Anda di halaman 1dari 25

ISU END OF LIFE

DIKEPERAWATAN GAWAT DARURAT


DENGAN KASUS EUTHANASIA
DI

OLEH : KELOMPOK 3

Teuku chumaidi armya umar


Nadia huriyatul jannah
Siti nurhaliza
Siti hajar
Ilfah

INSTITUSI KESEHATAN
MEDISTRA LUBUK PAKAM
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur pemakalah panjatkan kepada Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
isu end of life keperawatan gawat darurat dengan kasus euthanasia. Adapun
maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas keperawatan
medical bedah. Disusunnya makalah ini tidak lepas dari peran dan bantuan
beberapa pihak dan sumber. Karena itu, pemakalah mengucapkan terima kasih
dan apresiasi setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing yang telah membantu
dan membimbing kami dalam mengerjakan makalah ini. Kiranya amal baik serta
budi luhur secara ikhlas yang telah diberikan kepada kami dari beliau di atas yang
dapat maupun belum dapat kami sebutkan, mendapatkan imbalan yang semestinya
dari Allah SWT. Pemakalah menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu pemakalah sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Pemakalah
berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.

Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak


berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Negara hukum mempunyai
ciri-ciri tertentu, seperti: pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia,
Peradilan yang bebas dan tidak memihak, legalitas tindakan negara atau
pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum. Penjelasan Indonesia sebagai negara hukum terdapat
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang - undang Dasar 1945 yang mempertegas
konsep negara hukum dengan menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah
Negara hukum”.

Pembangunan nasional Indonesia yang secara formal dimulai sejak


Proklamasi Kemerdekaaan 17 Agustus 1945, pada hakikatnya bertujuan untuk
membangun manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Terlaksananya
tugas dan tanggung jawab yang mengandung esensi pembangunan manusia
dan masyarakat Indonesia seutuhnya yang hanya dapat dicapai melalui
penciptaan masyarakat adil dan makmur baru dapat diupayakan secara
sungguh-sungguh sejak masa pemerintahan orde baru hingga dewasa ini.

Negara Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari


adanya kemajuan dan perkembangan di bidang hukum tidak terkecuali dalam
segi teknologi dan medis. Dengan adanya perkembangan pengetahuan dan
teknologi medis, seorang dokter dapat membantu menyembuhkan penyakit
ataupun sesuatu kecelakaan. Upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter
bertujuan untuk meningkatkan harapan untuk agar pasien dapat hidup, selain
dengan menggunakan obat-obatan dan alat-alat tertentu sebagai penunjang
kehidupan.
Dengan menggunakan peralatan medis yang canggih, dokter dapat
membantu pasien dalam mengurangi penderitaan dan rasa sakit yang
disebabkan oleh suatu penyakit maupun sebuah kecelakaan. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medis sangatlah besar manfaatnya.
Akan tetapi, tidak jarang perkembangan tersebut bisa melahirkan persoalan
baru di tengah-tengah masyarakat. Sebagai salah satu ilustrasinya dapat
dikemukakan, bahwa masih ada pasien yang tidak dapat terhindar dari
penderitaan yang disebabkan oleh penyakit mematikan ataupun kecelakaan.

Penderitaan yang dialami oleh pasien terkadang menimbulkan rasa sakit


yang luar biasa bahkan menghilangkan kesadaran dari pasien. Kondisi
tersebut akan mendorong pasien atau keluarganya meminta pendapat dokter
untuk segera keluar dari penderitaan yang dirasakan pasien atau dokter
mempunyai pendapat tertentu untuk mengahiri perderitaan dari si pasien
tersebut. Penderitaan tersebut akan berakhir apabila kematian datang. Dengan
kata lain upaya yang digunakan untuk mengahiri penderitaan pasien
diantaranya dengan cara mempercepat kematiannya atau euthanasia.

