Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

EUTHANASIA DALAM PANDANGAN GEREJA KATOLIK


Dosen : Silverter Adinugraha, M.Hum

DISUSUN OLEH:
Kelompok 2

1. Arintina Herawati 2019.C.11a.1023


2. Cindy Masdy 2019.C.11a.1002
3. Dinda Enjelinae S 2019.C.11a.1005
4. Egga Ellisiya 2019.C.11a.1006
5. Muhammad Aldy Irfani 2019.C.11a.1018
6. Rahmah Pebrianti 2019.C.11a.1023
7. Rischo Rasmara 2019.C.11a.1025
8. Stella Ratna Clarissa 2019.C.11a.1028
9. Sunardi 2019.C.11a.1029
10. Virgo Mandala Putra 2019.C.11a.1033

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S1 KEPERAWATAN TINGKAT 1A
TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan Rahmat-Nya penulis dapat menulis makalah ini yang berjudul
“Euthanasia Dalam Pandangan Gereja Katolik” hingga selesai. Meskipun dalam
makalah ini penulis mendapat banyak yang menghalangi, namun mendapat pula
bantuan dari beberapa pihak baik secara moril, materil maupun spiritual.
Oleh karena itu, penulis menghanturkan terimah kasih kepada dosen
pembimbing serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan saran atas
selesainya penulis makalah ini. Di dalam penulisan makalah ini penulis menyadari
bahwa masih ada kekurangan-kekurangan mengingat keterbatasannya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh sebab itu, sangat di harapkan kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk melengkapkan
makalah ini dan berikutnya.

Palangkaraya, 20 November 2019


Penyusun

Kelompok 2 Agama Katolik Tingkat I A

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Euthanasia ................................................................................ 4
2.2 Sejarah Euthanasia ..................................................................................... 5
2.3 Jenis Euthanasia ......................................................................................... 7
2.4 Pandangan Kesehatan Masyarakat Mengenai Euthanasia ......................... 8
2.5 Hukum Mengenai Euthanasia .................................................................... 10
2.6 Euthanasia Menurut Ajaran Gereja Katolik ............................................... 12
2.7 Upaya Untuk Menghindari Eutanasia ........................................................ 14
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 17
3.2 Saran .......................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada dua masalah dalam bidang kedikteran atau kesehatan yang berkaitan
dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu,
sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran
yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang
disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah
diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan
masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya
kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus
provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan
sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan
hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam
situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan
ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien
yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang
penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat
terutama setelah ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan
mempergunakan tegnologi canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat
dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan
kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif
yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak dapat dibantu lagi.

1
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat
prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah
tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah
terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau
tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak
diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan,
euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana
pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan
sarana via extraordinaria.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus
yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke
Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang
mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk
dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari
komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia
sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
1.2 Rumusan masalah
a. Apa Pengertian Dari Euthanasia ?
b. Bagaimana Sejarah Euthanasia?
c. Apa Saja Jenis Euthanasia?
d. Bagaimana Pandangan Kesehatan Masyarakat Mengenai Euthanasia?
e. Bagaimana Hukum Mengenai Euthanasia?
f. Bagaimana Euthanasia Menurut Ajaran Gereja Katolik?
g. Bagaimana Upaya Untuk Menghindari Eutanasia?

2
1.3 Tujuan
a. Mengetahui Pengertian Dari Euthanasia
b. Mengetahui Sejarah Dari Euthanasia
c. Mengetahui Jenis Dari Euthanasia
d. Mengetahui Pandangan Kesehatan Masyarakat Terhadap Euthanasia
e. Mengetahui Hukum Mengenai Euthanasia
f. Mengetahui Euthanasia Menurut Ajaran Gereja Katolik
g. Mengetahui Upaya Untuk Menghindari Eutanasia

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Euthanasia


Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata
eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian
euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang
menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa
penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya
bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau
meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam
arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan
manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga
tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan
dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Dewasa ini orang menilai eutanasia terarah pada campur tangan ilmu
kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada
di sakratul maut. Kadang-kadang proses “meringankan penderitaan” ini
disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum waktunya. Dalam arti yang
lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh karena
belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak tak
normal, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu
dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tak bahagia itu diperpanjang
dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
Dari perjalanan arti eutanasia sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran
arti. Eutanasia yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini
diartikan sebagai tindakan untuk mempercepat kematian. Kiranya penting
memahami arti eutanasia itu sendiri sebelum dinilai secara etis maupun moral.
Oleh karena itu, kiranya perlu dilihat arti eutanasia menurut Gereja. Dalam arti
tertentu, kalau Gereja menyerukan arti eutanasia, kita tahu dengan pasti apa
yang dimaksud dengan eutanasia itu sendiri. Gereja sendiri yang dalam hal ini

