Anda di halaman 1dari 17

ETIKOLEGAL HAK MELAKSANAKAN EUTHANASIA PRESPEKTIF HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM KESEHATAN


Aldi Munazri Rambe
Npm : 2106200205
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATRA UTARA
ABSTRACT
This study aims to determine and understand the regulation of lethal injection (Euthanasia) in
terms of Indonesian Criminal Law and the ethics of implementing lethal injection (Euthanasia)
based on National Law in Indonesia. This research is a research that uses a normative legal
research method using a statutory approach, a conceptual approach. The primary, secondary and
tertiary legal materials that have been obtained are then analyzed to obtain conclusions that are
relevant to this research problem. The results of this study indicate that (1) it can be seen that
lethal injection (Euthanasia) when viewed from the criminal law in Indonesia is only explicitly
regulated in the Criminal Code in Articles 304 and 344, where from these articles it is stated that
lethal injection ( Euthanasia) is a crime that meets the elements of a criminal act of premeditated
murder 2). Based on the provisions of Article 344 of the Criminal Code, doctors should refuse to
take action to kill a life, even if the patient's family wishes. Because by law, social norms, religion
and doctor ethics, euthanasia is not allowed

Keywords: Ethics, Euthanasia, Crime, Health Law

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan suntik mati (Euthanasia)
ditinjau dari Hukum Pidana Indonesia serta etikolegal pelaksanaan suntik mati (Euthanasia)
berdasarkan Hukum Nasional di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yang
menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang telah diperoleh
kemudian dianalisis untuk memperoleh konklusi yang relevan dengan permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) dapat diketahui bahwa suntik mati (Euthanasia) jika
ditinjau dari hukum pidana di Indonesia hanya diatur secara eksplisit di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dalam Pasal 304 dan 344, dimana dari pasal tersebut dinyatakan bahwa
suntik mati (Euthanasia) merupakan tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana
pembunuhan berencana 2). , Berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter menolak
melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien menghendaki.
Karena secara hukum, norma sosial, agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan

Kata Kunci : Etikolegal, Euthanasia, Tindak Pidana, Hukum Kesehatan


Latar Belakng

Etika keperawatan bermaksud untuk mengidentifikasi, mengorganisasikan,

memeriksa dan membenarkan tindakan-tindakan kemanusiaan dengan menerapkan prinsip-

prinsip tertentu. Selain itu juga menegaskan tentang kewajiban- kewajiban yang secara suka

rela diemban oleh perawat. Dampak dari keputusan-keputusan perawat yang mempengaruhi

kehidupan dari pasien dan keluarga pasien, sejawat serta sistem asuhan kesehatan secara

keseluruhan.

Pelaksanaan euthanasia merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan

persetujuan dan dilakukan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Prinsip

ini didasarkan pada alasan bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Dengan

demikian, tujuan utama pelaksanaan euthanasia yaitu untuk meringantan penderitaan pasien

dengan memperbaiki risiko hidupnya. Kelompok yang kontra terhadap euthanasia

berpendapat bahwa euthanasia merupakan tindakan pembunuhan terselubung, karenanya

bertentangan dengan kehendak tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari tuhan, sehingga

manusia sebagai mahkluk hidup ciptaan tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan

kematiannya.1

Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan tegas mengenai masalah

Euthanasia dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui

tentang Euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang hal tersebut. Pihak yang menyetujui

tindakan Euthanasia beralasan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak

untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup

1
Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(1), 56-63.
mendukung, yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan pasien yang tidak lagi

memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan

untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak memperbolehkan

Euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya

karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu

gugat oleh manusia. Secara umum, argumen pihak anti Euthanasia adalah kita harus

mendukung seseorang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka

untuk mati.2

Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir karena sudut pandang yang digunakan

sangat bertolak belakang dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas

dari tindakan Euthanasia sendiri sampai pada saat ini masih mengalami proses perdebatan

panjang, dimana perdebatan tersebut, Euthanasia atau suntik mati oleh dokter terhadap

seorang pasien yang sudah tidak memiliki kemampuan mengobati penyakitnya saat ini masih

merupakan perbuatan pidana berupa menghilangkan nyawa orang lain. Secara yuridis formal

dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk Euthanasia, yaitu

Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri dan Euthanasia

yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/korban sebagaimana

secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP.3

Dilihat dari 2 pasal tersebut sudah jelas dinyatakan bahwa Euthanasia sangat bertolak

belakang dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia dan sudah dinyatakan bahwa

