Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

HUKUM KESEHATAN

"EUTHANASIA”

Dosen Pembimbing:

DR. Maryati Sutarno, SPd. SST. MARS.

Disusun Oleh:

Kelas C SI Kebidanan

Kelompok 4

1. Ira Hanurawati 5. Nofi Herawati


2. Hadijah 6. Septiara Sulistiawati
3. Maria Ulfah 7. Trias Ayu Nugraheny
4. Nikhla Arvina

PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN ALIH JENJANG

STIKES ABDI NUSANTARA JAKARTA TAHUN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr.Wb

Kami mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Euthanasia” dengan baik dan lancar.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok “Hukum Kesehatan” tahun 2022.

Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut serta membantu dalam
penyusunan makalah ini, yaitu semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, yang
telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan tulis makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini terdapat banyak kekurangan dan membutuhkan kritik serta
saran yang membangun. Semoga apa yang telah kami sajikan dapat bermanfaat

bagi kami secara khusus dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Tangerang, 24-02-2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan ............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi dan Pengertian Euthanasia ................................................................................... 3
B. Macam-Macam Euthanasia .............................................................................................. 4
C. Do Not Resusitade (DNR) ................................................................................................ 6
D. Pandangan dari Sisi Agama Tentang Euthanasia ............................................................... 9
E. Hukum Positif di Indonesia Tentang Euthanasia ............................................................... 13
F. Perawatan Paliatif ............................................................................................................. 15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 19
B. Saran ................................................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai bagian dari perkembangan ilmu kedokteran, seorang pasien yang menderita
penyakit yang sangat parah dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi dapat mengajukan
permohonan untuk mengakhiri hidupnya dengan jalan menghentikan pengobatan atau dengan
jalan diberi obat suntik dengan dosis lethal. Kematian dengan cara inilah yang dimaksud
dengan euthanasia. Sementara ini tindakan euthanasia merupakan perbuatan yang terlarang
karena dikategorikan sebagai pembunuhan atas nyawa seseorang dan bagi pelakunya diancam
pidana kurungan. Sehingga muncullah permasalahan seperti (1) Bagaimana pengaturan
euthanasia dalam hukum positif di Indonesia (2) Bagaimana pengaturan euthanasia ditinjau
dari Hak Asasi Manusia (3) Bagaimana pengaturan euthanasia di negara lain. Pasal 344 dalam
KUHP Pidana yang berkaitan dengan euthanasia berbunyi:"Barang siapa yang merampas
nyawa orang lain yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun". Di dalam Declaration of Human Rights hanya mengatur
"hak untuk hidup" sedangkan “hak untuk mati “ belum diatur secara khusus di Indonesia . Hak
untuk hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan melekat pada
diri manusia secara kodrat, berlaku universal dan bersifat abadi sebagai anugerah Tuhan Yang
Maha Esa, sehingga larangan untuk euthanasia merupakan suatu tindakan yang melanggar Hak
Asasi Manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Definis Euthanasia
2. Apa macam-macam Euthanasia
3. Apakah Do Not Resusitade
4. Bagaimana Pandangan dari Sisi Agama tentang Euthanasia
5. Bagaimana Hukum Positif di Indonesia tentang Euthanasia
6. Bagaimana Perawatan Paliatif untuk Euthanasia

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Definisi Euthanasia
2. Untuk Mengetahui Macam-Macam Euthanasia
3. Untuk Mengetahui Pengertian Do Not Resusitade (DNR)
4. Untuk Mengetahui Pandangan dari Sisi Agama tentang Euthanasia
5. Untuk Mengetahui Hukum Positif di Indonesia tentang Euthanasia
6. Untuk Mengetahui Perawatan Paliatif
D. Manfaat Penulisan

Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bidan tentang Hukum
Kesehatan khususnya dalam kasus Euthanasia, sehingga dapat menjadi pedoman dalam
menjalankan asuhan-asuhan kebidanan di lapangan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Pengertian Euthanasia

Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death or easy death sering pula
disebut “mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya
tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of
determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring
dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai
perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan
perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan
dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum
dan etika.

Pakar hukum kedokteran Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia
kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu
pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing).
Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak
mungkin lagi untuk bisa sembuh. Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara
harfiah akan memiliki arti “mati baik”.

Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti


euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland
(Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk
tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan
sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

3
B. Macam-Macam Euthanasia

Dilihat dari orang yang membuat keputusan, euthanasia dibagi menjadi:

a. Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
b. Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak
keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.

Menurut Veronica Komalawati mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan


menjadi 2 yaitu:

a. Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Euthanasia aktif
dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet
sianida.
b. Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan
atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, atau dengan
mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup. Euthanasia pasif bisa
dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian
seseorang, misalnya keluarga pasien yang tidak mampu membayar biaya pengobatan, akan
meminta pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa" situasi ini memicu
pasien meninggal secara alamiah juga sebagai upaya defensif medis.

