Pembimbing :
5B Keperawatan
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “EUTHANASIA” ini dengan baik. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah isu global
1. selaku dosen pembimbing pembuatan makalah dan juga selaku dosen penanggung jawab
mata kuliah Keperawatan Medikal dan
2. Teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Lamongan.
Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca demi
penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi keperawatan medikal
kedepannya dan menambah pengetahuan pembaca.
Penulis
Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................5
A. Latar Belakang....................................................................................................................................5
B. Rumusan masalah...............................................................................................................................6
C. Tujuan.................................................................................................................................................6
BAB II.........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
BAB III......................................................................................................................................................16
BAB IV.....................................................................................................................................................19
PENUTUP.................................................................................................................................................19
4.1 Kesimpulan......................................................................................................................................19
4.2 Saran................................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada dua masalah dalam bidang kedikteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek
hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam
masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam
lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis
dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini
tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma
oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus
dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima,
bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah
ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien
sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon
agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain
keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien
yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan
pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah
euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati
secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin banyak
kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukannya tindakan
didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan tegnologi canggih dalam menghadapi
keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat
pelayanan kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang
pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak dapat dibantu lagi.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa.
Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi.
Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra
untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang
sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia
dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang
mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara
yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan
euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya
korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk
dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan
dinyatakan sehat oleh dokter.
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah
satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik
sosial, etika, maupun moral.
B. Rumusan masalah
a. Apa pengertian dari Euthanasia ?
C. Tujuan
a. mengetahui pengertian dari Euthanasiai Euthanisi
PEMBAHASAN
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari
itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun
untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya.
Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi
kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang
bersangkutan menghendakinya.
Dewasa ini orang menilai eutanasia terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang
meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada di sakratul maut. Kadang-kadang
proses “meringankan penderitaan” ini disertai dengan bahaya mengakhiri hidup sebelum
waktunya. Dalam arti yang lebih sempit, eutanasia dipahami sebagai mercy killing, membunuh
karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap anak tak normal, orang
sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar janganlah hidup yang
dianggap tak bahagia itu diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat.
Dari perjalanan arti eutanasia sendiri kelihatan adanya suatu pergeseran arti. Eutanasia
yang pada awalnya berarti kematian yang baik, dewasa ini diartikan sebagai tindakan untuk
mempercepat kematian. Kiranya penting memahami arti eutanasia itu sendiri sebelum dinilai
secara etis maupun moral. Oleh karena itu, kiranya perlu dilihat arti eutanasia menurut Gereja.
Dalam arti tertentu, kalau Gereja menyerukan arti eutanasia, kita tahu dengan pasti apa yang
dimaksud dengan eutanasia itu sendiri. Gereja sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh kongregasi
suci untuk ajaran iman mendefinisikan eutanasia sebagai sebuah tindakan atau tidak bertindak
yang menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, untuk dengan
demikian menghentikan rasa sakit.
Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia,
euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Sejarah euthanasia dapat dilihat antara lain
sebagai berikut :
Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh kuno.
Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari
apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian
yang baik (Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD,
mengatakan bahwa euthanasia adalah ‘kematian tenang dan baik’.
Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan
kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu
diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi
keluarganya ‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan
tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan,
hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian penuh kehormatan,
kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M
malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada sengsara merana“.
Ø Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan oleh Thomas More
dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica,
yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan,
melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu
dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia.
Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island of Utopia” yang
diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara
secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.
Ø Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh
diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume,
London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan euthanasia.
Tahun 20-30-an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah
euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche
(psikiater) membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas
hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung
lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek
Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat,
sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum
Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana datang
permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia dikelompokan
dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan
beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup
seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-
obatan yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis yang
diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida
atau suntikan zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang dilakukan tidak
akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat
mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan
yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan akan meninggal
setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas
permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan tidak
sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili
pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit
dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang lain,
hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi seperti
dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia
secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek
kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati
dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek samping,
bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala
macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek
kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.
Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan
bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang
disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan
Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”. Etik merupakan
morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi terentu dalam memberikan
pelayanan jasa kepada masyarakat.
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam
hubungan dengan orang lain.
Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan
pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara umum, terminologi etik dan
moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan moral bila istilah etik
mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema
tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang
atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga
etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional.
Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang
digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya
dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu
prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita
harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada
suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (The
Sanctity Of Life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di
mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia
sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda,
meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan
aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan
saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan
juga dalam sistem hukum beberapa Negara.
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu. Tanpa
hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia adalah hak
dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan
koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena
itu, ia tetap harus dihormati.
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan
sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode
etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya
dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien),
tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam
suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa :
Eutanasia atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai
dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni
KUHP (Wikipedia, 2012).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah
melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan
Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif
untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal,
pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak
dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana,
yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Di dalam Wikipedia (2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat beberapa negara yang
telah melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa persyaratan dan pertanyaan yang harus
dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian Oregon
di Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis
yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa
seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang
memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir
hidupnya.
2.5 Pandangan Kesehatan Masyarakat Mengenai Euthanasia
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya
menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas larangan
membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau
orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu
kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia
kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of
life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana
harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik
(ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia).
Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau
tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-
sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu,
manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan
tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang
banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah
sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari
yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya
sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa
penderitaan yang tidak perlu. Sedangkan menurut pakar kesehatan mengenai pengertian kematian :
Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena jantung
merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat
saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak kepala.
Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetap
perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor
UI). Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada otak, penderita tidak mati, jika batang otak betul-
betul mati, maka harapan hidup seseorang sudah terputus.
