Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Masailul Fiqiyyah
FAKULTAS SYARIAH
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’Ala yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Euthanasia dalam Pandangan Hukum
Islam”
Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah banyak membantu kami dalam penyusunan makalah ini, terkhusus kepada:
1. Kepada Dr. Makmun, M.HI selaku dosen pengampu mata kuliah Masailul
Fiqiyyah.
2. Kepada orang tua yang telah memberikan dukungan moral dalam pembuatan
makalah ini.
3. Kepada teman – teman yang telah membantu dan bekerja sama dalam
pembuatan makalah ini.
Penyusun
Kelompok 14
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kematian, bagi sebagian besar umat manusia itu merupakan suatu hal yang
sangat menakutkan dan mungkin tidak dikehendaki bagi sebagian individu.
Dengan menggunakan akal dan pikirannya, manusia dapat mampu
menciptakan kemajuan teknologi guna mempermudah dalam menjalankan
kehidupan. Manusia secara terus-menerus melalui pesatnya ilmu pengetahuan
dan teknologi mencoba berusaha untuk menunda kematian dengan
menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
menyembuhkan kesehatan manusia. Tetapi sebaliknya, dengan adanya
penemuan-penemuan sains dan teknologi tersebut, terkadang dapat juga
membawa kepada suatu konsekuensi tertentu yang berdampak dalam
kehidupan manusia.
Secara umum, kematian adalah suatu pembahasan yang sangat ditakuti
oleh publik, akan tetapi tidak demikian di dalam dunia kedokteran atau
kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu
menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir atau
dimanipulasi menjadi sesuatu yang dapat dipastikan tanggal kejadiannya.
Hadirnya praktik Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi1. Sejauh
ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia
(mercy killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan
dirinya sendiri dengan tujuan menghilangkan rasa sakit dengan aman dan
damai serupa dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang.
Problematika terkait euthanasia telah lama menjadi perbincangan di dunia
kedokteran dan juga hukum islam. Tidak adanya kejelasan terhadap legalitas
praktik ini semakin melambungkan euthanasia dan akan selalu menjadi topik
1
Nurul Fahmi, ‘’Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam’’, dalam Jurnal Studi Islam
Vol.12, No. 2, 2020, h. 297.
1
yang hangat dan layak diperbincangkan, di dalam konteks kesehatan modern,
kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba.
Kematian dapat dilegalisir atau dimanipulasi menjadi sesuatu yang dapat
dipastikan tanggal kejadiannya. Hadirnya praktik Euthanasia memungkinkan
hal tersebut terjadi2.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari adanya makalah ini adalah mengulik hal-hal terkait
problema euthanasia dalam pandangan hukum islam, yang bertujuan untuk
merumuskan beberapa jawaban yang telah dihasilkan dari rumusan masalah
diatas, diantara lain :
2
Nurul Fahmi, ‘’Euthanasia dalam Perspektif...,h. 297.
2
1. Guna memahami terkait euthanasia.
2. Guna memahami terkait macam dan bentuk dari euthanasia.
3. Guna memahami terkait sebab dan tujuan yang melandasi terjadinya
euthanasia.
4. Guna memahami terkait euthanasia dalam pandangan umum.
5. Guna memahami terkait pandangan islam terhadap euthanasia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Euthanasia
4
2. Euthanasia dalam pandangan luas : Dengan memendekkan hidup
seseorang yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai
tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien. Menurut kode etik
kedokteran Indonesia, kata eutahanasia dipergunakan dalam tiga arti yaitu
(1) Berpindahnya seseorang ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, (2) Pada saat kehidupan seseorang yang tidak dapat lagi
diselamatkan atau waktu hidup akan berakhir, maka diringankan
penderitaannya dengan obat penenang, (3) Mengakhiri penderitaan dan
hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.3
Euthanasia secara singkat dapat diartikan dengan mengambil hak
kehidupan seseorang baik secara sukarela atas permintaan dari pasien itu
sendiri atau euthanasia dapat dilakukan sebab adanya unsur keterpaksaan.
Kontroversi yang timbul akibat praktik ini serupa dengan tindakan
pembunuhan secara sengaja. Seperti yang diketahui, tidak ada seorangpun
yang berhak dan dapat mengambil hak kehidupan seseorang baik dalam
pandangan hukum islam maupun hukum nasional.
