitu dijelaskan bahwa kewajiban
pemerintah adalah melindungi, menjamin pemenuhan hak masyarakat, dan
memulihkan kondisi bencana dari dampak bencana.

19
Namun kenyataan yang terjadi pada kasus ini, Pak Berlin Silalahi kurang
mendapat bantuan dari pemerintah bahkan ia hanya mendapat bantuan berupa
tempat pengungsian dan setelah itu tidak ada bantuan lain yang disalurkan
pemerintah sehingga pak Berlin harus tinggal di tempat pengungsian terus-
menerus dengan penyakit yang dideritanya yang semakin hari semakin parah dan
membuat pak Berlin mengalami lumpuh. Hal inilah yang membuat pak Berlin
memutuskan untuk mengajukan euthanasia yang mana hal ini dapat dihindari jika
pemerintah melaksanakan tanggung jawabnya dengan seharusnya.

G. Argumentasi Sebagai Pengambil Kebijakan Untuk Mengatasi Masalah


Atau Cara Pencegahan Euthanasia

Tindakan eutanasia tidak sesuai dengan kehendak yang di berikan oleh


Tuhan. Sebab, euthanasia merupakan tindakan kesengajaan untuk mengakhiri
hidup seseorang yang sangat sakit dan menderita yang diliputi oleh rasa sakit yang
tak tertahankan dan tidak bisa disembuhkan, dengan cara yang relatif cepat dan
tanpa rasa sakit, untuk alasan kemanusiaan. kehidupan adalah hal yang suci dan
kematian bukan berada di tangan manusia, tapi berada di tangan Tuhan.Selain itu,
setiap orang baik yang mengalami sakit berat atau sehat memiliki hak yang sama
untuk hidup. Jadi, keputusan untuk mengakhiri hidup dengan alasan sakit keras
tidak dibenarkan. Oleh sebab itu, dokter melarang pasien untuk melakukan
tindakan euthanasia tersebut yang mempercepat kematian seseorang dalam
keadaan tertentu yang disetujui baik dari pihak tenaga medis maupun dari pihak
keluarga pasien. Karena bertujuan untuk mempercepat kematian seseorang. Dan
apabila nantinya euthanasia disahkan, maka dokter dan tenaga medis lainnya
kembali pada kode etik masing-masing.
Dengan tidak adanya regulasi yang jelas di Indonesia maka dapat
dipastikan bahwa suntik mati (euthanasia) masih belum mempunyai dasar hukum
yang jelas untuk melakukan tindakan suntik mati atau euthanasia tersebut, maka
dari itu dari kasus diatas untuk mengatasi terjadinya euthanasia diperlukan adanya
peraturan yang secara jelas untuk mengatur tentang euthanasia dan juga
diperlukan perhatian pemerintah untuk membantu penderita dalam menanggung
biaya perawatan, dan diperlukan kesungguhan dari tenaga medis untuk melakukan

20
proses penyembuhan kepada pasien agar tidak terjadi kesulitan dalam masyarakat
saat akan berobat yang dapat membuat pasien atau seseorang berfikir untuk
melakukan euthanasia. Selain itu, diperlukan nilai spritual untuk lebih
mendekatkan diri pada Tuhan karena dalam ajaran islam praktek euthanasia ini
sangatlah dilarang.

21
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas
kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat
diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya
merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Euthanasia dapat dikelompokkan
menjadi euthanasia aktif, euthanasia pasif, euthanasia volunter, dan uethanasia
involunter.
Ketika konsep euthanasia tersebut diperkenalkan di sebagian negara dunia,
dan sebagian juga sudah dapat melegalkan, akan tetapi bagi negara Indonesia
yang masih berpayung di bawah Pancasila tidak dapat melegalkan hal
tersebut.Secara hukum tugas dan tanggungjawab kedokteran di Indonesia, dibatasi
oleh Etika Kedokteran sendiri yang isinya seorang dokter harus senantiasa
mengingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Juga dilarang oleh
hukum positif kita yaitu KUHP, dimana dijelaskan bahwasanya melakukan
euthanasia merupakan suatu tindakan pidana.
Tinjauan akan hukum Islam mengenai euthanasia, terutama yaitu
euthanasia aktif adalah diharamkan. Karena euthanasia aktif ini dikategorikan
sebagai perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam oleh Allah SWT
dengan hukuman neraka selama-lamanya. Karena yang berhak mengakhiri hidup
seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu orang yang mengakhiri hidupnya
atau orang yang membantu mempercepat suatu kematian seseorang sama saja
dengan menentang ketentuan agama.

B. Saran
Alasan sosial yang berkembang di masyarakat untuk melegalkan euthanasia
adalah tidak benar. Ada alasan pembenar atas perbuatan penghilangan nyawa,
tetapi harus dipandang secara kasuistis dan sifatnya limitatif.. Apabila hukum di
Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi
pembahasan semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya
baik sosial, etika, maupun moral. Oleh karena itu, manusia perlu bijak dalam

22
mentafsir dan menganalisis sebelum mengaplikasikan serta mengamalkan etika
yang betulagar tidak membawa kepada berlakunya perkara-perkara negatif yang
boleh melanggar fitrah manusia dan keyakinan masing-masing orang.

23
DAFTAR PUSTAKA
Antipati, P. (2013). Euthanasia – Akhir dari Sebuah Kehidupan, 3(12), 224–231.
Hayati, N. (2004). Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Lex
Jurnalica, 1(2), 90–99.
Jaya, K. I. (2018). Suami yang Ajukan Suntik Mati: Saya Sudah Tidak Tahan
Lagi..., (1), 1–2.
Lizasoain, A., Tort, L. F., Garc\’\ia, M., Gomez, M. M., Leite, J. P., Miagostovich,
M. P., … Victoria, M. (2015). No {Title}. Journal of Applied Microbiology,
119(3), 859{\textendash}867.
Majelis, K., Rakyat, P., & Indonesia, R. (1999). Undang-Undang No . 39 Tahun
1999 Tentang : Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 39 Thn 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, (39), 43.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. (2004). Kode Etik Kedokteran Indonesia
dan Pedoman Pelaksanan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik
Kedokteran, 1(29), 1–77. https://doi.org/10.1063/1.2053358
Pemerintah Indonesia. (n.d.). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ).
Pemerintah Indonesia. (2007). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA.
Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) ditinjau dari Aspek Hukum
Pidana dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan, 1(1), 56–63. Retrieved from
http://journal.um.ac.id/index.php/jppk/article/view/5940/2467
Prihastuti, I. (2018). Euthanasia dalam Pandangan Etika secara Agama Islam ,
Medis dan Aspek Yuridis di Indonesia, 1(2), 85–90.
Purwastuti Yudaningsih, L. (2015). TINJAUAN YURIDIDS EUTHANASIA
DILIHAT DARI ASPEK HUKUM PIDANA. Jurnal Ilmu Hukum, 119(3),
17.
Rada, A. (2013). Euthanasia dalam perspektif hukum islam, XVIII(2), 108–117.
Suryaningsih, D., Septiana Restiana, I., Rahmawati, R., Imaroh, N., & Alifah, N.
(2011). MAKALAH AGAMA ISLAM “ EUTHANASIA DALAM

24
PANDANGAN ISLAM.

25
LAMPIRAN
Lampiran 1. Artikel"Kisah Berlin Silalahi Mohon Suntik Mati Setelah
Lumpuh-Barak dibongkar."

26
27
28
29
Lampiran 2. Artikel"PN Banda Aceh Tolak Permohonan Suntik Mati Berlin
Silalahi."

30
31

Anda mungkin juga menyukai