Anda di halaman 1dari 28

EUTHANASIA

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Bersyarat Mata Kuliah Etika

Keperawatan

oleh :

RANDI

18112165

STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang

Program Studi DIII Keperawatan

Tahun ajaran 2019


KATA PENGANTAR

Ucapan puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang hanya

karena limpahan karunianya saya dapat menyusun makalah dengan judul

“EUTHANASIA” dengan baik. Didalam makalah ini

Makalah ini dususun secara sistematis mengenai uraian singkat tentang pengertian

eutahanasia yang masih pro dan kontra dikalangan masyarakat. Pada kesempatan ini,

penulis mengucapkan terimakasih kepada Ns. Nova Fridalni,S.Kep,M.Biomed selaku

dosen etika keperawatan.

Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan atau ilmu

pengetahuan bagi para pembaca.

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk

itu penulis sangat mengharap saran dan kritik yang membangan dari pembaca.

Padang, agustus 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................

KATA PENGANTAR ................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................

B. Rumusan Masalah .................................................................

C. Tujuan ...................................................................................

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Euthanasia ...........................................................

B. Alasan Dilakukan Euthanasia ...............................................

C. Euthanasia Sama Dengan Aborsi ..........................................

D. Macam-Macam Euthasania ...................................................

E. Etika Keperawatan Pada Euthanasia .....................................

F. Syarat-syarat Dilakukan Euthanasia .....................................

G. Euthanasia Dari Segi Agama ................................................

H. Euthanasia Dari Segi Hukum Negara ...................................

BAB III PENUTUP

A. Saran .....................................................................................

B. Kesimpulan ...........................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dunia kesehatan akan selalu berkembang seiring perkembangan zaman.

Semakin banyak penemuan yang dilakukan oleh para ilmuan untuk memperkaya

dunia kesehatan. Salah satunya euthanasia istilah ini digunakan untuk

menyebutkan sesuatu tindakan mempercepat proses kematian seseorang secara

wajar. Hal ini dilakukan untuk mengakhiri penderitaan si pasien dengan syarat ada

persetujuan dan sesuai prosedur.

Sekitar tahun 400 sebelum Masehi,sebuah sumpah yang terkenal dengan

sebutan “The Aippocratie Oath” mengatakan “saya tidak akan memberikan obat

mematikan pada siapapun,atau menyarankan hal tersebut pada siapapun.”Sekitar

abad ke-14 sampai abad ke-20,Hukum adat inggris yang dipetik oleh Mahkamah

Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya :

“Lebih jelasnya, selama lebih dari 700 tahun, Orang Hukum Adat Amerika

Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri individual ataupun

dibantu.”

Tahun 1955,Belanda sebagai Negara pertama yang mengeluarkan UU yang

menyetujui euthanansia dan diikuti oleh Australia yang melegalkan di tahun yang

sama,setelah dua Negara itu mengeluarkan undang-undang yang sah tentang

euthanansia beberapa Negara masih menganggapnya sebagai konflik,namun ada

juga yang ikut mengeluarkan undang-undang yang sama,Hal ini akan dibahas lebih

lanjut dibab berikutnya.


B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan euthanasia?

2. Apa sajakah hukum yang mengatur euthanasia?

3. Mengapa dilakukan euthanasia?

4. Apakah perbedaan euthanasia dengan aborsi?

5. Apa saja macam – macam eutanasia?

6. Apakah hubungan euthanasia dengan etika keperawatan?

7. Apakah syarat – syarat dilakukannya euthanasia?

C. Tujuan

Dalam penyusunan makalah ini penulis memiliki tujuan :

1. Memberikan informasi kepada pembaca tentang euthanasia dalam dunia

kesehatan.

2. Menjelaskan kepada pembaca tentang hukum yang mengatur euthanasia.

3. Menjelaskan kepada pembaca tentang alasan - alasan dilakukannya

euthanasia.

4. Pembaca mampu membedakan antara euthanasia dan aborsi

5. Menjelaskan kepada pembaca tentang jenis-jenis euthanasia.

6. Menjelaskan para pembaca tentang euthanasia menurut etika keperawatan

7. Menjelaskan para pembaca tentang syarat – syarat dilakukannya euthanasia


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN EUTHANASIA

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”,

dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003;177). “ Dalam bahasa Arab

dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah

kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang

dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga euthanasia berarti

mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat

menjelang kematiannya” ;(Hasan, 1995;145).

Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu aktif dan

euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian

pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan

diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai

pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa

sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah

bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien

serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003;176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas

dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal

ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter

memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat

menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus

(Utomo, 2003;178).

Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan

pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi

dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian

pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi

pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat

tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak

efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu

tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian

medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah

ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana

pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003;176).

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang

sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak

ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru

yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian,

jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya

(Utomo, 2003;177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan

dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat

disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia,

karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa

ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter

menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu

sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak

pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003;178).

B. ALASAN DILAKUKAN EUTHANASIA

Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang kareana itu

dilakukanya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa

survei negara dan penyaringan sumber. Berikut ini adalah tiga alasan utama

mengapa euthanasia itu bisa dilakukan.

1. Rasa sakit yang tudak tertahankan

Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si

pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini,

penuman semakin gencar untuk mengetasi rasa sakit tersebut, yang secara

langsung meningkatkan presentase “assistea suicede” berkurang. Euthanasia

memang sekilas merupakan jawaban dari stres yang disebabkan oleh rasa sakit

yang semakin menjadi. Namun ada juga yan g dinamakan “drugged state” atau

suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karean pengaruh obat.

Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa

sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal
tersebut bisa dilakukan dengan mengirim seseorang kedalam keadan rasa sakit

tapi mereka tetap di euthanasiakan karena cara tersebut tidak terpuji.

Hampir semua rasa sakit dihilangkan,adapun yang sudah sebegitu parah

bisa dikurangi jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik.Tapi

euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut.Solusi terbaik untuk

masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan

dengan menginformasikan pada setiap pasien,apa saja hak-hak mereka sebagai

seorang pasien.

Meskipun begitu,beberapa dokter tidak dibekali dengan “pain

management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit,sehingga mereka tidak

tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit

yang luar biasa. Jika hal ini terjadi,hendaklah pasien tersebut mencari dokter

lain.

Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol

rasa sakit itu,bukan yang akan membunuh sang pasien.Ada banyak spesialis

yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat

mengontrol rasa sakit fisik seseorang,namun juga dapat mengatasi depresi

penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.

2. Hak untuk melakuakan bunuh diri

Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangka

hal paling dasar dari semuanya,yaitu “HAK” . Tapi jika kita teliti lebih

dalam,yang kita bicarakan disini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang

di bunuh,tetepi memberikan hak kepada orang yang melakukan pembunuhan


tersebut. Dengan kata lain,euthanasia bukanlah hak seseorang untuk

mati,tetapi hak untuk membunuh.

Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri

hidupnya,tapi sebaliknya,ini adalah persoalan mengubah hukum agar

dokter,kerabat,atauorang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup

seseorang.

Manusia memang punya hak untuk bunuh diri,hal seperti itu tidak

melanggar hukum. Bunuh didi adalah suatu tragedi,aksi sendiri. Euthanasia

bukanlah aksi pribadi,melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi

kematian orang lain. Inibisa mengarah ke suatu tindakan panyiksaan pada

akhirnya.

3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?

Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang

menyatakanbahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien

untuk tetap hidup.Desakan, melawan permintaan pasien,menunda kematian

dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak

berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang

tanpa rasa kasihan,tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis.

Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di

rumah,bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan

sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.

C. EUTHANASIA SAMA DENGAN ABORSI


Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang

sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati

kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak

pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.

Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai “kesucian

kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena

mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita

dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk

membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya

baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan

aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian

kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi

dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa negara.

Dalam diskusi-diskusi tentang masalah euthanasia dan aborsi, kini prinsip

kesucian kehidupan mulai dikritik. Nama-nama yang terkenal di antara kritisi itu

adalah Peter Singer dan Helga Kuhse, dan etikawan terkemuka di Australia.

Mereka berpendapat, faham kesucian kehidupan berasal dari suasana pemikiran

moral Kristen dan karena itu tidak boleh diberlakukan untuk semua orang. Di

tengah berlangsungnya sekularisasi kini, pengaruh agama Kristen sebagai pegangan

moral makin berkurang dan makin banyak orang menempuh alur pemikiran moral

yang lain.