5
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menciptakan penyakit beserta
obatnya. karena itu, berobatlah”. 4
KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa MUI telah lama mengeluarkan fatwa
yang mengharamkan dilakukannya tindakan Euthanasia (tindakan mematikan
orang untuk meringankan penderitaan sekarat). Euthanasia dalam keadaan
aktif maupun dalam keadaan pasif. KH Ma’ruf Amin mengatakan, euthanasia
boleh dilakukan apabila dalam kondisi pasif yang sangat khusus seperti
kondisi seseorang yang keberlangsungan hidupnya tergantung oleh alat
penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang
lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif
adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis
perawatan, tetapi memang harus dimatikan. Mengenai dalil atau dasar fatwa
MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan bahwa dalilnya secara
umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputus-asaan yang
tidak diperbolehkan dalam Islam.5 Dalam hal masalah euthanasia ini, para
tokoh Islam Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia. Namun
diantara sekian banyak ulama yang menentang ada beberapa ulama yang
menerima.
4
Irwan Budi Nugroho, ‘’ Euthanasia dan Bunuh Diri Ditinjau Dari Hukum Islam Dan
Hukum yang Berlaku di Indonesia’’, dalam Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol. 13, No. 2, 2020, h.
79.
5
Enung Nurlaela, ‘’ Euthanasia Dalam Perspektif Tafsir Indonesia (Kajian Terhadap Tafsir
Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah), dalam Skripsi Institut Ilmu Al-Qur’an , (Jakarta : Institut Ilmu Al-
Qur’an, 2021), h. 3
6
mencapai stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak
mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Contoh dari euthanasia
aktif ini adalah terdapat seseorang yang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal
ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian
dokter memberinya obat dengan takaran tinggi yang dapat menghilangkan
rasa sakitnya sekaligus menghentikan saluran pernapasannya. Seperti
tertuang didalam Firman Allah SWT yang artinya : ‘’Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang"
6
Ahmad Thobroni, ‘’Bom Bunuh Diri dan Euthanasia dalam Tinjauan Hukum Islam’’,
dalam Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, 2017, h. 137.
7
memberikan makanan dan minuman yang mengakibatkan pasien
meninggal secara perlahan.
b. Eutahanasia pasif bukan alamiah : suatu tindakan menghentikan
penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator
(alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan yang digunakan
sebagai penunjang kehidupan pasien. Euthanasia pasif bukan alamiah
dengan mencabut alat bantu pernapasana atau penunjang kehidupan
tidak sama dengan pembunuhan. Hal ini disebabkan, alat penunjang
hanya dapat memperpanjang kehidupan pasien dan tidak dapat
menyembuhkanya7.
7
Irwan Budi Nugroho, ‘’ Euthanasia dan Bunuh Diri....,h. 80.
8
Eko Setiawan, ‘’Eksistensi Euthanasia dalam...., h. 154.
8
C. Sebab dan Tujuan Hadirnya Praktik Euthanasia
9
Irwan Budi Nugroho, ‘’ Euthanasia dan Bunuh Diri....,h. 84.
9
dokter maka dibentuklah kode etik kedokteran dengan seperangkat peraturan
untuk mengatur regulasi serta pergerakan dokter dalam pekerjaanya. Pada
umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipocrates yang
dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan dokter sedunia di London
bulan Oktober tahun 1949 dan direformasi oleh sidang ke 22, himpunan
tersebut di Sydney pada bulan Agustus tahun 1968.
Indonesia sendiri juga telah memiliki kode etik kedokteran yang telah
tegas tercantum didalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang berlaku sejak
tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI
tentang Pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23
Oktober 1969. Kode Etik kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus tahun 1969 Nomor
55/WSKN/1969. Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien
dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan
mempertaruhkan segala macam cara untuk dapat menyembuhkan kesehatan
pasien. Menurut etika kedokteran, dokter tidak boleh atau dilarang untuk
melakukan hal-hal yang dapat membahayakan atau dapat membunuh pasien,
diantaranya :
a. Menggugurkan kandungan : pelarangan ini juga menyentuh ranah
pidana tepatnya dalam pasal 346 KUHP, yang menyatakan sebagai
berikut: “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun”. Meskipun dilarang, terkadang aturan ini
masih dapat dilakukan oleh dokter disebabkan pertimbangan kesehatan
dan nyawa pada ibu. persetujuan ini harus disepakati oleh dua orang
dokter dan perjanjian tertulis dari pihak suami ataupun keluarga pasien.
b. Mengakhiri hidup seseorang pasien : tindakan ini dilakukan
berdasarkan pengamatan dokter terhadap pasien dengan harapan hidup
10
kecil.
