ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pengaturan suntik mati (Euthanasia)
ditinjau dari Hukum Pidana Indonesia serta etikolegal pelaksanaan suntik mati (Euthanasia)
berdasarkan Hukum Nasional di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yang
menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang telah diperoleh
kemudian dianalisis untuk memperoleh konklusi yang relevan dengan permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) dapat diketahui bahwa suntik mati (Euthanasia) jika
ditinjau dari hukum pidana di Indonesia hanya diatur secara eksplisit di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dalam Pasal 304 dan 344, dimana dari pasal tersebut dinyatakan bahwa
suntik mati (Euthanasia) merupakan tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana
pembunuhan berencana 2). , Berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter menolak
melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien menghendaki.
Karena secara hukum, norma sosial, agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan
prinsip tertentu. Selain itu juga menegaskan tentang kewajiban- kewajiban yang secara suka
rela diemban oleh perawat. Dampak dari keputusan-keputusan perawat yang mempengaruhi
kehidupan dari pasien dan keluarga pasien, sejawat serta sistem asuhan kesehatan secara
keseluruhan.
persetujuan dan dilakukan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Prinsip
ini didasarkan pada alasan bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Dengan
demikian, tujuan utama pelaksanaan euthanasia yaitu untuk meringantan penderitaan pasien
bertentangan dengan kehendak tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari tuhan, sehingga
manusia sebagai mahkluk hidup ciptaan tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan
kematiannya.1
Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan tegas mengenai masalah
Euthanasia dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui
tentang Euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang hal tersebut. Pihak yang menyetujui
tindakan Euthanasia beralasan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak
untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup
1
Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1(1), 56-63.
mendukung, yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan pasien yang tidak lagi
memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan
untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak memperbolehkan
Euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya
karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu
gugat oleh manusia. Secara umum, argumen pihak anti Euthanasia adalah kita harus
mendukung seseorang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka
untuk mati.2
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir karena sudut pandang yang digunakan
sangat bertolak belakang dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas
dari tindakan Euthanasia sendiri sampai pada saat ini masih mengalami proses perdebatan
panjang, dimana perdebatan tersebut, Euthanasia atau suntik mati oleh dokter terhadap
seorang pasien yang sudah tidak memiliki kemampuan mengobati penyakitnya saat ini masih
merupakan perbuatan pidana berupa menghilangkan nyawa orang lain. Secara yuridis formal
dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk Euthanasia, yaitu
Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri dan Euthanasia
Dilihat dari 2 pasal tersebut sudah jelas dinyatakan bahwa Euthanasia sangat bertolak
belakang dengan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia dan sudah dinyatakan bahwa
2
Yudaningsih, L. P. (2015). Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana. Jurnal
Ilmu Hukum Jambi, 6(1), 43316.
3
Prakoso dan Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. (Ghalia Indonesia, 1984)
hlm 36
siapapun yang melakukan suntik mati dengan alasan apapun dan tanpa dasar hukum yang
jelas dan pasti dianggap melanggar hukum, maka dari itu sangat penting jika Euthanasia
diatur secara jelas agar tidak menimbulkan masalah yang merugikan banyak pihak. Melihat
banyak pihak yang masih pro kontra terhadap keberadaan Eunathasia di Indonesia, dan
mengingat pula ada beberapa orang yang memohonkan melakukan suntik mati, namun semua
Dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan euthanasia ini, meskipun dari
sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan hak bagi pasien yang
menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan
tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan
pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya
persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk
membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa
orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan
menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana , yang
Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun permohonan itu ditolak
4
Hati, A. D. P., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Tinjauan Yuridis Terkait Permohonan
Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(2),
134-144.
5
Kusumaningrum, A. E. (2019). Pergulatan Hukum Dan Etik Terhadap Euthanasia Di Rumah
Sakit. Jurnal Spektrum Hukum, 16(1), 37-59.
oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, tindakan euthanasia
harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi. Menurutnya,
sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan euthanasia tidak sewenang-
wenang.6
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), M. Choirul Anam,
perkembangannya, ada yang mengarah pada legalisasi dengan catatan penting. Pertama,
euthanasia dibenarkan karena cukup alasan yang sangat kuat, misalnya kesehatan yang
memburuk dan sulit disembuhkan. Kedua, pengakhiran hidup pasien dilakukan oleh orang
yang profesional dan bertanggung jawab. Ketiga, dilakukan melalui prosedur yang ketat
Begitulah faktanya, sudah banyak literatur di Indonesia yang menulis tentang euthanasia,
sebagian besar memuat doktrin dan kode etik kedokteran, serta akibat hukumnya.7
menemukan jawaban, dilihat dari segi kode etik hak dokter dalam memenuhi permohonan
euthanasia dan juga dalam peraturan hukum pidana Indonesia sendiri. Sehingga dalam
penelitian ini, akan dilakukan pengkajian terkait kode etik kedokteran dalam menjalankan
Metode Penelitian
6
Euthanasia di Indonesia, Masalah Hukum dari Kisah-Kisah yang Tercatat (hukumonline.com)
Diakses Pada 18 Oktober 2022
7
Pengaturan Euthanasia di Indonesia - Klinik Hukumonline Diakses Pada 18 Oktober 2022
Metode penelitian ini adalah penilitian hukum normatif yaitu, dengan mengkaji suatu
dengan menggunakan metode kepustakaan yang terkait dengan kode etik kedokteran
melayani Permohonan Suntik Mati (Euthanasia) ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dengan mengumpulakn bahan hukum dan informasi yang berupa bahan-bahan hukum
primer, sekunder, maupun tersier. Dalam rangka mendapatkan pemaparan yang jelas, data
tersebut kemudian disusun secara sistematis dan dianalisis dengan menggunakan metode
analisis deskriptif.
Negara hukum seperti Indonesia harus melihat dasar hukum dari Euthanasia itu
sendiri di dalam hukum nasional Indonesia yang secara khusus dilihat dalam lingkup hukum
pidana, jika berbicara mengenai hukum pidana maka seluruh pengaturan tentang hukum
pidana sendiri bersumber pada KUHP, KUHP mengatur Euthanasia secara eksplisif dalam
pasal 304 KUHP dan pasal 344 KUHP kedua pasal ini menyatakan dengan tegas bahwa :
Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan
sengsara” padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia
wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
8
Zainuddin, 2013, Metode Peneitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, h. 24
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya dua belas tahun.”
Setelah melihat kedua pasal, sudah pasti Euthanasia dilarang di Indonesia dalam
bentuk apapun dan dengan alasan apapun pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara
dan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai
perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak
dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu
sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. bahkan pelaku
Euthanasia bisa saja menjadi pelaku tindak pidana karena pelaku euthanasia memenuhi unsur
dari tindak pidana yaitu adanya niat dan kesengajaan tidak hanya itu dalam tindakan awal
dari euthanasia aktif maupun pasif memenuhi unsur Tindak Pidana Pembunuhan Berencana
jika mendalami lagi bahkan ada beberapa pasal dalam KUHP yang bisa menguatkan bahwa
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena,
makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
“Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman
mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-
lamanya dua puluh tahun”.
9
Djaman, Andi Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. (Jakarta : Ghalia
Indonesia. 1984)
Pasal 345 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”.
Jika dilihat pasal 340 KUHP ini biasa dikatakan sebagai Pasal Pembunuhan yang
direncanakan atau pembunahan berencana. Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa
Pasal 344 KUHP pun merupakan aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini, karena
disamping Pasal 344 KUHP tersebut mengandung makna perampasan nyawa atau
pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada Pasal 344 KUHP
ditambahkan unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati”. Jadi masalah Euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hukum , yakni Pasal 338 dan
Pasal 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut sebagai concursus idealis, yang
merupakan sisitem pemberian pidana juga terjadi satu perbuatan pidana yang masuk dalam
beberapa peraturan hukum. Concursus ideals ini diatur dalam Pasal 63 Kitab Undang-
1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yng
10
Suryadi, T., & Kulsum, K. (2018). Aspek Etika Dan Legal Euthanasia. Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala, 18(3).
2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam satu aturan pidana yang umum diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Dengan adanya hal-hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah Euthanasia yang
menyangkut dua aturan hukum, yaitu Pasal 338 dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan
adalah masalah Pasal 344 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidana penjara pada
Pasal 338 yaitu 15 tahun, lebih berat daripada ancaman pidana yang terdapat pada Pasal 344
KUHP (yang hanya 12 tahun). Hal ini dapat di mengerti karena dalam concursus ideais akan
diterapkan sistem absorbsi, sebagaimana disebutkan pada Pasal 63 (1) KUHP, yang memilih
ancaman pidanya yang terberat. Oleh sebab itu, di dalam KUHP kita, hanya ada satu pasal
saja yang mengatur tentang masalah Euthanasia, yaitu hanya Pasal 344 KUHP (Samil, 1994
: 19). Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk
Euthanasia, yaitu :
pasien/korban.
