OLEH : KELOMPOK 3
INSTITUSI KESEHATAN
MEDISTRA LUBUK PAKAM
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah eu- thanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos.
Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati, maka dari
itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan
kematian, akan tetapi untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang
yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu
euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya, dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Dalam kehidupan setiap makhluk hidup pasti mengalami siklus
kehidupan yang diawali dengan proses-proses kehidupan yang dimulai dari
proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia, dan diakhiri dengan
kematian. Dalam proses tersebut, kematian memiliki misteri besar yang
belum ditemukan oleh ilmu pengetahuan. Secara umum, kematian adalah
suatu hal yang ditakuti oleh masyarakat luas. Namun, tidak demikian dalam
kalangan medis dan kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian
tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat
dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat ditentukan tanggal
kejadiannya. Tindakan membunuh bisa dilakukan secara legal dan dapat
diprediksi waktu dan tempatnya itulah yang selama ini disebut dengan
euthanasia, pembunuhan yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan
belum bisa diatasi dengan baik atau dicapainya kesepakatan yang diterima
oleh berbagai pihak. Di satu pihak, tindakan euthanasia pada berbagai kasus
dan keadaan memang diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak
diterima karena bertentangan dengan hukum, moral, dan agama.
Pada waktu sekarang dengan adanya teknologi medis yang semakin maju
dengan alat respirator sehingga dapat menghambat sebuah kematian yang
bersifat sementara dengan hal tersebut apakah bisa menghargai adanya
kematian padahal euthanasia sendiri belum mempunyai sistem yang jelas
dalam sistem hukum Indonesia seperti dalam KUHP. Hal tersebut berbeda
dangan hukum pidana Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal 344
KUHP, dimana dijelaskan bahwa melakukan euthanasia merupakan suatu
tindakan pidana.
B. Rumusan Masalah
Atas dasar uraian yang telah pemakalah kemukakan pada latar belakang
masalah tersebut, maka rumusan masalah yang penulis ajukan adalah :
masyarakat.
b.
BAB II
PEMBAHASAN
2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang
yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,
End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-
baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care
spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care
telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang
bermartabat.
B. Prinsip-Prinsip End Of Life
bekerja sama untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa
pasien.
perawatan end of life pasien yaitu :1) bebas nyeri, 2) merasa nyaman, 3)
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama
(Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979).
2. Pengalaman Menyenangkan
etik otonomi atau rasa hormat untuk orang, yang mana pada tahap ini
states, 1978).
4. Merasakan Damai
dimensi spiritual.
Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta
berhentinya aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat
mati klinis tidak dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti
tiap organ tubuh secara biologis akan mati dengan urutan : otak, jantung,
ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan karena daya tahan hidup
tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ terjadi
biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat Organ dalam tubuh tidak
transplantasi.
Sifat Reversibel / dapat kembali Ireversibel/ tidak dapat
kembali
Pemerikasaan Pemeriksaan keadaan klinis Pemeriksaan keadaan klinis
tanpa bantuan
4) Berhentinya aktivitas
cardiaovaskuler
5) Gambaran gelombang
otak datar
1. Konsep Euthanasia
a. Kematian
3. Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia dibagi dalam beberapa jenis, jika dilihat dari cara
dilaksanakannya euthanasia tersebut dibagi atas :
1. Euthanasia aktif, yaitu : perbuatan yang dilakukan secara medis
melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk
mengakhiri hidup manusia. Euthanasia aktif ini dibagi 2 yaitu:
a. Euthanasia aktif langsung (direct) adalah dilakukannya
tindakan medis secara terarah yang akan mengakhiri hidup
pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini
dikenal juga sebagai mercy killing.
b. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect) adalah saat dimana
dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medis untuk
meringankan penderitaan pasien, namun terdapat adanya
adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien.
2 Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau
mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan hidup manusia.
3 Auto-Euthanasia adalah penolakan dengan tegas oleh pasien
untuk memperoleh bantuan atau perawatan medis untuk
dirinya sendiri dan dia tahu hal itu dapat memperpendek
umurnya.
Jika ditinjau dari sudut permintaan, euthanasia dibagi
atas:
1. Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela (atas
permintaan pasien) adalah euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
2. Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien) adalah
euthanasia yang dilakukan pada pasien yang (sudah) tidak
sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta.