Euthanasia ditinjau dari sudut pemberian izin, dapat digolongkan menjadi:

a. Euthanasia di luar kemauan pasien : yaitu suatu tindakan euthanasia yang bertentangan
dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan euthanasia semacam ini dapat
disamakan dengan pembunuhan.
b. Euthanasia secara tidak sukarela seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap
sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga, terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan melakukan dan
4
mengatas nama sebagai wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Terri
Schiavo usia 41 tahun meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah
Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang
selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Kasus ini mula-mula
terjadi pada tahun 1990, saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya
Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Terri diresusitasi oleh petugas medis
ambulans, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, akibatnya ia mengalami kerusakan
otak yang berat, karena kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu
disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Terri Schiavo selama
8 tahun berada dalam keadaan koma, akhirnya pada bulan Mei 1998 suaminya mengajukan
permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya dicabut sehingga
istrinya dapat meninggal dengan tenang.
c. Euthanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri namun, tindakan
ini masih dianggap kontroversial.

Euthanasia ditinjau dari sudut tujuan dilakukannya, di bagi atas:

a. Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing).


b. Euthanasia hewan.
c. Euthanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain dari pada euthanasia agresif
secara sukarela.

Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti euthanasia mengikuti J.Wundeli yaitu:

a. Euthanasia murni, usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa memperpendek


kehidupannya, termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan
dapat mati dengan baik.Euthanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun.
b. Euthanasia pasif, tidak dipergunakan semua teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia
untuk memperpanjang kehidupan.
c. Euthanasia tidak langsung, usaha memperingan kematian dengan memanfaatkan efek
samping obat. Pasien mungkin mati dengan lebih cepat.dengan cara pemberian segala
macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek
kehidupan pasien dengan tidak disengaja.

5
d. Euthanasia aktif : proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara
terarah dan langsung, disebut sebagai “mercy killing”. Dalam euthanasia aktif masih perlu
dibedakan pasien menginginkannya atau tidak.

C. Do Not Resuscitate (DNR)

“Do not resuscitate” (DNR) merupakan kondisi yang sarat dengan pro kontra sehingga
perlu dikaji dari segi bioetik dan medikolegal secara hati-hati untuk masing-masing kasus.

Pada November 2017, The New England Journal of Medicine mempublikasikan sebuah
kasus tentang seorang pria 70 tahun, datang dengan tidak sadarkan diri tanpa ada keluarga
pengantar. Ketika kondisinya kritis, dilakukan evaluasi terhadap pasien dan menemukan tato
“Do Not Resuscitate” disertai tanda tangan di dada pasien. Hal ini membuat tim dokter menjadi
ragu-ragu dalam mengambil tindakan agresif apalagi awalnya tidak ada ditemukan dokumen
resmi permintaan Do Not Resuscitate (DNR) pada pasien.

DNR adalah perintah untuk tidak melakukan upaya penyelamatan pasien berupa
resusitasi jantung paru. DNR pada beberapa kepustakaan disebut juga sebagai Do Not Attempt
Resuscitation (DNAR), Do Not Attempt Cardiopulmonary Resuscitation (DNACPR) or Allow
Natural Death (AND).

Perdebatan mengenai aspek hukum DNR masih terus berlaku. Beberapa negara
melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di Cina dan Korea Selatan misalnya,
DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan pengobatan seperti resusitasi jantung paru
(RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama. Contoh
lain, di Inggris, mengemukakan bahwa orang yang diberikan label DNR memiliki
kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat penatalaksanaan yang layak. Dokter
juga harus dapat menggali apakah ada kemungkinan keinginan euthanasia, terutama pada
pasien dewasa yang kompeten namun menolak resusitasi jantung paru secara irasional.

Aspek lain yang banyak digunakan untuk menolak DNR adalah aspek etis dan agama.
Kaidah etis dan terutama kaidah agama menjadi banyak dasar pihak yang menolak dilakukan

6
DNR. Agama tidak memberikan kuasa pada manusia untuk dapat menentukan hidup dan mati
seseorang sebagaimana keputusan DNR dianggap dapat menentukan hidup dan mati
seseorang.

Beberapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro terhadap DNR adalah


pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal misalnya, bahwa rekomendasi American
Heart Association (AHA), sebagai salah satu panduan yang banyak digunakan di seluruh
dunia, menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua pasien. Pasien dengan kondisi
terminal, penyakit yang tidak reversibel, dan penyakit dengan prognosis kematian hampir
dapat dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP.

