Anda di halaman 1dari 35

LI.2.

Memahami dan Menjelaskan Fisiologi dan Biokimia Alat Pencernaan


Bagian Atas
1. Fisiologi

MULUT
Liur (saliva), sekresi yang berkaitan dengan mulut, terutama dihasilkan oleh tiga
pasang kelenjar liur utama yang terletak di luar rongga mulut dan mengeluarkan liur
melalui duktus pendek ke dalam mulut.
Liur mengandung 99,5% H2O dan 0,5% elektrolit dan protein. Konsentrasi NaCl
(garam) liur hanya sepertujuh dari konsentrasinya di plasma, yang penting dalam
mempersepsikan rasa asin. Demikian juga, diskriminasi rasa manis ditingkatkan
oleh tidak adanya glukosa di liur. Protein liur yang terpenting adalah amilase,
mukus, dan lisozim. Protein-protein ini berperan dalam fungsi saliva sebagai
berikut:
1. Liur memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja arnilase liur, suatu
enzim yang menguraikan polisakarida menjadi maltosa, suatu disakarida yang
terdiri dari dua molekul glukosa
2. Liur mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel makanan
sehingga partikel-partikel tersebut menyatu, serta menghasilkan pelumasan oleh
adanya mukus yang kental dan licin.
3. Liur memiliki sifat antibakteri melalui efek rangkap pertama, dengan lisozim,
suaru enzim yang melisiskan atau menghancurkan bakteri tertentu dengan merusak
dinding sel; dan kedua, dengan membilas bahan yang mungkin berfungsi sebagai
sumber makanan untuk bakteri.
4. Liur berfungsi sebagai bahan pelarut yang merangsang kuncup kecap. Hanya
molekul dalam larutan yang dapat bereaksi dengan reseptor kuncup kecap
5. Liur membantu berbicara dengan mempermudah gerakan bibir dan lidah. Kita
sulit berbicara jika mulut kita kering.
6. Liur berperan penting dalam higiene mulut dengan membantu menjaga mulut dan
gigi bersih. Aliran liur yang konstan membantu membilas residu makanan, partikel
asing, dan sel epitel rua yang terlepas dari mukosa mulut. Kontribusi liur dalam hal
ini dapat dirasakan oleh setiap orang yang pernah mengalami bau mulut ketika
saiivasi tertekan sementara, misalnya ketika demam atau mengalami kecemasan
berkepanjangan.
7. Liur kaya akan dapar bikarbonat, yang menetralkan asam dalam makanan serta
asam yang dihasilkan oleh bakteri di mulut sehingga karies dentis dapat dicegah.
Meskipun memiliki banyak fungsi di atas, liur tidak esensial untuk pencernaan dan
penyerapan makanan, karena enzim-enzim yang diproduksi oleh pankreas dan usus
halus dapat menuntaskan pencernaan makanan meskipun tidak terdapat liur dan
sekresi lambung.

Pencernaan di mulut bersifat minimal; tidak terjadi penyerapan nutrien. Pencernaan


di mulut melibatkan hidrolisis polisakarida menjadi disakarida oleh amilase.
Namun, sebagian besar pencernaan oleh enzim ini dilakukan di korpus lambung
setelah massa makanan dan liur tertelan. Asam menginaktifkan amilase, tetapi di
bagian tengah makanan, di mana asam lambung belum sampai, enzim liur ini terus
berfungsi selama beberapa jam.
Tidak terjadi penyerapan makanan di mulut. Yang penting, sebagian obat dapat
diserap oleh mukosa oral, contoh utamanya adalah nitrogliserin, obat vasodilator
yang kadang digunakan oleh pasien jantung untuk menghilangkan serangan angina
yang berkaitan dengan iskemia miokardium.

Fungsi gaster
a. Penyimpan makanan. Kapasitas lambung normal memungkinkan adanya
interval yang panjang antara saat makan dan kemampuan menyimpan
makanan dalam jumlah besar sampai makanan ini dapat terakomodasi di
bagian bawah saluran cerna.
b. Produksi kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus
(massa homogen setengah cair berkadar asam tinggi yang berasal dari
bolus) dan mendorongnya ke dalam duodenum.
c. Digesti protein. Lambung mulai digesti protein melalui sekresi tripsin
dan asam klorida.
d. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk
barrier setebal 1 mm untuk melindungi lambung terhadap aksi
pencernaan dan sekresinya sendiri.
e. Produksi faktor intrinsik.
 Faktor intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi sel parietal.
 Vitamin B12, didapat dari makanan yang dicerna di lambung, terikat
pada faktor intrinsik. Kompleks faktor intrinsik vitamin B12 dibawa ke
ileum usus halus, tempat vitamin B12 diabsorbsi.
f. Absorbsi. Absorbsi nutrien yang berlangsung dalam lambung hanya
sedikit. Beberapa obat larut lemak (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada
dinding lambung. Zat terlarut dalam air terabsorbsi dalam jumlah yang
tidak jelas.

Mekanisme pencernaan makanan pada gaster


A. Mekanik
Makanan bergerak dari kerongkongan menuju lambung, yaitu
bagian saluran pencernaan yang melebar. Makanan yang masuk ke
dalam lambung tersimpan selama 2-5 jam. Selama makanan berada di
dalam labung, makanan di cerna secara kimiawi dengan bercampurnya
dengan getah lambung yang dihasilkan dari dinding lambung. Dalam
getah lambung itu sendiri terdapat campuran zat-zat kimia yang
sebagian besar terdiri dari air dan sekresi asam lambung. Asam
lambung mengandung HCl yang berfungsi untuk mematikan bakteri
atau membunuh kuman yang masuk ke lambung dan berfungsi untuk
menghasilkan pepsinogen menjadi pepsin. Lambung juga mengandung
enzim renin yang berfungsi untuk menggumpalkan kasein dalam susu.
Mukosa (lendir) pada lambung berfungsi melindungi dinding lambung
dari abrasi asam lambung.
Proses pencampuran tersebut dipengaruhi oleh gerak mengaduk
yang bergerak disepanjang lambung setiap 15-25 detik akibat adanya
kontraksi dinding lambung yang menyebabkan ketiga otot lambung
bergerak secara peristaltik mengaduk dan mencampur makan dengan
getah lambung. Sesudah kira-kira tiga jam, makanan menjadi berbentuk
bubur yang disebut kim. Gerakan mengaduk dimulai dari kardiak
sampai di daerah pylorus yang terjadi terus-menerus baik pada saat
lambung berisi makanan maupun pada saat lambung kosong. Akibat
gerakan peristaltik, kim terdorong ke bagian pilorus. Di pilorus terdapat
sfingter yang merupakan jalan masuknya kim dari lambung ke usus
halus. Gerakan peristaltik tersebut menyebabkan sfingter pilorus
mengendur dalam waktu yang sangat singkat. Jadi, di dalam lambung
terjadi pencernaan secaea mekanis dengan bantuan peristaltik dan
pencernaan kimiawi dengan bantuan asam lambung dan enzim pepsin
serta renin.
Persyarafan otonom
 Persarafan pada lambung umumnya bersifat otonom. Suplay saraf
parasimpatis untuk lambung di hantarkan ke dan dari abdomen
melalui saraf vagus. Trunkus vagus mencabangkan ramus gastric,
pilorik, hepatic dan seliaka.
 Persarafan simpatis melalui saraf splangnikus mayor dan ganglia
seliakum. Serabut-serabut afferent simpatis menghambat
pergerakan dan sekresi lambung. Pleksus auerbach dan submukosa
(meissner) membentuk persarafan intrinsic dinding lambung dan
mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.

Fisiologi sekresi gaster


1. Fase sefalik
Terjadi sebelum makanan mencapai lambung. Masuknya makanan
ke dalam mulut atau tampilan, bau, atau pikiran tentang makanan
dapat merangsang sekresi lambung.

