Tn. C berusia 40 tahun. Seseorang yang menginginkan untuk dapat mengakhiri hidupnya (Memilih untuk
mati. Tn. C mengalami kebutaan,diabetes yang parah dan menjalani dialisis). Ketika Tn. C mengalami
henti jantung, dilakukan resusitasi untuk mempertahankan hidupnya. Hal ini dilakukan oleh pihak rumah
sakit karena sesuai dengan prosedur dan kebijakan dalam penanganan pasien di rumah sakit tersebut.
Peraturan rumah sakit menyatakan bahwa kehidupan harus disokong. Namun keluarga menuntut atas
tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit tersebut untuk kepentingan hak meninggal klien. Saat ini klien
mengalami koma. Rumah sakit akhirnya menyerahkan kepada pengadilan untuk kasus hak meninggal
klien tersebut.
Tiga orang perawat mendiskusikan kejadian tersebut dengan memperhatikan antara keinginan/hak
meninggal Tn. C dengan moral dan tugas legal untuk mempertahankan kehidupan setiap pasien yang
Perawat A mendukung dan menghormati keputusan Tn.C yang memilih untuk mati. Perawat B
menyatakan bahwa semua anggota/staf yang berada dirumah sakit tidak mempunyai hak menjadi
seorang pembunuh. Perawat C mengatakan bahwa yang berhak untuk memutuskan adalah dokter.
1. a. Untuk kasus yang diatas tenaga medis manakah yang benar dan apa landasan moralnya?
2. b. Bagaimana mengatasi konflik internal dengan sesama staf dan eksternal antara RS dengan pasien?
Tanggapan
Perawat B benar dengan pernyataannya bahwa semua anggota/staf yang berada dirumah sakit tidak
mempunyai hak menjadi seorang pembunuh. Adapun landasan moralnya adalah bahwa setiap manusia
tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak
Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Selain itu perawat C juga benar karena mengatakan
bahwa yang berhak untuk memutuskan adalah dokter. Adapun landasan moralnya adalah bahwasanya
segala tindakan medik harus atas persetujuan dokter. Akan tetapi, tindakan euthanasia tetap tidak
diperkenankan untuk dikerjakan oleh dokter. Hal ini sesuai dengan KODEKI (Kode Etik Kedokteran
Indonesia) pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan
kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir,
hukum dan agama. Sementara tindakan euthanasia itu sendiri bertentangan dengan hukum dan agama.
Di samping itu KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap
tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: Menggugurkan kandungan (abortus
provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin
1) Pengkajian
a) Analisa situasi
Konflik yang terjadi di sini adalah konflik interpersonal antar perawat serta konflik antara pihak RS
2) Identifikasi
Konflik yang terjadi di sini adalah konflik interpersonal antar perawat yang berbeda pendapat tentang
keputusan euthanasia pada pasien. Di samping itu terdapat konflik antara pihak RS yang tetap
memberikan “Life Support” kepada pasien dengan pasien dan atau keluarganya yang menginginkan
3) Intervensi
b) Menyeleksi metode dalam meyelesaikan konflik. Peyelesaian konflik memerlukan strategi yang
berbeda-beda. Adapun strategi yang tepat untuk penyelesaian konflik ini adalah :
Konflik internal antara sesama staf dengan strategi kompromi atau negosiasi di mana ketiga perawat
yang berbeda pendapat ini saling menyadari dan memahami tentang aspek moral dan tugas legal untuk
mempertahankan kehidupan setiap pasien yang diterapkan dirumah sakit di mana mereka bekerja. Di
samping itu mereka harus menyadari bahwa berbeda pendapat itu tidak selalu berdampak negative
asalkan ada komunikasi yang baik. Dalam kasus euthanasia ini sebaiknya dokter dan pihak Rumah Sakit
lah yang berhak untuk menjelaskan kepada keluarga pasien dan memutuskan bagaimana
menindaklanjuti kasus euthanasia ini. Akan tetapi selama pasien masih berada di RS tersebut, para
Konflik eksternal antara RS dengan pasien ataupun keluarganya dapat diselesaikan dengan strategi
kolaborasi “win-win solution” di mana pertama menjelaskan kepada pasien dan atau keluarganya
bahwasanya euthanasia itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan etika, agama, moral, serta
hukum. Adapun landasannya berupa : pertama yaitu secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk
menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dasar
agama adalah, di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan kehidupan manusia. Dari segi aspek
moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain maupun diri sendiri adalah imoral karena merupakan
tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia. Dari segi hukum ataupun legal, seorang dokter yang
melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh diri telah melakukan tindakan melanggar
hukum.
Kedua, jika memang tidak didapatkan titik temu antara keinginan keluarga ataupun pasien yang ingin
melakukan euthanasia dengan pihak RS yang tetap memberikan bantuan hidup “Life support” kepada
pasien sesuai dengan prosedur dan kebijakan dalam penanganan pasien di rumah sakit tersebut maka
tindakan pihak RS yang menyerahkan masalah ini ke pengadilan sudah benar. Karena di Indonesia
legalitas euthanasia belum jelas dan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia tindakan euthanasia
termasuk tindakan pidana. Sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban
sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks
hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Sehingga dengan menyerahkan kasus hak meninggal klien tersebut ke pengadilan adalah keputusan
yang tepat untuk Rumah Sakit karena staf di RS tidak melanggar aturan yang berlaku di RS, pasien dan
atau keluarganya tidak akan menuntut RS tersebut, dan serta keluarga pasien akan mendapat keputusan
Adapun konflik yang terjadi adalah pertama, euthanasia akan melanggar peraturan rumah sakit yang
menyatakan kehidupan seseorang harus disokong, kedua dengan tetap melaksanakan peraturan RS
yaitu tetap memberi bantuan hidup ”Life Support” menyebabkan keluarga pasien akan menuntut RS,
ketiga apabila tidak memenuhi keinginan pasien maka akan melanggar hak-hak pasien dalam
Untuk kasus di atas tenaga medis yang benar adalah perawat C; bahwa yang berhak memutuskan adalah
dokter. Hal ini berlandaskan moral karena seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi makhluk insani (Pasal 7d Kewajiban Umum Kode Etik Kedokteran Indonesia). Dalam
pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan. Namun bila euthanasia
dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP,
yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum
euthanasia aktif jelas melanggar Undang-Undang. Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Pemerintah No.
36/1964 dan Buku ke 2, Bab IV KUHPidana RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat
1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359. Pada Pasal 344 KUHPidana tersebut berbunyi
sebagai berikut: Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Mengenai perampasan nyawa/jiwa orang lain diatur juga pada Pasal 340 KUHPidana, yaitu sebagai
berikut: Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
Upaya mengatasi konflik internal antara sesama staf dengan mengadakan mediasi dan mencari solusi
yang diwadahi oleh Komite Etik Rumah Sakit yang dibentuk secara internal. Solusi konflik tersebut harus
berlandaskan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) mengingat hal ini telah diatur dan harus
diterapkan dalam setiap melakukan tindakan kedokteran guna mencegah terjadinya konflik di masa
mendatang. Konflik eksternal RS dengan pasien dan keluarganya dapat diselesaikan dengan cara
memberikan penjelasan bahwa dalam menghadapi pasien diakhir hayatnya, dimana ilmu dan teknologi
kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan, hendaknya berpegang pada
pedoman sebagai berikut: a) Sampaikan kepada pasien atau keluarganya keadaan yang sebenarnya dan
sejujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien. b) Dalam keadaan dimana ilmu dan teknologi
kedokteran sudah tidak dapat lagi diharapkan untuk memberikan kesembuhan, maka upaya perawatan
pasien bukan lagi ditujukan untuk memberi kesembuhan melainkan harus ditujukan untuk memperoleh
kenyamanan dan meringankan penderitaan. c) Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus
diusahakan seringan mungkin; dan apabila pasien meninggal dunia, seyogyanya bantuan diberikan
kepada keluarganya yang ditinggal. d) Bahwa apabila pasien dan atau keluarga pasien menghendaki
menempuh cara “pengobatan alternatif”, tidak ada alasan untuk melarangnya selama tidak
membahayakan bagi dirinya. e) Bahwa dalam menghadapi pasien yang secara medis tidak
memungkinkan lagi untuk disembuhkan disarankan untuk memberikan Perawatan Hospis (Hospice
Care).