Beberapa organisasi profesi, misalnya organisasi profesi perawat dan dokter anestesi
memiliki konsensus yang mendukung hak pasien akan dirinya sendiri. Pasien yang dinyatakan
dewasa secara hukum dan kompeten berhak menolak prosedur, termasuk yang menyelamatkan
hidup mereka, setelah mendapat informasi dan memahami betul implikasi keputusannya.
Perintah DNR dianggap sebagai dokumen medis legal yang mencerminkan keputusan dan
keinginan pasien akan menghindari upaya untuk mempertahankan kehidupan.

Pandangan etis terhadap DNR juga dipakai sebagai alasan pembenaran tindakan
tersebut. Melakukan resusitasi jantung paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan teknis
namun juga mempertimbangan 4 kaidah bioetika, asas manfaat (beneficence), prinsip do no
harm (nonmaleficence), perlakuan yang adil (justice), dan hak otonomi pasien (autonomy).
Selain itu, beberapa pandangan agama juga membenarkan dilakukannya DNR terutama bila
RJP tidak akan memberikan hasil yang terbaik dan justru menambah beban pasien dan
keluarga.

Perintah DNR dapat juga merupakan bagian dari keputusan medis. Bila tim medis
percaya bahwa RJP tidak akan berhasil, maka RJP tidak perlu dimulai karena dokter dapat
menghentikan perawatan yang dianggap sia-sia (futile care). Hal ini memerlukan
keterampilan, pengetahuan dan kemampuan dokter dan tim medis lain. Keputusan DNR harus
dipandang sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien.

Pandangan hukum di Indonesia mengenai DNR, belum ada peraturan yang secara jelas
mengatur bagaimana DNR dilakukan di Indonesia. Dasar perundang-undangan yang banyak

7
digunakan sebagai landasan dalam mempertahankan kehidupan manusia adalah UUD tahun
1945 pasal 28 A perubahan kedua yang menyebutkan “setiap orang berhak hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hal ini diperkuat oleh Undang-undang no. 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 yang menyatakan bahwa “praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien
dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Pelaksanaan setiap tindakan kedokteran harus didasarkan pada persetujuan pasien


setelah mendengarkan penjelasan yang cukup oleh dokter. Hal ini tertulis pada UU no. 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45. Dalam keadaan kegawatdaruratan seringnya
persetujuan tindakan harus dilakukan bersamaan dengan pemberian tindakan yang
menyelamatkan nyawa. Pertolongan kegawatdaruratan harus diberikan oleh dokter
berdasarkan pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 17 menjelaskan bahwa “Setiap dokter
wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas peri kemanusiaan, kecuali bila
ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.” Pada penjelasan pasal 17
dinyatakan bahwa kewajiban dokter untuk memberikan pertolongan gawat darurat hanya
gugur oleh beberapa hal, salah satunya adalah pada pasien yang telah mendapat keputusan
medis DNR yang diberikan pada pasien paliatif.

Saat ini belum ada kepastian hukum yang mengatur DNR. Bila mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan no. 37 tahun 2014 mengenai penentuan kematian dan
pemanfaatan organ dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien
dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam pandangan ini, DNR dapat dianggap
sebagai bagian eutanasia. Eutanasia, walaupun belum jelas kedudukan hukumnya, dapat
dikenakan KHUP pasal 344 bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa.

Saat ini juga belum diatur bagaimana apabila keputusan DNR dilakukan oleh pasien,
bahkan sebelum masuk dalam perawatan. Dalam hal ini, pasien yang pernah mengambil
keputusan DNR di perawatan sebelumnya atau fasilitas kesehatan lain tidak dapat melakukan
penuntutan pada dokter apabila atasnya dilakukan tindakan penyelamatan nyawa.

8
Dalam pertimbangan hukum, pengambilan keputusan DNR harus dilakukan dengan
pertimbangan yang matang. Kesepakatan mengenai kondisi pasien dan bagaimana kualitas
hidup pasien menjadi penting. Pendokumentasian keputusan ini dalam form khusus juga
penting sebagai pembuktian bila ada permasalahan hukum di kemudian hari.

D. Pandangan dari Sisi Agama Tentang Euthanasia

Kontroversi yang mana menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja dan sadar
mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja
santer didiskusikan di kalangan dunia medis, tetapi telah merambah kemana mana terutama
para ulama Islam.

Isu euthanasia selalu muncul, salah satunya karena praktek tersebut bukan hanya
melibatkan pertimbangan hidup mati. Tetapi, termasuk juga pertimbangan hukum, perasaan
dan etika kedokteran. Selama jenis penyakit pada manusia terus berkembang dan
penyembuhan terhadapnya diyakini mustahil (apalagi dengan kadar penularan yang tinggi),
para ahli medis dan hukum mulai melirik kemungkinan-kemungkinan euthanasia.