2. Fase lambung
Terjadi saat makanan mencapai lambung dan berlangsung selama
makanan masih ada.
 Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam
mukosa lambung dan memicu refleks lambung. Serabut aferen
menjalar ke medula melalui saraf vagus. Serabut eferen
parasimpatis menjalar dalam vagus menuju kelenjar lambung
untuk menstimulasi produksi HCl, enzim-enzim pencernaan,
dan gastrin.
 Fungsi gastrin:
- Merangsang sekresi lambung,
- Meningkatkan motilitas usus dan lambung,
- Mengkonstriksi sphincter oesophagus bawah dan
merelaksasi sphincter pylorus,
- Efek tambahan: stimulasi sekresi pancreas.
 Pengaturan pelepasan gastrin dalam lambung terjadi melalui
penghambatan umpan balik yang didasarkan pada pH isi
lambung.
- Jika makanan tidak ada di dalam lambung di antara jam
makan, pH lambung akan rendah dan sekresi lambung
terbatas.
- Makanan yang masuk ke lambung memiliki efek
pendaparan (buffering) yang mengakibatkan peningkatan
pH dan sekresi lambung.

3. Fase usus
Terjadi
setelah kimus
meninggalkan
lambung dan
memasuki
usus halus
yang
kemudian
memicu
faktor saraf
dan hormon.
 Sekresi
lambung

distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum sehingga dapat


berlangsung selama beberapa jam. Gastrin ini dihasilkan oleh
bagian atas duodenum dan dibawa dalam sirkulasi menuju
lambung.
 Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida
yang dihasilkan duodenum. Hormon ini dibawa sirkulasi
menuju lambung, disekresi sebagai respon terhadap asiditas
lambung dengan pH di bawah 2, dan jika ada makanan
berlemak. Hormon-hormon ini meliputi gastric inhibitory
polipeptide (GIP), sekretin, kolesistokinin (CCK), dan hormon
pembersih enterogastron.

Tabel 2: Stimulasi Sekresi Lambung

Terdapat empat aspek motilitas lambung: (1) pengisian


lambung/gastric filling, (2) penyimpanan lambung/gastric storage, (3)
pencampuran lambung/gastric mixing, dan (4) pengosongan
lambung/gastric emptying.
1. Pengisian lambung
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ
ini dapat mengembang hingga kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000
ml) ketika makan. Akomodasi perubahan volume yang besarnya
hingga 20 kali lipat tersebut akan menimbulkan ketegangan pada
dinding lambung dan sangat meningkatkan tekanan intralambung
jika tidak terdapat dua faktor berikut ini:
 Plastisitas otot lambung
Plastisitas mengacu pada kemampuan otot polos lambung
mempertahankan ketegangan konstan dalam rentang panjang
yang lebar, tidak seperti otot rangka dan otot jantung, yang
memperlihatkan hubungan ketegangan. Dengan demikian, saat
serat-serat otot polos lambung teregang pada pengisian
lambung, serat-serat tersebut melemas tanpa menyebabkan
peningkatan ketegangan otot.
 Relaksasi reseptif lambung
Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks lambung sewaktu
menerima makanan. Relaksasi ini meningkatkan kemampuan
lambung mengakomodasi volume makanan tambahan dengan
hanya sedikit mengalami peningkatan tekanan. Tentu saja
apabila lebih dari 1 liter makanan masuk, lambung akan sangat
teregang dan individu yang bersangkutan merasa tidak nyaman.
Relaksasi reseptif dipicu oleh tindakan makan dan diperantarai
oleh nervus vagus.
2. Penyimpanan lambung
Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang
autonom dan berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu
tersebut terletak di lambung di daerah fundus bagian atas. Sel-sel
tersebut menghasilkan potensial gelombang lambat yang menyapu
ke bawah di sepanjang lambung menuju sphincter pylorus dengan
kecepatan tiga gelombang per menit. Pola depolarisasi spontan
ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar atau BER (basic electrical
rhythm) lambung, berlangsung secara terus menerus dan mungkin
disertai oleh kontraksi lapisan otot polos sirkuler lambung.
Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh
fundus dan corpus lalu ke antrum dan sphincter pylorus. Karena
lapisan otot di fundus dan corpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua
daerah tersebut lemah. Pada saat mencapai antrum, gelombang
menjadi jauh lebih kuat disebabkan oleh lapisan otot di antrum yang
jauh lebih tebal.
Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi
kurang kuat, makanan yang masuk ke lambung dari oesophagus
tersimpan relatif tenang tanpa mengalami pencampuran. Daerah
fundus biasanya tidak menyimpan makanan, tetapi hanya berisi
sejumlah gas. Makanan secara bertahap disalurkan dari corpus ke
antrum, tempat berlangsungnya pencampuran makanan.
3. Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab
makanan bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan
kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong kimus ke
depan ke arah sphincter pylorus. Sebelum lebih banyak kimus dapat
diperas keluar, gelombang peristaltik sudah mencapai sphincter
pylorus dan menyebabkan sphincter tersebut berkontraksi lebih
kuat, menutup pintu keluar dan menghambat aliran kimus lebih
lanjut ke dalam duodenum. Bagian terbesar kimus antrum yang
terdorong ke depan, tetapi tidak dapat didorong ke dalam duodenum
dengan tiba-tiba berhenti pada sphincter yang tertutup dan tertolak
kembali ke dalam antrum, hanya untuk didorong ke depan dan
tertolak kembali pada saat gelombang peristaltik yang baru datang.
Gerakan maju-mundur tersebut, yang disebut retropulsi,
menyebabkan kimus bercampur secara merata di antrum.

4. Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltik antrum—selain menyebabkan pencampuran
lambung—juga menghasilkan gaya pendorong untuk
mengosongkan lambung. Jumlah kimus yang lolos ke dalam
duodenum pada setiap gelombang peristaltik sebelum sphincter
pylorus tertutup erat terutama bergantung pada kekuatan peristalsis.
Intensitas peristalsis antrum dapat sangat bervariasi di bawah
pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan
demikian, pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung dan
duodenum.
Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan
lambung. Faktor lambung utama yang mempengaruhi kekuatan
kontraksi adalah jumlah kimus di dalam lambung. Apabila hal-hal
lain setara, lambung mengosongkan isinya dengan kecepatan yang
sesuai dengan volume kimus setiap saat. Peregangan lambung
memicu peningkatan motilitas lambung melalui efek langsung
peregangan pada otot polos serta melalui keterlibatan plexus
intrinsik, nervus vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu,
derajat keenceran (fluidity) kimus di dalam lambung juga
mempengaruhi pengosongan lambung. Semakin cepat derajat
keenceran dicapai, semakin cepat isi lambung siap dievakuasi.
Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan
lambung. Walaupun terdapat pengaruh lambung, faktor di
duodenumlah yang lebih penting untuk mengontrol kecepatan
pengosongan lambung. Duodenum harus siap menerima kimus dan
dapat bertindak untuk memperlambat pengsongan lambung dengan
menurunkan aktivitas peristaltik di lambung sampai duodenum siap
mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan, sewaktu lambung
teregang dan isinya sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak
dapat mengosongkan isinya sampai duodenum siap menerima
kimus baru.