Konflik yang terjadi pada kasus tersebut yaitu: a) Konflik internal sesama staf Rumah Sakit yaitu
perbedaan pendapat antara perawat A, B dan C tentang keinginan pasien dan keluarganya untuk
mengakhiri hidupnya. b) Konflik eksternal Rumah Sakit dengan pasien dan keluarganya, yaitu keinginan
pasien untuk mengakhiri hidupnya yang bertentangan dengan tindakan kedokteran “Life Support” yang
dilakukan oleh Rumah Sakit, sehingga keluarga pasien akan menuntun Rumah Sakit.
sesuai dengan prinsip moral avoiding killing. Konsekuensi dari tindakan ini jika mengambil keputusan
sesuai dg pemikiran perawat B adalah klien tetap menderita dan kecewa, klien dan keluarga akan
menuntut rumah sakit, serta beban keluarga terutama biaya perawatan meningkat. Dengan demikian
rumah sakit konsisten dengan peraturan yang telah dibuat.namun sebenarnya yg berhak membuat
keputusan adalah pihak rumah sakit dengan keluarga pasien, dengan tidak mengesampingkan
penjelasan2 dari dokter mengenai euthanasia, resiko yg akan dihadapi dsb, serta menyertakan inform
consent apabila setelah nya keluarga pasien tetap memutuskan untuk eutanasia.
dan seharusnya masing2 profesi sudah mengerti dan memahami tugas masing2.seperti contohnya :
Tugas perawat adalah memberikan asuhan keperawatan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar
klien. Tugas dokter adalah memberikan pelayanan secara maksimal dg mendiagnosis secara tepat dan
memberikan penjelasan selengkap2 nya dan motivasi kepada pasien dan keluarganya. Sehingga dr peran
dokter dan perawatnya sudah jelas bahwa euthanasia bukan hak mereka untuk meng-”iya kan atau
meng”tidak kan.
3. Penderitaan tuan C dengan kebutaan akibat diabetik, menjalani dialisis dan dalam kondisi koma
menyebabkan keluarga juga menyetujui permintaan tuan C untuk dilakukan tindakan eutanasia. Konflik
yang terjadi adalah pertama, eutanasia akan melanggar peraturan rumah sakit yang menyatakan
kehidupan harus disokong, kedua apabila tidak memenuhi keinginan klien maka akan melanggar hak-
hak klien dalam menentukan kehidupannya, ketiga adanya perbedaan pendapat antara perawat A, B
dan C.
it's me
MANAGEMEN_KONFLIK_RS-EUTHANASIA.docx
1. menurut saya ketiga perawat tersebut memiliki pendapat yang benar tetapi pada kasus ini dan atas
dasar hukum di Indonesia pendapat yang dapat di ambil adalah pendapat perawat B.
perawat A tidak salah karena memang setiap pasien memiliki hak atas tubuhnya sehingga setiap
tindakan harus mendapat persetujuan (Informed consent) tapi pada kasus ini tenaga medis tidak dapat
membiarkan saja pasien yang dalam kondisi darurat walaupun pasien dan keluarganya sudah pasrah,
karena dengan membiarkan pasien tersebut sudah termasuk euthanasia pasif dan belum ada hukum di
Indonesia (setau saya) yang membolehkan dilakukannya euthanasia tersebut. sehingga merupakan
perawat C memang tidak salah bahwa yang berhak memberikan keputusan medik adalah dokter tapi
dalam hal euthanasia di indonesia yang berhak menentukan hidup mati hanyalah tuhan, sehingga setiap
pelaksanaan euthanasia di Indonesia (sekali lagi setau saya) dianggap sebagai pembunuhan dan
biasanya walaupun diajukan kepengadilan untuk melakukan euthanasia biasanya akan ditolak.
2. untuk mengatasi konflik internal maupun eksternal strategi yang sebaiknya dilakukan adalah diskusi
(kompromi) antar internal terlebih dahulu setelah itu dilanjutkan penjelasan ke keluarga pasien
3. konflik yang terjadi adalah konflik antara sesama staf, konflik RS dengan pasien/keluarganya dan
1.Perawat B benar dengan pernyataannya bahwa semua anggota/staf yang berada dirumah sakit tidak
mempunyai hak menjadi seorang pembunuh. Landasan moralnya bahwasannya islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah allah kepada manusia.
Hanya allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. perawat C juga benar
dengan pernyataannya bahwa yang berhak untuk memutuskan adalah dokter. Karena bahwasanya
segala tindakan medik harus atas persetujuan dokter, tetapi tidak berlaku untuk tindakan euthanesia
karena tidak sesuai dengan kaidah dari berbagai aspek: etika, moral, hukum, serta agama.
1. Konflik internal antara sesama perawat dapat diselesaikan dengan membicarkan hal tersebut secara
internal dan mereka harus menyadari bahwa perbedaan itu bukanlah suatu masalah tetapi hal yang
seharusnya bisa saling melengkapi. Sedangakan untuk masalah euthanesia sendiri sebaiknya pihak –
pihak terkait di RS itu sendiri yang memutuskan dan mengacu pada berbagai aspek: etika, moral, hokum
dan agama.
2. Konflik eksternal antara RS dengan pasien ataupun keluarganya dapat diselesaikan dengan
menjelaskan kepada pasien dan atau keluarganya bahwasanya euthanasia itu merupakan tindakan yang
bertentangan dengan etika, agama, moral, serta hukum. Dan pihak RS jelas tidak bias melakukan hal
tersebut, dikarenakan Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni pada Pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 KUHP.
1. Pasien meminta dilakukan euthanasia kepada dirinya, sedangkan tindakan tersebut jelas melanggar
untuk mempertahankan hidup pasien padahal mereka menginginkan dilakukan euthanesia untuk
3. Adanya perbedaan pendapat antara perawat A, B dan C mengenai tindakan euthanesia terhadap
pasien tersebut
tugas_ELS-_KONFLIK.docx
1. Pada dasarnya pendapat ketiga perawat tersebut tidak ada yang salah karena masing-masing
mempunyai dasar pemikiran dan sudut pandang yang berbeda. Masalah euthanasia belum mempunyai
kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia, etika, moral, hukum, ilmu pengetahuan, ekonomi,
sosial, budaya dan agama, sehingga masalah ini tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang
saja.