Istilah eu- thanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos.
Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati, maka dari
itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan
kematian, akan tetapi untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang
yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu
euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya, dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Dalam kehidupan setiap makhluk hidup pasti mengalami siklus
kehidupan yang diawali dengan proses-proses kehidupan yang dimulai dari
proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia, dan diakhiri dengan
kematian. Dalam proses tersebut, kematian memiliki misteri besar yang
belum ditemukan oleh ilmu pengetahuan. Secara umum, kematian adalah
suatu hal yang ditakuti oleh masyarakat luas. Namun, tidak demikian dalam
kalangan medis dan kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian
tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat
dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat ditentukan tanggal
kejadiannya. Tindakan membunuh bisa dilakukan secara legal dan dapat
diprediksi waktu dan tempatnya itulah yang selama ini disebut dengan
euthanasia, pembunuhan yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi dan
belum bisa diatasi dengan baik atau dicapainya kesepakatan yang diterima
oleh berbagai pihak. Di satu pihak, tindakan euthanasia pada berbagai kasus
dan keadaan memang diperlukan. Sementara di lain pihak, tindakan ini tidak
diterima karena bertentangan dengan hukum, moral, dan agama.

Sejauh ini Indonesia memang belum secara lengkap mengatur tentang


euthanasia atau menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan dirinya
sendiri. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memuat ketentuan
bahwa euthanasia merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan dapat
diancam dengan sanksi pidana. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 344 KUHP
yaitu: “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Tentu hal ini sama dengan
perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Euthanasia sampai saat
ini pun masih menjadi perdebatan di beberapa kalangan yang menyetujui dan
pihak yang tidak menyetujui tentang tindakan tersebut.

Beberapa kasus-kasus euthanasia yang terjadi di berbagai belahan dunia


termasuk Indonesia. Euthanasia adalah perdebatan klasik yang sampai saat
ini masih menjadi topik hangat yang membagi dunia dalam pro dan kontra.
Indonesia adalah salah satu negara yang secara eksplisit tidak memiliki
pengaturan tentang euthanasia, padahal beberapa kasus telah mencuat
kepermukaan realitas sosial masyarakat. Masyarakat dan khususnya aparat
penegak hukum membutuhkan pengaturan yang tegas tentang euthanasia
sehingga terjamin kepastian hukum.
Mengingat begitu pentingnya permasalahan euthanasia dalam hal ini
ilmu medis bersatu dengan ilmu hukum dimana permasalahan euthanasia di
Negara Indonesia juga tidak menyetujui akan hal tersebut. Tetapi sebenarnya
yang harus kita pikirkan adalah dengan adanya kematian tersebut karena pada
prinsipnya sebuah kematian dialami oleh setiap mahluk Tuhan yaitu manusia,
tapi dalam hal euthanasia sendiri apakah kematian merupakan bagian dari
Hak Asasi Manusia (HAM).

Pada waktu sekarang dengan adanya teknologi medis yang semakin maju
dengan alat respirator sehingga dapat menghambat sebuah kematian yang
bersifat sementara dengan hal tersebut apakah bisa menghargai adanya
kematian padahal euthanasia sendiri belum mempunyai sistem yang jelas
dalam sistem hukum Indonesia seperti dalam KUHP. Hal tersebut berbeda
dangan hukum pidana Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal 344
KUHP, dimana dijelaskan bahwa melakukan euthanasia merupakan suatu
tindakan pidana.

B. Rumusan Masalah

Atas dasar uraian yang telah pemakalah kemukakan pada latar belakang
masalah tersebut, maka rumusan masalah yang penulis ajukan adalah :

(1) Bagaimana penanganan kasus euthanasia yang terjadi dalam masyarakat


Indonesia?

(2) Bagaimana pengaturan euthanasia

(3) Bagaimana pengaturan euthanasia

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui penanganan kasus euthanasia yang terjadi dalam

masyarakat.

b.
BAB II
PEMBAHASAN

Isu End Of Life Keperawatan Gawat Darurat

A. Pengertian End Of Life

End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu

meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo,

2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang

yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,

2015). End of life akan membantu pasien meninggal dengan bermartabat.

Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan

yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End of

life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang diperuntukkan

bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan.