4. Prinsip Etik Pelaksanaan Euthanasia
penderitaan;
2. Prinsip-prinsip etik
BAB III
KASUS EUTHANASIA
Euthanasia telah lama menjadi bahan perdebatan kalangan medis, hukum,
aktivis hak asasi manusia, dan agamawan. Terlepas dari perdebatan itu, orang
yang mengajukan euthanasia terus bertambah, terutama di negara-negara yang
melegalkan ‘mati dengan cara baik’ itu. Yang terakhir adalah euthanasia atas
permintaan atlit paralimpik Belgia, Marieke Vervoort. Suntikan dokter
mengakhiri hidup perempuan 40 tahun itu pada Oktober lalu.
Belgia salah satu negara yang mengakui dan melegalkan euthanasia.
Pengakuan hukum terhadap euthanasia malah sudah lebih dahulu di Belanda.
Namun sebagian besar negara tak mengakui dan membenarkan tindakan
euthanasia. Indonesia termasuk yang tak mengakui hak untuk mengakhiri hidup
semacam itu. Ahli hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, berpendapat jika hak
untuk mati diakui seperti halnya hak untuk hidup, risikonya besar. Sama saja
memberikan legalisasi pada orang yang ingin melakukan bom bunuh diri dengan
alasan pengakuan right to die.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), M.
Choirul Anam, mengatakan euthanasia juga menjadi perdebatan di dunia
internasional. Dalam perkembangannya, ada yang mengarah pada legalisasi
dengan catatan penting. Pertama, euthanasia dibenarkan karena cukup alasan yang
sangat kuat, misalnya kesehatan yang memburuk dan sulit disembuhkan. Kedua,
Pengakhiran hidup pasien dilakukan oleh orang yang profesional dan bertanggung
jawab. Ketiga, dilakukan melalui prosedur yang ketat. “Itu masih menjadi
perdebatan,” ujarnya kepada hukumonline.
Begitulah faktanya, sudah banyak literatur di Indonesia yang menulis
tentang euthanasia, sebagian besar memuat doktrin dan kode etik kedokteran,
serta akibat hukumnya. Sekadar memberi contoh, Kuitert dan F Tengker
menerbitkan hampir dua puluh tahun lalu buku ‘Kematian yang Digandrungi:
Eutanasia dan Hak Menentukan Nasib Sendiri’. Sebelumnya sudah ada tulisan
Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, “Euthanasia: Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana”.
Jejak perdebatan kontemporer tentang euthanasia di Indonesia selalu
merujuk pada dua kisah. Pertama, kisah Hasan Kusuma. Pada 22 Oktober 2004,
Hasan Kusuma mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
agar isterinya, Again Isna Nauli, diberi tindakan euthanasia. Sang isteri sudah
tergolek dalam keadaan koma selama dua bulan, plus kesulitan yang dialami
untuk membayar perawatan medis. Tersiar kabar pada saat itu, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menolak permohonan euthanasia tersebut.
Kisah kedua merujuk pada Ignatius Ryan Tumiwa. Lulusan pascasarjana
dari salah satu universitas terkemuka ini ingin mengakhiri hidupnya dengan cara
suntik mati. Tetapi permohonannya terhalang Pasal 344 KUH Pidana, yang
mengancam dokter atau tenaga medis lain yang membantu seorang pasien
mengakhiri hidup. Melalui pengacaranya, Ryan mengajukan permohonan
pengujian pasal itu ke Mahkamah Konstitusi. Pada Agustus 2014 lalu,
permohonannya dicabut. Alasannya, Ryan sudah punya semangat untuk menjalani
kehidupan lagi. Pencabutan permohonan itu disambut positif hakim konstitusi
yang memeriksa permohonan ini.
Ditolak pengadilan
Sebenarnya, ada satu kisah yang lebih lengkap dibanding kasus Nyonya
Again dan Ryan. Permohonan euthanasia yang diajukan Berlin Silalahi (BS)
malah sudah diputuskan pengadilan. Berdasarkan penelusuran hukumonline,
permohonan euthanasia diajukan Berlin ke Pengadilan Negeri Banda Aceh pada
Mei 2017 lalu. Pemohon adalah korban tsunami Aceh yang terjadi pada 24
Desember 2004. Seperti sejumlah korban lain, BS ditempatkan di barak Neuheun
Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Selama dua tahun di sana, BS
menunggu bantuan perumahan yang layak.