Tabel 3: faktor yang Mengatur Motilita dan Pengosongan


Lambung

2. Biokimiawi
Pencernaan Karbohidrat, protein, dan lemak
1. Karbohidrat
Karbohidrat diklasifikasikan menjadi monosakarida (glukosa,
galaktosa, dan fruktosa), disakarida (maltosa, laktosa,
sukrosa), oligosakarida dan polisakarida (amilum/pati). Dalam
kondisi sehari-hari, ada tiga sumber utama karbohidrat dalam
diet makanan, yaitu sukrosa (gula pasir), laktosa (gula susu)
dan pati/starch (gula tumbuhan). Pencernaan karbohidrat
dimulai semenjak berada di mulut. Enzim ptyalin (α–amilase)
yang dihasilkan bersama dengan liur akan memecah
polisakarida menjadi disakarida. Enzim ini bekerja di mulut
sampai fundus dan korpus lambung selama satu jam sebelum
makanan dicampur dengan sekret lambung. Enzim amilase
juga dihasilkan oleh sel eksokrin pankreas, di mana ia akan
dikirim dan bekerja di lumen usus halus sekitar 15-30 menit
setelah makanan masuk ke usus halus. Amilase bekerja
dengan cara mengkatalisis ikatan glikosida α(1à4) dan
menghasilkan maltosa dan beberapa oligosakarida. Setelah
polisakarida dipecah oleh amilase menjadi disakarida, maka
selanjutnya ia kembali dihidrolisis oleh enzim-enzim di usus
halus. Berbagai disakaridase (maltase, laktase, sukrase, α-
dekstrinase) yang dihasilkan oleh sel-sel epitel usus halus akan
memecah disakarida di brush border usus halus. Hasil
pemecahan berupa gula yang dapat diserap yaitu
monosakarida, terutama glukosa. Sekitar 80% karbohidrat
diserap dalam bentuk glukosa, sisanya galaktosa dan fruktosa.
Glukosa dan galaktosa diserap oleh usus halus melalui
transportasi aktif sekunder. Dengan cara ini, glukosa dan
galaktosa dibawa masuk dari lumen ke interior sel dengan
memanfaatkan gradien konsentrasi Na+ yang diciptakan oleh
pompa Na+ basolateral yang memerlukan energi melalui
protein pengangkut SGLT-1. Setelah dikumpulkan di dalam
sel oleh pembawa kotranspor, glukosa dan galaktosa akan
keluar dari sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi untuk
masuk ke kapiler darah. Sedangkan frukosa diserap ke dalam
sel melalui difusi terfasilitasi pasif dengan bantuan
pengangkut GLUT-5.
Gambar 13: Pencernaan dan absorbsi
karbohidrat

2. Lemak
Lemak merupakan suatu molekul yang tidak larut air,
umumnya berbentuk trigliserida (bentuk lain adalah
kolesterol ester dan fosfolipid). Pencernaan lemak dilakukan
oleh lipase yang dihasilkan oleh sel eksokrin pankreas.
Lipase yang dihasilkan pankreas ini akan dikirim ke lumen
usus halus dan menghidrolisis trigliserida menjadi asam
lemak dan monogliserida. Selain dihasilkan oleh sel lipase
pankreas, juga diketahui bahwa lipase juga dihasilkan oleh
kelenjar lingual dan enterosit, namun lipase yang dihasilkan
oleh bagian ini hanya mencerna sedikit sekali lemak sehingga
tidak begitu bermakna. Untuk memudahkan pencernaan dan
penyerapan lemak, maka proses tersebut dibantu oleh garam
empedu yang dihasilkan oleh kelenjar hepar (hati). Garam
empedu memiliki efek deterjen, yaitu memecah globulus-
globulus lemak besar menjadi emulsi lemak yang lebih kecil
(proses emulsifikasi). Pada emulsi tersebut, lemak akan
terperangkap di dalam molekul hidrofobik garam empedu,
sedangkan molekul hidrofilik garam empedu berada di luar.
Dengan demikian lemak menjadi lebih larut dalam air
sehingga lebih mudah dicerna dan meningkatkan luas
permukaan lemak untuk terpajan dengan enzim lipase.
Setelah lemak (trigliserida) dicerna oleh lipase, maka
monogliserida dan asam lemak yang dihasilkan akan
diangkut ke permukaan sel dengan bantuan misel (micelle).
Misel terdiri dari garam empedu, kolesterol dan lesitin
dengan bagian hidrofobik di dalam dan hidrofilik di luar
(permukaan). Monogliserida dan asam lemak akan
terperangkap di dalam misel dan dibawa menuju membran
luminal sel-sel epitel. Setelah itu, monogliserida dan asam
lemak akan berdifusi secara pasif ke dalam sel dan disintesis
kembali membentuk trigliserida. Trigliserida yang dihasilkan
akan dibungkus oleh lipoprotein menjadi butiran kilomikron
yang larut dalam air. Kilomikron akan dikeluarkan secara
eksositosis ke cairan interstisium di dalam vilus dan masuk
ke lakteal pusat (pembuluh limfe) untuk selanjutnya dibawa
ke duktus torasikus dan memasuki sistem sirkulasi.
Selain lipase, terdapat enzim lain untuk mencerna lemak
golongan nontrigliserida seperti kolesterol ester hidrolase
(untuk mencerna kolesterol ester) dan fosfolipase A2 (untuk
mencerna fosfolipase). Khusus untuk asam lemak rantai
pendek/sedang dapat langsung diserap ke vena porta hepatika
tanpa harus dikonversi (seperti trigliserida), hal ini
disebabkan oleh sifatnya yang lebih larut dalam air
dibandingkan dengan trigliserida.

Gambar 14: Pencernaan dan absorbsi lipid

3. Protein
Pencernaan protein (pemutusan ikatan peptida) dilakukan
terutama di antrum lambung dan usus halus (duodenum dan
jejunum). Sel utama (chief cell) lambung menghasilkan
pepsin yang menghidrolisis protein menjadi fragmen-fragmen
peptida. Pepsin akan bekerja pada suasana asam (pH 2.0-3.0)
dan sangat baik untuk mencerna kolagen (protein yang
terdapat pada daging-dagingan). Selanjutnya, sel eksokrin
pankreas akan menghasilkan berbagai enzim, yaitu tripsin,
kimotripsin, karboksipeptidase, dan elastase yang akan
bekerja di lumen usus halus. Tiap-tiap enzim akan menyerang
ikatan peptida yang berbeda dan menghasilkan campuran
asam amino dan rantai peptida pendek. Hasil dari pencernaan
oleh protease pankreas kebanyakan masih berupa fragmen
peptida (dipeptida dan tripeptida), hanya sedikit berupa asam
amino. Setelah itu sel epitel usus halus akan menghasilkan
enzim aminopeptidase yang akan menghidrolisis fragmen
peptida menjadi asam-asam amino di brush border usus
halus. Hasil dari pencernaan ini adalah asam amino dan
beberapa peptida kecil. Setelah dicerna, asam amino yang
terbentuk akan diserap melalui transpor aktif sekunder
(seperti glukosa dan galaktosa). Sedangkan peptida-peptida
kecil masuk melalui bantuan pembawa lain dan diuraikan
menjadi konstituen asam aminonya oleh peptidase intrasel di
sitosol enterosit. Setelah diserap, asam-asam amino akan
dibawa masuk ke jaringan kapiler yang ada di dalam vilus.