Tetapi jika dilihat dari hukum yang berlaku di Indonesia maka bisa dinyatakan bahwa tindakan
euthanasia dalam bentuk apapun tidak dibenarkan. Ditambah dengan landasan moral mengenai
tindakan kedokteran yaitu adanya sumpah doter yang didasari dari sumpah Hippocrates yang berbunyi:
“Saya bersumpah demi Appolo Sang Penyembuh dan Asclepios, Segala Kesembuhan, seluruh Dewa-
Dewi, bahwa sesuai dengan kemampuan dan penilaian: Saya tidak akan memberikan obat yang
mematikan kepada siapa pun bila diminta, atau tidak akan memberikan saran untuk itu; dalam bentuk
apa pun”.Sumpah kedokteran yang ditulis oleh Hippocrates–dikenal sebagai Bapak Pengobatan, lahir di
Yunani pada 460 SM. Setelah sekitar 2500 tahun sejak Hippocrates mengucapkan sumpahnya, dimana
Hippocratic Oath masih memiliki pengaruh terhadap ilmu kedokteran modern, khususnya pada etika
medis.
Bidang kedokteran sesungguhnya telah mempunyai seperangkat aturan normatif yang menjunjung
tinggi arti sebuah kehidupan. Euthanasia, dalam semua deklarasi etika kedokteran, adalah dilarang
karena tidak sesuai dengna prinsip-prinsip moral dasar. Argumen lain yang juga menunjukkan
ketidaksesuaian euthanasia dengan etika kedokteran adalah sebuah prinsip bahwa tugas seorang dokter
adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan malah
mengakhirinya.
Konflik internal antara tenaga medis dapat diselesaikan dengan adanya kebijakan Rumah Sakit yang
secara tegas mengatur masalah eutanasia dengan tetap memegang prinsip rumah sakit yang
menyatakan bahwa ”kehidupan harus disokong” . Dan masing-masing tenaga medis harus menyadari
bahwa perbedaan pendapat itu bukanlah suatu masalah tetapi untuk saling melengkapi dan bertujuan
membangun.
Konflik eksternal antara RS dengan pasien dan keluarganya dapat diselesaikan dengan memberi
penjelasan dan edukasi kepada pasien dan atau keluarganya bahwa kematian seseorang itu telah diatur
oleh Allah, dan sebagai umat beragama tugas kita adalah mensyukuri hidup, berusaha dan
sebab itu, tindakan Euthanasia tidak boleh dilakukan. Sangat memungkinkan orang yang sakit keras atau
dalam keadaan kritis itu diberi mujizat oleh Allah sehingga dapat sembuh kembali meskipun secara
medis tidak dapat disembuhkan. Tidak ada yang tahu rencana yang telah Allah susun, tugas keluarga
adalah memberi dukungan sebesar mungkin kepada pasien agar tetap semangat menjalani hidup.
3. Konflik yang terjadi adalah: eutanasia akan melanggar peraturan rumah sakit yang menyatakan
kehidupan harus disokong, kedua pasien mempunyai hak autonomi untuk menerima atau menolak
tindakan medis, ketiga tidak adanya kebijakan tegas dari rumah sakit dan pemerintah tentang masalah
eutanasia.
(1) Perawat B, karena Tuhan jelas melarang manusia membunuh dirinya sendiri, atau orang lain
melakukannya. Hidup dan mati semuanya di Tangan Tuhan, meskipun manusia, termasuk dokter dan
tenaga kesehatan lainnya dengan segala ilmu dan teknologi yang dikuasainya, berusaha menolong
seorang pasien, tetapi semuanya Tuhan yang akan menentukan. Di dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia dan lafal sumpah Dokter dinyatakan bahwa dokter mempunyai tugas dan kewajiban untuk
melindungi hidup makhluk insani mulai dari saat pembuahan, dan dokter harus membaktikan hidupnya
guna kepentingan perikemanusiaan. Pada satu sisi, seorang pasien berhak atas kehidupannya, namun
ketika tindakan euthanasia dilarang untuk dilakukan, sementara penyakit yang diderita pasien tidak
dapat disembuhkan (tim medis juga tidak dapat menyembuhkan) dan pihak keluarga benar-benar tidak
sanggup lagi untuk menanggung biaya yang besar serta melakukan kewajibannya terhadap dokter (yang
tindakan euthanasia yang dilakukan oleh seorang dokter, tidak begitu saja terlepas dari jeratan hukum
yang berlaku di Indonesia. Karena euthanasia merupakan tindakan menghilangkan nyawa seseorang.
Tidak ada alasan pembenar bagi seorang dokter yang melakukan euthanasia, dengan tindakan tersebut
dikenakan Pasal 344 yang mendekati unsur delik tindakan euthanasia. Euthanasia ditinjau dari aspek
dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu hak untuk hidup. Hal ini tertuang dalam Pasal 29
A UUD 1945 dan dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
hukum yang ada setiap hak asasi manusia harus dilindungi dan dijunjung tinggi. Dalam tinjauan hukum
pidana Indonesia, menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, demi apapun dan alasan apapun, oleh
(2)a. Konflik Internal yaitu konflik sesama staf dilakukan dengan strategi Acomodasion, yaitu diamna
pada konflik tersebut tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, karena hal tersebut tergantung
b. Konflik Ekternal yaitu konflik antara RS dengan pasien bisa dilakukan dengan cara Compromiser, yaitu
dengan cara kompromi kepada pasien dan keluarganya, tentang hukum dan etika yang berlaku pada
kasus tersebut.
(3)Konflik pada kasus ini adalah dimana terjadinya pertentangan antara suatu keinginan seseorang
(pasien dan keluarga) yang bertentangan dengan suatu peraturan/etika/hukum yang berlaku yang
dikenakan kepada pihak lain yang terlibat pada kasus tersebut. Yaitu dimana pasien menginkan untuk
mengakhiri hidupnya, sedangkan menurut hukum/etika maupun agama hal tersebut tidak bisa
dibenarkan.
Untuk kasus di atas tenaga medis yang benar adalah perawat B. Hidup mati seseorang sudah ada yg
menentukan sendiri yaitu Allah SWT. Tidak ada pembenaran dari aspek mana pun yang
memperkenankan euthanasia.
Euthanasia pasif: Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk
Euthanasia tidak langsung: Usaha untuk memperingan kematian dengan efek sampingan. Dengan
harapan, pasien barangkali meninggal lebih cepat. Dalam hal ini termasuk pemberian segala macam
obat narkotika, hipnotika, dan analgetika yang secara tidak langsung dapat memperpendek kehidupan
Euthanasia aktif: Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan
langsung.
Jika dilihat dari sudut pandang hukum, hukum positif dengan tegas melarang euthanasia. Pasal 344
KUHP menyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain, atas permintaan orang itu sendiri, yang
Ketentuan yuridis ini diperkuat dengan kode etik kedokteran pasal 10 yang menegaskan: Seorang dokter
harus senantiasa ingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Euthanasia atau tindakan
apapun yang berakibat kematian seseorang jelas dengan tegas ditolak. Bahkan itu dapat dituntut ke
pengadilan dengan dakwaan pembunuhan. Meskipun dalam KUHP tidak disebutkan secara eksplisit
Kunci point dalam suatu konflik adalah komunikasi, sebagai manusia kita harus saling memahami dan
interaksi yang baik di didalam lingkungan baik internal dan eksternal karena internal yang baik
(interpersonal) maka akibatnya interaksi terhadap dunia luar ataupun lingkungan dapat terjadi
"balancing" yang akhirnya komunikasi menjadi baik dan tidak adanya timbul konflik yang negatif. Tetapi
apabila konflik yang menguntungkan maka konflik tersebut sebagai dampak dari penyesuain untuk
Konflik yang terjadi adalah tindakan eutanasia itu sensdiri karena bertentangan dengan peraturan
rumah sakit, konflik antara staf rumah sakit yaitu perbedaan pendapat antar sesama perawat, konflik