Pada, Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam 114 PERSPEKTIF Volume XVIII
No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei Euthanasia, tidak ubahnya dengan menghabisi pasien yang
menderita tanpa sama sekali mengakhiri penderitaan mereka. Dengan kata lain, pengobatan
terhadap rasa sakit atau nyeri yang tak terbendung bukan semata dapat dilakukan dengan
pembunuhan, tetapi dapat pula ditempuh dengan terapi lain.

Tentu saja faktor agama akan sangat menentukan sikap seseorang terhadap derita sakit
dan juga nyeri yang dialaminya. Filsafat Buddha menyatakan bahwa derita sakit bersumber
dari frustasi. Bagi kaum Hindu yang meyakini bahwa pain (rasa sakit dan nyeri yang berasal
dari bahasa Latin poena) berarti siksaan akan lebih merasakan penderitaan nyeri dibanding
seorang Muslim yang menilai penderitaan sebagai cobaan dari Tuhan atau bahkan pembersihan
diri sebelum menghadap kepadaNya (Alwi Shihab, 1999:169).

Ketika orang-orang yang mana pro euthanasia menganggap bahwa kebebasan untuk
melakukan apa saja terhadap diri seseorang adalah hak yang paling utama bagi mereka yang
berdaya tinggi. Sebagaimana saya berhak memilih kapal untuk berlayar, atau rumah untuk
9
dihuni, saya pun berhak untuk memilih kematian untuk dapat meninggalkan kehidupan ini.
Maka Islam justru tidak sejalan dengan filosofis tersebut. Islam mengakui hak seseorang untuk
hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia. Hanya
Allah SWT yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati.

Bagi mereka yang menderita bagaimanapun bentuk dan kadarnya Islam tidak
membenarkan merenggut kehidupan baik melalui praktek euthanasia apalagi bunuh diri. Islam
akan menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap
musibah. Sebab seorang mu’min dicipta justru untuk berjuang, bukanlah untuk tinggal diam,
dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya tidak mengizinkan dia lari dari arena
kehidupan. Sebab setiap mukmin mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu senjata
iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi para penderita untuk bersabar dan
menjadikan penderitaan sebagai sarana pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Agar supaya meringankan derita sakit seorang muslim diberi pelipur lara oleh Nabi
Saw. dengan sabdanya, Jika seseorang dicintai Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada cobaan
yang beragam. Lain halnya dengan mereka yang tidak mendapatkan alternatif lain dalam
mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, Islam memberi jalan keluar dengan menjanjikan
kasih sayang dan rahmat Tuhan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Az-Zumar ayat
53.

Disinilah pentingnya peranan hukum Islam dalam menetapkan hal-hal yang halal dan
haramnya suatu sikap yang diambil dalam hal euthanasia. Ketika orang diombang-ambing oleh
keadaan yang sangat mendesak, karena dipengaruhi oleh tuntutan zaman atau kemajuan
teknologi, dimana orang seenaknya saja bertindak, yang asalkan menurut mereka hal itu
merupakan keputusan rasional tanpa melihat apakah tindakan mereka itu benar atau tidak
menurut hukum, agama maupun etika. Dalam berbagai studi dan literatur Islam, mengenai
pandangan terhadap tindakan euthanasia, nampaknya ada suatu kesepakatan atau paling tidak
terdapat kesamaan persepsi mengenai pengertian euthanasia.

Euthanasia adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk dapat membantu seseorang
dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidakmampuan menanggung derita
yang panjang dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau disembuhkan. Begitu pula dari para

10
tokoh Islam di Indonesia, seperti Amir Syarifuddin bahwa euthanasia adalah pembunuhan
seseorang bertujuan menghilangkan penderitaan si sakit (Chuzaimah T. Yanggo, 1995: 61).

Euthanasia yang sering terjadi pada umumnya dalam dunia kedokteran misalnya
tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan. Para tokoh Islam juga sepakat bahwa
euthanasia ada dua macam yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah
tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukkan tanda-
tanda kehidupan (Chuzaimah T. Yanggo, 1995:62). Sedangkan euthanasia pasif adalah
tindakan tindakan yang dilakukan oleh dokter atau orang lain untuk tidak lagi memberikan
bantuan medis yang memperpanjang hidup pasien (Kartono Muhammad, 1992:31).

Rumusan euthanasia yang dirumuskan di atas sejalan dengan pengertian yang


dirumuskan oleh komisi dari fatwa MUI, bahwa euthanasia adalah ”Katakanlah: Hai hamba-
hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya
Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi yang Maha Penyayang.” (Departemen Agama RI,
1992:753) 115 pembunuhan dengan didampingi oleh pertimbangan medis bagi seorang
penderita atau mengidap penyakit yang mana tidak mungkin lagi disembuhkan (Majalah Panji
Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996: 60).