10
Eko Setiawan, ‘’Eksistensi Euthanasia dalam...., h. 156.
10
2. Euthanasia dalam Pandangan Hukum Pidana
Kematian merupakan bagian dari takdir manusia yang harus diterima.
Tidak ada seorang pun yang dapat menghindari ataupun dapat menentukan
mengenai kelahiran dan kematian. Siklus yang terjadi dalam kehidupan
manusia adalah kelahiran dan kematian yang terjadi secara bergantian. Pada
umumnya kelahiran selalu membawa kebahagiaan, dan kematian selalu
membawa kesedihan. Kematian yang terjadi secara alamiah, selalu dapat
diterima sebagai hal yang wajar, karena manusia pada saatnya akan mati, akan
tetapi mati secara tidak alamiah seperti bunuh diri atau permintaan untuk
dibunuh (diakhiri hidupnya “euthanasia”), ada hubungannya dengan hak
untuk mati dari seseorang merupakan mati yang tidak diharapkan.
Berbicara terkait hak, sudah tentu berhubungan dengan hukum sebab
hukum hadir untuk melindungi hak-hak setiap individu. Hukum merupakan
hak dan kewajiban yang timbal balik dan tentang boleh dan tidak boleh. Jadi
jika ada hak untuk mati dari seseorang maka ada kewajiban dari pihak lain
untuk menghargai hak seseorang tersebut dan begitu pula sebaliknya dan
apabila tidak ada hak untuk mati, bila seseorang melakukan bunuh diri atau
euthanasia, maka terjadi perbuatan melanggar hukum dan perbuatan tersebut
dapat dikenakan sanksi hukum. Konsep tentang mati ada empat yaitu :
a. Kematian yang ditandai dengan berhentinya darah mengalir. Telah
termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981 dinyatakan
bahwa mati adalah berhentinya semua fungsi jantung dan paru-paru.
Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resultasi telah memungkinkan
jantung dan paru-paru yang telah berhenti, kadang dapat dipulihkan
kembali. Sehingga dilihat dari perkembangan teknologi kedokteran,
kriteria mati yang ditetapkan PP No. 18 tahun 1981 tersebut sebenarnya
sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan pada saat ini.
b. Kematian sebagai lepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak
yang beranggapan
c. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen (irreversible loss of
ability). Kehilangan fungsi organ tubuh yang semula bekerja secara
11
terpadu kini berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali, karena fungsi
pengendali (otak) telah rusak dan tidak mampu mengendalikan mereka.
d. Hilangnya kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar
dan melakukan interaksi sosial.
Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini
dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta
teknologi kedokteran yang sedemikian maju sehingga mampu
mempertahankan hidup. Bentuk pembunuhan yang diatur dalam pasal 344
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, merumuskan bahwa “barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan pidana paling lama 12
tahun penjara”. kejahatan yang dirumuskan pada pasal tersebut, terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
1) Perbuatan: menghilangkan nyawa;
2) Obyek: nyawa orang lain;
3) Atas permintaan orang itu sendiri;
4) Jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh.
Terdapat miskonsepsi yang terjadi pada pasal ini jika dikaitkan kembali
dengan euthanasia, yaitu terdapat unsur atas permintaan korban, membuktikan
bahwa inisiatif untuk melakukan pembunuhan itu terletak pada korban sendiri.
Sedangkan pada pasal 338 KUHP ada pada bertindak. Bila inisiatif
pembunuhan itu pada orang lain, tetapi pelaksanaanya bukan pada orang lain,
melainkan pada korban sendiri, maka bukan pembunuhan seperti disebutkan
pada pasal 344 yang terjadi, tetapi pembunuhan pada pasal 345 yakni: “barang
siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya kepadanya
untuk itu, maka jika orang itu jadi membunuh diri, dihukum penjara selama-
lamanya empat bulan”.