Gambar 15:Pencernaan dan absorbsi protein


Peran enzim-enzim pencernaan
Pencernaan makanan secara kimiawi terjadi dengan bantuan zat
kimia tertentu.Enzim pencernaan merupakan zat kimia yang
berfungsi memecahkan molekulbahan makanan yang kompleks dan
besar menjadi molekul yang lebih sederhanadan kecil. Molekul
yang sederhana ini memungkinkan darah dan cairan getahbening
( limfe ) mengangkut ke seluruh sel yang membutuhkan. Secara
umum enzim memiliki sifat : bekerja pada substrat tertentu,
memerlukansuhu tertentu dan keasaman (pH) tertentu pula. Suatu
enzim tidak dapat bekerjapada substrat lain. Molekul enzim juga
akan rusak oleh suhu yang terlalu rendahatau terlalu tinggi.
Demikian pula enzim yang bekerja pada keadaan asam tidakakan
bekerja pada suasana basa dan sebaliknya.
Macam-macam enzimpencernaan yaitu:
a. Enzim ptyalin
Enzim ptialin terdapat di dalam air ludah, dihasilkan oleh
kelenjar ludah. Fungsi enzim ptialin untuk mengubah amilum
(zat tepung) menjadi glukosa .
b. Enzim amylase
Enzim amilase dihasilkan oleh kelenjar ludah ( parotis ) di
mulut dan kelenjar pankreas. Kerja enzim amilase yaitu :
Amilum sering dikenal dengan sebutan zat tepung atau pati.
Amilum merupakan karbohidrat atau sakarida yang memiliki
molekul kompleks. Enzim amylase memecah molekul amilum
ini menjadi sakarida dengan molekul yang lebih sederhana
yaitu maltosa.
c. Enzim maltase
Enzim maltase terdapat di usus dua belas jari, berfungsi
memecah molekul maltosa menjadi molekul glukosa . Glukosa
merupakan sakarida sederhana (monosakarida ). Molekul
glukosa berukuran kecil dan lebih ringan dari padamaltosa,
sehingga darah dapat mengangkut glukosa untuk dibawa ke
seluruh selyang membutuhkan.
d. Enzim pepsin
Enzim pepsin dihasilkan oleh kelenjar di lambung berupa
pepsinogen. Selanjutnya pepsinogen bereaksi dengan asam
lambung menjadi pepsin . Carakerja enzim pepsin yaitu :
Enzim pepsin memecah molekul protein yang kompleks
menjadi molekul yang lebih sederhana yaitu pepton. Molekul
pepton perlu dipecah lagi agar dapatdiangkut oleh darah.
e. Enzim tripsin
Enzim tripsin dihasilkan oleh kelenjar pancreas dan dialirkan
ke dalam usus duabelas jari ( duodenum ). Cara kerja
enzim tripsin yaitu : Asam amino memiliki molekul yang lebih
sederhana jika dibanding molekul pepton. Molekul asam amino
inilah yang diangkut darah dan dibawa ke seluruhsel yang
membutuhkan. Selanjutnya sel akan merakit kembali asam
amino-asam amino membentuk protein untuk berbagai
kebutuhan sel.
f. Enzim rennin
Enzim renin dihasilkan oleh kelenjar di dinding lambung.
Fungsi enzim renin untuk mengendapkan kasein dari air susu.
Kasein merupakan protein susu, sering disebut keju. Setelah
kasein diendapkan dari air susu maka zat dalam air susudapat
dicerna.
g. Asam khlorida (HCl)
Asam khlorida (HCl) sering dikenal dengan sebutan asam
lambung, dihasilkanoleh kelenjar didalam dinding lambung.
Asam khlorida berfungsi untukmembunuh mikroorganisme
tertentu yang masuk bersama-sama makanan.Produksi asam
khlorida yang tidak stabil dan cenderung berlebih, dapat
menyebabkan radang lambung yang sering disebut penyakit
”mag”.

h. Cairan empedu
Cairan empedu dihasilkan oleh hati dan ditampung dalam
kantong empedu. Empedu mengandung zat warna bilirubin dan
biliverdin yang menyebabkan kotoran sisa pencernaan
berwarna kekuningan. Empedu berasal dari rombakansel darah
merah ( erithrosit ) yang tua atau telah rusak dan tidak
digunakan untuk membentuk sel darah merah yang baru.
Fungsi empedu yaitu memecah molekul lemak menjadi butiran-
butiran yang lebih halus sehingga membentuk suatu emulsi .
Lemak yang sudah berwujud emulsi ini selanjutnya akan
dicerna menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana lagi.
i. Enzim lipase
Enzim lipase dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan kemudian
dialirkan ke dalam usus dua belas jari ( duodenum ). Enzim
lipase juga dihasilkan oleh lambung, tetapi jumlahnya sangat
sedikit. Cara kerja enzim lipase yaitu : Lipid (seperti lemak dan
minyak) merupakan senyawa dengan molekul kompleks yang
berukuran besar. Molekul lipid tidak dapat diangkut oleh cairan
getah bening, sehingga perlu dipecah lebih dahulu menjadi
molekul yang lebih kecil. Enzim lipase memecah molekul lipid
menjadi asam lemak dan gliserol yang memiliki molekul lebih
sederhana dan lebih kecil. Asam lemak dan gliserol tidak larut
dalam air, maka pengangkutannya dilakukan oleh cairan getah
bening (limfe ).

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Dispepsia


LO.3.1. Definisi
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua,
yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas
atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit
atau rasa terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai usia dapat terkena dispepsia,
baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari empat orang dapat terkena dispepsia
dalam beberapa waktu (Bazaldua, et al, 1999).
Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakatai bahwa definisi disepsia sebagai
dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen (dispepsia
merupakan rasa sakit atau tidak nyaman di daerah abdomen atas).
LO.3.2. Epidemiologi
Dispepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik
klinis seharihari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan
peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi
3,3% pada tahun 2003.6 Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak
akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala
(sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas
yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari
oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang
mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.5
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan
primer.7 Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1
dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. Pylori yang
terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.8 Prevalensi pasien dispepsia di
pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari
pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia
yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional.
Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia,
Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5%
pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. 5
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam
beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7
% kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus
gaster; dan normal pada 8,2% kasus.6
Angka kejadian dispepsia fungsional pada anak-anak tidak jelas diketahui. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa 13% sampai 17% anak dan remaja mengalami nyeri
perut setiap minggunya dan dalam penelitian lain juga dilaporkan berkisar 8% dari
seluruh anak dan remaja rutin memeriksakan tentang keluhan nyeri perut yang
dialaminya ke dokter.1,2 . Rerksppaphol mengemukakan pada anak dan remaja
berusia di atas 5 tahun yang 6 25 mengeluhkan sakit perut, rasa tidak nyaman, dan
mual setidaknya dalam waktu satu bulan, dijumpai 62% merupakan dispepsia
fungsional dan 35% peradangan mukosa. 4 Seiring dengan bertambah majunya ilmu
pengetahuan dan alat-alat kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya
penyakit gastroduodenum yang disebabkan Helicobacter pylori, maka diperkirakan
makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Suatu studi melaporkan
tidak dijumpai perbedaan karakteristik gejala sakit perut pada kelompok yang
terinfeksi H. pylori dengan yang tidak. Pada anak di bawah 4 tahun sebagian besar
disebabkan kelainan organik, sedangkan pada usia di atasnya kelainan fungsional
merupakan penyebab terbanyak. 23 – 25
LO.3.3. Etiologi dan Klasifikasi
Sindroma dispepsia ini biasanya diderita sudah beberapa minggu atau
bulan, yang sifatnya hilang timbul atau terus-menerus. Karena banyaknya
penyebab yang menimbulkan kumpulan gejala tersebut, maka sindroma
dispepsia dapat diklasifikasian menjadi (1) dispepsia organik dan (2)
dispepsia non-organik atau dispepsia fungsional.
1. Dispepsia organic

Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak


ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Istilah dispepsia organik baru
dapat digunakan bila penyebabnya sudah jelas, antara lain:
a. Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia). Keluhan penderita yang
sering diajukan adalah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau
bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan, pada
tengah malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati.
Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat
menentukan adanya tukak gaster atau di duodenum.
b. Dispepsia bukan tukak. Mempunyai keluhan yang mirip dengan
dispepsi tukak. Biasa ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi
pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-tanda tukak.
c. Refluks gastroesofageal. Gejala yang klasik dari refluks
gastroesofageal yaitu rasa panas di dada dan regurgitasi asam,
terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan
tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka
dapat disebut sindroma dispepsia refluks gastroesofageal.
d. Penyakit saluran empedu. Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan
pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan
atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan.
e. Karsinoma. Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan
keluhan sindroma dispepsia. Keluhan yang sering diajukan adalah
rasa nyeri di perut, kerluhan bertambah berkaitan dengan makanan,
anoreksia, dan berat badan yang menurun.
f. Pankreatitis. Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke
punggung. Perut dirasa makin tegang dan kembung. Di samping
itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi juga ada.
g. Dispepsia pada sindroma malabsorbsi. Pada penderita ini—di
samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia,
sering flatus, kembung—keluhan utama lainnya yang mencolok
ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
h. Dispepsia akibat obat-obatan. Banyak macam obat yang dapat
menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa
atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat golongan
NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis,
antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-
lain. Oleh karena itu, perlu ditanyakan obat yang dimakan sebelum
timbulnya keluhan dispepsia.
i. Gangguan metabolisme. Diabetes melitus dengan neuropati sering
timbul komplikasi pengosongan gaster yang lambat, sehingga
timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang.
Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan
vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya
hipomoltilitas gaster. Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa nyeri
di perut, nausea, vomitus, dan anoreksia.