Sebenarnya dalam menelaah berbagai konsep euthanasia yang telah dirumuskan oleh
para ahli, baik dari kalangan atau pakar Islam maupun diluar Islam, dasar-dasar perumusannya
dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Hal ini sejalan dengan fleksibilitas
akan sumber ajaran Islam tersebut. Misalnya dalam Al-Qur’an pada QS. AlAn’am ayat 151.

”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)


melainkan dengan sesuatu sebab yang benar.” (Departemen Agama RI, 1992:214)

Membunuh yang dimaksudkan dalam ayat di atas mengandung pengertian segala


macam bentuk dan jenis pembunuhan, termasuk juga membunuh dengan jalan euthanasia itu
termasuk dalam kategori ayat tersebut, yaitu membunuh secara sengaja terhadap seseorang
dengan bantuan dari orang lain. Dalam pengertian ini ada subjek, yaitu orang yang membantu
melakukan proses pembunuhan dan ada obyek yaitu pasien yang tengah mengalami

11
penderitaan yang dinilai cukup tragis. Akan tetapi pada Surat Al-An’am ayat 151 di atas ada
pengecualian pembunuhan yang tidak termasuk euthanasia seperti membunuh saat berperang
melawan orang kafir. Inilah yang diisyaratkan membunuh dengan alasan yang dibenarkan.

Dalam pengertian yang lebih eksklusif yang mana mengarah kepada euthanasia pasif
sebenarnya dapat pula ditemukan dasarnya di dalam Al-Qur’an. Karena akan dianggap
tindakan bunuh diri, dimana pasien meminta sendiri untuk mempercepat kematiannya dengan
diberi obat yang bisa mempercepat kematiannya, keadaan yang demikian berarti berputus asa
dan mengingkari rahmat Allah SWT, sebagaimana firmanNya dalam QS. AnNisa ayat 29 yang
berbunyi:

”Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang


kepadamu.” (Departemen Agama RI, 1992:214)

Nyawa merupakan barang titipan Allah SWT, oleh karenanya tidak boleh diabaikan
apalagi untuk menghilangkan secara sengaja. Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat
selalu optimis sekalipun ditimpa suatu penyakit yang sangat berat. Jadi Islam pulalah
memahami bahwa euthanasia adalah suatu keinginan dalam usaha mempercepat kematian
akibat ketidakmampuan menahan penderitaan.

Jadi euthanasia merupakan suatu usaha untuk membantu seseorang yang sedang
mengalami sakit atau penderitaan yang tidak mungkin disembuhkan untuk dapat mempercepat
kematian dengan alasan membantu menghilangkan penderitaan yang kian dirasakan, padahal
sama sekali tidak dapat mengakhiri penderitaannya. Jadi hukum Islam dalam menanggapi
euthanasia secara umum ini memberikan suatu konsep bahwa untuk menghindari terjadinya
euthanasia, utamanya euthanasia aktif umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada
kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk penderita sakit) sebagai
ketentuan yang datang dari Allah SWT.

Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakal. Dan diharapkan
kepada dokter untuk tetap berpegang kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya.
Dan beberapa ulama memberikan suatu konsep tentang euthanasia secara khusus bagi
penderita yang penyakitnya menular. Contohnya saja bagi penderita AIDS, menurut AF.

12
Ghazali dan salah seorang Ketua MUI Pusat HS. Prodjokusumo mengatakan bahwa,
mengisolasi penderita AIDS dipandang penyelesaian yang terbaik ketimbang harus
dihilangkan nyawanya (di euthanasia) (Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari
1996:61). Hal ini berarti bahwa kalau sedapat mungkin euthanasia dapat dihindari, mengapa
tidak dilakukan. Karena pepatah mengatakan dimana ada kemauan disitu pasti ada jalan. Kalau
dokter sudah menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan kepada
keluarganya tanpa bermaksud untuk menghentikan bantuan kepada si pasien.

E. Hukum Positif di Indonesia Tentang Euthanasia

Prinsip umum Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah
jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak hidup secara wajar sebagaimana
harkat kemanusiaannya menjadi terjamin, maka berdasarkan hukum di Indonesia euthanasia
adalah perbuatan yang melawan hukum. Hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-
undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa "Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama lamanya 12 tahun". Demikian
juga halnya pada pengaturan pasal 388 KUHP dinyatakan: “Barang siapa dengan sengaja
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima belas tahun”.

Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan, “ Barang siapa dengan
sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”, serta pasal 345 KUHP yang berbunyi “dengan
sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau
memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”,
dan 359 KUHP , yang dinyatakan “Barangsiapa yang karena salahnya telah menyebabkan
meninggalnya orang lain. Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, atau
dengan hukuman kurungan selam-lamanya satu tahun”, yang juga dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur delik dalam perbuatan euthanasia.

13
Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapa pun juga . Munculnya pro dan kontra seputar
euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum, yaitu persoalan “legalitas”
euthanasia. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di
dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah masyarakat indonesia yang
menganut paham komunis sehingga menimbulkan pro dan kontra .

Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit
diatur dalam pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan, “Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam
konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang.
Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan
“pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut
tetap digolongkan sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

Di luar ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk
menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam
terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum” , Selain itu patut juga diperhatikan adanya
ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan
Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,

14
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah”.

Dalam Pasal 306 (1) KUHP dinyatakan: Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal
304 dan 305 mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun enam bulan. Sementara Pasal 306 (2) KUHP menyatakan, “Jika
mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Dua ketentuan di atas
memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan
orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. atau dengan pengertian lain
pasal ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.6
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasa Moeloek
mengarahkan di majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 euthanasia atau "pembunuhan tanpa
penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut
oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP”.

F. Perawatan Paliatif

Perawatan paliatif adalah perawatan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas


hidup pasien dan keluarga yang menderita penyakit yang mengancam nyawa dan progresif,
seperti kanker, penyakit non-kanker, dan human immunodeficiency virus/acquired
immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS). Tujuan perawatan paliatif adalah mengurangi
penderitaan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui
berbagai tindakan medis, baik konservatif, operatif, ataupun tindakan lain. Keputusan
perawatan paliatif harus sudah ada sejak awal perawatan agar keinginan pasien terpenuhi.
Perencanaan perawatan lanjutan dibuat atas dasar keputusan bersama antara pasien, keluarga,
dan petugas kesehatan. Hasil akhir identifikasi dan keputusan dapat tertulis dalam advanced
directives.

Keistimewaan dari penawaran perawatan paliatif bersama penanganan kesehatan


pasien dengan kondisi serius, dan biasanya menahun (kronis) atau tingkat akhir (terminal).
Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah untuk meredakan gejala-gejala pasien dan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien, serta keluarganya. Perawatan paliatif biasanya diberikan

15
untuk mengatasi gejala penyakit yang mengancam jiwa, serta komplikasi dari pengobatan
untuk penyakit. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, penderitaan dan rasa sakit yang
berkurang dan selanjutnya dicegah, melalui pengenalan awal dan penilaian masalah pasien.
Berbagai masalah yang dibahas; tidak hanya fisik, tapi juga emosional, psikologis, sosial dan
bahkan spiritual. Perawatan paliatif juga biasa disebut perawatan pendukung atau perawatan
kenyamanan.

Perawatan paliatif dapat diberikan kepada setiap orang, tidak memandang usia. Juga
dapat diberikan terlepas dari tahapan atau prognosis penyakit. Baik perawatan rumah sakit
maupun perawatan paliatif memiliki tujuan yang sama yaitu meredakan gejala; perbedaan
utama antara keduanya adalah bahwa perawatan rumah sakit adalah bentuk penanganan tanpa
maksud untuk menyembuhkan penyakit, sedangkan perawatan paliatif dapat diberikan
bersama-sama dengan terapi kuratif (pengobatan untuk pemberantasan satu atau lebih
penyebab kondisi pasien) . Perawatan paliatif diberikan pada setiap pasien dengan penyakit
rumit, apapun hasilnya. Dengan demikian, dapat diberikan pada pasien yang diperkirakan sakit
untuk jangka waktu lama, untuk sepenuhnya pulih pada akhirnya, atau mengalami
perkembangan dari suatu penyakit penyakit.

Perawatan paliatif telah terbukti memiliki manfaat yang bermakna bagi pasien dan
keluarganya. Penelitian menunjukkan bahwa pasien lebih cocok dengan pengobatan mereka
ketika kekhawatiran emosional dan fisik mereka ditangani secara memadai. Pasien yang
menerima perawatan paliatif merasakan kualitas hidup yang lebih baik dan menurunkan biaya
rumah sakit, karena pengenalan prioritas pengobatan yang lebih baik, dan pemeriksaan yang
tidak perlu dapat dihindari.

Perawatan paliatif biasanya ditujukan semata-mata untuk penderita kanker, sebagai


pilihan untuk perawatan pada akhir kehidupan. Saat ini, semakin banyak dianjurkan untuk
orang yang memiliki penyakit berkepanjangan (kronis), seperti gagal ginjal, penyakit paru,
gangguan saraf, gagal jantung, dan bahkan kondisi kekebalan tubuh lemah
(immunocompromised) seperti HIV dan AIDS. Setiap pasien dengan penyakit serius atau yang
mengalami rasa nyeri atau tertekan dapat mempertimbangkan perawatan paliatif. Perawatan
ini dapat diberikan kepada orang dewasa dan anak-anak. Perawatan paliatif mungkin tidak

16
hanya meningkatkan kualitas hidup seseorang, namun juga dapat membantu dalam
memperpanjangnya.