2
Yudaningsih, L. P. (2015). Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana. Jurnal
Ilmu Hukum Jambi, 6(1), 43316.
3
Prakoso dan Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. (Ghalia Indonesia, 1984)
hlm 36
siapapun yang melakukan suntik mati dengan alasan apapun dan tanpa dasar hukum yang

jelas dan pasti dianggap melanggar hukum, maka dari itu sangat penting jika Euthanasia

diatur secara jelas agar tidak menimbulkan masalah yang merugikan banyak pihak. Melihat

banyak pihak yang masih pro kontra terhadap keberadaan Eunathasia di Indonesia, dan

mengingat pula ada beberapa orang yang memohonkan melakukan suntik mati, namun semua

itu hanya menunggu putusan dari Pengadilan.4

Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun dari

sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien yang

menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan

tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan

pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya

persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk

membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa

orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan

menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana , yang

secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.5

Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di

penghujung 2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun permohonan itu ditolak

4
Hati, A. D. P., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Tinjauan Yuridis Terkait Permohonan
Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(2),
134-144.
5
Kusumaningrum, A. E. (2019). Pergulatan Hukum Dan Etik Terhadap Euthanasia Di Rumah
Sakit. Jurnal Spektrum Hukum, 16(1), 37-59.
oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, tindakan euthanasia

harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi. Menurutnya,

sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan euthanasia tidak sewenang-

wenang.6

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), M. Choirul Anam,

mengatakan euthanasia juga menjadi perdebatan di dunia internasional. Dalam

perkembangannya, ada yang mengarah pada legalisasi dengan catatan penting. Pertama,

euthanasia dibenarkan karena cukup alasan yang sangat kuat, misalnya kesehatan yang

memburuk dan sulit disembuhkan. Kedua, pengakhiran hidup pasien dilakukan oleh orang

yang profesional dan bertanggung jawab. Ketiga, dilakukan melalui prosedur yang ketat

Begitulah faktanya, sudah banyak literatur di Indonesia yang menulis tentang euthanasia,

sebagian besar memuat doktrin dan kode etik kedokteran, serta akibat hukumnya.7

Jejak perdebatan kontemporer tentang euthanasia di Indonesia belum sepenuhnya

menemukan jawaban, dilihat dari segi kode etik hak dokter dalam memenuhi permohonan

euthanasia dan juga dalam peraturan hukum pidana Indonesia sendiri. Sehingga dalam

penelitian ini, akan dilakukan pengkajian terkait kode etik kedokteran dalam menjalankan

praktek euthanasia dengan judul penelitian berikut “Etikolegal Hak Melaksanakan

Euthanasia Prespektif Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Kesehatan”

Metode Penelitian

6
Euthanasia di Indonesia, Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat (hukumonline.com)
Diakses Pada 18 Oktober 2022
7
Pengaturan Euthanasia di Indonesia - Klinik Hukumonline Diakses Pada 18 Oktober 2022
Metode penelitian ini adalah penilitian hukum normatif yaitu, dengan mengkaji suatu

aturan-aturan, prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin hukum yang terkait dengan permasalahan

dalam penelitian untuk menghasilakan suatu argumentasi8. Pengumpulan data dilakukan

dengan menggunakan metode kepustakaan yang terkait dengan kode etik kedokteran

melayani Permohonan Suntik Mati (Euthanasia) ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana dengan mengumpulakn bahan hukum dan informasi yang berupa bahan-bahan hukum

primer, sekunder, maupun tersier. Dalam rangka mendapatkan pemaparan yang jelas, data

tersebut kemudian disusun secara sistematis dan dianalisis dengan menggunakan metode

analisis deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Suntik Mati (Euthanasia) ditinjau dari Hukum Pidana di Indonesia