Apabila kita perhatikan dari jenis Euthanasia yang pertama (pasif) maka Pasal 344
KUHP tersebut diatas, agar seseorang dapat dikatakan telah memenuhi pasal itu, maka public
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. (Samil,1994:20). Dengan kemajuan
teknik yang pesat, khususnya dalam dunia kedokteran, hal “merampas nyawa” atau
membiarkan orang yang nyawanya dirampas maut”, baik atas permintaan sendiri karena
suatu penyakit yang sangat mustahil dapat disembuhkan, maupun atas dasar perikemanusiaan
karena tidak tahan melihat yang bersangkutan menderita, pasti menimbulkan berbagai
komplikasi, antara lain yang menyangkut bukan saja masalah etika kedokteran, atau terlebih-
lebih menyangkut hukum pidana, yang bertalian dengan masalah Euthanasia atau “Mercy
Kelling”.11
dilarang. Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini.
Akan tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk
344 KUHP dapat diterapkan dalam praktik, maka sebaiknya dalam rangka ‘ius
constituendum’ hukum pidana, bunyi pasal itu hendaknya dirumuskan kembali, berdasar
Jika Euthanasia tidak diatur secara lebih jelas di Indonesia, banyak perdebatan yang
bisa terjadi dimana salah satunya adalah tentang siapa yang bisa dianggap pelaku atau yang
bisa di salahkan jika terjadinya Euthanasia, banyak pihak yang bisa dirugikan karena hal ini
baik dokter yang menangani atau pasien itu sendiri tanpa adanya kejelasan hukum Euthanasia
bisa menjadi malpraktek oleh dokter atau Perencanaan Pembunuhan yang sesungguhnya oleh
pihak-pihak yang merasa di untungkan oleh Euthanasia tersebut. Aparat penegak hukum
harus mampu mengambil langkah yang paling tepat dalam tahap aplikasi, dengan
baiknya jika dilakukan langkah pembaharuan hukum pidana terkait hal tersebut oleh badan
11
Susilowati, T. (2016). Euthanasia Dalam Tinjauan Aspek Hak Asasi Manusia. Justicia Journal, 5(1),
12-12.
legislative sehingga nantinya tidak lagi menimbulkan ketidakharmonisan norma yang dapat
menyulitkan penerapannya.12
Pengaturan suntik mati (Euthanasia) tidak diatur di dalam KUHP, dikatakan diatur
secara eksplisit itu dimaksudkan bahwa KUHP hanya mengatur tentang bagaimana suntik
tindak pidana yang sebagaimana diatur di dalam Pasal 304 dan 344 KUHP. Dalam KUHP
tindakan suntik mati (Euthanasia) dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana
pembunuhan berencana, hal ini dikarenakan tindakan suntik mati (Euthanasia) telah
Pasal 304 dan 344 KUHP. Namun, pengaturan mengenai suntik mati (Euthanasia) di dalam
KUHP tidak memberikn keadilan bagi pihak pemohon dan pihak lain yang membutuhkan
euthanasia serta dianggap tidak dapat menjamin kepastian hukum di masyarakat. Sehingga
masyarakat, maka diperlukan suatu pengaturan khusus mengenai suntik mati (Euthanasia) di
Euthanasia telah lama menjadi bahan perdebatan kalangan medis, hukum, aktivis hak
asasi manusia, dan agamawan. Terlepas dari perdebatan itu, orang yang mengajukan
euthanasia terus bertambah, terutama di negara-negara yang melegalkan ‘mati dengan cara
12
Santoso, A. D., & Fitriani, A. (2021). Praktik Euthanasia Terhadap Pasien Covid-19 Pada Masa
Pandemi Ditinjau Dari Fiqih Jinayah. Journal of Indonesian Comparative of Syari'ah Law, 3(2), 179-193.
baik’ itu. Yang terakhir adalah euthanasia atas permintaan atlit paralimpik Belgia, Marieke
Vervoort. Suntikan dokter mengakhiri hidup perempuan 40 tahun itu pada Oktober lalu.13
Belgia salah satu negara yang mengakui dan melegalkan euthanasia. Pengakuan
hukum terhadap euthanasia malah sudah lebih dahulu di Belanda. Namun sebagian besar
negara tak mengakui dan membenarkan tindakan euthanasia. Indonesia termasuk yang tak
mengakui hak untuk mengakhiri hidup semacam itu. Ahli hukum tata negara, Jimly
Asshiddiqie, berpendapat jika hak untuk mati diakui seperti halnya hak untuk hidup,
risikonya besar. Sama saja memberikan legalisasi pada orang yang ingin melakukan bom
2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak
yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah
13
Haryadi, H. (2011). Masalah euthanasia dalam hubungannya dengan hak asasi manusia. INOVATIF|
Jurnal Ilmu Hukum, 4(5).
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia aktif
dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344 KUHP
ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, sebab
euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang
ada melarang euthanasia aktif dan sukarela. Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun
KUHP tidak secara tegas menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal
344 KUHP seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,
sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama
hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan
bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula
dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Pada dewasa ini, para dokter & petugas
kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat
ditinjau dari sudut medis dan yuridis Dari semua masalah yang ada itu. Euthanasia
merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan.
Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang
tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali menimbulkan
penderitaan berat pada penderitanya. Pasien tersebut berulang kali memohon dokter untuk
mengakhiri hidupnya. Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
1990 di Belanda, seorang keluarga pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak
oleh pengadilan walaupun akhirnya dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak
ada jalan lain, tidak lagi ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut
nyawanya melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses
tersebut.
dua kisah. Pertama, kisah Hasan Kusuma. Pada 22 Oktober 2004, Hasan Kusuma
mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar isterinya, Again Isna
Nauli, diberi tindakan euthanasia. Sang isteri sudah tergolek dalam keadaan koma selama
dua bulan, plus kesulitan yang dialami untuk membayar perawatan medis. Tersiar kabar pada
saat itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan euthanasia tersebut.
Kisah kedua merujuk pada Ignatius Ryan Tumiwa. Lulusan pascasarjana dari salah
satu universitas terkemuka ini ingin mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati. Tetapi
permohonannya terhalang Pasal 344 KUH Pidana, yang mengancam dokter atau tenaga
medis lain yang membantu seorang pasien mengakhiri hidup. Melalui pengacaranya, Ryan
mengajukan permohonan pengujian pasal itu ke Mahkamah Konstitusi. Pada Agustus 2014
Permohonan euthanasia diajukan lantaran sakit yang diderita BS sejak 2013. Pria
kelahiran 1971 itu sudah lumpuh dan tak dapat lagi mencari nafkah untuk keluarganya.
Kebutuhan sehari-hari banyak dibantu penghuni barak. Selain lumpuh, BS menderita sakit
kronis, infeksi peradangan pada tulang, dan asma sehingga tidak dapat melakukan aktivitas
apapun. Pengobatan medis ke rumah sakit dan pengobatan tradisional sudah dijalani namun
tak kunjung sembuh. Penderitaan pemohon semakin berat karena kepala daerah
memerintahkan bongkar paksa barak yang ditinggali pemohon. Itu sebabnya, BS mengajukan
permohonan euthanasia ke pengadilan. Surat pernyataan dari BS, surat persetujuan isteri, dan
dalam hal ini pemerintah Aceh terhadap masyarakat yang kurang mampu”. Dilanjutkan sang
hakim dalam pertimbangan: “jadi, dari kasus ini dihubungkan dengan UU Pemerintahan
Setelah itu, hakim menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan tindakan yang keliru
untuk dilakukan seseorang meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan. Sebab,
penderitaan masih dapat diatasi dengan upaya lain tanpa harus melakukan suntik mati atau
cara euthanasia lainnya. UU Hak Asasi Manusia, tegas majelis, tak mengatur hak untuk mati.
Jadi, euthanasia merupakan suatu tindakan yang bertentangan dan melanggar UU Hak Asasi
Manusia.
Penutup
Kesimpulan
secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Pasal 304 dan 344. Dalam
aturan secara yuridis formal dalam hukum pidana Indonesia hanya dikenal dua bentuk suntik
mati (Euthanasia) yaitu suntik mati (Euthanasia) yang dilakukan atas permintaan pasien atau
korban itu sendiri dan suntik mati (Euthanasia) yang dilakukan dengan sengaja melakukan
pembiaran kepada pasien atau korban sebagaimana dua hal ini memenuhi unsur-unsur dari
Pasal 304 dan 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hal ini juga suntik mati
tindakan awal dilakukannya suntik mati (Euthanasia) yang berisikan unsur niat dan
kesengajaan dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang dinyatakan pada
Kedua, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk
menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi
di negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif
dan sukarela. Pada sisi lain, walaupun KUHP tidak secara tegas menyebutkan
kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter menolak
Karena secara hukum, norma sosial, agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
Daftar Pustaka
Djaman, Andi Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. (Jakarta :
Ghalia Indonesia. 1984)
Hati, A. D. P., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Tinjauan Yuridis Terkait
Permohonan Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(2), 134-144.
Prakoso dan Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. (Ghalia
Indonesia, 1984) hlm 36
Santoso, A. D., & Fitriani, A. (2021). Praktik Euthanasia Terhadap Pasien Covid-19 Pada
Masa Pandemi Ditinjau Dari Fiqih Jinayah. Journal of Indonesian Comparative of
Syari'ah Law, 3(2), 179-193.
Suryadi, T., & Kulsum, K. (2018). Aspek Etika Dan Legal Euthanasia. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala, 18(3).
Susilowati, T. (2016). Euthanasia Dalam Tinjauan Aspek Hak Asasi Manusia. Justicia
Journal, 5(1), 12-12.