Anda di halaman 1dari 9

Sasaran belajar

1. MM tentang Malpraktek
1.1 Definisi
KBBI = praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, manyalahi undang-undang
atau kode etik.
Jurnal = Kelalaian seseorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan
dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau
orang yg terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
( M. Jusuf Hanafiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Surabaya : Buku
Kedokteran BCG, 199), Hal. 87 dalam Mudakir Iskandarsyah, Op.CIT. )

1.2 Klasifikasi
Menurut J. Guwandi malprakterk medis dpt dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz…) yg dilarang oleh peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain malpratktek dlm arti sempit, misalnya dgn sengaja
melakukan abortus tnp adanya indikasi medis, melakukan euthanasia,
memberi surat keterangan medis yg isinya tdk benar.
2. Tidak sengaja atau krn kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien
karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan
kemudian meninggal.
Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hokum dpt dibedakan menjadi 2 bentuk:
1. Malpraktik etik, yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yg bertentangan
dengan etika profesinya sbg tenaga kesehatan.
2. Malprtaktik yuridis,
a. Malpraktek perdata, malpraktek yang terjadi apabila terdapat hal-hal yg
menyebabkan tidk terpenuhinya isi perjanjian didlm transaksi terapeutik
oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hokum
sehingga menimbulkan kerugian.
b. Malpraktek pidana, terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami
cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. atau kurang cermat dlm
melakukan upayaperawatan thdp pasien yg meninggal dunia atau cacat.
c. Malpraktek administrative, terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran thdp hokum administrasi Negara yg berlaku, misalnya
menjalankan praktek bidan tnp lisensi atau izin praktek.

1.3 ciri-ciri tindakan malprkatek


Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi
unsur :
1. Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2. Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3. Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal
360, KUHP.

Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1. Adanya unsur kelalaian (culpa).
2. Adanya wujud perbuatan tertentu .
3. Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian
orang lain itu.
Tiga tingkatan culpa:
1. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono
(gross fault or neglect)
2. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
3. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal.
241)

Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus


mengajukan bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk
diminta pendapatnya. Jika kesalahan yang dilakukan sudah demikian jelasnya (res
ipsa loquitur, the thing speaks for itself) sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi,
maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya.
1.4 Perbedaan malpraktek dengan risiko medis

2. MM aspek hukum yg mengatur malpraktek


2.1 berdasarkan UU 29 tahun 2004 pasal 51
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Kode Etik Kedokteran Indonesia, dokter memiliki kewajiban-kewajiban yang
harus dipenuhinya, baik kewajiban umu, kewajiban terhadap pasien, dan
kewajiban
terhadap dirinya sendiri, diantaranya adalah:
 Seorang doker wajib menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan
sumpah dokter. (Pasal 1)
 Seorang dokter harus melakukan profesinya sesuai ukuran yang tertinggi.
(Pasal 2)
 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi. (Pasal 3)
 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri sendiri. (Pasal 4)
 Setiap pembuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepetingan dan kebaikan
pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien. (Pasal 5)
 Setiap dokter harus senantiasa berhati- hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenrannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat. (Pasal 6)
 Seorang dokter hanya memberikan keterangan atau pendapat yang telah
diperiksa sendiri keberannya. (Pasal 7)
 Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan
pelayanaan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan
atas martabat manusia. (Pasal 7a)
 Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang
melakukan penipuan atau penggelapan,dalam menangani pasien. (Pasal
7b)
 Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya,
dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
(Pasal 7c)
 Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melingdungi
hidup makhluk insani. (Pasal 7d)
 Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanaan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif),
baik fisk maupun psikososial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya. (Pasal 8)
 Setiap dokter dalam bekerja sama dengan pejabat dibidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat,harus saling menghormati. (Pasal 9)
 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu
dan
keterampilan untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksa atau pengobatan, maka atas persetujuan
pasien,ia wajib menunjuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai
keahlian dalam penyakit tersebut.(Pasal 10)
 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beradat dan atau dalam masalah lainnya (Pasal 11)
 Setiap doker wajib melakukan merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
tentang seorang penderita, bahka juga setelah penderita itu meninggal
dunia. (Pasal 12)
 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakni ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya. (Pasal 13)
 Setiap dokter memperlukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan. (Pasal 14 )
 Setiap dokter boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. (Pasal 15)
 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan
baik (Pasal 16 )
 Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengeatuan dan tetap setia kepada cita-cita yang luhur. (Pasal 17 )

2.2 alur hukum bila dokter diduga melakukan malpraktek


TAHAP PENEGAKAN DISIPLIN OLEH MKDKI
TAHAP 1: INVESTIGATIONAL STAGE (TAHAP INVESTIGASI)
A. Pengaduan
B. Verifikasi
C. Pemeriksaan Awal oleh MPA
D. Investigasi

TAHAP 2: ADJUDICATORY STAGE (PEMERIKSAAN DAN KEPUTUSAN)


A. Pemeriksaan Disiplin oleh MPD
B. Pembuktian
C. Pengambilan keputusan

TAHAP 3: DISPOSITIONAL STAGE (PENYAMPAIANKEPUTUSAN)


A. Pembacaan keputusan
B. Pengajuan keberatan teradu (jika ada)
C. Penyampaian keputusan kepada pihak terkait

3. MM informed concent
3.1 definisi = Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin.
jadi pengertian Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian Informed Consent dapat di definisikan sebagai
pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas
rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi
yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan
yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan.