Euthanasia dilakukan karena adanya permintaan dari pasien atau keluarga
pasien. Hal ini meskipun menurut yang meminta kesungguhan itu sudah jelas,
12
tetapi pembunuhan tetap dilakukan, maka pembunuhan yang terjadi adalah
termasuk dalam pasal 338 KUHP dan bukan pasal 344 KUHP. Adapun delik
yang dilanggar dan dapat dikenakan hukuman jika dikaitkan dengan praktik
euthanasia ini, menyangkut dengan dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan
pasal 344 KHUP dengan pasal 344 KUHP yang dapat diterapkan. Jika
terdapat asas Lex spesialis derogate legi generali sebagaimana tercantum
dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, maka pasal 338 KUHP yang dipakai sebagai
aturan pemidanaan. Penyebabnya adalah ancaman pidana penjara pada pasal
338 KUHP yaitu 15 tahun lebih berat daripada ancaman pidana pada pasal 344
KUHP yang hanya 12 tahun. Dapat dipahami bahwa dalam concursus idealis
sistem absorbs yang akan diterapkan, seperti disebutkan dalam pasal 63 ayat
(1) KUHP, yang memilih ancaman pidana yang terberat. Oleh karena itu
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia hanya pasal 344 saja
yang mengatur masalah euthanasia. 11
Islam sangat menghargai setiap jiwa yang hidup, terlebih lagi dengan
jiwa manusia. Tentu banyak dalil al-Qur’an maupun hadist yang
menerangkan betapa berharga dan pentingnya sebuah jiwa dengan perintah
menghormati dan memelihara jiwa yang manusia (hifdz al-nafs).
Meskipun jiwa termasuk kedalam hak asasi manusia yang dimiliki oleh
setiap individu, namun tidak ada yang berhak untuk mencabut ataupun
melenyapkan jiwa tersebut kecuali Sang Pencipta. Aturan tegas Allah
terkandung didalam dalil berikut :
11
Noor Asma, ‘’Euthanasia dalam Prospeksi Pengaturan dalam Hukum Islam dan Hukum
Pidana’’, dalam Jurnal Al-Himayah, Vol.2, No. 2, 2018, h. 173.
13
a. Surat al-Najm ayat 44 :
14
Euthanasia aktif dapat terjadi berdasarkan permintaan pasien itu
sendiri, atas dasar permintaan keluarga dari pasien dan situasi dan kondisi
tertentu yang mengharuskan dilakukanya euthanasia pada pasien. Syeikh
Ahmad Mustofa menerangkan seseorang dapat dilakukan apabila
disebabkan oleh beberapa tindakan berikut :
15
Suatu tindakan euthanasia aktif yang dilakukan pada saat pasien atau
seseorang masih menunjukan tanda kehidupannya kemudian dipercepat
kematianya dengan penggunaan beberapa metode tertentu, maka islam
jelas melarangnya sebab sama saja dengan bunuh diri, sedangkan terhadap
euthanasia pasif, para ahli baik dari kalangan ulama, kedokteran maupun
ahli pidana sepakat memperbolehkanya. 12
12
Chuzaimah, Hafidz, ‘’Probelmatika Hukum Islam Kontemporer’’, (Jakarta : Lembaga
Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 2020), h. 69.
16
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
17
1969, berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang
Pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23
Oktober 1969. Menurut etika kedokteran, dokter tidak boleh atau dilarang
untuk melakukan hal-hal yang dapat membahayakan atau dapat
membunuh pasien, salah satunya yaitu mengakhiri hidup seseorang pasien
: tindakan ini dilakukan berdasarkan pengamatan dokter terhadap pasien
dengan harapan hidup kecil (euthanasia).
18
DAFTAR PUSTAKA
Asma, Noor, ‘’Euthanasia dalam Prospeksi Pengaturan dalam Hukum Islam dan
Hukum Pidana’’, dalam Jurnal Al-Himayah, Vol.2, No. 2, 2018.
Fahmi, Nurul, ‘’Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam’’, dalam Jurnal Studi
Islam Vol.12, No. 2, 2020.
Hafidz, Chuzaimah, ‘’Probelmatika Hukum Islam Kontemporer’’, (Jakarta :
Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 2020).
Nugroho, Irwan Budi,‘’ Euthanasia dan Bunuh Diri Ditinjau Dari Hukum Islam
Dan Hukum yang Berlaku di Indonesia’’, dalam Jurnal Studi Islam dan
Sosial, Vol. 13, No. 2, 2020.
Nurlaela, Enung, ‘’ Euthanasia Dalam Perspektif Tafsir Indonesia (Kajian
Terhadap Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah), dalam Skripsi Institut
Ilmu Al-Qur’an , (Jakarta : Institut Ilmu Al-Qur’an, 2021).
Setiawan, Eko, ‘’Eksistensi Euthanasia dalam Pandangan Hukum Islam’’, dalam
Jurnal Al-Ahwal, Vol.7, No. 1, 2015.
Thobroni, Ahmad, ‘’Bom Bunuh Diri dan Euthanasia dalam Tinjauan Hukum
Islam’’, dalam Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, Vol. 1, No. 1,
2017.
19