Etiologi Dispepsia Organik

 Esofago-gastro-duodenal Tukak peptik, gastritis kronis,


gastritis NSAID, keganasan

Antiinflamasi non-steroid, teofilin,


 Obat-obatan digitalis, antibiotik

Hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis,


keganasan, disfungsi sphincter Odii.
 Hepatobilier
Pankreatitis, keganasan

Diabetes melitus, penyakit tiroid,


 Pancreas gagal ginjal, kehamilan, penyakit
jantung koroner atau iskemik

 Penyakit sistemik lain

2. Dispepsia non-organik/fungsional

Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia


yang tidak ada kelainan organik, tetapi merupakan kelainan dari fungsi
saluran makanan. Yang termasuk dispepsia fungsional adalah:
Dispepsia dismotilitas (dismotility-like dyspepsia). Pada dispepsia
dismotilitas, umumnya terjadi gangguan motilitas, di antaranya: waktu
pengosongan gaster lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas
mioelektrik gaster, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia
fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam gaster yang
meningkat.
Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan
dispepsia fungsional. Hal ini dapat dijelaskan kembali pada faal saluran
cerna pada proses pencernaan yang mendapat mengaruh dari nervus
vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara
langsung, tetapi memungkinkannya efek dari antral gastrin dan
rangsangan lain dari sel parietal. Dengan melihat, mencium bau, atau
membayangkan suatu makanan saja sudah terbentuk asam gaster yang
banyak, yang mengandung HCl dan pepsin.
Dispepsia fungsional :

1. Tipe seperti ulkus

Yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik. Pasien memperlihatkan gejala


seperti ulkus kronik. Gejala khasnya, nyeri terlokalisasi di epgastrium, sembuh
setelah makan ataupun pemberian antasida, timbul sebelum makan ataupun ketika
lapar.Pasien jugadapat terbangun di malam hari karena nyerinya. Nyeri ulcer-like
dyspepsia timbul periodik dengan relaps dan remisi.

2. Tipe seperti dismotilitas.


Yang lebih dominan adalah kembung,mual,muntah,rasa penuh,cepat
kenyang.Gejala karakteristiknya, rasa tidak nyaman yang diperburuk oleh makanan,
rasa cepat kenyang, mual, muntah, dan kembung di abdomen atas.Ketiga, dispepsia
nonspesifik atau campuran. Tipe ini timbul akibat kritik terhadap pembagian
dispesia fungsional berdasarkan gejala yang dominan karena banyaknya laporan
tumpang tindih gejala antarsubgrup.
3. Tipe non spesifik
Tidak ada keluhan yang khas dan dominan
LO.3.4. Patofisiologi dan Patogenesis
Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan
dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi
Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
1. Sekresi asam lambung
Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai
tingkat sekresi asam lambung yang rata-rata normal, baik
sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin. Diduga
adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap
asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.
2. Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional
belum sepenuhnya dimengerti dan diterima.
3. Dismotilitas gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional
terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya
hipomotilitas antrum. Tapi harus dimengerti bahwa proses
motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat
kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak
dapat mutlak mewakili hal tersebut.
4. Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi,
tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas
viseral terhadap disetensi balon di gaster atau duodenum.
5. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia
fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan
dalam kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu
menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas mioelektrik lambung
Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus
dispepsia fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten.
7. Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang
menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam
beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin
mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat
waktu transit gastrointestinal.
8. Diet dan faktor lingkungan
Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi
pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis
Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal
dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya
penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan
mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara faktor
psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap
masih kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang
karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini,
walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya

kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual


abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia
fungsional.6

Gambar 16: Patofisiologi Sindrom Dyspepsia

LO.3.5. Manifestasi Klinis

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya
nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan organik
ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik,
sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke
arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan
diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar
dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem
penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like dyspepsia
dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2 subklasifi kasi
di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik. Esofagogastroduodenoskopi
dapat dilakukan bila sulit membedakan antara dispepsia fungsional dan organik,
terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien
berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya.

Keluhan yang sering diajukan pada sindroma dispepsia ini adalah:


 Nyeri perut (abdominal discomfort): nyeri terjadi bila kandungan asam lambung
dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang
terpajan. Teori lain menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang
mekanisme refleks local yang memulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri
biasanya hilang dengan makan, karena makan menetralisasi asam atau dengan
menggunakan alkali, namun bila lambung telah kosong atau alkali tidak
digunakan nyeri kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan
dengan memberikan tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah
kanan garis tengah. Beberapa gejala menurun dengan memberikan tekanan local
pada epigastrium.
 Rasa pedih di ulu hati
 Mual, kadang-kadang sampai muntah: meskipun jarang pada ulkus duodenal tak
terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini
dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari
membran mukosa yang mengalami inflamasi disekitarnya pada ulkus akut.
Muntah dapat terjadi atau tanpa didahului oleh mual, biasanya setelah nyeri berat
yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam lambung.
 Nafsu makan berkurang
 Rasa cepat kenyang
 Perut kembung
 Rasa panas di dada dan perut
 Regurgitasi
 Banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (ruktus)

Gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari, minggu, atau beberapa bulan
dan bahkan dapat hilang hanya sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang
dapat diidentifikasi. Banyak individu mengalami gejala ulkus, dan 20-30%
mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya manifestasi yang
mendahului.

LO.3.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien dyspepsia yang belum


diinvestigasi terutama hasrus ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya
kelainan organik sebagai kausa dispepsia. Pasien dispepsia dengan alarm
symptoms kemungkinan besar didasari kelainan organik. Menurut Wibawa
(2006), yang termasuk keluhan alarm adalah:
1. Disfagia,
2. Penurunan Berat Badan (weight loss),
3. Bukti perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, hematochezia,
anemia defisiensi besi,atau fecal occult blood),
4. Tanda obstruksi saluran cerna atas (muntah, cepat penuh).
5. Pasien dengan alarm symptoms perlu dilakukan endoskopi segera untuk
menyingkirkan penyakit tukak peptic dengan komplikasinya, GERD
(gastroesophageal reflux disease), atau keganasan.