Negara hukum seperti Indonesia harus melihat dasar hukum dari Euthanasia itu

sendiri di dalam hukum nasional Indonesia yang secara khusus dilihat dalam lingkup hukum

pidana, jika berbicara mengenai hukum pidana maka seluruh pengaturan tentang hukum

pidana sendiri bersumber pada KUHP, KUHP mengatur Euthanasia secara eksplisif dalam

pasal 304 KUHP dan pasal 344 KUHP kedua pasal ini menyatakan dengan tegas bahwa :

Pasal 304 KUHP :

Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan
sengsara” padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia
wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Pasal 344 KUHP :

8
Zainuddin, 2013, Metode Peneitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, h. 24
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya dua belas tahun.”

Setelah melihat kedua pasal, sudah pasti Euthanasia dilarang di Indonesia dalam

bentuk apapun dan dengan alasan apapun pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara

dan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan

demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai

perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak

dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu

sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan

yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. bahkan pelaku

Euthanasia bisa saja menjadi pelaku tindak pidana karena pelaku euthanasia memenuhi unsur

dari tindak pidana yaitu adanya niat dan kesengajaan tidak hanya itu dalam tindakan awal

dari euthanasia aktif maupun pasif memenuhi unsur Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

jika mendalami lagi bahkan ada beberapa pasal dalam KUHP yang bisa menguatkan bahwa

Euthanasia tersebut merupakan tindak pidana berikut beberapa pasal tersebut.9

Pasal 338 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena,
makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun”.

Pasal 340 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman
mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-
lamanya dua puluh tahun”.

9
Djaman, Andi Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. (Jakarta : Ghalia
Indonesia. 1984)
Pasal 345 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”.

Pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara


selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Jika dilihat pasal 340 KUHP ini biasa dikatakan sebagai Pasal Pembunuhan yang

direncanakan atau pembunahan berencana. Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa

Pasal 344 KUHP pun merupakan aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini, karena

disamping Pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan nyawa atau

pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada Pasal 344 KUHP

ditambahkan unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan

hati”. Jadi masalah Euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hukum , yakni Pasal 338 dan

Pasal 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, yang

merupakan sisitem pemberian pidana juga terjadi satu perbuatan pidana yang masuk dalam

beberapa peraturan hukum. Concursus ideals ini diatur dalam Pasal 63 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebutkan bahwa;10

1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan

hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yng

memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

10
Suryadi, T., & Kulsum, K. (2018). Aspek Etika Dan Legal Euthanasia. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala, 18(3).
2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam satu aturan pidana yang umum diatur pula

dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Dengan adanya hal-hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah Euthanasia yang

menyangkut dua aturan hukum, yaitu Pasal 338 dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan

adalah masalah Pasal 344 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana penjara pada

Pasal 338 yaitu 15 tahun, lebih berat daripada ancaman pidana yang terdapat pada Pasal 344

KUHP (yang hanya 12 tahun). Hal ini dapat di mengerti karena dalam concursus ideais akan

diterapkan sistem absorbsi, sebagaimana disebutkan pada Pasal 63 (1) KUHP, yang memilih

ancaman pidanya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP kita, hanya ada satu pasal

saja yang mengatur tentang masalah Euthanasia, yaitu hanya Pasal 344 KUHP (Samil, 1994

: 19). Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk

Euthanasia, yaitu :

1. Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri

2. Euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap

pasien/korban.