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu kematian
korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan
batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf tubuh.
Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan
seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang
dengan empat fenomena. Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak. Kedua, adanya
suara maupun bunyi, yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai
kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan
lewat panca indra dan hati.
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan
(dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi bagaimanapun
karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka
harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur
euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang
terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum
jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.
Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat padapasal
344 KUHP.
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya
dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat
untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien,
ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu
diketahui oleh dokter, yaitu:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-
lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya
empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam
KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang
pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya
yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang
perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap
sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna
kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh
undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
BAB III
Jakarta - Euthanasia atau suntik mati lazimnya hanya diberikan kepada mereka yang sudah sakit
kronis dan tak memiliki harapan untuk sembuh.
Namun baru-baru ini seorang pria di Belanda memutuskan mengakhiri hidupnya dengan suntik
mati setelah lelah hidup sebagai pecandu alkohol. Ia merasa ini adalah satu-satunya cara untuk
menghentikan kecanduannya pada alkohol.
Kisah tentang pria bernama Mark Langedijk ini ditulis oleh sang adik, Marcel dan dipublikasikan
di majalah lokal, Linda.
Dikisahkan bahwa Mark, Marcel dan saudara perempuan mereka, Angela memiliki masa kecil
yang bahagia di Provinsi Overijssel, Belanda timur. Akan tetapi persoalan muncul ketika delapan
tahun lalu keluarga menemukan bahwa Mark bermasalah dengan alkohol.
"Kami mencoba semuanya, psikolog, psikiater, dokter untuk membantunya. Tetapi Mark seolah-
olah tak tahu bagaimana caranya menjelaskan apa yang ia rasakan," tulis Marcel seperti
dilaporkan Daily Mail.
Marcel bahkan sempat marah karenanya, apalagi ketika melihat pengorbanan orang tua mereka.
"Orang tua kami mengadopsi kedua anaknya. Mark dipersilakan tinggal di rumah ketika
pernikahannya hancur, memberinya akomodasi, mengantarnya rehab, memberinya uang,
dukungan dan cinta tanpa putus," urainya.
Namun selama delapan tahun yang berat itu dengan 21 kali keluar masuk rehabilitasi, Mark tetap
saja minum, bahkan tiap kali selesai rehabilitasi.
Lelah, Mark sendiri akhirnya memutuskan untuk mati saja, dan hal ini tentu ditentang oleh
keluarga, terutama karena euthanasia bukan diperuntukkan bagi pecandu alkohol. "Ia bilang ke
dokternya bahwa ia ingin mati, enough is enough," lanjut Marcel.
Rupanya Mark sendiri menyadari bahwa hidupnya berantakan. Bahkan ia mempunyai bukti
untuk itu dengan diam-diam menulis sebuah diari yang menurut Marcel berisi 'tumpahan
perasaan sakit, kesepian dan kesedihan'.
Permintaan Mark untuk memperoleh euthanasia akhirnya disetujui oleh lembaga berwenang,
Support and Consultation on Euthanasia in the Netherlands. Ia bahkan diperkenankan memilih
tanggal kematiannya sendiri, yaitu 14 Juli, dan berulang kali menyebut dirinya 'mayat berjalan'.
Begitu hari H tiba, Mark duduk-duduk di teras dan meminum bir. Ia juga sempat melontarkan
guyonan dan memakan roti lapis dan sup, hingga dokternya tiba pada pukul 3.15 sore. Artikel
Marcel juga menjelaskan dengan detail apa yang terjadi setelahnya.
Mark dan keluarganya dijelaskan prosedur dari euthanasia, dimulai dari pemberian obat tidur lalu
suntikan untuk menghentikan detak jantungnya. Mark lantas diminta berbaring dalam keadaan
tenang. "Saya mulai menangis, begitu juga orang tua saya, setiap orang, bahkan Mark sendiri,"
kata Marcel.
Mark kemudian sempat meminum segelas wine putih dan menyulut sebatang rokok. Setelah
bertanya 'Apakah Anda yakin 100 persen?', sang dokter kemudian memberinya suntikan
mematikan itu. Mark dinyatakan meninggal dalam usia 41 tahun.
Kematian Mark menandai babak baru praktik dalam euthanasia di Belanda. Sejak diperkenalkan
16 tahun lalu, euthanasia hanya diberikan kepada mereka yang sakit kronis, tetapi belakangan
praktik ini meluas, di antaranya diperuntukkan bagi mereka yang mengalami 'isolasi sosial dan
kesepian', seperti halnya Mark.
Sejauh ini Belanda adalah salah satu dari hanya sedikit negara yang melegalkan euthanasia.
Tahun lalu saja, sudah 5.500 orang yang permintaan eutanasianya dipenuhi oleh negara. Bahkan
Belanda bisa memberikan layanan ini di rumah masing-masing pasien, sesuai permintaan.
1. Otonomi (menghargai)
Menghargai hak pasien dan keluarga pasien.
2. Freedom (kebebasan)
Pasien bebas memilih dokter dan perawat.
3. Veracity (kebenaran)
Tidak boleh merahasiakan penyakit pasien.
4. Justice (keadilan)
Tidak boleh membedakan pasien BPJS maupun pasien umum
5. Non maleficence (tindakan)
Prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau yang membahayakan
6. Beneficence (keseimbangan)
Menyeimbangkan hal-hal yang menguntungkan atau merugikan
7. Fidelity (memenuhi)
Memenuhi kewajiban dan tugas dan memenuhi janji
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara
yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
4.2 Saran
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah
satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik
sosial, etika, maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA
http://wimuliasih.blogspot.com/2013/05/euthanasia.html
http://bebenta.blogspot.com/2012/06/etika-euthanasia.html