Masalah_euthanasia_menimbulkan_pro_dan_kontra.docx
1. Untuk kasus yang diatas tenaga medis manakah yang benar dan apa landasan moralnya?
Perawat B. Perawat B menyatakan bahwa semua anggota/staf yang berada dirumah sakit tidak
mempunyai hak menjadi seorang pembunuh, di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dan lafal sumpah
Dokter dinyatakan bahwa dokter mempunyai tugas dan kewajiban untuk melindungi hidup makhluk
insani mulai dari saat pembuahan, dan dokter harus membaktikan hidupnya guna kepentingan
perikemanusiaan. Walaupun di satu sisi pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang
penyakitnya, pengobatan dan prognosisnya, dan berdasarkan informasi menolak pertolongan atau
perawatan oleh seorang dokter, namun ketika tindakan euthanasia dilarang untuk dilakukan karena
suatu tindakan euthanasia yang dilakukan oleh seorang dokter, tidak begitu saja terlepas dari jeratan
hukum yang berlaku di Indonesia. Karena euthanasia merupakan tindakan menghilangkan nyawa
seseorang. Tidak ada alasan pembenar bagi seorang dokter yang melakukan euthanasia, Pasal-pasal
dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang.
Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam
KUHP tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa,
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”. Euthanasia
ditinjau dari aspek moral dan hak asasi manusia bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling
mendasar yaitu hak untuk hidup. Hal ini tertuang dalam Pasal 29 A UUD 1945 dan dalam Pasal 4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka dengan
landasan hukum yang ada setiap hak asasi manusia harus dilindungi dan dijunjung tinggi. Dalam tinjauan
hukum pidana Indonesia, menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak, demi apapun dan alasan apapun,
oleh siapapun harus dianggap sebagai suatu kejahatan. Indonesia belum memiliki suatu peraturan yang
khusus dan lengkap tentang euthanasia, selain itu kita juga memiliki Undang-Undang No.39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang bisa juga sebagai landasan hukum Euthanasia.
Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan Nomor 336/PB/A.4/88 merumuskan
bahwa seseorang dinyatakan mati apabila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara
pasti (irreversible), atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Dalam pasal 9, BAB II KODEKI tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani menurut etik
kedokteran, dokter tidak boleh menggugurkan kandungan dan mengakhiri hidup orang yang sakit
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Di
Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan
Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif”
Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini.
Dasar atas tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004
tentang euthanasia yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia. Dalam pandangan
Tapi kalau euthanasia dilakukan tanpa ada dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap
melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana.
2. b. Bagaimana mengatasi konflik internal dengan sesama staf dan eksternal antara RS dengan
pasien?
Konflik internal sesama staf : konflik dapat diselesaikan dengan cara Integrating, yaitu berdasarkan pada
usaha-usaha untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yg bisa diterima oleh setiap anggota yaitu
dengan cara mempersatukan. Penggunaan cara ini jika terjadi perbedaan pendapat ( Konflik ), maka
penyelesaiannya kembali kepada persoalan awal. Masalah dibicarakan ulang sehingga konflik tidak
terjadi lagi. Penggunaan cara ini jika waktu tidak terbatas, persoalannya kompleks, dan strategi jangka
panjang.
Konflik ekternal antara rumah sakit dan pasien : konflik dapat diselesaikan dengan cara Compromising,
yaitu penyelesaian persoalan yang terjadi berpusat pada jalan tengah, dimana semua anggota bersedia
mengorbankan sesuatu demi tercapai penyelesaian konflik. Biasanya kedua pihak itu seimbang,
dibutuhkan pemecahan yang cepat, masalah tidaklah kompleks, tidak butuh solusi jangka panjang.
Tn. C berusia 40 tahun mengalami kebutaan,diabetes yang parah dan menjalani dialisis menginginkan
untuk dapat mengakhiri hidupnya (memilih untuk mati), dan perbedaan pendapat antara perawat A, B,
C (Perawat A mendukung dan menghormati keputusan Tn.C yang memilih untuk mati. Perawat B
menyatakan bahwa semua anggota/staf yang berada dirumah sakit tidak mempunyai hak menjadi
seorang pembunuh. Perawat C mengatakan bahwa yang berhak untuk memutuskan adalah dokter)
1. Menurut pendapat saya, ketiga paramedic bisa saja memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda
dalam hal ini, namun apapun juga pendapatnya, tentu saja mereka bukanlah pihak yang berkompeten
dalam pengambilan keputusan tentang tindakan medis yang harus dilakukan pada Tuan C. Tindakan
euthanasia masih menjadi prokontra dan karena kasus telah dilimpahkan pada pihak pengadilan, maka
putusan pengadilan adalah yang menjadi penentu karena berkekuatan hukum dan memberi
perlindungan hukum pada pelaksananya.Sejauh pengadilan belum memberi putusan maka RS harus
dalam prinsip menyokong kehidupan pasien.( Prinsip ini sejalan dengan pendapat paramedic B).
2. Mengatasi konflik internal RS dapat dilakukan dengan membuat pertemuan internal staf yang
berkaitan dengan kasus ini. RS menyampaikan penjelasan dan menyatukan pandangan yang beragam
tentang kasus ini kemudian ,menyamakan persepsi tentang sikap yang akan diambil oleh RS .
Mengatasi konflik RS dengan pasien dapat dilakukan dengan cara RS mengupayakan mediasi dengan
keluarga pasien. RS memberikan penjelasan tentang prosedur tindakan medis yang telah diberikan,
kondisi medis dari Tuan C dan menganalisis proses yang sedang dan akan berjalan sehubungan dengan
3.Konflik yang terjadi adalah tuntutan untuk dilakukan tindakan euthanasia atas diri Tuan C atas
1. Menurut saya keputusan tenaga medis yang benar adalah tenaga medis B dan C, karena dalam pasal
9, BAB II KODEKI tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter
tidak boleh menggugurkan kandungan dan mengakhiri hidup orang yang sakit meskipun menurut
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai berikut:
“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke
Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif”
Namun apabila pasien dipastikan mengalami kematian otak maka pasien dinyatakan telah meninggal.
Tindakan penghentian terapeutik diputuskan oleh oleh dokter yang telah berpengalaman, selain harus
pula dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup yang diharapkan. Sesuai
dengan surat edaran IDI menyatakan: Sampaikan kepada pasien dan atau keluarganya keadaan yang
masalah, dengan mengingat kembali KODEKI serta hukum - hukum tentang euthanasia, setelah semua
3. Yang jadi masalah disini pertama, keinginan pasien untuk mengakhiri hidup yang bertentangan
dengan KODEKI jika dilakukan, kedua adaah masalah internal antar tenaga medis, dan yang terkahir
1. Sebenarnya masing-masing staf berhak memiliki pemikiran yang berbeda, disamping itu maksud
dan tujuan mereka bukanlah semata-mata untuk menyakiti pasien, tetapi di Indonesia hukum dan
undang-undang mengenai euthanasia telah diatur, sehingga kita tetap harus berpegang teguh pada
peraturan yang berlaku, dalam hal ini saya setuju dengan pendapat perawat B yang menyatakan bahwa
semua anggota/ staf yang berada di rumah sakit tidak mempunyai hak untuk menjadi seorang
pembunuh. Hal ini sesuai dengan landasan hukum KUHP pasal 344 tentang pengaturan masalah
euthanasia yang melarang adanya euthanasia aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk
“Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain, atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
Ketentuan yuridis ini diperkuat dalam pasal 9, BAB II KODEKI tentang kewajiban dokter kepada pasien,
disebutkan bahwa “seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter tidak boleh menggugurkan kandungan dan mengakhiri
hidup orang yang sakit meskipun menurut pengetahuan tidak mungkin sembuh”.
a. Menjalin komunikasi yang baik antara seluruh pihak/ staf rumah sakit agar tidak terjadi
kesalahpahaman, mendiskusikan masalah ini dengan musyawarah agar tercapai suatu kesepakatan dan
b. Memberikan pengertian kepada pihak keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan, sesuai
- Konflik internal : Perbedaan pendapat antar perawat mengenai masalah pasien tersebut.