Dalam bukunya Practical Ethics (edisi ke-2, 1993, hlm 173) Peter Singer

menandaskan, “the doctrine of the sanctity of human life… is a product of

Christianity. Perhaps it is now possible to think about these issues without


assumsing the Christian moral framework that has, for so long, prevented any

fundamental reassessment”. Peter Singer sendiri menerapkan pendapat ini bukan

saja atas masalah euthanasia dan aborsi, namun juga dalam anggapannya yang

amat kontroversial tentang kemungkinan mengakhiri kehidupan bayi cacat berat

yang baru lahir. Dengan demikian ia memperluas diskusi tentang masalah aborsi

sampai ke infanticide (pembunuhan anak kecil), yang dalam masyarakat pra-

Kristen-Yunani Kuno dan kekaisaran Roma, umpamanya-memang sering

dipraktikkan.

Dalam tulisan ini tentu tidak mungkin membahas topik ini sampai tuntas.

Kita akan membatasi diri pada beberapa catatan saja.

Pertama, benar agama Kristen merasa dirinya tertarik dengan

pengertian“kesucian kehidupan”. Dan hal itu tidak berlaku untuk agama Kristen

saja tetapi untuk agama umumnya dan khususnya untuk ketiga agama “Ibrahimik”:

Jahudi-Kristiani-Islam. Mengapa begitu? Karena agama-agama ini mempunyai

konsepsi jelas tentang kehidupan yang diciptakan Tuhan dan kedudukan istimewa

manusia di antara makhluk-makhluk hidup yang lain. Tidak bisa dipungkiri,

pandangan agama amat cocok dengan “kesucian kehidupan”.

Kedua, barangkali benar agama juga ikut menciptakan faham “kesucian

kehidupan” ini, dan membantu memperkuat posisinya dalam pandangan moral.

Tetapi dalam hal ini kontribusi agama tidak bisa dipisahkan dari pengaruh-

pengaruh lain. Kemungkinan besar, agama memberi kontribusi juga dalam

penolakan lembaga perbudakan, dalam pengembangan hak asasi manusia dan

demokrasi, dan dalam banyak hal lain lagi. Pandangan moral kita kini di bidang
sosial-politik merupakan buah perkembangan panjang, di mana antara lain agama

berperanan juga.

Ketiga dan terpenting, rupanya khusus dalam etika profesi medis pengertian

“kesucian kehidupan” mempunyai akar lebih mendalam daripada agama Kristen

saja. Pengertian ini sudah terbentuk sejak permulaan pertama etika profesi medis,

yaitu Sumpah Hippokrates. Hippokrates (abad ke-5/ke-4 SM) yang dijuluki

“bapak ilmu kedokteran” bukan saja memberi dasar ilmiah kepada profesi

kedokteran, namun juga menyediakan pandangan moral yang teguh bagi profesi ini.

Melalui Sumpah Hippokrates ia membuat profesi medis menjadi profesi pertama

yang memiliki suatu ethos khusus. Dalam Sumpah Hippokrates ada tiga kalimat

pendek, “Aku tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun bila

orang memintanya, dan juga tidak akan menyarankan hal serupa itu. Demikian

juga aku tidak akan memberikan kepada seorang wanita sarana abortif (pesson

phthoron). Dalam kemurnian dan kesucian akan kujaga kehidupan dan seniku”.

Tiga kalimat pendek ini bisa dilihat sebagai awal tradisi anti-euthanasia dan

anti-aborsi dalam ethos profesi medis. Euthanasia dalam arti kini tentu belum lama

dikenal. Tetapi larangan untuk memberi racun telah mengembangkan tradisi anti-

pembunuhan dalam profesi kedokteran. Menurut hakikatnya, profesi ini harus

memperjuangkan kehidupan dan tidak pernah memihak kematian. Sebaliknya,

praktik aborsi sudah dikenal sepanjang sejarah. Dalam masyarakat Yunani kuno

sekitar Hippokrates aborsi malah diterima sebagai hal lumrah. Tetapi, sejak

Hippokrates profesi medis mengembangkan suatu sikap anti-aborsi yang

berlangsung terus sampai zaman modern.


Faham “kesucian kehidupan” itu sendiri belum ditemukan dalam sumpah

Hippokrates. Tetapi, bila kalimat ketiga tadi langsung boleh dikaitkan dengan

kalimat pertama dan kedua, maka “kemurnian dan kesucian” profesi medis itu

berhubungan dengan hormat atas kehidupan yang diperintahkan kalimat pertama

dan kedua. Kalau begitu, “kesucian kehidupan” adalah faham yang mudah bisa

muncul.