Dalam beberapa kasus, perawatan paliatif dapat dianjurkan sebagai rencana


pengobatan tunggal untuk pasien. Dalam kasus ini, tidak ada pengobatan kuratif yang
diberikan kepada pasien. Kasus-kasus ini termasuk pasien yang memiliki keterbatasan
kemampuan kerja dan status fungsional, sehingga kemampuan menurun untuk mengurus diri
sendiri. Ini juga termasuk pasien yang telah mencoba pengobatan berdasarkan hasil di masa
lalu tetapi tidak mampu untuk mendapatkan manfaat apapun darinya, dan mereka yang tidak
memenuhi syarat atau setuju untuk dimasukkan dalam uji klinis.

Jika Anda dirujuk ke spesialis perawatan paliatif, Anda akan dinilai dan akan ditanya
tentang gejala Anda. Anda akan diminta untuk memberikan informasi seperti tingkat rasa
nyeri, nafsu makan, perasaan dan emosi, dan rasa umum kesejahteraan, dan lain lain.

Tujuan dokter Anda adalah mengelola kondisi Anda secara keseluruhan. Hal ini
dimulai dengan mengatasi rasa nyeri fisik Anda menggunakan penghilang rasa nyeri, seperti
opioid. Anda mungkin juga akan diberikan obat anti-psikotik untuk mengelola gejala lain,
seperti mual. Selain itu, terapi fisik atau latihan yang terfokus mungkin juga dianjurkan. Pilihan
pengobatan multi-modal, seperti pembedahan, kemoterapi, dan radioterapi, mungkin juga akan
ditawarkan untuk mengecilkan massa dan meminimalkan rasa nyeri, tergantung pada gejala
Anda.

Masalah psikologis dan emosional juga akan ditangani. Pertemuan konseling dan
keluarga biasanya dianjurkan. Anda mungkin juga dirujuk ke terapis kesehatan mental atau
disarankan untuk bergabung dengan kelompok dukungan untuk masalah ini. Masalah sosial
Anda juga akan dibahas, dengan bantuan dari anggota lain dari tim perawatan paliatif, seperti
konselor atau pekerja sosial. Tim-tim lain juga mungkin termasuk apoteker, ahli gizi, dan
pendeta, tergantung pada kebutuhan pasien dan keluarganya.

Keluarga pasien, yang rentan untuk mendapat masalah emosional, psikologis dan sosial
karena penyakit pasien, juga dapat menerima layanan perawatan paliatif. Perawatan paliatif

17
dapat membantu meringankan kekhawatiran mereka dan membantu mereka untuk mengatasi
situasi.

Kebanyakan lembaga medis menawarkan jasa perawatan paliatif di rumah. Sehingga,


dapat dimanfaatkan di rumah sakit atau pusat kanker di mana pasien dirawat. Namun, jika
pasien tidak masuk Rumah Sakit, ada juga pilihan untuk perawatan paliatif di luar rumah sakit.
Ini dapat diberikan dalam fasilitas untuk perawatan jangka panjang, seperti panti jompo, atau
bahkan di rumah pasien, di bawah pengawasan dokter. Beberapa program perawatan paliatif
juga menawarkan bantuan mengenai persiapan makanan, pengadaan kebutuhan, dan bahkan
perawatan bagi anggota keluarga dan pengasuh yang membutuhkan beberapa waktu istirahat.

Ada beberapa sumber daya dan organisasi nasional yang dapat memberikan informasi
lebih lanjut tentang pilihan perawatan paliatif, khususnya di komunitas dan daerah Anda.
Layanan perawatan paliatif dapat dilindungi oleh asuransi kesehatan.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Belum terdapat kesepakatan mengenai pengertian dan pelaksanaan euthanasia dari para
ahli. Dapat disimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan medis tertentu yang
dengan sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lain untuk mengakhiri atau
mempercepat kematian pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran
tidak dapat sembuh, atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya sendiri, demi
kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Masalah euthanasia bukan masalah baru , masalah ini sudah sering diangkat dalam
berbagai forum diskusi. Akan tetapi, pandangan medis, etis, yuridis, agama dan lain sebagainya
masih mengundang pro dan kontra, baik di Indonesia maupun di berbagai negara di dunia. Di
Indonesia, belum ada hukum yang mengatur secara jelas mengenai praktek euthanasia dalam
bidang medis. Apabila terjadi praktek euthanasia dapat dijerat dengan pasal pembunuhan,
antara lain pasal 304,306,340,344,345,359,356 dan 388 KUHP.