End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-

baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care

adalah salah satu kegiatan membantu memberikan dukungan psikososial dan

spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care

merupaka salah satu tindakan keperawatanyang difokuskan pada orang yang

telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang

hidup dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan

bermartabat.
B. Prinsip-Prinsip End Of Life

Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life antara lain :

a. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian

Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan,

namun ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah

untuk memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien yang

sekarat, dan untuk mendukung orang lain dalam melakukannya.

b. Hak untuk mengetahui dan memilih

Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak

untuk diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan

mereka.Mereka memiliki hak untuk menerima atau menolak

pengobatan dalam memperpanjang hidup.Pemberi perawatan memiliki

kewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan menghormati pilihan-

pilihan sesuai dengan pedoman.

c. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup

Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk

memberikan pengobatan yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa

tujuan utama perawatan untuk mengakomodasi kenyamanan dan

martabat, maka menahan atau menarik intervensi untuk

mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam kepentingan

terbaik dari pasien yang sekarat.


d. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan

Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk

bekerja sama untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa

dalam pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan keinginan

pasien.

e. Transparansi dan akuntabilitas

Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan,

dan untuk memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka

proses pengambilan keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada

para pasien dan akurat didokumentasikan.

f. Perawatan non diskriminatif

Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif

dan harus bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan

kondisi medis, nilai-nilai dan keinginan pasien.

g. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan

Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan

perawatan yang tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak

bermanfaat bagi pasien.Pasien memiliki hak untuk menerima

perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab

untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan norma-norma

profesional dan standar hukum.


h. Perbaikan terus-menerus

Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam

memperbaiki intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of

life baik kepada pasien maupun kepada keluarga.

C. Teori The Peaceful End of Life (EOL) 

Teori Peacefull EOL ini berfokus kepada 5 Kriteria utama dalam

perawatan end of life pasien yaitu :1) bebas nyeri, 2) merasa nyaman,  3)

merasa berwibawa dan dihormati,  4) damai, 5) kedekatan dengan anggota

keluarga dan pihak penting lainnya.

1. Terbebas dari Nyeri

Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama

diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life).

Nyeri merupakan ketidaknyamanan sensori atau pengalaman emosi

yang dihubungkan dengan aktual atau potensial kerusakan jaringan

(Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979).

2. Pengalaman Menyenangkan

Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara

inclusive oleh Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari

ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan damai, dan apapaun yang

membuat hidup terasa menyenangkan ” (Ruland and Moore, 1998).


3. Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan

Setiap akhir penyakit pasien adalah “ ingin dihormati dan dinilai

sebagai manusia” (Ruland & Moore, 1998). Di konsep ini

memasukkan ide personal tentang nilai, sebagai ekspresi dari prinsip

etik  otonomi atau rasa hormat untuk orang, yang mana pada tahap ini

individu diperlakukan sebagai orang yang menerima hak otonomi, dan

mengurangi hak otonomi orang sebagai awal untuk proteksi (United

states, 1978).

4. Merasakan Damai

Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan puas,

(bebas) dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan”

(Ruland & Moore, 1998). Tenang meliputi fisik, psikologis, dan

dimensi spiritual.

5.  Kedekatan untuk kepentingan lainnya

Kedekatan adalah “perasaan menghubungkan antara antara

manusia dengan orang yang menerima pelayanan” (Ruland & Moore,

1998). Ini melibatkan kedekatan fisik dan emosi yang diekspresikan

dengan kehangatan, dan hubungan yang dekat (intim).


D. Perbedaan Mati Klinis dan Biologis

Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta

berhentinya aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat

dilakukan resusitasi jantung paru dan kemudian dapat diikuti dengan

pemulihan semua fungsi. (Soenarjo et al, 2013)

Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat

mati klinis tidak dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti

tiap organ tubuh secara biologis akan mati dengan urutan : otak, jantung,

ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan karena daya tahan hidup

tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ terjadi

secara tidak bersamaan. (Soenarjo et al, 2013)

Mati Biologis (Biological


Perbedaan Mati Klinis (Clinical Death)
Death)
Tanda Berhentinya detak jantung, Kematian yang terjadi akibat

denyut nadi dan pernafasan. degenerasi jaringan di otak

dan organ lainnya.


