Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH BIOETIKA

Ujian tengah SEMESTER

SOAL NOMOR 5

DOSEN

Dr. Irdawati, S.Si, M.Si.

Oleh;

KELOMPOK 1

Fadhil Raid 18032110

Ike Hanifa Dzakiyyah (Penanggung jawab) 18032058

Monicha Yhuyhen Safitri 18032064

Ratna Nila Sari 17032038

JURUSAN BIOLOGI

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehigga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai dan tepat waktu. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberi sumbangan
baik meteri maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya serta dari cara penulisannya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah bioetika ini. .
    Akhir kata kami berharap semoga makalah bioetika dengan judul senjata Biologis ini
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Padang, 10 November 2020

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Bioetika merupakan istilah yang relatif baru dan terbentuk dari dua kata Yunani (bios
= hidup dan ethos = adat istiiadat atau moral), yang secara harfiah berarti etika hidup.
Bioetika dapat dilukiskan sebagai ilmu pengetahuan untuk mempertahankan hidup dan
terpusat pada penggunaan ilmu-ilmu biologis, obat, pemeliharaan kesehatan, dan bidang-
bidang terkait.

Sebagai sebuah etika rasional, bioetika bertitik tolak dari analisis tentang data-data
ilmiah, biologi, dan medis. Keabsahan campur tangan manusia dikaji. Nilai transendental
manusia disoroti dalam kaitan dengan sang pencipta sebagai pemegang nilai mutlak.
Terkadang istilah bioetika juga digunakan untuk mengganti istilah medis, yang mencakup
masalah etis tentang ilmu-ilmu biologis seperti penyelidikan tentang hewan, serta usaha-
usaha manipulasi spesies-spesies bentukan genetik non manusiai. Biasanya, penggunaan
istilah bioetika dan etika medis saling dipertukarkan.

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma
atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja peraturan dan hukum euthanasia di Indonesia ?
2. Apa saja paparan konflik nilai moral dan pemecahan secara kultur, agama,
pemerintah, dan masyarakat ?
C. Tujuan
1. Mengetahui peraturan dan hokum euthanasia di Indonesia
2. Mengetahui paparan konflik nilai moral dan pemecahan secara kultur, agama,
pemerintah dan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Euthanasia di Indonesia
Merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri disebut dengan istilah
euthanesia.  Berdasarkan hukum di Indonesia, praktik euthanasia dianggap sebagai perbuatan
yang melawan hukum karena bertentangan Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP): ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya 12 tahun”.
Indonesia tidak mengakui hak untuk mati sebagai salah satu hak asasi manusia, Indonesia
hanya mengakui hak untuk hidup dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 Pasal 28A. Euthanasia dibedakan berdasarkan tindakan dan pengambil
keputusan dari tindakan euthanasia yang dilakukan. Bentuk-bentuk euthanasia menurut

 Euthasia aktif
Ahli medis secara langsung mengambil tindakan untuk mengakhiri hidup pasien. Contoh
dari euthanasia aktif adalah seperti memberikan suntik mati.

 Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah di mana ahli medis tidak melakukan tindakan secara langsung untuk
mengakhiri hidup pasien, tetapi membiarkan pasien tersebut meninggal. Contoh
dari euthanasia pasif adalah menghentikan pengobatan atau melepas alat bantu medis,
padahal alat tersebut adalah satu-satunya yang menunjang hidup pasien.

 Voluntary euthanasia
Eutanasia sukarela atau voluntary euthanasia adalah euthanasia yang dilakukan atas izin
pasien yang memang secara sadar menginginkan mengakhiri hidupnya.

 Non-voluntary euthanasia
Eutanasia non-sukarela atau non-voluntary euthanasia adalah euthanasia yang dilakukan
pada pasien yang tidak bisa mengambil keputusannya sendiri. Contohnya seperti pada bayi,
anak yang belum cukup umur, atau kondisi lainnya yang dianggap orang tersebut tidak dapat
membuat keputusan hidup dan mati.

 Involuntary euthanasia
Involuntary euthanasia adalah tindakan euthanasia yang tetap diambil meskipun pasien
masih memilih untuk hidup. Biasanya keputusan ini diambil karena dianggap kematian
adalah pilihan terbaik daripada menjalani hidup tapi dengan penderitaan. Bentuk euthanasia
ini bisa dianggap sebagai pembunuhan.

 Indirect euthanasia
Eutanasia tidak langsung atau indirect euthanasia adalah pemberian perawatan yang bisa
mengurangi gejala penyakit namun sebenarnya dapat mempercepat kematian pasien. Bentuk
ini masih dapat diterima karena dianggap tidak memiliki tujuan membunuh.