- Konflik eksternal : Pihak keluarga yang menuntut tentang hak euthanasia yang tidak diberikan
oleh pihak rumah sakit. Pasien memang berhak menentukan pilihannya sendiri, tetapi pihak rumah sakit
juga tidak dapat melakukan tindakan tersebut karena melanggar hukum dan undang-undang yang
berlaku.
Tampilkan induknya | Tanggapan
1. Berdasar konflik diatas, saya setuju pendapat perawat B. Keinginan seorang pasien untuk meninggal
tidak bisa diartikan sebagai hak dari pasien dan bukanlah hak dari keluarga pasien maupun dokter,
namun merupakan hak dari sang pencipta yaitu Tuhan. Tidak ada yang memiliki hak mempercepat dan
mengudur kematian selain Tuhan, sehingga perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian
hidup yang berasal dari-Nya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak-Nya.
“Lalu, Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia?” Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
- konflik internal: Rumah Sakit dan seluruh staffnya memegang prinsip bahwa kehidupan dan kematian
merupakan hak utuh dari Tuhan bukanlah hak dari pasien, sehingga dokter dan paramedis akan
menjunjung tinggi nilai kehidupan. Tak akan ada lagi perbedaan prinsip antar paramedis maupun dokter
pengadilan dengan mendatangkan mediator yang tidak memihak pada pihak manapun dengan
mempertimbangkan aspek etika, hukum, moral dan hukum (pasal 344 KUHP) yang ada di Indonesia.
- konflik internal: perbedaan pandangan antar perawat di Rumah Sakit tentang hak pasien memilih
mengakhiri hidupnya.
- konflik eksternal: tuntutan keluarga pasien perihal hak meninggal pasien kepada Rumah Sakit yang
telah melakukan tindakan penyelamatan hidup (resusitasi) saat terjadi henti jantung.
1. Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang
kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis. Dari semua masalah yang ada itu,
Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter & tenaga kesehatan.
Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat
diobati lagi. Pasien tersebut berulangkali memohon dokter untuk mengakhiri hidupnya.
Permasalahan di atas merupakan kasus yang cukup berat karena ada beberapa pandangan dari masing-
masing individu dimana permasalahan ini harus segera diselesaikan. Menurut saya, perawat B yang
paling tepat dalam memutuskan konflik ini. Disini yang dibutuhkan adalah sumpah dokter dan landasan
hukum yang ada di Indonesia. Dalam sumpah dokter tersirat bahwa sebagai seorang dokter tidak boleh
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat
luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif
maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa,
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”
terjadi. Harus dikaji apa permasalahannya, kemudian mendiskusikannya dan yang terakhir membuat
keputusan untuk menyelesaikan konflik. Disini RS harus memegang peraturan yang ada di RS yang
melindungi kehidupan.
-konflik eksternal : diselesaikan dengan mengadakan pertemuan dari pihak RS dan keluarga pasien.
Disini diusahakan memberikan penjelasan tentang peraturan di RS dimana kehidupan harus dilindungi
dan memberikan keleluasaan kepada pihak keluarga untuk berpikir tenang (kekeluargaan) dalam
memutuskan, selain itu diberikan pengertian bahwa kehidupan dan kematian hanya Allah yang
mengetahui.
3. konflik yang terjadi adalah eutanasia merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan RS,
Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh pasien dimana pasien memiliki hak atas dirinya.
A. Tidak ada yang benar dan salah dalam memaparkan suatu pendapat. Namun jika melihat dari segi
hukum dan moral, pendapat perawat B lebih bisa dianggap rasional dan dibenarkan. Perawat A dengan
pendapatnya bahwa pasien dapat memilih untuk mati. Hidup, mati, rezeki, jodoh hanya Allah yang tahu.
Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang dapat hidup dan kapan meninggal. Mati bukan
suatu pilihan. Untuk perawat C, tidak hanya dokter yang berperan dalam hal ini, namun semua pihak
juga terkait mulai dari pihak rumah sakit, para dokter, perawat dan keluarga pasien.Jadi perawat B yang
menyatakan bahwa RS tidak punya hak untuk membunuh. Hal yang dapat dilakukan yaitu memberikan
B. Konflik internal dapat diselesaikan dengan menyamakan persepsi dan pikiran dalam jajaran struktural
maupun fungsional dalam mengatasi hal ini. Mendapatkan jalan keluar terbaik berdasarkan landasan
hukum, agama, moral, dsb. Untuk konflik dengan keluarga sebaiknya ada pihak yang menjadi mediator
untk memediasi permasalahan ini, pihak yang dapat berpikir netral tanpa memihak manapun dengan
berlandaskan hukum, peraturan dan pertimbangan lainnya. Sehingga didapatkan jalan keluar terbaik.
Selain itu pihak rumah sakit juga berusaha memberikan penjelasan logis kepada keluarga tentang
tindakan terbaik yang sudah dan akan dilakukan dan meminta keluarga untuk bersabar dan meyakinkan
bahwa semua tindakan yang dilakukan tidak menyakiti pasien dan hal itu dilakukan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup pasien dan kembali lagi bahwa urusan mati ada di tangan Tuhan
C. Konflik yang ada yaitu tindakan euthanasia yang masih menjadi dilema pada sisi kesehatan, rumah
diperhatikan bahwasanya merupakan negara yang masih menganut Euthanasia adalah tindakan
kriminal. Hal ini tertuang dalam pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa: "Barang siapa menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-
sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun". serta pasa 388 KUHP yang menyatakan
bahwa: " Barag siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun". adapun KODEKI pasal 7d :" setiap dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup mahluk insani", dan KODEKI pasal 2
dijelaskan bahwa:"seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi tertinggi". Adapun pendapat yang paling mendekati pada kasus diatas yaitu perawat B
yang menyatakan bahwasanya anggota/staf RS tidak mempunyai hak untuk menjadi seorang
pembunuh. apalagi Indonesia meyakini keberadaan agama pada setiap individu, dan agaama manapun
a. mengatasi konflik internal yaitu dengan cara mengidentifikasi masalah terlebih dahulu, jika ternyata
masalahnya ada di eutanasia yang diinginkan oleh pasien, namun hal ini bertentangan dengan peraturan
perundangan yang ada di Indonesia, dan bertentangan dengan kode etik dari profesi yang ada maka
harus menyamakan ide, bahwasannya eutanasia bukan solusi bagi pasien karena berkaitan dengan
hukum dan moral yang ada. setelah ketiga perawat dan staf y lainnya sepakat bahwasannya eutanasia
bukan hal yang diperbolehkan secara hukum dan secara profesi harus melaksanakan profesi dengan
sesuai standar profesi maka RS akan selamat. mengenai hak pasien, yang namanya hak jika bertabrakan
dengan kewajiban maka yang hak akan kalah. menyelamatkan jiwa sangat penting.
b. mengatasi konflik eksternal yaitu setelah pihak internal sepakat dan memiliki ide bahwasannya
euthanasia merupakan tindakan kriminal maka selanjutnya pihak RS menyampaikan kabar kepada
keluarga pasien tentang penyakit pasien, dan keinginan pasien untuk euthasia dengan komunikasi yang
baik. memberikan pengertian dan kejelasan penyakit pasien kepada keluarga pasien dan qta juga empati
kepada keluarga pasien. setelah itu qta serahkan kepada keluarga pasien. jika keluarga pasien masih
3. konfliknya ialah euthanasia yang menjadi perdebatan dikalangan perawat, RS dan keluarga pasien.
diperhatikan bahwasanya merupakan negara yang masih menganut Euthanasia adalah tindakan
kriminal. Hal ini tertuang dalam pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa: "Barang siapa menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-
sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun". serta pasa 388 KUHP yang menyatakan
bahwa: " Barag siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati,
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun". adapun KODEKI pasal 7d :" setiap dokter
harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup mahluk insani", dan KODEKI pasal 2
dijelaskan bahwa:"seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi tertinggi". Adapun pendapat yang paling mendekati pada kasus diatas yaitu perawat B
yang menyatakan bahwasanya anggota/staf RS tidak mempunyai hak untuk menjadi seorang
pembunuh. apalagi Indonesia meyakini keberadaan agama pada setiap individu, dan agaama manapun
a. mengatasi konflik internal yaitu dengan cara mengidentifikasi masalah terlebih dahulu, jika ternyata
masalahnya ada di eutanasia yang diinginkan oleh pasien, namun hal ini bertentangan dengan peraturan
perundangan yang ada di Indonesia, dan bertentangan dengan kode etik dari profesi yang ada maka
harus menyamakan ide, bahwasannya eutanasia bukan solusi bagi pasien karena berkaitan dengan
hukum dan moral yang ada. setelah ketiga perawat dan staf y lainnya sepakat bahwasannya eutanasia
bukan hal yang diperbolehkan secara hukum dan secara profesi harus melaksanakan profesi dengan
sesuai standar profesi maka RS akan selamat. mengenai hak pasien, yang namanya hak jika bertabrakan
dengan kewajiban maka yang hak akan kalah. menyelamatkan jiwa sangat penting.
b. mengatasi konflik eksternal yaitu setelah pihak internal sepakat dan memiliki ide bahwasannya
euthanasia merupakan tindakan kriminal maka selanjutnya pihak RS menyampaikan kabar kepada
keluarga pasien tentang penyakit pasien, dan keinginan pasien untuk euthasia dengan komunikasi yang
baik. memberikan pengertian dan kejelasan penyakit pasien kepada keluarga pasien dan qta juga empati
kepada keluarga pasien. setelah itu qta serahkan kepada keluarga pasien. jika keluarga pasien masih
3. konfliknya ialah euthanasia yang menjadi perdebatan dikalangan perawat, RS dan keluarga pasien.
1.a). Dari ketiga tenaga medis yang benar menurut saya adalah perawat B, karena berdasarkan landasan
moralnya adalah setiap manusia tidak berhak untuk mengakhiri hidupnya sendiri maupun hidup orang
lain dalam kondisi apapun. Indonesia adalah negara hukum, dan untuk kasus eutanasia juga diatur
peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang
juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Eutanasia hingga saat ini
juga belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Euthanasia hingga saat ini juga tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum
positif yang masih berlaku yakni KUHP. Kesimpulannya adalah, bagaimanapun kondisi pasiennya,
eutanasia di Indonesia tidak boleh dilakukan karena sudah diatur dalam undang-undang yang ada.
Kecuali untuk negara lain, contohnya Belanda yang sudah melegalkan (diatur dalam undang-undang
negara Belanda) tindakan eutanasia untuk kasus-kasus tertentu, dan Belanda menjadi negara pertama di
2.b). Untuk mengatasi konflik internal maupun eksternal, kita harus mengacu pada hak dan kewajiban
masing-masing sesuai prosedur yang ada dan kita juga harus "melek" terhadap undang-undang/hukum
yang berlaku di negara kita. Seperti perawat, mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya, yang
sudah dilakukan oleh perawat A, B, dan C. Tetapi semua keputusan ada di tangan dokter, dan dokter
juga harus menjelaskan secara detail dan mudah dicerna tentang segala prosedur dan hukum yang
3.c). Kalau soal konflik sudah cukup jelas yaitu tentang keinginan pasien kepada dokter, yaitu melanggar
hukum dan norma yang berlaku di Indonesia, dan jika tindakan eutanasia dilakukan, itu adalah tindakan
(1). Menurut saya pada kasus diatas, tenaga medis yg benar adalah perawat C karena dokter lah yg lebih
berhak memberikan keputusan. Namun hal tersebut (euthanasia) harus didiskusikan terlebih dahulu
dengan perawat dan keluarga pasien. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat
keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan
keperawatan. Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-
masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling
menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan
terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan
kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan
tidak efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya
akan dilaksanakan.
Hak-hak asasi manusia yang terutama penting dalam etika kedokteran adalah hak untuk hidup, bebas
dari deskriminasi, bebas dari siksaan dan kekejaman, bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi dan
tidak pantas, bebas beropini dan berekspresi, persamaan dalam mendapatkan pelayanan umum di suatu
merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan kematian seseorang. Euthanasia pasif
merupakan tindakan mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali
atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua
Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda, diperbolehkan untuk
menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut
Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non maleficence) dapat
dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan yang bermanfaat,
namun peningkatan dosis yang mempercepat kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang
berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan
klien, dan tidak mempercepat kematian klien merupakan tindakan yang tepat (doing good).
(2). Agar konflik individu dalam organisasi maupun konflik keorganisasian tidak melebar dan akhirnya
mengganggu jalannya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka konflik perlu
Pondy (dalam Luthans, 1983 : 382-383) mengemukakan tiga pendekatan konseptual utama untuk
Pengelolaan konflik model ini merujuk pada kelompok kepentingan yang berkompetisi karena
keterbatasan sumber daya. Strategi untuk mengatasi konflik adalah dengan membagi secara merata
2. Bureaucratic approach
Pengelolaan konflik model ini merujuk pada hubungan kewenangan secara vertikal di dalam struktur
hierarkhi.
•Konflik akan terjadi apabila pihak atasan ingin melakukan pengendalian ke bawah, tetapi mereka
•Strategi untuk memecahkan konflik adalah mengganti aturan-aturan birokratis yang bersifat
3. Systems approach
Apabila pendekatan tawar-menawar dan pendekatan birokratis gagal menyelesaikan konflik, maka
pendekatan sistem berisi koordinasi berbagai masalah. Pendekatan ini merujuk pada hubungan
•Ada dua strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik yakni :
konsensus.
Konflik internal antar anggota staf dapat diselesaikan dengan cara Bureaucratic approach sedangkan
konflik eksternal antara RS dengan keluarga pasien diselesaikan dengan System approach.
(3). Konflik dalam kasus ini meliputi perbedaan pendapat antar perawat dan tindakan pasien dalam
mengambil keputusan.
1. Mengurangi penderitaan seseorang adalah hal yang baik.. akan tetapi bagaimana dengan keingin
seseorang yang ingin mengkahiri kehidupannya (mati). apakah kita akan mau melakukannya? tentu tidak
mau kalau memang kita masih normal. nah bagaimana dengan kasus di atas? saya lebih sepak dengan
perawat B menyatakan bahwa semua anggota/staf yang berada dirumah sakit tidak mempunyai hak
eksternal. tapi organisasi yang baik pasti mampu mengatasi kedua bentuk konflik tersebut. sebaiknya
pihak RS harus membuka forum diskusi untuk membahas masalah euthanasia mencari jalan keluarnya
bersama antara dokter, perawat, dan pihak keluarga dan harus menentukan sikap apa yang harus
dilakukan.