Apabila kita perhatikan dari jenis Euthanasia yang pertama (pasif) maka Pasal 344

KUHP tersebut diatas, agar seseorang dapat dikatakan telah memenuhi pasal itu, maka public

prosecutor (penuntut umum/jaksa) harus dapat membuktikan adanya unsur “permintaan

sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. (Samil,1994:20). Dengan kemajuan

teknik yang pesat, khususnya dalam dunia kedokteran, hal “merampas nyawa” atau

membiarkan orang yang nyawanya dirampas maut”, baik atas permintaan sendiri karena

suatu penyakit yang sangat mustahil dapat disembuhkan, maupun atas dasar perikemanusiaan

karena tidak tahan melihat yang bersangkutan menderita, pasti menimbulkan berbagai
komplikasi, antara lain yang menyangkut bukan saja masalah etika kedokteran, atau terlebih-

lebih menyangkut hukum pidana, yang bertalian dengan masalah Euthanasia atau “Mercy

Kelling”.11

Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia di Indonesia tetap

dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini.

Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk

menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut. Agar Pasal

344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ‘ius

constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar

kenyataan yang yang terjadi & disesuaikan perkembangan di bidang medis.

Jika Euthanasia tidak diatur secara lebih jelas di Indonesia, banyak perdebatan yang

bisa terjadi dimana salah satunya adalah tentang siapa yang bisa dianggap pelaku atau yang

bisa di salahkan jika terjadinya Euthanasia, banyak pihak yang bisa dirugikan karena hal ini

baik dokter yang menangani atau pasien itu sendiri tanpa adanya kejelasan hukum Euthanasia

bisa menjadi malpraktek oleh dokter atau Perencanaan Pembunuhan yang sesungguhnya oleh

pihak-pihak yang merasa di untungkan oleh Euthanasia tersebut. Aparat penegak hukum

harus mampu mengambil langkah yang paling tepat dalam tahap aplikasi, dengan

mempertimbangkan keadaan dan kebutuhan hukum masyarakat sendiri namun alangkah

baiknya jika dilakukan langkah pembaharuan hukum pidana terkait hal tersebut oleh badan

11
Susilowati, T. (2016). Euthanasia Dalam Tinjauan Aspek Hak Asasi Manusia. Justicia Journal, 5(1),
12-12.
legislative sehingga nantinya tidak lagi menimbulkan ketidakharmonisan norma yang dapat

menyulitkan penerapannya.12

Pengaturan suntik mati (Euthanasia) tidak diatur di dalam KUHP, dikatakan diatur

secara eksplisit itu dimaksudkan bahwa KUHP hanya mengatur tentang bagaimana suntik

mati (Euthanasia) dilaksanakan, yang dalam tahap pelaksanaannya terdapat unsur-unsur

tindak pidana yang sebagaimana diatur di dalam Pasal 304 dan 344 KUHP. Dalam KUHP

tindakan suntik mati (Euthanasia) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana

pembunuhan berencana, hal ini dikarenakan tindakan suntik mati (Euthanasia) telah

memenuhi unsur-unsur tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 304 dan 344 KUHP. Namun, pengaturan mengenai suntik mati (Euthanasia) di dalam

KUHP tidak memberikn keadilan bagi pihak pemohon dan pihak lain yang membutuhkan

euthanasia serta dianggap tidak dapat menjamin kepastian hukum di masyarakat. Sehingga

untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dan menjamin kepastian hukum di

masyarakat, maka diperlukan suatu pengaturan khusus mengenai suntik mati (Euthanasia) di

Indonesia, guna mengisi kekosongan norma yang ada.

B. Etikolegal Pelaksanaan Euthanasia Menurut Hukum Kesehatan

Euthanasia telah lama menjadi bahan perdebatan kalangan medis, hukum, aktivis hak

asasi manusia, dan agamawan. Terlepas dari perdebatan itu, orang yang mengajukan

euthanasia terus bertambah, terutama di negara-negara yang melegalkan ‘mati dengan cara

12
Santoso, A. D., & Fitriani, A. (2021). Praktik Euthanasia Terhadap Pasien Covid-19 Pada Masa
Pandemi Ditinjau Dari Fiqih Jinayah. Journal of Indonesian Comparative of Syari'ah Law, 3(2), 179-193.
baik’ itu. Yang terakhir adalah euthanasia atas permintaan atlit paralimpik Belgia, Marieke