 Assisted suicide
Assisted suicide atau membantu orang bunuh diri juga bisa dikategorikan sebagai
bentuk euthanasia. Contoh tindakan assisted suicide adalah seperti membantu orang yang
ingin bunuh diri mendapatkan obat atau alat lain yang digunakan untuk bunuh diri. (Menurut
Hukum, 2020).
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas
tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa
hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri
sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap
hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi
oleh siapapun dan menuntut penghargaan serta pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: 1. Berpindahnya
ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama
Tuhan di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberi obat penenang. 3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri maupun keluarganya. (Brilly, 2008).

B. Aspek- Aspek Dalam Euthanasia


a. Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap
sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati
bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, &
tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP. Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi
perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak
berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia
tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat
rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap
tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan
dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan
pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki
pandangan serta kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut,
pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk
membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa
dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan
berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni
pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut „concursus
idealis‟ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbedabeda yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah
yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas „lex specialis
derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan
peraturan yang sifatnya umum.
b. Aspek Hak Azazi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek
hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak
dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan
atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
c. Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan
medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat
kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh
mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang
lain akan terseret dalam habisnya keuangan.
c. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak
untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata
lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai
dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada
aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan
Tuhan. Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia
tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan
sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan
Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama
yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya
bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa
orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya. Kalau memang
umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan
mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan
sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum
agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum
agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik.
Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu
jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum
positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita
melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita
juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah
berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)

C. Pengertian Euthanasia

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma
atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya.

Menurut Dr. H.Ali Akbar, Euthanasia mempunyai pengertian :

1. Kematian yang mudah dan tanpa sakit

2. Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk
mempercepat kematiannya.

3. Keinginan untuk mati dalam arti yang baik

Dari penegrtian-pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa euthanasia


adalah usaha dan bantuan yang dilakukan untuk mempercepat kematian seseorang yang
menurut perkiraan sudah hampir mendekati kematian, dengan tujuan 1meringankan atau
membebaskannya dari penderitaannya.

Euthanasia dapat dibagi dua macam, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
Euthanasia aktif (positif) adalah apabila seorang dokter melihat pasiennya dalam keadaan
penderitaan yang sangat berat karena penyakitnya yang sangat sulit disembuhkan dan
menurut pendapatnya penyakit terssebut akan mengakibatkan kematian dan karena rasa
kasihan terhadap si penderita ia melakukan penyuntikan untuk mempercepat kematiannya.

Euthanasia pasif (negatif) adalah apabila dokter tidak memberikan bantuan secara
aktif untuk mempercepat proses kematian si pasien. Jika seorang pasien menderita penyakit
dalam stadium terminal, yang menurut dokter sudah tidak bisa lagi disembuhkan, maka
kadang-kadang pihak keluarga tidak tega melihat seorang anggota kelurganya berlama-lama
menderita dirumah sakit, lalu meminta kepada dokter untuk menghentikan pengobatannya.
Akibatnya sipenderita meninggal.

D. Macam Macam Euthanasia

Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:

1. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan


memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan
penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut
perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang
biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah
parah.

Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.

1 As’ad,  Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus


2. Euthanasia Pasif

Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien


yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana
yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan
euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang
menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi
membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.

Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati
maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.

Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun
dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.
Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu
meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan
nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.

E. Pandangan Syariah Islam

Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan
di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia
aktif maupun euthanasia pasif.

1. Euthanasia Aktif

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori


pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya
firman Allah SWT :

....... )151:‫(األنعام‬.‫ اآلية‬....‫و ال تقتلوا النفس التي حرم هللا إال بالحق‬

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

)92 :‫ (النساء‬.‫ اآلية‬....‫و ما كان لمؤمن أن يقتل مؤمنا إال خطأ‬

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

.......)29 :‫ (النساء‬.‫ اآلية‬....‫و ال تقتلوا أنفسكم إن هللا كان بكم رحيما‬

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-
qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan


mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

)178 :‫(البقرة‬.‫ اآلية‬....‫يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى‬

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS
Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan


memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : 


....... )178 :‫(البقرة‬.‫ اآلية‬.... ‫فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان‬

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4
tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i. Jika dibayar dalam bentuk dinar
(uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250
gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak
(1 dirham = 2,975 gram perak).

Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini
hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang
tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan,
maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan
kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan
Muslim).

“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka,
lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau
itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah
berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku
mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).

2. Euthanasia Pasif

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik


menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh
kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan
cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya
menurut Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau
berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang
mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan
penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas
RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut


ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab),
bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

‫األصل في األمر للطلب‬

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits
itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang
ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah
kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar
dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia
berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa
untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi
indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.

Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk


dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya
sunnah, maka jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya,
maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu
pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut
berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun
sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan
kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada


pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu,
hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat
bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak
haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak
dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu.

Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).

D. Pandangan Hukum Positif Tentang Euthanasia

1. Menurut Aspek Medis

Dalam bidang kedokteran, euthanasia merupakan sebuah dilema yang menempatkan


seorang dokter dalam posisi yang serba sulit. Euthanasia berarti kematian yang
membahagiakan atau mati cepat tanpa derita. Dalam perkembangannya pengertian ini
berkembang menjadi pembu2nuhan atau pengakhiran hidup karena belas kasihan (mercy
killing) dan membiarkan seseorang untuk mati secara menyenangkan (mercy death). 

Selain tanggung jawab medik, seorang dokter harus dapat mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya terhadap pasien menurut hukum yang berlaku. Para dokter harus
menyadari bahwa euthanasia ternyata memiliki muatan hukum dibandingkan dengan masalah
teknis-medis lainnya. Baik menurut Sumpah Dokter maupun Etika Kedokteran, euthanasia
tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Dalam pasal 9, bab II (1969)Kode Etik Kedokteran
Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa
menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang
sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila
pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya
sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih
berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang
berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu
dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang
diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah
memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien.

2 Menurut Aspek Hukum

Dari sudut hukum pidana KUHP mengatur masalah euthanasia melalui beberapa pasal


khususnya pasal 344 yang sering disebut sebagai “pasal euthanasia”. Pasal ini berbunyi
“barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
12 tahun” . Jika dokter membiarkan pasien meninggal atau tidak melakukan suatu tindakan
medis (euthanasia pasif), dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 KUHP. Pasal tersebut
berbunyi:

2 Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer


Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
“barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara....”. 

Sebaliknya jika dilakukan suatu tindakan medis lalu pasien meninggal, dokter itu bisa
dituntut karena menghilangkan nyawa orang lain. Selain itu pasal 35 mengatakan
“barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan
itu, atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”3

3 http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/
3. Analisa

Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena
hal ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat manusia dapat
menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui bahwa Allah yang
menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup manusia sehingga yang berhak
untuk menentukan dan mengambil hidup manusia (kematian) adalah Allah sendiri.

Sering banyak orang menjadi salah persepsi bahwa euthanasia itu baik unutuk
dilakukan karena merupakan perbuatan kasih dan belas kasihan. Tetapi mereka ternyata
keliru, sebab tidak mungkin Tuhan mengajarkan manusia untuk saling mengasihi bila pada
akhirnya manusia jualah yang membunuh mereka, jika itu kita tetap lakukan maka kita sama
dengan orang yang tidak percaya Tuhan. Ketika kita melihat orang yang sudah sekarat
bertahun-tahun dan sangat menderita, beberapa kelompok orang sering secara cepat
mengambil keputusan karena merasa kasihan dan mengambil tindakan yang menurut mereka
baik agar orang tersebut tidak lagi hidup dalam kondisi yang menderita, tindakan baik yang
kebanyakan kita lakukan yaitu meminta tolong dokter atau para medis untuk
‘membunuh’nya, hal itu juga dipicu karena orang ini sudah terlalu menyusahakan
keluarganya.

Jika kita memang berpikir dan melakukan hal semacam itu, kita sama dengan
mengtuhankan diri kita sendiri sebagai ‘Tuhan’ yang dapat menentukan hidup atau matinya
orang ini. Pada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan,
beranggapan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri
hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu
alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh
atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini
merupakan tindakan dan pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab
seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri
hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa
diganggu gugat oleh manusia.

Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia adalah ketika suatu
keluarga merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya perawatan untuk si
penderita dan membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang saja. Apakah nilai
kehidupan ini bisa dibayarkan oleh sejumlah uang? Hidup dan mati seseorang tidak dapat
diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih berharga daripada uang atau apapun juga,
uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang menghasilkan uang, uang itu bisa saja habis dan
musnah karena dipakai atau digunkan oleh kita, namun Tuhan Allah menciptakan kita
didunia ini untuk hidup bukan untuk mati. Jadi selama si pasien masih memiliki kesempatan
untuk hidup mengapa orang lain justru ingin mengakhiri hidupnya. Oleh karena itulah hidup
kita ini lebih berharga daripada uang dan tak bisa diukur dengan nilai apapun.

Seseorang yang menderita penyakit yang sudah tak ada harapan lagi tersebut
sebenarnya tidak pernah ingin menghadapi situasi seperti itu, dan ketika pihak keluarga ingin
melakukan euthanasia, maka keputusan ini hanya akan mempengaruhi kondisi psikologis
pasien. Karena ketika ia diperhadapkan pada pilihan hidup atau mati, dan orang-orang
sekitarnya lebih ingin ia untuk mati, maka pasien tersebut akan merasa tertolak oleh keluarga
dan kondisinya akan semakin parah karena depresi. Sebenarnya, jika memang merasa
kasihan, tindakan kasihan itu tidaklah dilakukan dengan cara menghabisi hidupnya. Karena
kasih sayang itu bukan dengan cara membunuh.