Pemeriksaan penunjang harus bisa menyingkirkan kelainan serius, terutama


kanker gaster, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian
pasien memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi
empiris tanpa endoskopi.
a. Tes Darah

Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan


kelainan serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter pylori
menunjukkan ulkus peptikum namun belum menyingkirkan keganasan
saluran pencernaan.
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)

Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium


Barret, dan ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse untuk
H.pylori (tes CLO) (Davey,Patrick, 2006).
Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan
kausa organic pada pasien dispepsia. Namun, pemeriksaan H. pylori
merupakan pendekatan bermanfaat pada penanganan kasus dispepsia
baru. Pemeriksaan endoskopi diindikasikan terutama pada pasien
dengan keluhan yang muncul pertama kali pada usia tua atau pasien
dengan tanda alarm seperti penurunan berat badan, muntah, disfagia,
atau perdarahan yang diduga sangat mungkin terdapat penyakit
struktural.
Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan
kemungkinan komplikasi serupa dengan pasien muda. Menurut Tytgat
GNJ, endoskopi direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada
evaluasi penderita dispepsia dan sangat penting untuk dapat
mengklasifikasikan keadaan pasien apakah dispepsia organik atau
fungsional. Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa gaster.
c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan

d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esofagitis

Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk


hitung darah lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil kimia,
dan pemeriksaan ovum dan parasit pada tinja. Jika terdapat emesis atau
pengeluaran darah lewat saluran cerna maka dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan barium pada saluran cerna bgian atas.
pemeriksaan pH-metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung; manometri
untuk menilai adanya gangguan fase III migrating motor complex (MMC);
elektrogastrografi, skintigrafi, atau penggunaan pellet radioopaq untuk mengukur
waktu pengosongan lambung, Helicobacter pylori, dan sebagainya.
a. Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, seperti
pemeriksaan darah, urine, dan tinja secara rutin. Dari pemeriksaan
darah, bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi.
Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak, berarti kemungkinan pasien menderita
malabsorbsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambungnya.
b. Radiologis. Pemeriksaan radiologis banyak menunjang diagnosis
suatu penyakit di saluran cerna. Setidak-tidaknya perlu dilakukan
pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna bagian atas dan
sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal,
akan tampak peristaltik di oesophagus yang menurun terutama di
bagian distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi, serta
sering menutupnya pylorus sehingga sedikit barium yang masuk ke
intestinal. Pada tukak, baik di lambung maupun di duodenum, akan
terlihat gambaran yang disebut niche, yaitu kawah dari tukak yang
terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya
reguler, semisirkuler, dengan dasar licin.
c. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-
invasif. Akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu
menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak
menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada
kondisi pasien yang berat sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan
alat USG pada sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kelainan
di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan
di oesophagus dan lambung.
d. Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi dari saluran cerna bagian atas
akan banyak membantu menentukan diagnosis. Yang perlu
diperhatikan adalah ada-tidaknya kelainan di oesophagus, lambung,
duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa, lesi,
tumor (jinak atau ganas).
e. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus
halus dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan
atau muntah, penurunan berat badan ataumengalami nyeri yang
membaik atau memburuk bila penderita makan.
- Invasive Test :
 Rapid Urea Test : Tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis
urea. Enzim urea katalase menguraikan urea menjadi amonia
bikarbonat,membuat suasana menjadi basa,yang diukur dengan
indikator pH. Spesimen biopsi dari mukosa lambung diletakkan
pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang
mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada
spesimen tersebut maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi
perubahan pH dan perubahan warna.
 Histologi: Biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak min.4
sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel
dari 3 kuadran dari dasar,pinggir dan sekitar tukak (min. 6
sampel).
 Kultur : Untuk kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan
rutin

-Non Invasive Test :


 Urea Breath Test : mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan keberadaan
urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondiokasida diproduksi di dalam
perut dan diarbsobsi dalam pembuluh darah, menyebar dalam paru-paru dan
akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan.
 Stool Antigen test : tes ini juga mengidentifikasikan adanya infeksi H.pylori
melalui mendeteksi keadaan antigen H.pylori dalam feces.
ROMA II
Dispepsia Fungsional
Berlangsung sekurang-kurangnya selama 12 minggu, dalam 12 bulan ditandai dengan:
 Gejala yang menetap atau berulang (nyeri atau tidak nyaman yang berpusat diabdomen
atas)
 Tidak ada bukti penyakit organik (berdasarkan endoskopi)
 Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan pola
dan bentuk defekasi

a. Dispepsia like-ulcer : Rasa nyeri terutama dirasakan pada abdomen atas


b. Dispepsia like-dysmotility : Rasa tidak nyaman terutama dirasakan pada abdomen atas
berupa rasa penuh, lekas kenyang, sebah dan mual
c. Dispepsia Unspecified (Nonspesific): Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi criteria
like-ulcer atau like-dysmotility

ROMA III
Dispepsia Fungsional
Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya:
Satu atau lebih gejala dibawah ini:
a. Rasa tidak nyaman setelah makan 
b. Cepat merasa kenyang
c. Nyeri epigastrium
d. Rasa terbakar didaerah epigastrium
Dan
Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan
gejala-gejala tesebut diatas.
*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6
bulan setelah terdiagnosis

a. Sindroma distress postprandial


 Kriteria diagnosis* Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala
dibawah ini
1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan sehari-hari sekurang-
kurangnya beberapakali seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan sehari-hari sekurang-
kurangnya beberapa kali seminggu
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6
bulan setelah terdiagnosis
  Kritria supportif
1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa
yang berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik

b. Sindroma Nyeri Epigastrik


 Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya :
 Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium derajat sedang sekurang-
kurangnya sekaliseminggu
1. Nyeri bersifat intermitten
2. Tidak menyebar ke region abdomen lainnya atau ke region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung empedu dan sfinter oddi
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6
bulan setelahterdiagnosis
  Kriteria supportif
1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat
puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial

LO.3.7. Tata Laksana

1. Antasid
Antasid ialah obat yang menetralkan asam lambung sehingga
berguna untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Antacid
tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan oleh lambung,
tetapi peninggian pH akan menurunkan aktivitas pepsin. Mula
kerja antacid sangat bergantung pada kelarutan dan kecepatan
netralisasi asam. Sedangkan kecepatan pengosongan lambung
sangat menentukan masa kerjanya. Semua antacid
meningkatkan produksi HCl berdasarkan kenaikan pH yang
meningkatkan aktivitas gastrin. Antacid dibagi dalam 2
golongan, yaitu :
a. Antasid sistemik
Antasid sistemik diabsorpsi didalam usus halus sehingga
menyebabkan urin bersifat alkalis. Pada pasien dengan
kelainan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolic.
a) Natrium Bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung
karena daya larutnya tinggi. Karbondioksida yang
terbentuk dalam lambung akan menimbulkan
sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan dapat
menimbulkan perforasi. Selain dapat menimbulkan
alkalosis metabolic, obat ini juga dapat menyebabkan
retensi natrium dan edema.
b. Antasid non-sistemik
Antasid non-sistemik hampir tidak diabsorpsi dalam usus
sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik.
a) Aluminium Hidroksida (Al(OH)3)
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi
masa kerjanya lebih panjang. Al(OH)3 dan sediaan Al
lainnya bereaksi dengan fosfat membentuk aluminium
fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga
ekskresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan
melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi
dengan protein sehingga bersifat astrigen. Antasid ini
mengadsorbsi pepsin dan menginaktivasinya. Efek
samping Al(OH)3 yang utama adalah konstipasi. Ini
dapat diatasi dengan memberikan antacid garam Mg.
Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorpsi
fosfat dapat terjadi sehingga menimbulkan symbol
deplesi fosfat disertai osteomalasia. Aluminium
hidroksida digunakan untuk mengobati tukak peptik,
nefrolitiasis fosfat dan sebagai adsorben pada
keracunan.

b) Kalsium Karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif,
karena mula kerjanya cepat, maka kerjanya lama dan
daya menetralkan asamnya cukup tinggi. Kalsium
karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual,
muntah, perdarahan saluran cerna dan disfungsi ginjal
dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan
berdasar daya netralisasi asam, tapi merupakan kerja
langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin
yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCl.
Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan
sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi
obat ini. Efek serius yang dapat terjadi adalah
hiperkalsemia, kalsifikasi metastatic, alkalosis,
azotemia.

c) Magnesium Hidroksida (Mg(OH)2)


Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan
antacid. Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektif
sebelum obat ini bereaksi dengan HCl membentuk
MgCl2. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi
akan tetap berada dalam lambung dan akan
menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga
masa kerjanya lama. Pemberian kronik magnesium
hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek
katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak
diabsorpsi, tetap berada dalam usus dan akan menarik
air.

d) Magnesium Trisilikat
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam
lambung diduga berfungsi menutup tukak. Sebanyak
7% silica dari magnesium trisilikat akan diabsorpsi
melalui usus dan diekskresi dalam urin. Silica gel dan
magnesium trisilikat merupakan adsorben yang baik;
tidak hanya mengadsorpsi pepsin tapi juga protein dan
besi dalam makanan. Dosis tinggi magnesium
trisilikat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan
terjadinya batu silikat setelah penggunaan kronik
magnesium trisilikat.