Ada tanda-tanda lain lagi yang menunjukkan kuatnya tradisi kesucian

kehidupan. Jika anjing kita sakit dan tidak bisa disembuhkan, tanpa ragu-ragu kita

menganggap lebih baik membunuhnya. Hal itu sudah dipraktikkan. Yang baru

hanya bahwa kini kita memakai jasa dokter hewan. Hewan kita bunuh untuk

membebaskannya dari penderitaan. Tetapi, kalau manusia, biar pun penderitaannya

besar, menurut penilaian umum cara ini tidak boleh dipakai. Perbedaan ini cukup

mencolok dan berlaku secara universal. Bagi manusia tidak ada mercy killing

seperti bagi hewan. Memang benar, dalam sejarah ditemukan beberapa

pengecualian.

Contoh dikenal adalah beberapa kelompok Eskimo yang mempunyai

kebiasaan membunuh orang tua, jika mereka mulai menginjak usia tua dan

memperlihatkan gejala kelemahan atau penyakit. Tetapi dalam seluruh peradaban

manusia contoh-contoh seperti itu sedikit sekali dan sering dapat dimengerti karena

alasan khusus. Misalnya, Eskimo yang disebut tadi mempunyai kepercayaan,

keadaan manusia di alam baka sama seperti saat ia meninggal. Karena itu justru

dinilai tidak manusiawi, bila penyakit mereka dibiarkan berkembang sampai

kondisinya parah.
Pengecualian serupa itu tidak menghindari kesimpulan bahwa hormat untuk

kehidupan manusia bersifat universal. Bahkan rasa hormat itu melampaui batas

kematian, karena jenazah manusia selalu dikuburkan. Hewan membiarkan saja

bangkai temannya yang mati dalam alam terbuka, tetapi manusia tidak begitu. Para

antropolog melaporkan, manusia sudah menguburkan sesamanya setidaknya sejak

100.000 tahun lalu (Neandertaler). Bukankah kebiasaan ini menandakan rasa

hormat terhadap manusia melalui jenazah yang merupakan peninggalannya?

Serentak juga kubur menjadi tanda peringatan akan manusia yang unik ini.

Semua itu tidak berarti, di “pinggiran” kehidupan tidak bisa timbul dilema-

dilema besar. Dan mungkin jalan keluar yang tepat adalah aborsi atau suntikan

mematikan. Tetapi motivasinya tidak pernah karena kehidupan muda atau

kehidupan sekarat itu tidak bermakna. Mungkin masih bisa diterima, bila dilakukan

dengan rasa enggan, sebagai tindakan tak terelakkan. Seandainya tersedia alternatif

lebih baik, dokter tidak akan melakukannya. Dengan demikian kehormatan untuk

kehidupan tetap dipertahankan. Tetapi jika prinsip ini ditinggalkan, kita

menghancurkan kebudayaan kita sendiri.

D. MACAM-MACAM EUTHANASIA

Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja, dengan

aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan

oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Kata kuncinya

adalah disengaja, artinya jika aksi tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, maka

hal tersebut bukanlah euthanasia.


Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali

adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum

menyetujui euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat

hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu.

Ada berbagai macam jenis euthanasia menurut cara melakukannya serta

alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, anatara lain:

1. Euthanasia sukarela Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri

hidupnya.

2. Euthanasia non-sukarela qApabila pesien tersebut tidak mengajukan

permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnhnya.

3. Involuntary Euthanasia Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela,

tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat

ekspresi.

4. Assisted suicide Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu

pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk

mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut

juga, “physician assisted suicide”.

5. Euthanasia dengan aksi Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang

dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan

suntik mati.

6. Euthanasia dengan penghilangan Dengan sengaja menyebabkan kematian

seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan

seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal

secara wajar.
Dari beberapa macam jenis euthanasia tersebut, masing-masing negara

memiliki idealisme sendiri dalam hal melegalkan aksi euthanasia.

Beberapanegara bahkan telah melegalkan aksi euthanasia dengan suntik

mati, namun di negara-negara lain hal tersebut adalah melanggar hukum.

Euthanasia secara umum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu :

1. Euthanasia aktif

Menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk

menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati.

Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.

2. Euthanasia pasif

Menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian

tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi,

air, dan ventilator.

E. ETIKA KEPERAWATAN PADA EUTHANASIA

1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan

martabat manusia, keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan

kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan

agama yang dianut serta kedudukan sosial.

2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara

suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan

kelangsungan hidup beragama klien.


3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan

asuhan keperawatan.