Fungsi Organ Beberapa organ seperti mata dan Beberapa organ akan mati

ginjal akan tetap hidup saat (tidak dapat berfungsi

terjadi mati klinis. kembali) setelah mati

biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat Organ dalam tubuh tidak

tubuh digunakan sebagai transplantasi. dapat digunakan untuk

transplantasi.
Sifat Reversibel / dapat kembali Ireversibel/ tidak dapat

kembali
Pemerikasaan Pemeriksaan keadaan klinis Pemeriksaan keadaan klinis

dan Pemeriksaan Neurologis


Suhu Tubuh Hipertermia (> 36oC) dan Hipotermia (< 36oC)

terkadang ditemui Hipotermia


Kriteria 1) Berhentinya detak jantung 1) Dilatasi bilateral dan

2) Berhentinya denyut nadi fixaxi pupil

3) Berhentinya pernafasan 2) Berhentinya semua reflek

spontan. 3) Berhentinya respirasi

tanpa bantuan

4) Berhentinya aktivitas

cardiaovaskuler

5) Gambaran gelombang

otak datar

E. Isu End Of Life

1. Konsep Euthanasia

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus


kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di
dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian.
Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu
yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan
yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir-akhir ini
sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses
alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan
masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam
dunia manusia.
Perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran yang begitu pesat
akhirakhir ini, ternyata tidak diikuti dengan perkembangan dalam bidang
hukum dan etika. Professor Separovic, seorang pakar hukum kedokteran
menyatakan “contemporary developments have posed a whole series of
new problem. One could even say: If medicine is in trouble because of too
much change, law is trouble because of too little change”
Bagi para dokter, masalah euthanasia merupakan suatu dilema
yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Di satu pihak
tekhnologi kedokteran telah sedemikian maju, sehingga mampu
mempertahankan hidup seseorang, sedangkan disisi lain pengetahuan dan
kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga berkembang tak
kalah pesat. Sebelum membahas tentang euthanasia lebih lanjut ada
baiknya terlebih dahulu membahas tentang konsep kematian itu sendiri.
Hal itu dikarenakan masalah euthanasia erat kaitannya dengan kematian.

a. Kematian

Untuk dapat lebih memahami lebih lagi timbulnya masalah euthanasia,


perlu dipahami mengenai konsep mati. Konsep mati pada waktu dulu
adalah apabila jantung dan paru-paru sudah tidak berfungsi lagi atau tidak
bekerja lagi orang tersebut sudah dinyatakan mati dan tidak diperlukan
pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, jika seseorang dalam
perawatan yang intensif, dan jantungnya sudah berhenti dengan tekhnologi
yang ada jantung tersebut dapat dipacu untuk bekerja lagi.
Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan standar matinya
seseorang yang dari berhentinya jantung dan paru-paru sudah tidak relevan
lagi. Kerusakan yang terjadi pada otakpun, jika fungsi organ masih dapat
dipertahankan, belum dapat dikatakan seseorang tersebut telah mati. Oleh
karena itu dalam hal ini sangat penting untuk dapat mengetahui apa
sebanarnya konsep mati yang dapat diterima oleh masyarakat, sehingga
untuk menentukan mati (secara teknis) dokter harus memiliki (secara
moral) keyakinan untuk mempertemukan keduanya (moral-teknis).