Vervoort. Suntikan dokter mengakhiri hidup perempuan 40 tahun itu pada Oktober lalu.13

Belgia salah satu negara yang mengakui dan melegalkan euthanasia. Pengakuan

hukum terhadap euthanasia malah sudah lebih dahulu di Belanda. Namun sebagian besar

negara tak mengakui dan membenarkan tindakan euthanasia. Indonesia termasuk yang tak

mengakui hak untuk mengakhiri hidup semacam itu. Ahli hukum tata negara, Jimly

Asshiddiqie, berpendapat jika hak untuk mati diakui seperti halnya hak untuk hidup,

risikonya besar. Sama saja memberikan legalisasi pada orang yang ingin melakukan bom

bunuh diri dengan alasan pengakuan right to die.

Sebagaimana dikutip Haryadi, menurut Kartono Muhammad, euthanasia dapat

dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:

1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak

memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan

biasa yang sedang berlangsung.

2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak

langsung yang mengakibatkan kematian.

3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.

4. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau persetujuan

pasien, sering disebut juga sebagai merey killing.

5. Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien

yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah

13
Haryadi, H. (2011). Masalah euthanasia dalam hubungannya dengan hak asasi manusia. INOVATIF|
Jurnal Ilmu Hukum, 4(5).
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia aktif

dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344 KUHP

ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, sebab

euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang

ada melarang euthanasia aktif dan sukarela. Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun

KUHP tidak secara tegas menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal

344 KUHP seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,

sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama

dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.

Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi

hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan

bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula

dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Pada dewasa ini, para dokter & petugas

kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat

ditinjau dari sudut medis dan yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia

merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan.

Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang

tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan

penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulang kali memohon dokter untuk

mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.

Berkaca dari pengalaman di Belanda, prosedur euthanasia yang diberlakukan di

Belanda tidak sembarangan. Diperlukan penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan

tersebut. Meskipun keluarga pasien menyatakan kehendaknya untuk melakukan euthanasia,


namun pengadilan bisa saja menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di sekitar

1990 di Belanda, seorang keluarga pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak

oleh pengadilan walaupun akhirnya dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak

ada jalan lain, tidak lagi ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut

nyawanya melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses

tersebut.

Jejak perdebatan kontemporer tentang euthanasia di Indonesia selalu merujuk pada

dua kisah. Pertama, kisah Hasan Kusuma. Pada 22 Oktober 2004, Hasan Kusuma

mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar isterinya, Again Isna

Nauli, diberi tindakan euthanasia. Sang isteri sudah tergolek dalam keadaan koma selama

dua bulan, plus kesulitan yang dialami untuk membayar perawatan medis. Tersiar kabar pada

saat itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan euthanasia tersebut.

Kisah kedua merujuk pada Ignatius Ryan Tumiwa. Lulusan pascasarjana dari salah

satu universitas terkemuka ini ingin mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati. Tetapi

permohonannya terhalang Pasal 344 KUH Pidana, yang mengancam dokter atau tenaga

medis lain yang membantu seorang pasien mengakhiri hidup. Melalui pengacaranya, Ryan

mengajukan permohonan pengujian pasal itu ke Mahkamah Konstitusi. Pada Agustus 2014

lalu, permohonannya dicabut.

Permohonan euthanasia diajukan lantaran sakit yang diderita BS sejak 2013. Pria

kelahiran 1971 itu sudah lumpuh dan tak dapat lagi mencari nafkah untuk keluarganya.

Kebutuhan sehari-hari banyak dibantu penghuni barak. Selain lumpuh, BS menderita sakit

kronis, infeksi peradangan pada tulang, dan asma sehingga tidak dapat melakukan aktivitas

apapun. Pengobatan medis ke rumah sakit dan pengobatan tradisional sudah dijalani namun
tak kunjung sembuh. Penderitaan pemohon semakin berat karena kepala daerah

memerintahkan bongkar paksa barak yang ditinggali pemohon. Itu sebabnya, BS mengajukan

permohonan euthanasia ke pengadilan. Surat pernyataan dari BS, surat persetujuan isteri, dan

surat konsultasi dari dokter spesialis sudah dilampirkan sebagai bukti.

