Anda di halaman 1dari 13

Pelanggaran Etika dan Disiplin

Dalam LSDI dan KODEKI telah tercantum secara garis besar perilaku atau tindakan-
tindakan yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
Namun ada saja oknum dokter yang tega melakukan pelanggaran etik bahakan pelanggaran etik
sekaligus hokum (etikolegal), lebih-lebih dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami
berbagai krisis akhir0akhir ini, dimana sebagian sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh
organisasi profesi kedokteran selama ini terhadap pelanggaran itu tidak tegas dan konsisten. Hal
ini disebabkan antara lain tidak jelasnya batas-batas antara yang boleh dan tidak boleh, antara
yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter terhadap pasiennya, teman sejawat atau
masyarakat umum lainnya. Inilah bedanya etik dengan hukum. Hukum lebih tegas dan lebih
obyektif menunjukan hal-hal yang merupakan pelanggaran hukum, sehingga jika terjadi
pelanggaran dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.

1. Pelanggaran Etik Murni dan Etikolegal
Pelanggaran terhadap butir-butir LSDI dan KODEKI ada yang merupakan pelanggaran
etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum.
Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya pelanggaran hukum tidak
selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut ini diajukan beberapa contoh :
1) Pelanggaran Etik Murni:
a. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter
dan dokter gigi.
Hidup cenderung materialistis, hedonistis dan bersifat konsumensurisme dapat
menyebabkan kecintaan terhadap material yang berlebih-lebihan dan berakibat memancing
keserakahan, dengan menarik imbalan jasa yang berlebih-lebihan. Pada hal dalam melakukan
pekerjaannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi
(KODEKI, Pasal 3). Seorang dokter dapat menerima imbalan selain pada layak sesuai dengan
jasanya, jika diberikan dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau kehendak penderita
(KODEKI, Pasal 4 ayat c).
a. Mengambil alih pasien tanpa sepengetahuan sejawatnya.
Sejawat adalah mitra kerja seorang dokter dan bukan saingan. Pembinaan kerjasama
dalam satu tim harus selalu diupayakan guna kepentingan pasien. Anggota suatu tim harus saling
hormat menghormati, saling bantu, saling belajar dan saling ingat mengingatkan. Seorang dokter
yang baik tidak menyalahkan sejawatnya didepan pasiennya (walaupun itu benar), tetapi secara
bijaksana membahas kasusnya dengan sejawatnya dan sebaliknya mengembalikan pasien kepada
sejawatnya yang pertama kali dikunjungi pasien tersebut.
b. Memuji diri sendiri di depan pasien.
Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri dipandang bertentangan denga etik
(KODEKI, Pasal 4 ayat a). Termasuk dalam memuji diri sendiri adalah mencantumkan gelar
pada papan praktek yang tidak terkait dengan pelayanan jasa kedokteran yang diberikannya,
mengadakan wawancara pers untuk mempromosikan cara pengobatan suatu penyakit, ataupun
berpartisipasi dalam promosi obat, kosmetika, alat dan sarana kesehatan, makanan, minuman dan
perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam deklarasi Muktamar IDI ke-23 di Padang tanggal 12
Desember 1997, dinyatakan bahwa pada dasarnya dokter sama sekali tidak boleh melibatkan diri
dalam pelbagai kegiatan promosi, karena promosi tersebut selalu terkait kepada kepentingan-
kepentigan yang sering kali bertentangan atau tidak menunjang tugas mulia kedokteran.
Perbuatan dokter sebagai pemeran langsung suatu iklan promosi komoditi yang dimuat media
massa dan/atau elektronik merupakan perbuatan tercela, karena tidak dapat disingkirkan
penafsirannya adanya suatu niat lain untuk memuji diri sendiri sebagaimana yang telah
ditentukan dalam KODEKI. Kendatipun pemeran langsung promosi komoditi dilakukan dalam
wahana ilmiah kedokteran, dianggap juga suatu perbuatan tercela, apalagi jika tidak
berlandaskan pengetahuan kedokteran tertinggi dalam bidangnya, sehingga tidak diyakini
sebagai produk yang layak diberikan kepada pasien, apalagi untuk dirinya sendiri maupun
kepada sanak keluarganya bila mengalami hal yang sama.
c. Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan.
Salah satu kewajiban dokter terhadap diri sendiri adalah senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-citanya yang luhur (KODEKI, Pasal
18). Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran berkembang dengan pesat, lebih-lebih dalam
tiga decade terakhir ini. Setiap dokter harus mengikuti perkembangan ini baik untuk manfaat diri
sendiri dan keluarga, maupun untuk pasien dan masyarakat. Tuntutan masyarakat akan
pelayanan kedokteran yang bermutu dan mutakhir sesuai dengan perkembangan IPTEK DOK
global, hendaknya ditanggapi oleh dokter dengan mengadakan konsolidasi diri, yaitu mengikuti
kursus-kursus, seminar, loka karya, ataupun mengikuti program pendidikan
spesialisasi/subspesialisasi.
d. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
Dokter seharusnya member teladan dalam memelihara kesehatan, melakukan pencegahan
terhadap penyakit, beprilaku sehat sehingga dapat bekerja dengan baik dan tenang (KODEKI,
Pasak 17). Jika dokter jatuh sakit, selayaknya berobat pada sejawatnya dan tidak megobati diri
sendiri.