3. Konflik mengenai euthanasia dimana keluarga pasien dan pihak RS terjadi kesalahan komunikasi dan
1.B benar karena petugas medis dalam etika profesinya memiliki kewajiban untuk memberikan
pelayanan medis sesuai dengan standar profesinya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan
keselamatan jiwa pasien.C juga benar karena dokter merupakan seorang decision maker dalam setiap
2.sebelum penyelesaian konflik,perlu dilakukan adanya diskusi atau musyawarah internal komite medis
untuk menyatukan pendapat.perlu ditelaah terlebih dahulu konflik yang terjadi antara siapa,bagaimana
konflik tersebut dapat terjadi,kemudian gagasan2 apasaja yg dapat dgunakan untuk menyelesaikan
aspek yang ada sehingga akhirnya memiliki persamaan persepsi atau pandangan.
Untuk KONFLIK EKSTERNAL:diawali dngan adanya musyawarah dengan memberikan informasi sejelas-
jelasnya mengenai aspek medis dan medikolegal pada kasus pasien dan meluruskan pandangan
pasien&keluarga yang keliru sehingga pasien dan keluarganya tidak salah mengambil kputusan.karena
apabila hal tersebut dlakukan bkn hanya dokter yang dapat terjerat hukuman namun semua orang yang
mendukung dan membiarkan hilangnya nyawa seseorang.namun apabila pasien tetap bersikukuh maka
pihak RS dapat meminta pasien dan keluarganha untuk menandatangani penolakan tindakan medis dan
3.konflik yg tjd antara pasien&pihak tenaga medis&RS mengenai keinginan untuk dilakukan eutenasia
padahal hal tersebut melanggar kode etik dan konflik internal karena adanya perbedaan pandangan
1. Saya setuju dengan alasan perawat B, ini berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah
sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan
yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang
siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan
nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga demikian halnya
nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan
memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun. Jadi baik dokter
maupun perawat tidak berhak mengakhiri kehidupan seseorang dengan alasan apapun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12] menyatakan bahwa :
Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan
norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan
etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
a. Penanganan Konflik Interna : dengan memecahkan permasalah ini di rapat komite medis yang di
hadiri unsur rumah sakit mulai dari direktur, dokter, dan perawat.
b. Penanganan konflik Eksterna: dengan mengkomunikasikan masalah ini dengan keluarga pasien
tersebut, kita jelaskan belum ada undang-2 di Indonesia ini yang memperbolehkan dilakukan nya
tindakan Euthanasia tersebut, selain itu pihak rumah sakit selalu memberi support dan semangat
kepada keluarga pasien dan mengingatkan bahwa semua nya telah ini telah diatur oleh sang Kuasa.
3. Konflik yang terjadi adalah antara petugas interna di RS itu sendiri dan dengan keluarga yang
menginginkan tindakan euthanasia yang sebenarnya tidak diperbolehkan dengan alasan apapun oleh
1. 1. Perawat B benar ,bahwa semua anggota/staf yang berada dirumah sakit tidak mempunyai hak
menjadi seorang pembunuh. Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai
implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan
bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan
euthanasia aktif dengan permintaan. Sesuai dengan bunyi pasal-pasal dalam KUHP :
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa,
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”
2. Penyelesaian konflik
Internal = dapat diselesaikan dengan membicarkan hal tersebut secara internal dengan mengacu pada
Eksternal = dapat diselesaikan dengan menjelaskan kepada pasien dan atau keluarganya berdasarkan
KUHP pasal 344, 338, 340, 345, dan 359 bahwasanya euthanasia itu merupakan tindakan yang
bertentangan dengan etika, agama, moral, serta hukum dan dilarang di Indonesia
In 3. Konflik yang terjadi adalah adanya pertentangan antara keinginan seseorang (untuk mengakhiri
kepada pihak lain yang terlibat dan bertanggungjawab pada kasus tersebut.
semua anggota/staf yang berada dirumah sakit tidak mempunyai hak menjadi seorang pembunuh. ini
sesuai dalam KUHP Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya
duabelas tahun.” Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan
bantuan orang lain. Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai
pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau
dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Jadi eutanasia tidak diperbolehkan dengan alasan
apapun.
2. 2. Cara mengatasi konflik Interna : dengan memecahkan permasalah ini di rapat intern rumah sakit
yang di hadiri unsur rumah sakit mulai dari direktur, dokter, dan perawat. sedang Eksterna: dengan
mengkomunikasikan masalah ini dengan keluarga pasien tersebut dan menjelaskan bahwa dalam
3. 3.Konflik yang terjadi adalah perbedaan keinginan antara tenaga medis di RS dengan keluarga yang
menginginkan tindakan euthanasia yang sebenarnya dalam KUHP indonesia tidak dibenarkan dengan
alasan apapun.
2
1. Pada kasus ini pendapat ketiga perawat tidak bisa disalahkan, karena ketiganya memiliki point of view
masing-masing. Perawat A bisa dibenarkan karena pasien berhak memutuskan tindakan apa yang akan
dilakukan terhadap dirinya dan keinginan tersebut harus dihormati. Perawat B juga tidak salah karena
ditinjau secara etika dan agama menghilangkan nyawa seseorang adalah hal yang tidak bisa dibenarkan.
Perawat C mengatakan yang berhak memutuskan adalah dokter, dalam hal ini dokter berhak mengambil
keputusan namun harus dilandasi oleh hukum yang ada. Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa
dilakukan jika pengadilan mengijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka
dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain
dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar Undang-
peraturan yang disepakati bersama mengenai tindakan eutanasia dan landasan yang digunakan sehingga
tidak ada lagi perbedaan pendapat diantara staff. Konflik eksternal : mengadakan pertemuan dengan
keluarga pasien dan menejelaskan aturan yang ada di RS, sebaiknya dalam forum juga diikutsertakan
pihak ketiga yang bersifat objektif dan benar-benar mengerti tentang eutanasia secara hukum,
etika/moral, agama.
3. Konflik internal : perbedaan pendapat antara staff di RS. Konflik eksternal : keluarga pasien menuntut
1. Menurut saya untuk kasus diatas tindakan tenaga medis B lah yang benar jika skenario tersebut
terjadi di indonesia. Karena indonesia tidak menyetujui adanya eutanasia hal ini berdasarkan
Pasal 344 KUHP berbunyi “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.
disini adalah sudah jelas bahwa seorang tenaga medis harus berusaha sekuat tenaga untuk menyokong
hal yangberbeda tentu saja akan terjadi jika negara kita melegalkan eutanasia.
2. Konflik Internal : Perlu diadakan penyuluhan dan pertemuan antara semua pihak rumah sakit untuk
Konflik Eksternal : kita serahkan saja ke pengadilan karena menurut undang2 yang berlaku kita sudah
3. ketidakselarasan pemikiran tentang eutanasia antara staf A,B, dan C dan juga benturan antara hak
1.Menurut saya tindakan perawat B dan C sudah benar karena semua anggota staf di RS tidak berhak
menjadi seorang pembunuh dan perawat C juga menyerahkan semua tindakan berada di tangan dokter.
2.Hubungan interpersonal antara perawat dengan dokter, RS, maupun keluarga pasien dapat
merupakan sumber terjadinya konflik, oleh sebab itu perawat harus mengetahui dan memahami
manajemen konflik. Penyebab konflik meliputi: ketidakjelasan uraian tugas, gangguan komunikasi,
tekanan waktu, standar, kebijakan yang tidak jelas, perbedaan status, dan harapan yang tidak tercapai.
