Anda di halaman 1dari 7

C.

MANFAAT

Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang seharusnya dilakukan
oleh seorang perawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam pengambilan keputusan mengenai masalah
Euthanasia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MALPRAKTIK

1. PENGERTIAN

Malpraktik adalah tindakan yang dilakukan secara sadar, dengan tujuan yang sudah mengarah kepada
akibat yang ditimbulkan atau petindak tidak peduli kepada akibat dari tindakannya yang telah
diketahuinya melanggar UU.

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan
ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran di lingkungan yang sama. (Hanafiah & Amir: 1999)

2. UNSUR MALPRAKTEK

Menurut kepustakaan hukum pidana yang dimaksud Medical Malpractice yang mengandung unsur-
unsur:

a. Neglegent Medical Care, dalam arti kealpaan besar.

b. Standard of care / standard profession yang menjadi ukuran sebagai petunjuk menurut ilmu
pengetahuan dalam menjalankan profesi.

c. Tidak ada accident, risk in treatment, error in judgement sebagai resiko medik.

d. Adanya informed consent yang terkait dengan medical record.

e. Medical liability baik yang bersifat strict liability, vicarious liability, corporate liability.

b. Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:

a. Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.

b. Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi.

c. Melakukan kealpaan yang berat atau memberikan pelayanan yang tidak hati- hati.
d. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum. (Hanafiah & Amir: 1999)

Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa ketidaksengajaan (professional misconducts
ataupun akibat lupa / kelalaian) sebagai berikut:

a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian (pasal 359 KUHP, pasal 360 KUHP, pasal 361 KUHP).

b. Penganiayaan (pasal 351 KUHP) untuk tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien (Informed
Consent).

c. Aborsi (pasal 341 KUHP, pasal 342 KUHP, pasal 346 KUHP, pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP, pasal 349
KUHP).

d. Euthanasia (pasal 344 KUHP, pasal 345 KUHP).

e. Keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP).

3. JENIS- JENIS EUTHANASIA

Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis dan mudah dimengerti adalah:

a. Euthanasia aktif

Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah
membolehkannya lewat peraturan perundangan.

b. Euthanasia pasif

Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat
bantu nafas, atau menunda operasi.

c. Auto euthanasia

Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan dia
mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut
ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan.

Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai
berikut:

a. Voluntary euthanasia
Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat
mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak
menunjang.

b. Involuntary euthanasia

Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang
menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau
yang bertanggung jawab.

c. Assisted suicide

Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa
dengan bunuh diri.

d. Tindakan langsung menginduksi kematian

Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan dan
pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda
karena dilakukan atas dasar belas kasihan. (Billy: 2008)

4. SYARAT DILAKUKANNYA EUTHANASIA

Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral dan kesopanan menentukan
bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang bersangkutan
dengan nyata dan sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia
lebih populer dengan istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia
lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.

Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:

a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit dan tidak dapat
diobati misalnya kanker.

b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal menunggu kematian.

c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya dapat dikurangi
dengan pemberian morfin. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah
dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter spesialis yang
menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia. Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru
euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya
„Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.

Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki nilai bersifat “ambigu”
yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai
perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah. (Fadli:
2000)B

5. ASPEK- ASPEK DALAM EUTHANASIA

a. Aspek Hukum

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama
euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan
sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia
tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya,
untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang
yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki

kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-
undang dalam KUHP.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan
iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai
“Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan
sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter
tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk
kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di
kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit
masih memiliki pandangan serta kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338,
340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai
aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa
dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah
euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat
apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:

1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah
satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok
yang paling berat.

2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung
asas „lex specialis derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan
yang sifatnya umum.
b. Aspek Hak Azazi

Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan
pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis
dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk
menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang
hebat.

c. Aspek Ilmu Pengetahuan

Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai
kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada
kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak
boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan
sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.

d. Aspek Agama

1) Agama Islam

Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah
kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS
22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah
ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4:29). Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah
atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan sengaja
tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik
dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun
1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:

a) Euthanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –
karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Euthanasia
positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat kematian. Tindakan ini
dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar.

b) Euthanasia negatif

Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il. Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-
alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa
diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak
memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.

2) Agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan
ahimsa. Karma adalah suatu konsekuensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang
baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Akumulasi terus
menerus dari “karma” yang buruk adalah penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus
reinkarnasi. Ahimsa adalah prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapa pun juga.

Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu sebab perbuatan tersebut
dapat menjadi faktor yang mengganggu karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia
adalah kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kelahiran kembali.

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan
masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh jahat dan berkelana
tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu di mana seharusnya ia menjalani kehidupan. Misalnya,
seseorang bunuh diri pada usia 17 tahun padahal dia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun. Maka selama
43 tahun rohnya berkelana tanpa arah tujuan. Setelah itu, rohnya masuk ke neraka untuk menerima
hukuman lebih berat; kemudian kembali ke dunia (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma”–nya
terdahulu yang belum selesai dijalaninya.

3) Agama Buddha

Agama Buddha sangat menekankan larangan untuk membunuh makhluk hidup. Ajaran ini merupakan
moral fundamental dari Sang Buddha. Oleh karena itu, jelas bahwa euthanasia adalah perbuatan yang
tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain itu, ajaran Budha sangat menekankan pada
“welas asih” (“karuna”). Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan
pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha. Tindakan jahat itu akan mendatangkan “karma”
buruk kepada siapa pun yang terlibat dalam tindakan euthanasia tersebut.

4) Gereja Ortodoks

Gereja Ortodoks punya kebiasaan untuk mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga
hingga kematian melalui doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan
pengharapan. Kehidupan hingga kematian dipandang sebagai suatu kesatuan kehidupan manusia.
Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan anti
euthanasia.

5) Agama Yahudi

Agama Yahudi melarang euthanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya ke dalam
“pembunuhan”. Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan, sumber dan tujuan
kehidupan. Walaupun dengan motivasi yang baik, misalnya mercy killing, euthanasia merupakan
kejahatan karena melawan kewenangan Tuhan. Dasar yang dipakai adalah Kej 1:9, “Tetapi mengenai
darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan
menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia”.

e. Aspek moral

Ditinjau dari aspek moral, membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan yang
bersangkutan dengan nyata & sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik.

f. Aspek nilai

Pengertian Nilai menurut Spranger adalah suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk
menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Jadi dalam kasus Euthanasia,
pandangan nilai sangat dibutuhkan untuk menjadi acuan dalam mengambil keputusan yang akan
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai