1102018240
Bahan pbl sk1 forensik & medikolega
MM Malpraktik
1. Definisi
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga istilah malpraktik diartikan
dengan: "praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau
kode etik."
2. Jenis-jenis
Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum
dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan
malpraktek yuridis (yuridical malpractice).
a. Malpraktik Etik, Yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan.
b. Malpraktik Yuridis, Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini
menjadi tiga bentuk, yaitu malpraktek perdata (civil malpractice),
malpraktek pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administratif
(administrative malpractice).
Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) terjadi apabila terdapat
hal-hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan,
atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad),
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau
kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien
yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada
tiga bentuk yaitu:
Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional),
tenaga medis tidak melakukan pertolongan pada kasus
gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang
bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang
tidak benar.
Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness),
misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau
tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan
tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence),
misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai
akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati- hati.
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang
berlaku, misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin
praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau
izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa,
dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
2. Alur hukum
MM Informed Consent
1. Definisi
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004
Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. Maka
Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
2. Tujuan
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang
cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan.
Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk
menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah
menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan
yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat
menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
3. Manfaat
Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien. Misalnya hendak dilakukan prosedur medik yang
sebenarnya tidak perlu dan tanpa ada dasar mediknya.
Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tak
terduga dan bersifat negative. Misalnya terhadap “Risk of Treatment” yang tak
mungkin dihindarkan, walaupun sang dokter berusaha sedapat mungkin dan
bertindak dengan sangat hati – hati.
4. Isi
Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang
direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya
diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed
consent).
Hakikat Informed consent mengandung 2 (dua) unsur esensial yaitu :
Informasi yang diberikan oleh dokter;
Persetujuan yang diberikan oleh pasien.
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa
masukan sebagai berikut :
Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan
medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).
Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan
yang mungkin timbul.
Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk pasien.
Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur / terapi / tindakan berlangsung.
Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya
prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tersebut.
Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada pasien
menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45, ayat (3)
sekurang-kurangnya mencakup:
Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
Alternatif tindakan lain dan risikonya;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan.
Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan dengan pembiayaan.
Penjelasan seharusnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis itu
sendiri, bukan oleh orang lain, misalnya perawat. Penjelasan diberikan dengan bahasa
dan kata-kata yang dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan
‘kematangannya’, serta situasi emosionalnya.
Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara
isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk
tindakan medis dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive
lainnya), persetujuan harus secara tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau
orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi dari pihak keluarga.
5. Aspek hukum
Jika seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran yang
sah, maka dampaknya adalah bahwa dokter tersebut akan dapat mengalami masalah:
b. Hukum Perdata, untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter,
maka pasien harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan sebelumnya
mengenai hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud padahal apabila dia telah
diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya, atau
menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan
(perbuatan melanggar hukum).
1) Bab II ( Persetujuan )
a. Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapatkan persetujuan.
b. Pasal 2 ayat (2) : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan.
c. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik
yang bersangkutan serta risiko yang ditimbulkannya.
d. Pasal 2 ayat (4) : Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan
dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.
e. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
a. Pasal 4 ayat (1) : Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada
pasien, baik diminta maupun tidak diminta.
b. Pasal 4 ayat (2) : Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya
kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi.
c. Pasal 4 ayat (3) : Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter dengan
persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga
terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat / paramedik lainnya sebagai
saksi.
d. Pasal 5 ayat (1) : Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan
kerugian dari tindakan medis yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun
terapeutik.
e. Pasal 5 ayat (4) : Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3), dokter
dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada
keluarga terdekat pasien.
MM bentuk tanggung jawab malpraktik terhadap perspestif hukum pidana islam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ فَه َُو َ َذلِك قَ ْب َل ٌّ ِطب ُ ِم ْنه يُ ْعلَ ْم َولَ ْم َّب
ضا ِم ٌن َ تَطَب َم ْن
“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu,
maka dia yang bertanggung jawab.”
Analysis dua hadizt Abu Dhawud
“Berkata pada kami Nashr bin Āsim al-Anthākī dan Muhammad bin al-Shabbah bin Sufyān,
sesungguhnya al-Walīd bin Muslim mengabarkan pada mereka dari Ibnu Juraij dari „Amr bin
Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa
yang bertindak sebagai seorang dokter sedangkan ia belum pernah mengkaji ilmu pengobatan
sebelumnya, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi (jika ada yang
celaka oleh cara pengobatannnya). Nashr berkata, berkata pada saya Ibnu Juraij, Abū Dāwud
berkata, hadis ini tidak diriwayatkan (secara musnad) kecuali dari jalur al-Walīd, sedang
kami tidak tahu apakah dia sahih (bisa diterima) atau tidak.”
“Berkata pada kami Muhammad bin al-„Alā‟, berkata pada kami Hafsh, berkata pada kami
„Abd al-„Azīz bin „Umar bin „Abd al-„Azīz, berkata pada saya sebagian utusan yang
didatangkan pada ayah saya, mereka berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seseorang
yang bertindak sebagai seorang dokter lalu merawat orang sakit, sedangkan dirinya tidak
mengetahui sebelumnya cara perawatan secara medis yang mengakibatkan penyakit si pasien
semakin parah, maka ia harus bertanggung jawab.”
Larangan malpraktik
“Berkata pada kami Muhammad bin Sinān, berkata pada kami Fulaih bin Sulaimān, berkata
pada kami Hilāl bin „Alī dari Athā‟ bin Yasār dari Abū Hurairah yang berkata, Rasulullah
saw. bersabda „apabila suatu amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat (kehancuran)-
nya‟. Seseorang (Arab Badui) bertanya „Bagaimana menyia-nyiakannya wahai Rasulullah?‟.
Maka Nabi pun menjawab „apabila suatu perkara diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka
tunggulah saja kehancurannya (kiamat)”