Untuk melihat permasalahan tentang konsep mati, Kartono


Mohammad mengemukakan tentang konsep kematian sebagai berikut:
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Konsep ini bertolak dari kriteria
mati berupa berhentinya jantung, organ yang memompa darah mengalir
keseluruh tubuh. Dalam Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981
dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.
Dalam kedokteran, teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan
paru-paru yang semula berhenti adakalanya dapat dipulihkan kembali,
sehingga dapat dilihat dari perkembangan teknologi, kriteria mati yang
ditetapkan Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 perlu ditinjau ulang.
2. Mati sebagai terlepasnya nyawa dari tubuh. Pada umumnya banyak yang
berasumsi bahwa nyawa terlepas dari tubuh ketika darh berhenti mengalir.
Tetapi dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang telah dikemukakan
diatas, dapatkah nyawa ditarik kembali melalui teknologi resusitasi? Jika
beranggapan bahwa sekali nyawa terlepas, tidak mungkin manusia dapat
menariknya kembali, maka kriteria berhentinya darah mengalir pada saat
nyawa meninggalkan tubuh tidak tepat lagi.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen (irreversible lost
ability). Dalam pengertian ini, fungsi organ-organ tubuh yang semula
bekerja terpadu kini berfungsi sendiri tanpa terkendali, karena fungsi
pengendali (otak), sudah rusak dan tidak mampu mengendalikan lagi.
Pandangan ini memang sudah sangat teknis tetapi belum memastikan
bahwa otak telah mati tetapi hanya mengatakan bahwa otak telah tidak
mampu lagi mengendalikan fungsi organ-organ lain secara terpadu.
Pandangan ini diwarnai oleh pengalaman dalam teknologi transplantasi
organ. Secara teknis medis untuk kepentingan transplantasi, memang
pandangan ini memadai. Tetapi, secara moral masih menjadi pertanyaan,
jika organorgan masih berfungsi, meski tidak terpadu lagi, benarkah orang
tersebut sudah mati ?
4. Hilangnya kemampuan manusia secara permanen untuk kembali sadar
dan melakukan interaksi sosial. Konsep ini dikembangkan dari konsep
yang ketiga diatas, tetapi dengan penekanan nilai moral yaitu dengan
memeperhatikan fungsi manusia sebagai mahluk sosial. Manusia
digambarkan oleh Henry Beecher sebagai ”
…. individu yang memiliki kepribadian, menyadari kehidupannya,
kekhususannya, kemampuannya mengingat, menentukan sikap, dan
mengambil keputusan, mengajukan alasan yang masuk akal, mampu
berbuat, menikmati, mengalami kecemasan, dan sebagainya”.
2. Sejarah euthanasia

Sejak zaman dahulu, euthanasia mengundang perdebatan antara


pro dan kontra yang seakan tiada habis-habisnya. Istilah eutanasia
pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang
berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300
SM. Dalam sumpahnya tersebut Hippokrates menyatakan:

“I will follow that system of regimen which, according to my ability


and judgement, I consider for the benefit of my patients, and
mischievous. I will give no deadly medicine to any one if asked, nor
suggest any such counsel.” (saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah
dimintakan untuk itu). Dari dokumen tertua tentang euthanasia di atas,
dapat dilihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh
Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek euthanasia.
Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya
perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa
Pada tahun 1828 UndangUndang anti euthanasia mulai diberlakukan
di Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian
diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang
Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya euthanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok
pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935
dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada
pelaksanaan euthanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk
melegalkan euthanasia tidak berhasil di Amerika maupun Inggris.

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu


tindakan kontroversial dalam suatu “program” euthanasia terhadap
anak-anak di bawah umur 3 (tiga) tahun yang menderita
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang
menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan
nama Aksi T4 (“Action T4″ ) yang kelak diberlakukan juga terhadap
anak-anak usia di atas 3 (tiga) tahun dan para jompo ataupun lansia.
Pada awalnya hanya difokuskan pada bayi yang baru lahir dan anak-
anak yang masih sangat kecil. Para dokter dan ibu rumah tangga
diperintahkan untuk mendaftarkan anak-anak dibawah 3 (tiga) tahun
kepada pemerintah Jerman. Kemudian, keputusan untuk membiarkan
anak tersebut hidup atau tidak diambil oleh tiga ahlis medis tanpa
pemeriksaan maupun memperhatikan hasil kesehatan anak tersebut

Tiap ahli medis menambah tanda positif (+) dengan pensil


merah atau tanda negative (-) dengan pensil biru di setiap lembar
kasus para anak-anak tersebut.

Tanda positif (+) merah berarti keputusan untuk membunuh anak


tersebut, dan tanda negatif (-) biru berarti keputusan untuk
membiarkannya hidup. Jika tiga tanda positif (+) merah telah
dikeluarkan, maka anak tersebut akan dikirim ke Departemen Khusus
Anak di mana mereka akan menerima kematian dengan suntik mati
atau dengan cara dibiarkan mati kelaparan. Program Nazi Euthanasia
akhirnya berkembang dengan menyertakan anak-anak yang lebih tua
yang memiliki cacat juga para orang dewasa. Putusan Hitler pada
bulan Oktober 1939, menyatakan “pemberian hak untuk para ahli
medis tertentu untuk memberikan euthanasia pada orang-orang yang
tidak dapat disembuhkan lagi.”