4
diwakili oleh kongregasi suci untuk ajaran iman mendefinisikan eutanasia
sebagai sebuah tindakan atau tidak bertindak yang menurut hakikatnya atau
dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan demikian
menghentikan rasa sakit.
Unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak
memperpanjang hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan
kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.2 Sejarah Euthanasia
Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang
sejarah manusia, euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Sejarah
euthanasia dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
a. Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno
Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan
beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar
tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari apa yang diminta
manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada
kematian yang baik (Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup
sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa euthanasia adalah
‘kematian tenang dan baik’.
Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140
Masehi memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia
mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya.
Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya
dan bagi keluarganya ‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang
dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang
dipakainya” (Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan, hidup
sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian

5
penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus
16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan,
“lebih baik mati daripada sengsara merana“.
b. Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan
oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova
Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter
hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk
menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan
menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan
euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau
meninggal dunia. Thomas More dalam “the Best Form of Government
and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516
menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh
sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun
yang membiuskan.
c. Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional
tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality
of the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785),
rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan
euthanasia.
Tahun 20-30-an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan
jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl
Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater)
membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang
dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang
berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens,
Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan
praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri
hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata

6
sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum
Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.
2.3 Jenis Euthanasia
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya,
dari mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis
besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif
dan euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh
dokter untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara
medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang
bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua
golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan
melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung
mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida
atau suntikan zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa
tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri
hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat
mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat
bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup
manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah
tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunteer
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau
mempercepat kematian atas permintaan sendiri.

7
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada
pasien dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk
menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien
yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan.
Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga
mempunyai macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa
tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip
Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam
euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang
tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha
perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian
dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di
sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,
hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek
kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan
pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan
keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga
(misalnya keluarga), atau atas keputusan.
2.4 Pandangan Kesehatan Masyarakat Mengenai Euthanasia
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu
argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita
mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini
bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain
yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat
mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah

8
boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini
dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan
manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-
mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada
secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama
dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari
pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain.
Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-
sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya
sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai
alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia.
Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die.
Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta
agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti
penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar
mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”,
tanpa penderitaan yang tidak perlu. Sedangkan menurut pakar kesehatan
mengenai pengertian kematian :
Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena
jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa jantung
ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian
batang otak kepala.
Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung
terganggu. Tetap perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata
Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi
perdarahan pada otak, penderita tidak mati, jika batang otak betul-betul mati,
maka harapan hidup seseorang sudah terputus.
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak
yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan

9
kematian batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat
saraf penggerak motor semua saraf tubuh.
Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia)
mengatakan seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru
tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya
seseorang dengan empat fenomena. Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan
sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun bunyi, yang terdapat pada mulut,
jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir terutama
bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan lewat panca
indra dan hati.
2.5 Hukum Mengenai Euthanasia
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum
ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap
tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia
menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus
dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati
unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai
landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana
atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun
karena kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung
dengan euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum
penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat
beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri
hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus
dihadapinya.

10
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa
pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan
(moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup
atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum
penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi
bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa
manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa
sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda)
telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling
berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya
sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa
manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh
negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan
agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan
nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya
terhadap masalah euthanasia ini.

11
2.6 Euthanasia Menurut Ajaran Gereja Katolik
Sejak pertengahan abad ke-20, Gereja Katolik telah berjuang untuk
memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap
mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran
moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII,
yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan
eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem
modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas
masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980,
Kongregasi Ajaran Iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia
("Declaratio de euthanasia") yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut,
khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem
penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah
untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan
semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan
(Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan
"gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' di mana jumlah
orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban
yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa
eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang
semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung
penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
Magisterium Gereja Katolik dengan tegas menyatakan bahwa eutanasia
adalah bentuk pelanggaran berat terhadap Hukum Ilahi. Hal ini diungkapkan
sejauh menyangkut pematian dengan sengaja pribadi manusia yang secara
moral tidak dapat diterima. Tindakan eutanasia mengandaikan kejahatan yang
khas bagi bunuh diri dan pembunuhan. Eutanasia adalah pelanggaran
kriminal.
Sejak awal Gereja sangat menghargai martabat manusia. Gereja hidup
berdasar pada Sabda Tuhan. Tuhan bersabda “janganlah membunuh” (Kel
21:13). Dibalik perintah ini terkandung cinta Tuhan yang mendalam pada

