Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah
mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti
persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian
suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian
“informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.

Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan


sebagai suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan
dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.

2.2 Tujuan Pelaksanaan Informed Consent

2.1.1 Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari
segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan
malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi
medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi
atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan
medisnya

2.1.2 Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari


tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan
medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of
treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak
hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang
hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan,
kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau
karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan
demikian oleh teman sejawat lainnya.

2.3 Fungsi Pemberian Informed Consent

2.3.1 Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien

2.3.2 Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk


menentukan nasibnya sendiri

2.3.3 Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan

2.3.4 Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien

2.3.5 Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter

2.3.6 Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional

2.3.7 Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan

2.3.8 Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan
kesehatan

2.3.9 Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan


introspeksi terhadap diri sendiri.

2.4 Ruang Lingkup Informed Consent

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada


pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu
mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan
pasien.

Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya
penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan
inkonklusif. Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:
2.4.1 Hak atas informasi

Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita,


tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat
tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya,
prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.

2.4.2 Hak atas persetujuan (Consent)

Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa


paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan
yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan
consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau
orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat
dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi,
prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed
Consent).

2.4.3 Hak atas rahasia medis

2.4.4 Hak atas pendapat kedua (Second opinion)

2.4.5 Hak untuk melihat rekam medik

2.4.6 Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental,
anak dan remaja di bawah umur)

2.4.7 Hak pasien dalam penelitian

Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan


informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi,
bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari
pelayanan orang yang tidak kompeten.

2.4.8 Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku
di rumah sakit

2.4.9 Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi


2.4.10 Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi

2.4.11 Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit

2.4.12 Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan
mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri
sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya

2.4.13 Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis

2.4.14 Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya

2.4.15 Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
rumah sakit

2.4.16 Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit
terhadap dirinya

2.4.17 Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual

2.4.18 Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter

2.5 Hal – hal yang dapat di informasikan

2.5.1 Hasil Pemeriksaan

Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah


dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap smear. Apabila
infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan pasien.

2.5.2 Risiko

Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai


upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini jarang
diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kemungkinan
tersebut juga harus diberitahu pada pasien.

Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko


dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus
memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada
kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain
yang dapat melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.

2.5.3 Alternatif

Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis


dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan bahaya
yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi
hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan prosedur, keberhasilan dan
kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.

2.5.4 Rujukan atau konsultasi

Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa


kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan terapi
pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter harus merujuk
saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan
kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani
pasien tersebut lebih baik darinya.

2.5.5 Prognosis

Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,


ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk tidak
mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien juga berhak
mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua
ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga oleh dokter.
Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan bagian dari informed
consent.
2.6 Aspek Hukum Informed Consent

Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan


medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi
dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun
perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat
diterapkan.

Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok
ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi
kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada
hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain
harus memberikan ganti rugi”.

Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan


adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil
(ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur
untuk menjatuhkan sanksi pidana.

Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh


pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak
pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar
penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana
tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;

Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan


adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang
penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan
radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya
izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 351 KUHP.

Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan
hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan.

Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative,
misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara
pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan
pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan
dengan informed consent ini.

2.7 Hal-hal yang Mempengaruhi Proses Informed Consent

2.7.1 Bagi pasien

1) Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis


2) Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada
waktu untuk tanya jawab
3) Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu
mencerna informasi
4) Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.

2.7.2 Bagi petugas kesehatan

1) Pasien tidak mau diberitahu.


2) Pasien tak mampu memahami.
3) Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
4) Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
2.8 Kualitas Informasi yang di berikan

Kualitas informasi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman,


selera, dan iman seseorang mengolah stimulus menjadi informasi. Burch (1986:5)
mengatakan bahwa sebuah informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh
kecermatan (accuracy), tepat waktu (timeliness) dan relevansinya (relevancy).

Adekuatnya informasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam


menyampaikan pesan melalui komunikasi terapeutik, pengetahuan dan
pemahaman dasar tentang penyakit. Dalam melaksanakan tindakan invasif hal-hal
yang perlu diinformasikan adalah:

1) Alasan dilakukan tindakan tersebut.


2) Manfaat atau kegunaannya.
3) Langkah-langkah yang akan dilakukan.
4) Persiapan yang akan dibutuhkan.
5) Cara perawatan setelah pemasangan alat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. 2005.


Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan
Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar.

J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.

M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. EGC.
Jakarta. 1999.

Anonim. (2012). Persetujuan dan Penolakan terhadap Tindakan Medis.


http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenolakan.htm. Diakses pada
tanggal 14 mei 2018, pukul 18.00 WIB

Anonim. (2012). Mengenal “Informed Consent”.


http://www.scribd.com/doc/ 22040447/All-About-Informed-Consent. Diakses
pada tanggal 14 mei 2018, pukul 18.30 WIB

Anda mungkin juga menyukai