Putusan tersebut disebarkan ke seluruh rumah sakit dan tempat


medis lainnya.

Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik


mengenai euthanasia atau suntik mati terhadap pasien yang sudah
tidak memiliki kemampuan mengobati penyakitnya sama dengan
perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Lembaga Bantuan
Hukum Kesehatan menyerukan perlunya peraturan baku mengenai
euthanasia. Selanjutnya, dalam ketiadaan peraturan baku tersebut
pemerintah seharusnya mencarikan jalan keluar bagi pihak-pihak yang
mempermasalahkan euthanasia. Euthanasia dalam KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) masih dimasukkan ke dalam tindakan
bunuh diri yang dibantu (assisted suicide) dan bisa dianggap sebagai
suatu tindakan pidana.

3. Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia dibagi dalam beberapa jenis, jika dilihat dari cara
dilaksanakannya euthanasia tersebut dibagi atas :
1. Euthanasia aktif, yaitu : perbuatan yang dilakukan secara medis
melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk
mengakhiri hidup manusia. Euthanasia aktif ini dibagi 2 yaitu:
a. Euthanasia aktif langsung (direct) adalah dilakukannya
tindakan medis secara terarah yang akan mengakhiri hidup
pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini
dikenal juga sebagai mercy killing.
b. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect) adalah saat dimana
dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medis untuk
meringankan penderitaan pasien, namun terdapat adanya
adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien.
2 Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau
mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan hidup manusia.
3 Auto-Euthanasia adalah penolakan dengan tegas oleh pasien
untuk memperoleh bantuan atau perawatan medis untuk
dirinya sendiri dan dia tahu hal itu dapat memperpendek
umurnya.
Jika ditinjau dari sudut permintaan, euthanasia dibagi
atas:
1. Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela (atas
permintaan pasien) adalah euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
2. Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien) adalah
euthanasia yang dilakukan pada pasien yang (sudah) tidak
sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta.
4. Prinsip Etik Pelaksanaan Euthanasia

1. Kode etik kedokteran Indonesia menggunakan Euthanasia


dalam tiga arti, yaitu :

a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa

penderitaan;

b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si

sakit dengan memberi obat penenang;

c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan

sengaja atas permintaan pasien sendiri atau pihak keluarga.

2. Prinsip-prinsip etik

Beauchamp and Childress (1994) mengemukakan bahwa


untuk mencapai suatu keputusan etik diperlukan empat kaidah dasar
moral dan beberapa aturan di bawahnya. Keempat kaidah dasar
moral tersebut ialah:

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati


hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien. Prinsip moral
inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.
Dalam hal ini, seorang dokter wajib menghormati martabat
dan hak manusia.
2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang
mengutamakan tindakan yang ditujukan demi kebaikan
pasien. Dalam prisnip beneficience tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, tetapi juga perbuatan
dengan sisi baik yang lebih besar daripada sisi buruk.
Dalam hal ini, seorang dokter harus berbuat baik,
menghormati martabat manusia, dan dokter tersebut harus
berusaha secara maksimal agar pasiennya tetap dalam
kondisi sehat.
3. Prinsip non-malficience, yaitu prinsip moral yang melarang
tindakan yang memperburuk keadaan pasien ini terkenal
sebagai primum non nocere atau “above all do no harm”.
Nonmalficience ialah suatu prinsip dimana seorang dokter
tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan
memilih pengobatan yang berisiko paling kecil bagi pasien
yang dirawat atau diobati olehnya.
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan
fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya. Keadilan (justice)
merupakan suatu prinsip dimana seorang dokter wajib
memberikan perlakuan sama rata serta adil untuk
kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut.