Selain itu, etika kedokteran dan agama di Indonesia masih menentang pelaksanaan
euthanasia dengan alasan apapun. Tidak mudah untuk menilai apakah perbuatan itu
bertentangan dengan hukum (pidana, perdata) Indonesia, jika tidak diketahui dengan jelas
kaitan antara hukum (pidana, perdata) tersebut dengan kriteria yang dipakai sebagai tolok ukur,
bagi sesuatu perbuatan yang menurut ukuran-ukuran medis mungkin lolos dari hukum (pidana,
perdata).

Untuk itu, hendaknya hukum pidana kita tetap berpedoman pada azas yang berlaku
umum yaitu actus non facit reum nisi mens sit rea atau an act does not innocence, dipakai
dalam mencari kebenaran materil yang dihasilkan melalui pembuktian adanya hubungan
kausal antara perbuatan dan akibat. Saran Diharapkan pada masa mendatang, Indonesia
memiliki hukum yang mengatur euthanasia dengan batasan yang jelas mengenai
penyakit/keadaan pasien dan latar belakang yang menjadi alasan dilaksanakannya euthanasia.

19
Pandangan hukum dan pertimbangan hak azasi manusia menjadi diskusi yang sangat berguna,
dimana profesi dokter dapat dilindungi dari berbagai pihak yang terkait.

B. Saran

Untuk dapat menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia
ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran sebagai berikut: Pertama, Bilamana pertimbangan
kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik
karena biaya yang amat terbatas, ataupun karena rumah sakit yang mana lebih lengkap terlalu
jauh, maka dapat dilakukan dua cara yakni: 1. menghentikan perawatan atau pengobatan,
dalam artian membawa pasien pulang ke rumah; 2. membiarkan pasien dalam perawatan
seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.

Oleh karena itu, umat Islam diharapkan untuk tetap berpegang teguh kepada
kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai
ketentuan yang datang dari Allah SWT. Hal itu hendaknya dihadapi dengan penuh kesadaran
dan tawakkal. Justru keadaan yang kritis itu merupakan masa penentuan kokoh atau goyahnya
iman seseorang. Konsekuensi dari akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.

Kedua, Untuk para dokter itu diharapkan agar tetap berpegang pada kode etik
kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan
proses kematian bisa dihindari. Kode etik kedokteran dan sumpah jabatan merupakan standar
profesi yang mengawal praktek dokter, sehingga praktek euthanasia bisa dihindarkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.uki.ac.id/48/1/Eutanasia%20dan%20hak%20asasi%20manusia.pdf

https://www.alomedika.com/kajian-bioetik-dan-medikolegal-dari-do-not-resuscitate

http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/315#:~:text=Perawatan%20paliati
f%20adalah%20perawatan%20yang,syndrome%20(HIV%2FAIDS).

Karyadi, P.Y. Euthanasia: Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Yogyakarta Penerbit Media
Pressindo: 2001: h. 53-87.

Budiyanto, A, et.al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Kedokteran Indonesia:1997: h. 25-8

S, Abraham, et al. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro. 2009: h. 39-40.

Wila Chandrawila Supriadi. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju: 2001:h 97-9

J.Guwandi.Kumpulan kasus Bioethics & Biolaw.Balai Penerbit FKUI : 2000 : h 4-9

Dwi Ratna Sarashvati.Tanya-jawab hukum kesehatan: panduan praktis untuk tenaga kesehatan,
mahasiswa hukum dan kesehatan, serta peminat hukum kesehatan. Jakarta: Yayasan Kusuma
Buana :2008: h 56-62

Anny Isfandyarie dkk.Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II.Jakarta
:Prestasi Pustaka : 26 : h 77-99

J.Guwandi.Hospital law : emerging doctrines & jurisprudence. Jakarta: Balai Penerbit FKUI :
2002: h 22-9

J.Guwandi.Hukum medic (medical Law). Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 2007: h 246-250

Qomariyah Sachrowardi,Ferryal Basbeth: Bioetik isu dan dilema: Jakarta: Penerbit Pensil324:
2011: h14
J.Guwandi.Medical error dan Hukum Medis :Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 2007: h 116-116
J.Guwandi.A Concise Glossary of Medical Law Terms:Jakarta: Balai Sagung Seto : 2007: h 67-
69

J.Guwandi.Hukum dan dokter:Jakarta : Balai Sagung Seto : 2008: h 73-79

Safitri Hariyani. Sengketa Medik: Jakarta: Penerbit Diadit Media: 2005, h 69-72

Rinanto Suryadhimirtha. Hukum malpraktek kedokteran:Yogyakarta:Penerbit Total Media:2011:


h 110

Anda mungkin juga menyukai