4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan

dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang

berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

5) Dalam menghadapi pasien dalam kondisi kritis yang mengharuskan

euthanasia maka sebagai seorang perawat kita harus membimbing baik pasien

maupun keluarga dengan bimbingan baik moril maupun spiritual

6) memberikan pengetahuan tentang tindakan euthanasia kepada pihak keluarga.

7) Perawat tidak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan euthanasia

kecuali ada intruksi dari dokter.

F. SYARAT-SYARAT DILAKUKAN EUTHANASIA

Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi sebuah

Pengadilan Tinggi di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk melakukan

Euthanasia, yaitu:

1. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan

mengajukan permintaan tersebut dengan serius.

2. Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir atau dekat

dengan kematiannya.

3. Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri.

4. Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan.

5. Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya.


6. Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi.

G. EUTHANASIA DARI SEGI AGAMA

Dalam Ajaran Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi

dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak

tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. “Hanya Allah yang dapat

menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati”(QS 22: 66; 2: 243). Oleh

karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks

dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati

demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah

(hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke

dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan,

"Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna

langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian,

seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)

disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.

Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut

(eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja

tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan

penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,

dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya


eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam

alasan apapun juga .

a. Eutanasia Aktif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia aktif) ialah tindakan

memudahkan kematian si sakit (karena kasih saying) yang dilakukan oleh

dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Memudahkan proses kematian

secara aktif (eutanasia positif)adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab

dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan

tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian

obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya,

bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan

meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk

meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih

pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu

serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi

kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba adjal yang

telah ditetapkan- Nya.

b. Eutanasia Pasif

Eutanasia pasif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada

eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk

mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi

pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan

dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah

terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara’ ialah

bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut

jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati

atau berobat ini hanya berkisar pada 21okum mubah. Dalam hal ini hanya

segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-

sahabat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya

mustahab (sunnah)..

H. EUTHANASIA DARI SEGI HUKUM NEGARA

Euthanasia Ditinjau Berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia Dan Hukum Pidana

Kematian adalah suatu fenomena yang diatur oleh Sang Pencipta. Tidak ada

seorangpun yang dapat menunda kematian meskipun iImn pengetahuan dan

teknologi mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Berbicara

mengenai kematian, dikenal adanya istilah "euthanasia", yaitu suatu kematian yang

terjadi dengan pertologan atau tidak dengan pertolongan dokter. Euthanasia ini

sudah ada sejak para pelaku kesehatan mengahadapi penyakit yang sudah tidak

dapat disembuhkan, Dalam keadaan seperti itu tidak jarang pasien ataupun keluarga

pasien meminta kepada dokter untuk segera dilakukannya euthanasia. Hal tersebut

tentu saja bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Didalam KUHP

pengaturan masalah euthanasia ini diatur di dalam Pasal 344. Pasal ini melarang
adanya euthanasia aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk

mempercepat terjadinya kematian.

Disisi lain Undang-undang No.39 Tahun 1999 yang mengatur tentang Hak

Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa hak yang paling utama yang dimiliki

manusia adalah hak untuk hidup sebagaimana diatur didalam Pasal 9 ayat 1 dan

Pasal 33 ayat 3, dimana didalam hak untuk hidup tersebut tercakup pula didalamya

hak untuk mati, meskipun hak tersebut tidak mutlak. Jika dikaitkan dengan pidana

mati, maka dapat dilihat suatu keganjilan, yaitu dimana seorang tertuduh yang

dijatuhi pidana mati oleh Hakim. Pada umunmya si tertuduh tersebut juga masih

ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya terns. Dalam hal ini dapat dikatakan

bahwa Hakim telah memaksa kematian seseorang yang sebenamya masih ingin

hidup terns. Sedangkan pada euthanasia, seorang pasien yang menghendaki

kernatian atas dirinya justru malah dilarang dan dihalang-halangi.

Pendek kata, orang yang masih ingin hidup dipaksa untuk mati oleh hakim,

sedangkan orang yang karena keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi ingin mati

dipaksa untuk hidup terns walaupun dengan penderitaan yang tiada menentu. Salah

satu kasus euthanasia yang masih hangar dibicarakan di Indonesia adalah kasus

yang dialami oleh Hasan Kesuma yang meminta diIakukannya euthanasia atas istri

tercintanya Agian lsna Nauli, yang tidak sadarkan diri setelah melahirkan anak

melalui operasi caesar. Namun permintaan tersebut banyak mendapat kecaman dan

perdebatan dari berbagi pihak karena jelas bertentangan dengan peraturan yang

berlakn di Indonesia serta melanggar kode etik kedokteran serta yang paling utama

adalah sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Maka dalam

menangani dan menanggulangi masalah ini sangatlah dituntut peranan pemerintah


dan penegak hukum untuk mencermati permasalahan tersebut sehingga tidak

menimbulkan perdebatan perselisihan di berbagai kalangan.