BAB III
KASUS EUTHANASIA
Euthanasia telah lama menjadi bahan perdebatan kalangan medis, hukum,
aktivis hak asasi manusia, dan agamawan. Terlepas dari perdebatan itu, orang
yang mengajukan euthanasia terus bertambah, terutama di negara-negara yang
melegalkan ‘mati dengan cara baik’ itu. Yang terakhir adalah euthanasia atas
permintaan atlit paralimpik Belgia, Marieke Vervoort. Suntikan dokter
mengakhiri hidup perempuan 40 tahun itu pada Oktober lalu.
Belgia salah satu negara yang mengakui dan melegalkan euthanasia.
Pengakuan hukum terhadap euthanasia malah sudah lebih dahulu di Belanda.
Namun sebagian besar negara tak mengakui dan membenarkan tindakan
euthanasia. Indonesia termasuk yang tak mengakui hak untuk mengakhiri hidup
semacam itu. Ahli hukum tata negara, Jimly Asshiddiqie, berpendapat jika hak
untuk mati diakui seperti halnya hak untuk hidup, risikonya besar. Sama saja
memberikan legalisasi pada orang yang ingin melakukan bom bunuh diri dengan
alasan pengakuan right to die.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), M.
Choirul Anam, mengatakan euthanasia juga menjadi perdebatan di dunia
internasional. Dalam perkembangannya, ada yang mengarah pada legalisasi
dengan catatan penting. Pertama, euthanasia dibenarkan karena cukup alasan yang
sangat kuat, misalnya kesehatan yang memburuk dan sulit disembuhkan. Kedua,
Pengakhiran hidup pasien dilakukan oleh orang yang profesional dan bertanggung
jawab. Ketiga, dilakukan melalui prosedur yang ketat. “Itu masih menjadi
perdebatan,” ujarnya kepada hukumonline.
Begitulah faktanya, sudah banyak literatur di Indonesia yang menulis
tentang euthanasia, sebagian besar memuat doktrin dan kode etik kedokteran,
serta akibat hukumnya. Sekadar memberi contoh, Kuitert dan F Tengker
menerbitkan hampir dua puluh tahun lalu buku ‘Kematian yang Digandrungi:
Eutanasia dan Hak Menentukan Nasib Sendiri’. Sebelumnya sudah ada tulisan
Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, “Euthanasia: Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana”.
Jejak perdebatan kontemporer tentang euthanasia di Indonesia selalu
merujuk pada dua kisah. Pertama, kisah Hasan Kusuma. Pada 22 Oktober 2004,
Hasan Kusuma mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
agar isterinya, Again Isna Nauli, diberi tindakan euthanasia. Sang isteri sudah
tergolek dalam keadaan koma selama dua bulan, plus kesulitan yang dialami
untuk membayar perawatan medis. Tersiar kabar pada saat itu, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menolak permohonan euthanasia tersebut.
Kisah kedua merujuk pada Ignatius Ryan Tumiwa. Lulusan pascasarjana
dari salah satu universitas terkemuka ini ingin mengakhiri hidupnya dengan cara
suntik mati. Tetapi permohonannya terhalang Pasal 344 KUH Pidana, yang
mengancam dokter atau tenaga medis lain yang membantu seorang pasien
mengakhiri hidup. Melalui pengacaranya, Ryan mengajukan permohonan
pengujian pasal itu ke Mahkamah Konstitusi. Pada Agustus 2014 lalu,
permohonannya dicabut. Alasannya, Ryan sudah punya semangat untuk menjalani
kehidupan lagi. Pencabutan permohonan itu disambut positif hakim konstitusi
yang memeriksa permohonan ini.

Ditolak pengadilan
Sebenarnya, ada satu kisah yang lebih lengkap dibanding kasus Nyonya
Again dan Ryan. Permohonan euthanasia yang diajukan Berlin Silalahi (BS)
malah sudah diputuskan pengadilan. Berdasarkan penelusuran hukumonline,
permohonan euthanasia diajukan Berlin ke Pengadilan Negeri Banda Aceh pada
Mei 2017 lalu. Pemohon adalah korban tsunami Aceh yang terjadi pada 24
Desember 2004. Seperti sejumlah korban lain, BS ditempatkan di barak Neuheun
Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Selama dua tahun di sana, BS
menunggu bantuan perumahan yang layak.