Dalam pertimbangannya, hakim sempat ‘menyentil’ pemerintah. “Bila melihat dan

membaca permohonan pemohon pada intinya pemohon mengharapkan peran pemerintah

dalam hal ini pemerintah Aceh terhadap masyarakat yang kurang mampu”. Dilanjutkan sang

hakim dalam pertimbangan: “jadi, dari kasus ini dihubungkan dengan UU Pemerintahan

Aceh, diharapkan peran pemerintah lebih baik lagi”.

Setelah itu, hakim menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan tindakan yang keliru

untuk dilakukan seseorang meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan. Sebab,

penderitaan masih dapat diatasi dengan upaya lain tanpa harus melakukan suntik mati atau

cara euthanasia lainnya. UU Hak Asasi Manusia, tegas majelis, tak mengatur hak untuk mati.

Jadi, euthanasia merupakan suatu tindakan yang bertentangan dan melanggar UU Hak Asasi

Manusia.

Penutup

Kesimpulan

Pertama, Pelaksanaan Suntik Mati (Euthanasia) di Hukum Pidana Indonesia diatur

secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Pasal 304 dan 344. Dalam

aturan secara yuridis formal dalam hukum pidana Indonesia hanya dikenal dua bentuk suntik

mati (Euthanasia) yaitu suntik mati (Euthanasia) yang dilakukan atas permintaan pasien atau

korban itu sendiri dan suntik mati (Euthanasia) yang dilakukan dengan sengaja melakukan

pembiaran kepada pasien atau korban sebagaimana dua hal ini memenuhi unsur-unsur dari
Pasal 304 dan 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hal ini juga suntik mati

(Euthanasia) bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan berencana, karena

tindakan awal dilakukannya suntik mati (Euthanasia) yang berisikan unsur niat dan

kesengajaan dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dinyatakan pada

Pasal 304 dan Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kedua, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk

menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi

di negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif

dan sukarela. Pada sisi lain, walaupun KUHP tidak secara tegas menyebutkan

kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter menolak

melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien menghendaki.

Karena secara hukum, norma sosial, agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.

Daftar Pustaka

Djaman, Andi Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. (Jakarta :
Ghalia Indonesia. 1984)

Euthanasia di Indonesia, Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat


(hukumonline.com) Diakses Pada 18 Oktober 2022

Haryadi, H. (2011). Masalah euthanasia dalam hubungannya dengan hak asasi


manusia. INOVATIF| Jurnal Ilmu Hukum, 4(5).

Hati, A. D. P., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Tinjauan Yuridis Terkait
Permohonan Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(2), 134-144.

Kusumaningrum, A. E. (2019). Pergulatan Hukum Dan Etik Terhadap Euthanasia Di Rumah


Sakit. Jurnal Spektrum Hukum, 16(1), 37-59.

Pengaturan Euthanasia di Indonesia - Klinik Hukumonline Diakses Pada 18 Oktober 2022


Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan
Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, 1(1), 56-63.

Prakoso dan Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. (Ghalia
Indonesia, 1984) hlm 36

Santoso, A. D., & Fitriani, A. (2021). Praktik Euthanasia Terhadap Pasien Covid-19 Pada
Masa Pandemi Ditinjau Dari Fiqih Jinayah. Journal of Indonesian Comparative of
Syari'ah Law, 3(2), 179-193.

Suryadi, T., & Kulsum, K. (2018). Aspek Etika Dan Legal Euthanasia. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala, 18(3).

Susilowati, T. (2016). Euthanasia Dalam Tinjauan Aspek Hak Asasi Manusia. Justicia
Journal, 5(1), 12-12.

Yudaningsih, L. P. (2015). Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum


Pidana. Jurnal Ilmu Hukum Jambi, 6(1), 43316.

Zainuddin, 2013, Metode Peneitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, h. 24

Anda mungkin juga menyukai