a) Pelanggaran Etikolegal:
a. Pelayanan kedokteran dibawah standar.
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi
(KODEKI, Pasal 2), memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh yaitu
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (KODEKI, Pasal 8) dan mempergunakan segala
ilmu keterampilannya untuk kepentingan penderita (KODEKI, Pasal 11). Dengan demikian
seorang dokter yang memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar merupakan suatu
tindakan malpraktek, dan dapat dikenakan Pasal 350 KUHP, yang berbunyi : Barang siapa
karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapat luka berat atau luka sedemikian,
sehingga berakibat penyakit atau halangan sementara untuk menjalankan jabatan atau
pekerjaannya, dihukum denga hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun. Padahal seorang dokter
senantiasa membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan (LSDI, butir 1),
menjalankan tugasnya dan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita (LSDI, butir 7).
b. Menerbitkan surat keterangan palsu
Seorang dokter hanya member keterangan atau pendapat yang dibuktikan kebenarannya
(KODEKI, Pasal 7). Jadi jika seorang dokter menerbitkan surat keterangan cuti sakit berulang
kali kepada sorang tahanan, padahal orang tersebut mampu menghadiri siding pengadilan
perkaranya, maka dalam hal ini dokter telah melanggar etik dan juga KUHP Pasal 267 yang
berbunyi : Dokter yang dengan sengaja member surat keterangan palsu tentang adanya atau
tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dihukum dengan hukaman penjara selama 4 tahun.
c. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter.
Sejak zaman Hipokrates rahasia pekerjaan dokter menduduki tempat yang penting dalam
hubungan dokter dengan pasien. Apapun yang saya dengan atau lihat tentang kehidupan
seseorang yang tidak patut disebarluaskan, tidak akan saya ungkapkan karena saya harus
merahasiakannya (Sumpah Hipokrates, butir 9). Prinsip ini tercantum pula dalam LSDI, buti 5
yang berbunyi Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya
dan keilmuan saya sebagai dokter, sedangkan dalam KODEKI Pasal 13 tercantum, bahwa setiap
dokter wajib merasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan
juga setelah penderita itu meninggal dunia. Jadi seorang dokter yang menyebarluaskan rahasia
pribadi pasiennya di depan orang atau sekelompok orang lain, maka atas pengaduan pasien
bersangkutan, dokter dapat dituntut di depan pengadilan. Dokter tersebut yang dengan sengaja
membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaan baik
sekarang maupun dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda
sebanyak-banyaknya RP 600,- (harus disesuaikan dengan moneter saat ini)(KUHP, Pasal 322).
Lain halnya jika dokter menjadi saksi ahli di pengadilan, yang mempunyai peraturan tersendiri.
d. Abortus provokatus
Masalah abortus telah dibahas diberbagai pertemuan ilmiah dalam lebih dari 3 dekade
terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun reginal, namun hingga waktu ini Rancangan
Peraturan Pengguguran Berdasarkan Pertimbanagan Kesehatan belum terwujud. Secara umum
hal ini tercantum pada UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, namun penjabarannya belum
selesai juga. Kehamilan hukum itu menyangkut pula tindakan abortus provokatus para kasus-
kasus misalnya perkosaan, kehamilan pada wanita dengan grande multipara (telah banyak anak).
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup insane
(KODEKI, Pasal 10). UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, menyatakan bahwa dalam
keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat
dilakukan tindakan medic tertentu dan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian, dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya dan
dilakukan pada sarana kesehatan tertentu.
Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang mengancam pelaku-pelaku abortus illegal
sebagai berikut :
a) Wanita sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain melakukannya
(KUHP, Pasal 346, hukum maksimum 4 tahun).
b) Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seijinnay (KUHP, Pasal 347,
hukum maksimum 12 tahun dan bila wanita tersebut meninggal, hukuman maksimum 15
tahun).
c) Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seijin wanita tersebut (KUHP,
Pasal 348, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita tersebut meninggal,
maksimum 7 tahun).
d) Dokter, bidan atau juru obat melakukan kejahatan diatas (KUHP, Pasal 349, hukuman
ditambah sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaan).
e. Pelecehan seksual
Hubungan pasien dengan SpOG merupakan hubungan yang sangat khusus, karena
menyangkut pelayanan kesehatan reproduksi. Peluang untuk melakukan pelecehan seksual
terbuka lebih lebar dibandingkan dengan pelayanan kesehatan oleh disiplin lain Ilmu kedokteran.
Sejak zaman Hipokrates masalah ini telah disorot dengan sumpahnya, Rumah siapapun yang
saya masuki, kedatangan saya itu saya tujukan untuk kesembuhan yang sakit dan tanpa niat-niat
buruk atau mencelakakan dan lebih jauh lagi tanpa niat berbuat cabul terhadap wanita ataupun
pria, baik merdeka maupun hamba sahaya. Selanjutnya dalam LSDI secara umum dicantumkan
bahwa seorang dokter senantiasa menjalankan tugasnya dengan cara terhormat dan bersusila,
sesuai dengan martabat pekerjaannya (LSDI, butir 3) dan akan memelihara dengan sekuat tenaga
martabat dan tradisi luhur jabatan (LSDI, butir 2).
Dari segi hukum, pengertian perbuatan cabul (pelecehan seksual) adalah perbuatan yang
sengaja dilakukan untuk membangkitkan nafsu birahi atau nafsu seksual di luar perkawinan
termasuk persetubuhan. Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal tentang sanksi terhadap
kejahatan kesusilaan, yaitu sebagai berikut:
a) Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
yang bukan isterinya, bersetubuh dengan dia (Pasal 285 KUHP), hukuman maksimum 12
tahun.
b) Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya, padahal diketahui wanita
itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP), hukuman maksimum 9
tahun.
c) Barang siapa bersetubuh dengan wanita yang bukan isterinya, padahal diketahuinya atau
patut disangkanya umur wanita itu belum cukup 15 tahun atau belum pantas buat dikawin
(Pasal 287 KUHP), hukuman maksimum 9 tahun.
d) Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan
kepadanya (Pasal 294 KUHP), hukuman maksimum 7 tahun.
e) Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan
negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit jiwa atau lembaga social yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan kedalamnya (Pasal 294
KUHP), hukuman maksimum 7 tahun.