12
manusia dan penghormatan yang tinggi terhadap hidup manusia. Yesus
sendiri menegaskan supaya hidup saling mengasihi. “ Inilah perintahKu, yaitu
supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh
15:12). Apabila seseorang mengalami cinta Tuhan maka dia akan mampu
hidup dalam cinta dan mengasihi sesamanya.
Pastor Hermas (sekitar abad I) melawan tindakan bunuh diri karena
melawan kehidupan yang diberikan oleh Allah sendiri. Pandangan ini juga
berkembang dalam pemikiran Santo Yustinus Martir (sekitar abad II) yang
mendasarkan pemikirannya pada Kitab Suci bahwa manusia adalah milik
Allah seutuhnya. Selain itu, St. Agustinus (abad IV) menolak secara tegas
tindakan bunuh diri yang melawan cinta Allah dalam hidup manusia (Kej 1).
Hidup manusia adalah pemberian Allah. Allah menciptakan manusia secitra
dengan-Nya. Oleh karena itu, hidup perlu dijunjung tinggi. St. Thomas
Aquinas (abad XII), juga melihat tindakan bunuh diri adalah kekerasan
terhadap cinta Allah. Manusia menjauhi kasih Allah dalam hidupnya.
Paus Pius XII memberikan tanggapan atas tindakan eutanasia yang
dilakukan secara sistematis pada masa kekuasaan Nazi dalam ensiklik Mystici
Corporis pada 20 Juli 1943. Selanjutnya Paus menanggapi “eugenic
euthanasia”, mengatakan bahwa eutanasia merupakan tindakan kekerasan
melawan Allah. Peristiwa ini sungguh mengerikan pada Perang Dunia II dan
pembantaian hebat yang dilakukan oleh Hitler terhadap orang-orang Yahudi.
Paus melontarkan pemikirannya dengan mengutip Kitab Suci mengenai Kain
yang membunuh Habel, adiknya (Kej 4:10). Paus mengedepankan keluhuran
tubuh manusia yang harus dihormati.
Konsili Vatikan II (1965) prihatin akan adanya bahaya yang mengancam
kehidupan manusia yang akan datang dengan perkembangan metode eutanasia
(GS art. 27). Keprihatinan Gereja semakin mendalam ketika melihat adanya
gerakkan yang kuat untuk terus melegalkan eutanasia. Sebagai reaksi atas
situasi ini, Kongregasi untuk Ajaran Iman mengeluarkan deklarasi tentang
eutanasia pada 5 Mei 1980. Kongrasi mengajak umat untuk memperhatikan
hidup manusia. Hidup manusia itu sangat bernilai.

13
Paus Paulus VI, memberi Amanat kepada Sidang Umum PBB, 4 Oktober
1965, “kemajuan teknik dan dan ilmu manusia yang canggih tetap
memperhatikan pengabdian pada manusia. Maka intervensi untuk
memperjuangkan nilai-nilai dan hak-hak pribadi manusia harus dijaga.
Orientasi dan pemikiran yang jernih untuk menolong kehidupan manusia
pertama-tama mengalir dari semua kaum beriman kristiani dan juga kepada
mereka yang mengakui perutusan Gereja, yang ahli dalam kemanusiaan,
dalam pengabdian cintakasih dan kehidupan” (Lihat, Kotbah Misa Penutupan
tahun Suci, 25 Desember 1975).
Paus Yohanes Paulus II menerbitkan ensiklik Evangelium Vitae(EV) 25
Maret 1995. Dalam EV. art. 15 Paus menyatakan bahwa eutanasia dapat
menjadi ancaman hidup yang serius bagi manusia. Paus tidak setuju dengan
eutanasia bahkan karena alasan belaskasihan bagi pasien yang mengalami
penderitaan atau cacat atau mengalami sakratulmaut. Selanjutnya Paus
menandaskan bahwa “eutanasia merupakan pelanggaran berat terhadap hukum
ilahi, apabila tindakan itu berupa pembunuhan sengaja terhadap seorang
manusia” (EV. art.65). Beberapa pendapat yang dilontarkan menunjukkan
bahwa Gereja prihatin dan mendorong umat manusia untuk sungguh-sungguh
menghargai kehidupan manusia, terutama mereka yang tidak berdaya lagi
karena penderitaan mereka. Perhatian tersebut diwujudkan melalui seruan
untuk menghentikan praktek eutanasia dan juga mengupayakan pelayanan
yang memberi kenyamanan bagi para penderita.
2.7 Upaya untuk Menghindari Eutanasia
Manusia diciptakan untuk mengabdi kehidupan. Hidup yang dijalaninya
suatu anugerah indah dan pemberian Tuhan. Artinya, kehidupan dan kematian
manusia tergantung pada Tuhan. Dan, tidak satu manusia pun di dunia ini
yang berhak untuk mengakhiri hidup sesamanya. Apalagi kematian tragis
yang diciptakannya. Kita semua prihatin akan fenomena pembunuhan, yakni
eutanasia yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin menghabisi kehidupan
sesamanya. Kita perlu berdoa agar mereka sadar dan bertobat. Dengan
demikian, mereka dapat mengabdi pada kehidupan manusia seutuhnya.
Beberapa hal yang diupayakan, sebagai berikut:

