Anda di halaman 1dari 15

EUTHANASIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran agama

Disusun oleh:

Alvin M.H. (XII-IPA/01)

Edbert A.R. (XII-IPA/05)

Jonathan S.E. (XII-IPS/03)

Kennixson Oey (XII-IPS/04)

Vincent E.W. (XII-IPS/06)

SMAK KARUNIA

JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia – Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Euthanasia” hingga selesai sesuai waktu yang
ditentukan.

Kami membuat tugas ini sedemikian rupa dengan harapan dapat membantu bapak/ibu
dan murid-murid memahami tentang euthanasia ini. Kami juga berharap agar tugas ini dapat
membantu bapak mengerti apa yang kita ketahui tentang euthanasia.

Kami juga tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan
yang telah mendukung pembuatan makalah ini. Semoga Tuhan YME memberikan berkat atas
kebaikan yang telah diberikan kepada kami. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Pada akhirnya, kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca makalah ini.

Jakarta, 17 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

BAB I
1.1 Pandangan Umum ........................................................................................................... 1
BABA II
2.1 Pembahasan ..................................................................................................................... 2
BAB III
3.1 Pandangan Negara ........................................................................................................... 4
BAB IV
4.1 Pandangan Kristianai....................................................................................................... 9
BAB V
5.1 Pandangan Kelompok ..................................................................................................... 10
BAB VI
6.1 Kesimpulan...................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 12

iii
BAB I

PANDANGAN UMUM

1.1 Pandangan Umum

Euthanasia menurut pandangan umum masyarakat banyak melahirkan pro dan


kontra. Sebagian masyarakat yang pro terhadap tindakan tersebut berpikir bahwa
euthanasia cukup lazim untuk dilakukan bagi mereka yang siap dengan kematiannya,
cara tersebut dinilai efektif untuk mengurasi rasa sakit dan penderitaan sebelum ajal
menjemput, sebab euthanasia merupakan praktek bunuh diri yang dengan seketika
menuntaskan nyawa dalam hitungan detik tanpa harus merasa kesakitan terlebih
dahulu. Tetapi jauh lebih banyak masyarakat yang menyatakan kontra terhadap
tindakan ini dengan alasan bahwa pelaku euthanasia tidak menghargai hak kehidupan
yang ia punya dan cenderung pesimis serta memiliki kepribadian yang gemar
mengasihani diri sendiri dan senang berlarut larut dalam masalah sehingga mudah
merasa depresi lalu mengambil jalan pintas untuk segera mengakhiri penderitaannya
dengan cara yang ironis. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang
menghargai nilai dari kehidupan manusia lebih banyak berpendapat kontra terhadap
tindakan euthanasia daripada masyarakat yang merasa telah menghargai kebebasan
manusia untuk memilih jalan pintas yang tidak masuk akal.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembahasan
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan
dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga
dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang
abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh
Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan.
Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat
diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat
diteroma oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia
pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak
tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam
situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini
dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang
sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh
penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan
pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah
istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari
penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama
setelah ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan
tegnologi canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat dan mengancam
kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan kesehatanterurtama di
bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah
merupakn kasus yang sudah tidak dapat dibantu lagi.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar
biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat

2
disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal.
Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis
tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk
mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati
disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin
bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang
diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia,
euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir
yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami ke Pengadilan Negeri Jakarta,
belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan
permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum
permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh
dokter.
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia
sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

3
BAB III

PANDANGAN NEGARA

3.1 Pandangan Negara


1. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001, Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan Euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia
yang melegalisasi praktik Euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal
Euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan
kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam
majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan Euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan
asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang
spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. UU yang
mengizinkan Euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak
bertahan lama. Pada tahun 1995, Northern Territory menerima UU yang disebut
"Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang
baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh
keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi “Seseorang yang
membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap
korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas
permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh
tahun”.
2. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan Euthanasia pada akhir September
2002. Para pendukung Euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan Euthanasia

4
setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan Euthanasia di
negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan
Euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan
“birokrasi kematian”. Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi
eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
3. Amerika
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat
ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya Euthanasia dengan memberlakukan
UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan Euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan
meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali
pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya)
dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian
ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia.
Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama
tahun 1999. Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan Euthanasia
mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan
oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan Euthanasia harus
melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar Euthanasia
bisa dilakukan.
4. India
Di India Euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai
larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama

5
pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC)
tahun 1860. Namun, berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan
Euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan
kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada
ketentuan pasal 304 IPC.
Namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus Euthanasia sukarela di mana
si pasien sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah
membantu pelaksanaan Euthanasia tersebut (bantuan Euthanasia). Pada kasus
Euthanasia secara tidak ukarela (atas keinginan orang lain) ataupun Euthanasia di
luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.
5. Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara
umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada
tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa
"membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan
hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri”. Pasal 115 tersebut
hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap
obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
6. Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang Euthanasia
di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea
dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" di mana dua orang dokter yang didakwa
mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita
sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan
berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter
tersebut seharusnya dinyatakan tidak bersalah. Namun, kasus ini tidak menunjukkan
relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata Euthanasia Aktif. Pada
akhirnya, pengadilan memutuskan bahwa pada kasus tertentu dari penghentian
penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan Euthanasia Pasif, dapat
diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis
terhadap dirinya.

6
7. China
Di China, Euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Euthanasia
diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama
"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan Euthanasia terhadap
ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan
permintaannya, namun 6 tahun kemudian pengadilan tertinggi rakyat (Supreme
People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang
Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya Euthanasia atas dirinya namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam
kesakitan.
8. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang Euthanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai Euthanasia tersebut. Ada 2 kasus Euthanasia yang pernah terjadi
di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai
“Euthanasia Pasif”. Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai
university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai “Euthanasia Aktif”. Keputusan
hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu
alasan pembenar di mana Euthanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara
legal. Meskipun demikian, Euthanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus
tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, di mana dokter yang melakukannya
akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena
keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan
tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun
meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna
melaksanakan Euthanasia.
9. Indonesia
Berdasarkan pandangan hukum dalam Indonesia bahwa membantu seseorang
untuk mengakhiri hidupnya dikategorikan sebagai tindakan pidana. Hingga kini
Indonesia tidak mengizinkan praktik euthanasia karena menurut ketentuan tersebut
sudah diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 344 yang
menyebutkan bahwa barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan

7
orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dijatuhkan
hukuman penjara paling lama 12 tahun.

8
BAB IV
PANDANGAN KRISTIANI
4.1 Pandangan Kristiani
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang
yang membantu pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya:


1. Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan
bahwa: " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan
pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung
jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut
benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas
akhir kesempatan hidup tersebut".
2. Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisibuatan dan hidrasi sebagai
suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental.
Dalam kasus di mana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan,
maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan
membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik
untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa
kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang
lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk
perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan
kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi
masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan.
Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud
dan tujuan pemberian tersebut.

9
BAB V
PANDANGAN KELOMPOK
5.1 Pandangan Kelompok
Menurut kelompok saya, euthanasia itu adalah tindakan yang salah karena semua
makhluk hidup memiliki hak untuk tetap hidup dan euthanasia melanggar HAM
seseorang sebagai makhluk hidup. Selain itu euthanasia juga melanggar salah satu
perintah allah yaitu “jangan membunuh” dan juga di dalam alkitab tidak pernah ditulis
bahwa membunuh itu diperbolehkan.

10
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan. Maka
menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai
pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan
penderitaan.
Aturan mengenai masalah Euthanasia berbeda-beda di tiap- tiap negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya. Di beberapa negara, Euthanasia
dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan Euthanasia tetap dilarang karena tidak ada
dasar hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal
344, pasal 355 dan pasal 359 .
Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang
yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi.
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang Euthanasia.
Maka, satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah apa yang terdapat
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Jadi di Indonesia, Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari kode etik
kedokteran, undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama, yang
menghukumkannya haram. Sedangkan Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang
kondisi pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.

11
DAFTAR PUSTAKA
https://www.kompasiana.com/siscopetra/5cf3bdfd95760e050f328fbb/euthanasia-
pandangan-agama-kristen-hukum-masyarakat
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Eutanasia#/editor/36
https://www.academia.edu/33023780/EUTHANASIA_MAKALAH_Disusun_untuk_memenuhi
_salah_satu_tugas_mata_pelajaran_Agama_XI_IPS_1

12

Anda mungkin juga menyukai