2. Prosedur Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) dari pusat hingga ke wilayah-wilayah dan cabang-cabangnya. Walaupun demikian,
MKEK ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter ataupun masyarakat. MKEK
tidak mungkin melakukan pengawasan sampai ke ruang praktek dokter-dokter. Masyarakat yang
menilai perilaku dokter bertentangan dengan etik kedokteran, seharusnya mengambil prakarsa
mengajukan kasus-kasus pelanggaran etik itu kepada IDI setempat, yang nantinya akan
meneruskan kasus tersebut kepada MKEK. Namun pengetahuan masyarakat umum tentang etik
kedokteran sangat terbatas, sehingga kadang-kadang yang terjadi adalah ada pelanggaran kasus
etik murni yang keburu diajukan ke pengadilan sebelum ditangani MKEK.
Mengingat belum lancarnyapenatalaksanaan kode etik, maka Departemen Kesehatan
(DEPKES) dengan Permenkes Nomor 554/Menkes/PER/XII/1982 membentuk Panitia
Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK). Di pusat, P3EK terdiri dari unsure-unsur
DEPKES, DEPTDIKBUD cq Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, Pengurus Besar
IDI dan PDGI. Jumlah anggotanya antara 7-9 orang. Tugas P3EK Pusat adalah:
1) Memberi pertimbangan tentang etik kedokteran kepada Menteri
2) Membina dan mengembangkan secara aktif KODEKI dan Kode Etik Kedokteran Gigi
Indonesia (KODEKGI) dengan bekerjasama dengan PDGI.
3) Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan.
4) Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK Prpoinsi.
5) Menyelesaikan rujukan terakhir dalam permasalahan pelanggaran etik kedokteran atau etik
kedokteran gigi.
6) Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hokum dan instansi lain yang berkaitan.

Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara P3EK, MKEK, dan MKEKG telah menghasilkan
pedoman kerja yang menyangkut para dokter antara lain sebagai berikut:
1) Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik diteruskan terlebih
dahulu kepada MKEK.
2) Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.
3) Masalah yang tidak murni etik serta masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK
dirujuk ke P3EK Propinsi.\
4) Dalam siding MKEK atau P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan Pembela Anggota IDI
dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh yang bersangkutan (tanpa hak untuk
mengambil keputusan).
5) Masalah yang menyangkut profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani bersama oleh
MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke P3EK apabila diperlukan.
6) Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etik kedokteran serta penyelesaian
oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi.

P3EK Propinsi terdiri dari unsur-unsur Kantor Wilayah DEPKES Propinsi, Dinas
Kesehatan Propinsi Daerah Tingkat I, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi (jika ada),
IDI Propinsi dan PDGI Propinsi. Jumlah pengurusnya antara 5-7 orang. Tugas P3EK Propinsi
adalah menerima dan member pertimbangan tentang persoalan dalam bidang etik profesi di
wilayahnya kepada Kepala Kantor Wilayah DEPKES Propinsi, mengawasi pelaksanaan kode
etik dalam wilayahnya, mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain
yang berkaitan, memberi nasihat kepada dokter dan dokter gigi, membina dan mengembangkan
secara efektif kode etik profesi dan memberi pertimbangan serta usul-usul kepada pejabat yang
berwenang di bidang kesehatan dalam wilayah propinsi. Jadi dalam pelanggaran kode etik
kedokteran, maka Kepala Kantor Wilayah DEPKES Propinsi yang berwenang mengambil
tindakan berupa peringatan atau tindakan administratif terhadap dokter atau dokter gigi sesuai
berat ringannya pelanggaran. Apabila dokter atau dokter gigi bersangkutan berkeberatan
terhadap keputusan bersalah yang dinyatakan oleh pihak berwenang, yang bersangkutan dapat
mengajukan banding dalam waktu 20 hari ke P3EK Pusat, melalui P3EK Propinsi. Keputusan
banding oleh P3EK Pusat disampaikan kepada Menteri Kesehatan untuk mengambil tindakan
yang diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.
Kasus-kasus pelanggaran etik yang tidak murni, yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK
Propinsi diteruskan ke P3EK Pusat. Dengan demikian kasus-kasus pelanggaran etik tidak murni
dibahas lebih dahulu di P3EK sebelum diteruskan kepada penyidik. Jadi pada tahap pertama
penanganan kasus-kasus tersebut tidak perlu dicampuri oleh pihak luar. Pembelaan cukup
dilakukan oleh kalangan profesi sendiri yaitu Badan Pembela Anggota IDI atau PDGI. Kasus-
kasus yang sudah jelas melanggar peraturan perundang-undangan dapat dilaporkan langsung
kepada pihak yang berwenang.