Rumah yang ditunggu belum terealisasi, BS dipindahkan ke barak lain di


Gampong Tibang, kecamatan Syiah Kuala. Di sini, BS bersama isteri dan anak
bungsunya tinggal selama 2,5 tahun. Ia kembali dipindahkan ke barak lain di
Bakoy Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Di barak inilah BS tinggal sejak 2009
hingga mengajukan permohonan euthanasia.
Permohonan euthanasia diajukan lantaran sakit yang diderita BS sejak 2013. Pria
kelahiran 1971 itu sudah lumpuh dan tak dapat lagi mencari nafkah untuk
keluarganya. Kebutuhan sehari-hari banyak dibantu penghuni barak. Selain
lumpuh, BS menderita sakit kronis, infeksi peradangan pada tulang, dan asma
sehingga tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pengobatan medis ke rumah
sakit dan pengobatan tradisional sudah dijalani namun tak kunjung sembuh.
Penderitaan pemohon semakin berat karena kepala daerah memerintahkan
bongkar paksa barak yang ditinggali pemohon. Itu sebabnya, BS mengajukan
permohonan euthanasia ke pengadilan. Surat pernyataan dari BS, surat
persetujuan isteri, dan surat konsultasi dari dokter spesialis sudah dilampirkan
sebagai bukti.
Ternyata, permohonan BS ditolak pengadilan. Hanya dalam waktu dua
pecan, hakim tunggal sudah mencapai kata sepakat untuk ‘menolak permohonan
pemohon’. Hakim merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Kode Etik Kedokteran, dan Pasal 344 KUH Pidana. Dalam
pertimbangannya, hakim menegaskan punya kewajiban untuk menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, sesuai amanat Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Dalam kaitan itu, hakim tak hanya melihat peraturan perundang-
undangan, tetapi juga hukum Islam yang dianut pemohon, dan hukum adat
setempat.
Hakim Ngatemin yang memutus permohonan ini mengutip pandangan
Majelis Ulama Indonesia bahwa euthanasia dilarang karena keputusasaan, dan
tidak diperkenankan dalam Islam. Kemudian hakim mengutip sejumlah ayat Al
Qur’an dan Hadits yang pada intinya melarang membunuh diri sendiri.
“Menimbang bahwa sesuai dengan agama yang dianut oleh Pemohon, yaitu
agama Islam, bahwa berputus asa dalam hukum Islam tidak dibenarkan, begitu
halnya terhadap sebuah penyakit yang sedang diderita oleh seseorang, sehingga
euthanasia tidak seharusnya dilakukan demi mengakhiri penderitaan,” demikian
antara lain pertimbangan hakim.
Dalam hukum adat pun, kematian dianggap sebagai takdir Tuhan.
Euthanasia dengan cara disuntik dapat dianggap sebagai bunuh diri. Bunuh diri
adalah perbuatan yang dilarang baik dalam adat maupun agama. Dari sisi hukum
positif pun, ada larangan melakukan euthanasia, meskipun hakim mengakui
belum ada aturan yang secara khusus mengatur euthanasia. Karena itu, hakim
berketatapan hati untuk menolak permohonan BS.
Sentil Pemerintah
Dalam pertimbangannya, hakim sempat ‘menyentil’ pemerintah. “Bila
melihat dan membaca permohonan pemohon pada intinya pemohon
mengharapkan peran pemerintah dalam hal ini pemerintah Aceh terhadap
masyarakat yang kurang mampu”. Dilanjutkan sang hakim dalam pertimbangan:
“jadi, dari kasus ini dihubungkan dengan UU Pemerintahan Aceh, diharapkan
peran pemerintah lebih baik lagi”.
Setelah itu, hakim menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan tindakan yang
keliru untuk dilakukan seseorang meskipun dengan alasan untuk mengakhiri
penderitaan. Sebab, penderitaan masih dapat diatasi dengan upaya lain tanpa harus
melakukan suntik mati atau cara euthanasia lainnya. UU Hak Asasi Manusia,
tegas majelis, tak mengatur hak untuk mati. Jadi, euthanasia merupakan suatu
tindakan yang bertentangan dan melanggar UU Hak Asasi Manusia.
Penasehat hukum BS dari Yayasan Advokat Rakyat Aceh, Safaruddin,
menjelaskan kliennya tak mengajukan banding atas putusan itu. Setelah
permohonan euthanasia diajukan petugas Dinas Sosial sudah datang dan
memberikan bantuan kepada kliennya. “Diberikan tempat yang layak,” jelas
Safaruddin kepada hukumonline, Rabu (20/11).

Anda mungkin juga menyukai