Informed Consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989,


Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.

http://eprints.undip.ac.id/44650/3/Hamim_Tohari_22010110110013_Bab2KTI.pd
f

3.2 Tujuan, Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya

dibagi tiga, yaitu: a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek
penelitian).

b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.

c. Yang bertujuan untuk terapi.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :


1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien;

2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga
dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan
bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

3.3 Jenis-jenis

a. Implied Consent (dianggap diberikan)


Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya
dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari
isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus
emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan
keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan
tindakan medik terbaik menurut dokter.

b. Expressed Consent (dinyatakan)


Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis
yang bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya
mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum
dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
c. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu
melakukan tindakan segera untuk menyelematkan nyawa pasien
sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan
segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung.

3.4 Manfaat

a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak


diketahui/disadari pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun
yang merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga
serta dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil,
tak terduga malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai
dengan SOP. Peristiwa tersebut bisa ”risk of treatment” ataupun ”error
judgement”.

4. MM Pandangan islam thdp malpraktek


MUQADDIMAH
Berobat merupakan salah satu kebutuhan vital umat manusia. Banyak orang
rela mengorbankan apa saja untuk mempertahankan kesehatannya atau untuk
mendapatkan kesembuhan. Di sisi lain, para dokter adalah manusia biasa yang tidak
terlepas dari kesalahan. Demikian juga paramedis yang bekerja di bidang pelayanan
kesehatan. Kemajuan teknologi tidak serta merta menjamin menutup pintu kesalahan.
Meski pada dasarnya memberikan pelayanann sebagai pengabdian, mereka juga bisa
jadi tergoda oleh keuntungan duniawi, sehingga mengabaikan kemaslahatan pasien.
Karenanya, diperlukan aturan yang adil yang menjamin ketenangan bagi pasien dan
pada saat yang sama memberikan kenyamanan bagi para profesional bidang kesehatan
dalam bekerja. Tentu Islam sebagai syariat akhir zaman yang sempurna ini telah
mengatur semuanya. Tulisan sederhana ini mencoba menggali khazanah literatur para
ulama Islam dalam hal persoalan yang akhir-akhir ini mencuat kembali, yakni
malpraktek.
PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek berasal dari kata ‘malpractice’ dalam bahasa Inggris . Secara
harfiah, ‘mal’ berarti ‘salah’, dan ‘practice’ berarti ‘pelaksanaan’ atau ‘tindakan’,
sehingga malpraktek berarti ‘pelaksanaan atau tindakan yang salah. Jadi, malpraktek
adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai
dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan
kesehatan. Artikel ini juga hanya akan menyoroti malpraktek di seputar dunia
kedokteran saja. Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter –atau profesional lain di
dunia kedokteran dan kesehatan- kadang berhubungan dengan etika/akhlak. Misalnya,
mengatakan bahwa pasien harus dioperasi, padahal tidak demikian. Atau
memanipulasi data foto rontgen agar bisa mengambil keuntungan dari operasi yang
dilakukan. Jika kesalahan ini terbukti dan membahayakan pasien, dokter harus
mempertanggungjawabkannya secara etika. Hukumannya bisa berupa ta’zîr, ganti
rugi, diyat, hingga qishash. Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin
ilmu kedokteran. Jenis kesalahan ini yang akan mendapat porsi lebih dalam tulisan
ini.
BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab secara profesi
bisa digolongkan sebagai berikut:
1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa
memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau
memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki
keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
َ ‫ فَه َُو‬،َ‫َّب َولَ ْم يُ ْعلَ ْم ِم ْنهُ ِطبٌّ قَ ْب َل َذلِك‬
‫ضا ِم ٌن‬ َ ‫َم ْن تَطَب‬
“Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggung-jawab” Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh
kesehatan dan nyawa banyak orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa mutathabbib
(pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan
menjadi pelajaran bagi orang lain.
2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhâlafatul Ushûl Al-‘Ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah
baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai
oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran. Para ulama telah menjelaskan kewajiban para
dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak boleh menyalahinya.
Imam Syâfi’i rahimahullah –misalnya- mengatakan:
“Jika menyuruh seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati
hewan piaraan, kemudian semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah
melakukan apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para
pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab. Sebaliknya, jika ia tahu dan
menyalahinya, maka ia bertanggung-jawab.”
Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ibnul
Qayyim rahimahullah. Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-
benar terjadi pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini
termasuk permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan (Khatha’)
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang tidak memiliki maksud
di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien
yang terluka. Bentuk malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus
bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan
Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat khatha’ (tidak sengaja).
4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I’tidâ’)
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk
malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang
melakukan hal ini, sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi
dengan profesi ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan
dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku,
meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat
yang menyertai terjadinya malpraktek yang sangat jelas.
Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan pasien atau
keluarganya. PEMBUKTIAN MALPRAKTEK Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan
harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika
terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah satu wujud keadilan
dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima tanpa bukti, dokter dan
paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga
akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada
pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para
dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh
syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri,
dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.
2. Kesaksian (Syahâdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta’zîr, dibutuhkan kesaksian dua pria
yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang
tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat
wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim
juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek
dari dirinya).
3. Catatan Medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat
agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang
sah.
BENTUK TANGGUNG JAWAB MALPRAKTEK
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang
dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja
untuk menimbulkan bahaya (i’tida’), dengan membunuh pasien atau merusak anggota
tubuhnya, dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang
dilakukannya. Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil
bin Ishaq al-Maliki mengatakan: “Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan
sengaja.”
2. Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian,tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak
ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan
tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin
dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
3. Ta’zîr
berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta’zîr berlaku untuk dua bentuk
malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan
tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
PIHAK YANG BERTANGGUNG-JAWAB
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan
kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara
tidak langsung. Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal
sengaja merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli,
kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung
malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak
langsung. Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-
jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya.
Karenanya, rumah sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor
dalam tanggung-jawab yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan
terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

Anda mungkin juga menyukai