3. Pedoman Penilaian Kasus-kasus Pelanggaran Etik Kedokteran
Etik lebih mengandalkan itikad baik dan keadaan moral para pelakunya dan untuk
mengukur hal ini tidaklah mudah, karena itu timbul kesulitan dalam menilai pelanggaran etik,
selama pelanggaran itu tidak merupakan kasus-kasus pelanggaran hokum.
Dalam penilaian kasus-kasus pelanggaran etik kedokteran, MKEK berpedoman pada:
1) Pancasila
2) Prinsip-prinsip dasar moral umumnya
3) Cirri dan hakekat pekerjaan profesi
4) LSDI
5) Tradisi luhur kedokteran
6) KODEKI
7) Hukum kesehatan terkait
8) Hak dan kewajiban dokter
9) Hak dan kewajiban penderita
10) Pendapat rata-rata masyarakat kedokteran
11) Pendapat pakar-pakar dan praktisi kedokteran yang senior.

Selanjutnya MKEK menggunakan pula beberapa pertimbangan berikut, yaitu:
1) Tujuan spesifik yang ingin dicapai
2) Manfaatnya bagi kesembuhan penderita
3) Manfaatnya bagi kesejahteraan umum
4) Penerimaan penderita terhadap tindakan itu
5) Preseden tentang tindakan semacam itu
6) Standar pelayanan medik yang berlaku
Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik, pelanggaran
itu dikategorikan dalam kelas ringan, sedang, atau berat, yang berpedoman pada:
1) Akibat terhadap kesehatan penderita
2) Akibat bagi masyarakat umum
3) Akibat bagi kehormatan profesi
4) Peranan penderita yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran
5) Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka.
Dengan adanya pedoman penilaian tersebut di atas diharapkan factor subyektivitas
MKEK dapat dibatasi sekecil mungkin. Namun sanksi professional yang diberikan harus benar-
benar memegang peranan sentral dan tidak hanya merupakan semboyan yang muluk-muluk atau
merupakan lip service saja pada acara-acara akademik atau acara-acara perhimpunan profesi.

4. Bentuk-bentuk Sanksi
Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya, sehingga terhadap
pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh MKEK. Secara maksimal mungkin MKEK
memberikan usul kepada Kanwil DEPKES Propinsi atau DEPKES untuk memberikan tindakan
administrative, sebagai langkah pencegahan terhadap kemungkinan pengulangan kesalahan yang
sama dikemudian hari atau terhadap makin besarnya intensitas pelanggaran tersebut.
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik kedokteran tergantung pada berat
ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang terbaik adalah upaya pencegahan pelanggaran etik
yaitu dengan cara terus menerus memberikan penyuluhan kepada anggota IDI maupun PDGI,
tentang etika kedokteran dan hokum kesehatan. Namun jika terjadi pelanggaran, maka sanksi
yang diberikan hendaknya bersifat mendidik, sehingga pelanggaran yang sama tidak terjadi lagi
di masa depan dan sanksi tersebut menjadi pelajaran bagi dokter lain. Bentuk sanksi pelanggaran
etik dapat berupa:
1) Teguran atau tuntutan secara lisan dan tulisan
2) Penundaan kenaikan gaji atau pangkat
3) Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah
4) Dicabut izin praktek dokter untuk sementara atau selama-lamanya
5) Pada kasus pelanggarancetikolegal, diberikan hukuman sesuai peraturan kepegawaian yang
berlaku dan diproses ke pengadilan.

Anda mungkin juga menyukai