2. Obat penghambat sekresi asam lambung


a. Penghambat pompa proton (PPI)
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi
asam lambung yang lebih kuat dari AH2. Obat ini bekerja di
proses akhir pembentukan asam lambung, lebih distal dari
AMP. Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol,
esomeprazol, lansoprazol, rebeprazol, dan pantoprazol.
Perbedaan antara kelima obat tersebut adalah subtitusi cinci
piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran
resemik isomer R dan S. Esomeprazol adalah campuran
resemik isomer omeprazol (S-omeprazol) yang mengalami
eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.

Farmakodinamik
Penghambat pompa proton adalah prodrug yang
memebutuhkan suasana asam untuk aktivasinya. Setelah
diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat ini akan
berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli
sekretoar, dan mengalami aktivasi di situ membentuk
sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan
gugus sulfhidril enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal
sebagai pompa proton) dan berada di membran sel parietal.
Ikatan ini mengakibatkan terjadinya Penghambatan
berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan
sekresi asam lambung basal atau akibat stimulasi, terlepas
dari jenis perangsangnya histamin, asetilkolin, atau gastrin.
Hambatan ini sifatnya irreversibel, produksi asam kembali
dapat terjdai 3-4 hari pengobatan dihentikan.

Farmakokinetik
Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam
sediaan salut enterik untuk mencegah degradasi zat aktif
tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak mengalami
aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih
baik. Tablet yang dipecah dilambung mengalami aktivasi
lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan
makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai
dengan 50% karena pengaruh makanan. Oleh sebab itu,
sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan. Obat ini
mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda
memperlihatkan persentasi jumlah absorbsi yang bervariasi
luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut enterik meningkat
dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya
prosuksi asam lambung setelah obat bekerja. Obat ini
dimetabolisme di hati oleh sitokrom P 450 (CYP), terutama
CYP2P19 dan CYP3A4.
Indikasi
Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit
peptik. Terhadap sindrom Zollinger-Ellison, obat ini dapat
menekan produksi asam lambung lebih baik pada AH2
pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu
mengganggu.

Efek samping
Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut,
konstipasi, flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi
miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam kulit.

Sediaan dan posologi


Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg,
diberikan 1 kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol
tersedia dalam bentuk salut enterik 20 mg dan 40 mg, serta
sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam
bentuk tablet 20 mg dan 40 mg.

b. Sucralfate
Cara kerjanya adalah dengan membentuk selaput pelindung
di dasar ulkus untuk mempercepat penyembuhan. Sangat
efektif untuk mengobati ulkus peptikum dan merupakan
pilihan kedua dari antasid. Sucralfate diminum 3-4 kali/hari
dan tidak diserap ke dalam darah, sehingga efek
sampingnya sedikit, tetapi bisa menyebabkan sembelit.

c. Antagonis H2
Contohnya adalah cimetidine, ranitidine, famotidine dan
nizatidine. Obat ini mempercepat penyembuhan ulkus
dengan mengurangi jumlah asam dan enzim pencernaan
di dalam lambung dan duodenum. Diminum 1 kali/hari
dan beberapa diantaranya bisa diperoleh tanpa resep
dokter. Pada pria cimetidine bisa menyebabkan
pembesaran payudara yang bersifat sementara dan jika
diminum dalam waktu lama dengan dosis yang tinggi
bisa menyebabkan impotensi. Perubahan mental
(terutama pada penderita usia lanjut), diare, ruam,
demam dan nyeri otot telah dilaporkan terjadi pada 1%
penderita yang mengkonsumsi cimetidine. Jika penderita
mengalami salah satu dari efek samping tersebut diatas,
maka sebaiknya cimetidine diganti dengan antagonis H2
lainnya. Cimetidine bisa mempengaruhi pembuangan
obat tertentu dari tubuh (misalnya teofilin untuk asma,
warfarin untuk pembekuan darah dan phenytoin untuk
kejang).
2. Obat yang meningkatkan pertahanan mukosa lambung
a. Sulkralfat Senyawa aluminium sukrosa sulfat ini
membentuk polimer mirip lem dalam suasana asam dan
terikat pada jaringan nekrotik tukak secara selektif.
Sulkralfat hampir tidak diabsorpsi secara sistemik. Obat
yang bekerja sebagai sawar terhadap HCl dan pepsin ini
terutama efektif terhadap tukak duodenum. Karena suasana
asam perlu untuk mengaktifkan obat ini, maka pemberian
bersama AH2 atau antacid menurunkan biovailabilitas.
Efek samping yang tersering adalah konstipasi. Karena
sulkralfat mengandung aluminium, penggunaannya pada
pasien gagal ginjal harus hati-hati.

3. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol,
metoklopramid, domperidon, cisapride.

a. Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat
asetilkolin esterase. Obat ini dipakai untuk mengobati
penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan yang
dirasa tidak turun, transit oesophageal yang melantur,
gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya cukup
banyak, terutama pada aksi parasimpatis sistemik, di
antaranya adalah sakit kepala, mata kabur, kejang perut,
nausea dan vomitus, spasme kandung kemih, berkeringat.
Oleh karena itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.

b. Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan
prokainamid yang mempunyai efek anti-dopaminergik dan
kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral maupun
perifer.
Khasiat metoklopramid antara lain:
- Meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal
postganglion kolinergik,
- Merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
- Merupakan reseptor antagonis dopamin
Jadi, dengan demikian, metoklopramid akan
merangsang kontraksi dari saluran cerna dan
mempercepat pengosongan lambung.
Efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain
reaksi distonik, iritabilitas atau sedasi, dan efek samping
ekstrapiramidal karena efek antagonisme dopamin
sentral dari metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada
anak dapat menyebabkan hipertonis dan kejang.

c. Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena
domperidon merupakan antagonis dopamin perifer dan
tidak menembus sawar darah otak, maka tidak
mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga
mempunyai efek samping yang rendah daripada
metoklopramid. Pemberian obat ini akan meningkatkan
tonus sphincter oesophagus bagian bawah sehingga
mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini
akan meningkatkan koordinasi antroduodenal, dan
memperbaiki motilitas lambung yang sedang terganggu,
yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta
menghambat relaksasi lambung sehingga pengosongan
lambung akan lebih cepat. Domperidon bermanfaat
untuk pengobatan dispepsia yang disertai masa
pengosongan yang lambat, refluks gastroesophagus,
anoreksia nervosa, gastroparesis. Demikian pula
bermanfaat sebagai obat antiemetik pada penderita
pasca-bedah, bahkan efektif sebagai pencegah muntah
pada penderita yang mendapat kemoterapi. Efek
sampingnya lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu
mulut kering, kulit gatal, diare, pusing. Pada pemberian
jangka panjang atau dosis tinggi, efeknya akan
meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan
ginekomasti pada pria, serta galaktore dan amenore pada
wanita.

d. Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong
obat prokinetik baru yang mempunyai khasiat
memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini
mempunyai spektrum yang luas. Pada penderita dengan
dispepsia, dimana sering terjadi gangguan motilitas pada
saluran cerna bagian atas, obat ini bermanfaat untuk
memperbaiki. Hal ini disebabkan karena cisapride
meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian
bawah, peristaltik oesophagus, dan pengosongan
oesophagus. Di samping itu, akan meningkatkan
peristaltik antrum, memperbaiki koordinasi gastro-
duodenum dan mempercepat pengosongan lambung.
Manfaat cisapride pada saluran cerna bagian bawah
yaitu akan merangsang aktivitas motorik usus halus dan
kolon sehingga mempercepat transit di sini. Jadi, obat
ini juga bermanfaat pada pseudo-obstruksi usus kronis
idiopatik, pada penderita konstipasi karena paraplegia,
dan pemakai obat laxatif yang menahun. Efek samping
yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa
kejang di perut yang sifatnya sementar.