BAB III

PENUTUP

C. SARAN

1. Saran Untuk Pembaca

Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca lebih berpikir secara

rasional akan dampak tindakan euthanasia itu sendiri .

Jadi sebelum melakukan tindakan euthanasia lebih baik meminta persetujuan

dari keluarga terdekatnya.

2. Saran Untuk Pemerintah

Pemerintah Merupakan aspek yang sangat fundamental dalam

kelangsungan suatu Negara harus mampu secara tegas dalam menangani dan

mengatur UU yang mencantumkan tentang hukum euthanasia Menegakkan

segala aturan sesuai dengan norma hokum yang berlaku didalam masyarakat

Indonesia.

Misalnya dengan membuat UU yang lebih mengacu pada kasus

euthanasia.

3. Saran Untuk Ahli Medis

Ahli medis adalah sebagai sarana dalam penyembuhan penyakit seorang

pasien.

Untuk kasus euthanasia,seorang Ahli medis harus memenuhi syarat yang

ditentukan dalam melakukan euthanasia agar tidak dikategorikan sebagai kasus

mal praktik.
D. KESIMPULAN

Euthanasia merupankan suatu proses penghilangan nyawa seseorang baik

dengan penghentian tindakan medis atau memberikan suntikan mati yang dapat

mempercepat kematian secara wajar. Masalah euthanasia masih dalam pro dan

kontra dikalangan pemuka agama maupun hukum negara. Sebagai tenaga medis

dalam melakukan euthanasia harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang

berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

 Agamben, Giorgio; diterjemahkan oleh Daniel Heller-Roazen (1998). Homo

sacer: sovereign power and bare life. Stanford, Calif: Stanford University Press.

ISBN 0-8047-3218-3.

 Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics,

medicine, and law. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-

8135-2986-7.

 Appel, Jacob. 2007. A Suicide Right for the Mentally Ill? A Swiss Case Opens a

New Debate. Hastings Center Report, Vol. 37, No. 3.

 Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita, eds. Physician

assisted suicide: expanding the debate. NY: Routledge, 1998.

 Dworkin, R. M. Life's Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia,

and Individual Freedom. New York: Knopf, 1993.

 Emanuel, Ezekiel J. 2004. "The history of euthanasia debates in the United

States and Britain" in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon.

Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.

 Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the

patient's right to know the truth, contraception, artificial insemination,

sterilization, euthanasia. Princeton, N.J.: Princeton University Press.


 Humphry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding

euthanasia. San Francisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7.

 Horan, Dennis J., David Mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia.

Frederick, MD: University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9.

 Kamisar, Yale. 1977. Some non-religious views against proposed 'mercy-killing'

legislation. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall.

Washington: University Publications of America. Original edition, Minnesota

Law Review 42:6 (May 1958).

 Kelly, Gerald. "The duty of using artificial means of preserving life" in

Theological Studies (11:203-220), 1950.

 Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assisted suicide:

What are the issues? Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 2001. (E.g.,

Engelhardt on secular bioethics)

 Magnusson, Roger S. "The sanctity of life and the right to die: social and

jurisprudential aspects of the euthanasia debate in Australia and the United

States" in Pacific Rim Law & Policy Journal (6:1), January 1997.

 Palmer, "Dr. Adams' Trial for Murder" in The Criminal Law Review. (Reporting

on R. v. Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.

 Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record

straight. In Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD:

Rowman & Littlefield Publishers.


 PCSEPMBBR, United States. President's Commission for the Study of Ethical

Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding

to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal

issues in treatment decisions. Washington, DC: President's Commission for the

Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral

Research: For sale by the Supt. of Docs. U.S. G.P.O.

 Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford

University Press, 1986.

 Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal

analysis. In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall.

Washington: University Publications of America. Original edition, Stanford Law

Review 27 (1975) 213-269.

 Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on

euthanasia. Vatican City: The Vatican.

 Stone, T. Howard, and Winslade, William J. "Physician-assisted suicide and

euthanasia in the United States" in Journal of Legal Medicine (16:481-507),

December 1995.

Anda mungkin juga menyukai