14
Pertama, manusia belajar mengasihi sesama. “Yesus mengajar para
pengikutnya agar hidup mengasihi sesama manusia seperti diri sendir” (Mrk
12:30). Mencintai berarti memperlakukan dia seperti kita memperlakukan diri
sendiri. Hal ini akan tercapai apabila seseorang mengalami kasih Yesus dalam
seluruh hidupnya. Sesungguhnya siapa pun manusia di dunia ini akan
menghadapi kematian. Kesadaran inilah yang memotivasinya untuk
menghormati sesamanya terutama yang sakit parah.
Kedua, Tuhan yang memberi kehidupan. Allah telah menciptakan manusia
menurut gambar-Nya: “Ia menciptakan mereka sebagai lelaki dan perempuan”
(Kej. 1:27), dan mempercayakan kepada mereka tugas “menaklukan bumi”
(Kej 1:28). Segala keahlian yang dimiliki manusia mengarah pada
penugasannya untuk mengabdi kehidupan. Augerah kehidupan yang
dipercayakan Allah Bapa kepada manusia, menuntut manusia untuk mengabdi
nilai luhur hidup itu dan mengemban tanggung jawab atasnya. Sejak semula
hidup manusia merupakan anugerah Allah yang sangat bernilai. Allah tidak
membiarkan umat-Nya mengalami kematian tragis melainkan kematian yang
layak dan wajar. Bukti bahwa “Allah mencintai manusia yakni mengutus
Yesus Putera-Nya , barangsiapa percaya pada-Nya memperoleh hidup kekal”
(Yoh 3:16). Allah sungguh mengasihi manusia dengan jalan mengutus Yesus
ke dunia dan mati untuk menebus dosa manusia. Sesungguhnya, cinta seperti
ini mengalir juga dalam seluruh hidup manusia. Kalau mau mengabdi dan
menolong sesama, kita perlu memberi perhatian sampai tuntas.
Ketiga, pendampingan manusiawi dan rohani. Kedua pendampingan ini
memberikan kekuatan dan ketenangan bagi penderita. Pendampingan manusia
meliputi perawatan dan ada bersama penderita. Perhatian seperti ini
merupakan kekuatan yang nyata bagi penderita. Pendampingan lain yang ialah
pendampingan rohani. Pendampingan seperti ini menguatkan batin penderita.
Dia perlu diingatkan bahwa bagi orang beriman, penderitaan merupakan
bentuk konkret partisipasi dalam penderitaan Kristus. Selain itu, mendoakan
dan menghibur dia. Doa membantu penderita untuk menghadapi semuanya
dalam iman dan menguatkan imannya. Dengan demikian dia menghadapi
dengan ketenangan batin yang mendalam.

15
Keempat, segala perbuatan manusia akan dipertanggung jawabkan pada
saat mengakhiri perziarahan di dunia. “Apa pun yang kamu lakukan untuk
salah seorang dari saudaraku yang hina ini, kamu lakukan untuk aku” (Mat
25:40). Setiap perbuatan baik yang dilakukan untuk sesama kita lakukan untuk
Yesus. Sebaliknya, segala tindakan jahat yang dilakukan akan dipertanggung
jawabkan. Kita sudah menyimak beberapa pendapat Gereja berkaitan dengan
eutanasia. Apa pun alasannya, eutanasia tidak dibenarkan. Salah satu tujuan
yang ingin dicapai agar manusia bertindak dan berbuat yang benar seperti
nasihat Injil dan Gereja-Nya. Eutanasia adalah pembunuhan. Pembunuhan
adalah dosa berat. Maka siapa yang membunuh akan dihadapkan pada
pengadilan, baik di dunia ini, terlebih lagi pada pengadilan terakhir. Setiap
perbuatan jahat ganjarannya ialah hukuman. Apa yang diserukan Gereja
mestinya membuka mata dan hati manusia. Manusia hidup hanya sementara.
Supaya berkenan pada Allah perlu hidup dalam kebenaran, kebaikan dan
hormat terhadap sesama. “Manusia dipanggil kepada kepenuhan hidup, yang
jauh melampaui dimensi-dimensi hidupnya di dunia, sebab terdiri dari
partisipasi dalam kehidupan Allah sendiri” (EV. 2).

16
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif
Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Munculnya permintaan tindakan medis euthanasia hakikatnya menjadi
indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai kultural.
Disini Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar etika, agama,
moral dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila dilegalisir,
euthanasia dapat disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan
menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of life, dan
hukum. Namun demikian, pernyataan yang telah dikemukakan, pertama
secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan
membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya.

3.2 Saran
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia
sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

17
Daftar Pustaka

http://Pandangan Etika Dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia ” _


Fatmanadia.Htm
http://wimuliasih.blogspot.com/2013/05/euthanasia.html
http://bebenta.blogspot.com/2012/06/etika-euthanasia.html

18

Anda mungkin juga menyukai