4. Antibiotik Untuk H. pylori


Terdapat beberapa regimen dalam mengatasi infeksi H. pylori.
Yang paling sering digunakan adalah kombinasi dari antibiotik
dan penghambat pompa proton. Terkadang ditambahkan pula
bismuth subsalycilate. Antibiotik berfungsi untuk membunuh
bakteri, penghambat pompa proton berfungsi untuk
meringankan rasa sakit, mual, menyembuhkan inflamasi dan
meningkatkan efektifitas antibiotik. Terapi terhadap infeksi H.
pylori tidak selalu berhasil, kecepatan untuk membunuh H.
pylori sangat beragam, bergantung pada regimen yang
digunakan. Akan tetapi kombinasi dari tiga obat tampaknya
lebih efektif daripada kombinasi dua obat. Terapi dalam jangka
waktu yang lama (terapi selama 2 minggu dibandingkan
dengan 10 hari) juga tampaknya meningkatkan efektifitas.
Untuk memastikan H. pylori sudah hilang, dapat dilakukan
pemeriksaan kembali setelah terapi dilaksanakan. Pemeriksaan
pernapasan dan pemeriksaan feces adalah dua jenis
pemeriksaan yang sering dipakai untuk memastikan sudah
tidak adanya H. pylori. Pemeriksaan darah akan menunjukkan
hasil yang positif selama beberapa bulan atau bahkan lebih
walaupun pada kenyataanya bakteri tersebut sudah hilang.
Terapi lini pertama :
Urutan prioritas
 PPI + amoksisilin + kklaritromisin
 PPI + metronidazol + klaritromisin
 PPI + metronidazol + tetrasiklin
Pengobatan dilakukan selama satu minggu.
Terapi lini kedua atau terapi kuadrupel
Terapi lini kedua dilakukan jika terdapat kegagalan pada lini
pertama. Kriteria gagal adalah 4 minggu pasca terapi, kuman
H.pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan UBT/HpSA
atau histopatologi.
Urutan prioritas
 Collodial bismuth subcitrate + PPI + amoksisilin +
kklaritromisin
 Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol +
klaritromisin
 Collodial bismuth subcitrate + PPI + metronidazol +
tetrasiklin
Bila terapi lini kedua gagal sangat dianjurkan pemeriksaan
kultur dan resistensi H.pylori dengan media transport MIU.
Pembedahan
Jarang diperlukan pembedahan untuk mengatasi ulkus karena
pemberian obat sudah efektif. Pembedahan terutama dilakukan
untuk:
 mengatasi komplikasi dari ulkus peptikum (misalnya
prforasi, penyumbatan yang tidak memberikan respon
terhadap pemberian obat atau mengalami kekambuhan)
 2 kali atau lebih perdarahan karena ulkus
 ulkus gastrikum yang dicurigai akan menjadi ganas
 ulkus peptikum yang berat dan sering kambuhan.
Tetapi setelah dilakukan pembedahan, ulkus masih dapat
kambuh dan dapat timbul masalah-masalah lain seperti
pencernaan yang buruk, anemia dan penurunan berat badan.

LO.3.8. Komplikasi

Pada kebanyakan kasus, dyspepsia bersifat ringan dan hanya terjadi sesekali. Tetapi,
dyspepsia berat dapat menyebabkan komplikas, seperti:
a. Esofageal stricture
Dyspepsia kadang disebabkan oleh reflux asam lambung, yang terjadi ketika
asam lambung naik ke atas menuju esophagus dan mengiritasi permukaannya.
Jika iritasi ini bertambah seiring berjalannya waktu, dapat menyebabkan
esophagus menjadi terluka. Luka ini dapat menyebabkan esophagus
menyempit dan konstriksi (esophagus stricture). Gejala yang dialami adalah:
- Susah menelan (dysfagia)
- Makanan tersangkut di kerongkongan
- Sakit dada
Esophagus stricture biasanya di terapi dengan operasi untuk memperlebar
esofagus
b. Stenosis pylorus
Disebabkan oleh iritasi jangka panjang permukaan system pencernaan karena
asam lambung. Ini terjadi ketika jalan antara lambung dan duodenum (daerah
pylorus) menjadi terluka dan menyempit. Ini dapat menyebabkan muntah dan
mencagah makanan yang dimakan dicerna sempurna. Pada kebanyakan kasus,
stenosis pylorus diterapi dengan operasi untuk mengembalikan lebar awal
pylorus.
c. Barret’s esophagus
Reflux asam lambung yang berulang dapat menyebabkan perubahan sel
permukaan esophagus bawah. Ini adalah kondisi Barret’s esophagus. Barret’s
esophagus biasanya tidak menyebabkan gejala seperti reflux asam lambung
lainnya. Tetapi, ada risiko kecil sel yang terkena Barret’s esophagus dapat
menjadi kanker dan memicu kanker esophagus.
d. Perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang paling umum. Perdarahan
besar mendadak dapat mengancam jiwa. Ini terjadi ketika ulkus mengikis salah
satu pembuluh darah.
e. Perforasi (lubang di dinding) sering mengarah ke konsekuensi bencana. Erosi
dinding gastro-usus oleh ulkus menyebabkan tumpahan isi perut atau usus ke
dalam rongga perut. Perforasi pada permukaan anterior perut menyebabkan
peritonitis akut, awalnya kimia dan kemudian bakteri peritonitis. Tanda
pertama adalah sering nyeri perut tiba-tiba intens. Perforasi dinding posterior
menyebabkan pankreatitis, sakit dalam situasi ini sering menjalar ke punggung.
f. Penetrasi adalah ketika ulkus berlanjut ke organ-organ yang berdekatan seperti
hati dan pankreas.
g. Jaringan parut dan pembengkakan karena ulkus menyebabkan penyempitan di
duodenum dan obstruksi lambung. Pasien sering menyajikan dengan muntah-
muntah hebat.

LO.3.9. Prognosis
Apabila penyebab yang mendasari dari tukak peptik ini diatasi maka akan
memberikan prognosa yang bagus.Kebanyakan penderita sembuh dengan terapi
untuk infeksi H.Pylori, menghindari OAINS dan meminum obat antisekretorus pada
lambung.Prognosis menjadi buruk jika sudah terdapat komplikasi.

LO.3.10. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut:
1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia
bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada
masyarakat mengenai:
a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana
mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan
serangan dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi
dan gizi dan penyediaan air bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan
yang diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi.
Susu yang diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang
beralkohol, kopi serta merokok.
2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment).
a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)
Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi
klinik meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau
ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang, pemeriksaan lengkap
dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat, muntah-muntah telah
berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan dan usia lebih dari
40 tahun. Untuk memastikan penyakitnya, disamping pengamatan fisik
perlu dilakukan pemeriksaan
b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)
1) Penjelasan penyakit kepada penderita. Golongan obat yang digunakan
untuk pengobatan penderita dispepsia adalah antasida, antikolinergik,
sitoprotektif dan lain-lain.
3. Pencegahan Tertier
Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi
penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia
terhadap masalah yang dihadapi.
Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di
rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Anthony, LM. (2013). Junqueira's Basic Atlas Histology. 13th Ed. McGraw Hill
Education. E-Books.

Richard Snell,S. (2012). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.

Rodger A. (2013). Physiology of Gastrin. Available:


http://uptodatealternative.com/contents/mobipreview.htm?25/9/25751. Last
accessed 7th May 2016.

Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia. 6th ed. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.


641-660

Siti, S. Et al. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta:


InternaPublishing. 1729.
Sulistia, G. (2012). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
517.

Anda mungkin juga menyukai