Puji syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Saya panjatkan puji
dan sukur kehdirat Allah SWT , yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-
nya kepada kita semua, sehingga saya dapat menyesaikan laporan makalah tentang Euthanasia.
Makalah ini telah saya susun secara maksimal atas bantuh dari berbagai pihak sehingga laporan
makalah ini bisa selesai dengan lancara. Untuk itu, kami selaku penyusun, banyak berterimakah
kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu atas segala bantuan dan
supportnya selama ini.
Kami menyadari, makalah yang kami buat jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, guna
menghasilkan laporan makalah yang lebih baik.
Kami berharap, makalah tentang euthanasia yang kami susun bisa memberikan manfaat dan
inpirasi bagi pembaca.
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Beberapa waktu yang lalu masalah euthanasia mulai sering dibicarakan oleh masyarakat
indonesia. Eithanasia secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk pengakhiran hidup kepada
seseorang yang mengalami sakit berat atau parah dengan kematian tenang dan mudah atas nama
perikemanusiaan. Berkembangnya polemik di masyarakat antara masalah hak asasi manusia
dengan kepercayaan bahwa awal dan akhir hidup manusia ada ditangan Tuhan menyebabkan
kasus euthanasia menjadi hal yang cukup menarik dibahas.
Secara yuridis manusia telah diberi perlindungan hukum sejak ia masih dalam kandungan
yakni dalam keadaan janin. Janin dari nidasi hingga dilahirkan dinama kan sebagai status
nascendi, jadi manusia sejak masih dalam status nascendi sudah dilindungi oleh hukum, akan
tetapi bukan berarti status nascendi ini mempunyai hak perorangan. Ia belum mempunyai hak
perorangan karena ia sendiri belum menjadi subjek hukum, yaitu ia (janin) yang dianggap telah
lahir jika kepentingannya memang menuntutnya misalnya dalam hal pewarisan, akan tetapi
apabila bayi tersebut pada saat dilahirkan meninggal dunia maka ia dianggap tidak pernah ada.
Kehadiran euthanasia sebagai suatu hak asasi manusia berupa hak untuk mati, dianggap
sebagai konsekuensi logis dari adanya hak untuk hidup. Oleh karena setiap orang mempunyai
hak untuk hidup, maka setiap orang juga mempunyai hak untuk memilih kematian yang
dianggap menyenangkan bagi dirinya. Inilah yang kemudian memunculkan istilah euthanasia.
Dalam euthanasia untuk mendapat kematian yang menyenangkan, seseorang yang menginginkan
atau dianggap menginginkan kematian memerlukan bantuan untuk orang lain untuk
mendapatkan kematian tersebut. Peranan orang lain itulah yang membedakan euthanasia dari
bunuh diri.
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang sulit
untuk disembuhkan. Di sisi lain, pasien sudah dalam keadaan kritis sehingga takjarang pasien
atau keluarganya meminta dokter untuk menghentikan pengobatan terhadap yang bersangkutan.
Dari sinilah dilema muncul dan menempatkan dokter atau perawat pada posisi yang serba sulit.
Dokter dan perawat merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga
mereka dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan teknologi
kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang
(walaupun istilahnya hidup secara vegetatif).
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
D. Eutanasia.
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut,
kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali
menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300
SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri"
ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia
pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja
yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya
pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang
termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya
tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat
sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Autoeutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek
eutanasia pasif atas permintaan.
Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif dimana tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan
pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis
yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi
pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan
guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu
mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga
yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak
mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk
dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah.
Ini sebagai upaya defensif medis.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
Eutanasia diluar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan
pembunuhan.
Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan
misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo).
Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga
masih merupakan hal kontroversial.
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
Eutanasia hewan
Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain darivpada eutanasia agresif secara
sukarela.
Eutanasia di Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa menghilangkan
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun. Juga demikian halnya nampak
pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa :
Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai
dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pemecahan Dilema Etik dalam Kasus Penderitaan Klien dan Euthanasia Pasif
KASUS :
Seorang wanita berumur 50 tahun menderita penyakit kanker payudara terminal dengan
metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut
mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan
pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika
istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita itu mengubah posisinya. Walapun klien
tampak bisa tidur namun ia sering meminta diberikan obat analgesik, dan keluarganya pun
meminta untuk dilakukan penambahan dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan
diskusi perawat disimpulkan bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat
kematian klien.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma). Dilema
etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau
suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam
dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang
harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan
pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka
proses keperawatan / pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).
Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :
2. Mengidentifikasi konflik
6. Membuat keputusan
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian klien
2)Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
3)Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
4)Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian pasien
2)Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang
nyeri)
3)Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila
diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada
malam hari agar klien bisa tidur cukup.
Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup
beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.
A. KESIMPULAN
Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun dapat
mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia
aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari
euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan euthanasia pasif
bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat
berdampak pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk
mempercepat kematian klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat
ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen
nyeri, namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien
tertentu. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri klien mungkin akan mempercepat
kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk mengurangi nyeri dan
penderitaan klien.
1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau
pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan
kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan
dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung
kehidupan lainnya yang dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua
tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak relevan.
2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda,
diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi
penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk
mempercepat kematiannya.
Andrew C. Varga, The Main Issues in Bioethics, New York 1984, hal. 268.
Bertens, K, Eutanasia: Perdebatan Yang Berkepanjangan, Kompas, 28 September
2000.
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing
Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia :
Lippincott