Euthanasia ini dapat dilakukan dengan cara memberhentikan alat-alat medis yang
fungsinya menunjang kehidupan pasien. Menurut kami, mengapa alat yang menunjang
tersebut harus dilepas dari pasien kalau kehidupannya bisa didukung dengan alat tersebut?
Alat-alat yang dilepas dari pasien hanya membuatnya akan mati dan itu sama saja dengan
membunuhnya, sehingga alat tersebut tidak perlu dilepas selama alat itu masih menunjang
diri pasien tersebut untuk hidup. Mengenai birokrasi rumah sakit yang sering kali menunda
tindakan penyembuhan jika administrasinya belum selesai, menurut kami hal tersebut
bukanlah tindakan euthanasia, karena euthanasia adalah suatu bentuk kematian yang
disengaja agar tidak merasakan sakit, sedangkan penundaan tindakan pengobatan oleh rumah
sakit, bukanlah bertujuan untuk memberikan kematian yang “nyaman”. Masalahnya disini
adalah dokter belum bertanggungjawab atas pasien sebelum pasien tersebut sudah berada
didepannya, jadi selagi pasien masih berurusan dengan birokrasi rumah sakit, pasien masih
tanggungan keluarga. Untuk mengurangi hal-hal seperti ini, pemerintah Indonesia harus
semakin ketat terhadap peraturan hukum yang terdapat pada pasal 304 dan 344 KUHP,
dimana penundaan pengobatan akibat administrasi yang belum selesai yang adalah suatu
tindakan yang disengaja, bisa berkurang. Seharusnya, administrasi bisa dilakukan setelah
pasien ditangani agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Jadi menurut kami, euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak
bermoral. Jika euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari
bahwa tidak seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung
permintaan tersebut sama dengan bunuh diri. Jika euthanasia dilakukan dengan alasan untuk
mengurangi beban penderitaan pasien atau alasan ekonomi keluarga yang tidak mampu, tentu
saja hal ini melanggar hak asasi si pasien. sPengakhiran kehidupan tanpa sepengetahuan
pasien sudah termasuk dalam kategori tindak pidana pembunuhan. Sesuai dengan
sumpahnya, seorang dokter seharusnya berusaha untuk mempertahankan kehidupan pasien
sampai batas akhir kesanggupannya. dalam kode etik kedokteran (1969) juga dinyatakan
bahwa dokter harus mengerahkan kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara hidup, tetapi tidak dengan cara mengakhiri hidup si pasien.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Euthanasia secara moral, tidak dapat diterima dari perspektif dan etika Islam karena
hal ini menolak kedaulatan Allah atas hidup manusia sekaligus telah membuat
manusia dapat menentukan kematiannya sendiri, sedangkan seperti kita ketahui
bahwa Allah yang menciptakan manusia dan Dia pula yang berkenan atas hidup
manusia sehingga yang berhak untuk menentukan dan mengambil hidup manusia
(kematian) adalah Allah sendiri.
2. euthanasia merupakan salah satu praktek kedokteran yang tidak bermoral. Jika
euthanasia dilakukan bedasarkan permintaan pasien, kita perlu menyadari bahwa tidak
seorang pun yang dapat menentukan kematianya. Secara tidak langsung permintaan
tersebut sama dengan bunuh diri.
DAFTAR PUSTAKA

As’ad,  Aliy, Drs. H. 1979. Tarjamah Fathul Mu’in. Kudus. Menara Kudus

Billy, N. 2008. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia.


Tersedia:http//www.hukum_kesehatan.web.id. diakses tanggal 14 Oktober 2011.

Fadli, Ahmad. 2000. Euthanasia dalam Medis dan Hukum Indonesia.


Tersedia:Hukum_kesehatan.web.id. teknosehat in biotik dan bio hukum. Diakses
tanggal 14 Oktober 2011

Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer


Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Ismail, Ilham. Konsep Mati Otak dan Euthanasia. Tersedia :


http://www.emedicine.medscape.com. diakses tanggal 14 Oktober 2011.

Menurut Hukum. (2020, 3 Juli). Euthanasia di Indonesia. Diakses pada tanggal 3 Juli
2020, dari https://menuruthukum.com/2020/07/03/euthanasia-di-indonesia/.
Qordhawi, Yusuf, DR.. 2003. Halal Haram dalam Islam. Surakarta. Era Intermedia

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.


Jakarta
: Gema Insani Press.

Zuhdi, Masjfuk. 1996. Masail Fiqhiyah. . Jakarta : PT. Gunung Agung

http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/

Anda mungkin juga menyukai