Konflik dapat dicegah atau diatur dengan menerapkan disiplin, komunikasi efektif, dan saling pengertian
Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan mencegah konflik. Manajer
perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum
Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat dikelola dengan mendukung
perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya. Misalnya; Perawat
junior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang yang lebih tinggi,
sedangkan bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan yang
lebih tinggi.
Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif.
Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan
komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari yang akhirnya dapat dijadikan sebagai satu cara hidup.
Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik.
Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar,
mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah
mendengarkan.
Untuk mengembangkan alternatif solusi agar dapat mencapai satu kesepakatan dalam pemecahan
konflik, diperlukkan komitmen yang sungguh sungguh. Ada beberapa stragtegi yang dapat digunakan,
Mengakomodasi
Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi pemecahan masalah, khususnya apabila
isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi
kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan. Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat
mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di tempat yang pertama.
Kompetisi
Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memiliki lebih banyak informasi dan keahlian yang
lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak ingin mengkompromikan nilai-nilai anda. Metode ini
mungkin bisa memicu konflik tetapi bisa jadi merupakan metode yang penting untuk alasan-alasan
keamanan.
Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan
menerima, serta meminimalkan kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.
Pemecahan sama-sama menang dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama.
Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling
Diharapkan Manajer Perawat dapat memahami dan menggunakan keahliannya secara khusus untuk
tugas_euthanasia.doc
Jawaban dari ketiga perawat A, Perawat B dan perawat C juga benar. Tergantung dari sudut pandang
mana mereka memandang persoalan tersebut. Lepas dari pro dan kontra tentang euthanasia ,saya kira
tergantung dan kembali pada diri kita sendiri. Seseorang yang memiliki kepercayaan yang teguh kepada
Tuhan dan Agamanya, maka ia akan memilih jalan '' normal '' dalam mengakhiri hidupnya. Tetapi juga
tidak bisa kita VONIS bila seorang pasien atau keluarga memohon '' euthanasia '' adalah orang yang
tidak beragama .
Euthanasia, haruslah kita pandang sebagai keputusan yang sangat sulit dalam menentukan hidup dan
matinya seorang manusia.Sebab kita bukan Tuhan yang mempnyai hak mencabut nyawa,atau memberi
kehidupan.
Euthanasia adalah '' proses keputusan '', untuk melepaskan atau membebaskan penderitaan bagi
seorang pasien, yang berdasarkan diagnosa '' tidak memiliki kans '' untuk sembuh dari penyakit yang
dideritanya.
Keputusan hidup matinya seseorang, memang itu adalah kuasa Tuhan. Hanya saja, sejauh ketika pasien
didiagnosis otaknya masih berfungsi, maka alat penyokong hidup (ventilator) tetap dipasang. Tapi, kalau
otaknya sudah tak berfungsi atau mati, ventilator dicabut. Adapun beberapa pertimbangan jika
Menghentikan usaha yang sia sia , pasien tidak memiliki harapan untuk sembuh sesuai diagnosa dokter,
sehingga lama waktu perawatan dan biaya yang dikeluarkan keluarga juga tidak banyak. Membantu
mengurangi stress keluarga yang ditinggalkan , juga meminimalkan pendapat bahwa Rumah Sakit
Kita juga tahu, dalam agama manapun tentang seseorang yang mati. Bila memang sudah meninggal, kita
tidak boleh menyakiti mayat. Di agama Islam, mayat harus sesegera mungkin dikuburkan, kalau
diperpanjang lagi hidup pasien yang udah jelas fungsi otaknya sudah mati dengan ventilator, jelas ini
merupakansiksaan.
Pihak yang menentukan pasien itu dinyatakan mati? Pihak keluarga, dalam keputusan medis jelas tidak
dimintakan pendapatnya. Keluarga hanya diminta pendapatnya tentang apa saja harapan dan keinginan
dari pasien, yang menjadi nilai tertentu dalam hidupnya. Pihak yang berhak menentukan kematian
adalah petugas kesehatan yang disumpah dan menangani kasus ini. Disamping itu, perlu ada dua orang
lagi dokter yang berkompeten di pasien tersebut agar sebagai bahan pembanding keputusan tersebut.
Jawaban no 2.
Mengatasi konflik internal dengan sesama staf yaitu mempertemukan semua profesi yang ikut dalam
memberikan pelayanan medis kepada pasien tersebut, kemudian menjelaskan standar operasional
prosedur yang harus dilakukan. Termasuk ketiga perawat tersebut, dalam hal tetap memberikan asuhan
Mengatasi konflik eksternal sejak awal dokter dan perawat harus menjalin hubungan yang baik dengan
pihak keluarga pasien. Setiap pengambilan keputusan baik untuk tujuan diagnostik, terapi maupun
berbagai tindakan lainnya, harus selalu dengan persetujuan pasien dan atau keluarganya sehingga lebih
mudah jika ada konflik bisa dengan cara Compromiser, yaitu dengan cara kompromi kepada pasien dan
keluarganya, tentang prosedur medis euthanasia dan pelanggaran-pelanggaran etika dan hukum yang
Jawaban no 3
Konflik yang terjadi adalah antara keinginan seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya dan keinginan
tersebut didukung oleh keluarga dengan melanggar prosedur dan kebijakan yang harus dijalankan
Rumah Sakit dalam melakukan penanganan pasien dengan indikasi tersebut. Konflik internal antara
sesama tenaga medis (perawat) dalam hal menanggapi masalah Tn.C, sehingga sebaiknya di tetapkan
atau disampaikan kembali standar operasional prosedur asuhan keperawatan yang harus dilakukan pada
kasus Tn.C
Tampilkan induknya | Tanggapan
1. Dari pendapat pribadi saya, pernyataan perawat B yang paling benar, jika berdasarkan hukum yang
Landasan moralnya yaitu kehidupan makhluk hidup di dunia ini sudah digariskan oleh Tuhan dan tidak
ada yang berhak mengakhirinya, diatur juga dalam Pasal KUHP dan ayat AlQuran.
Sedangkan hukum yang berlaku di Indonesia, Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan, “Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancamdengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
dari Pasal 344 KUHP ini apapun alasan yang diajukan oleh pihak manapun, bahkan keinginan dari pasein
sendiri, diancam pidana bagi pelakunya. Sehingga dengan jelas terlihat, bahwa euthanasia dalam hukum
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304dan Pasal
306 (2).
Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yangberlaku baginya atau
karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan ataupemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapanbulan atau denda paling banyak empat
- Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian,perbuatan
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum di
Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal
terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja
(al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS
An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab
tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan
2. Untuk mengatasi konflik internal maupun eksternal, sebenarnya cukup mudah apabila semua pihak
mengerti dan paham 2 aspek yang merupakan landasan moral untuk kasus euthanasia ini. Ditinjau dari
segi Hukum dan Agama. karena dalam kasus ini, semua pihak yang terlibat belum mengetahui apa itu
landasan moralnya, merupakan tanggung jawab manajemen Rumah Sakit lah memberikan pehamaman
tersebut.
2. Konflik Internal : semua perawat yang terlibat dalam perawatan secara holistik pasien ini harus
diberikan pengertian, bahwa kehidupan tidak dengan mudahnya diakhiri begitu saja. kita mempunya
norma hukum dan agama yang harus dipatuhi, baik sebagai Warga Negara yang baik, dan umat
beragama yang taat. jelaskan bahwa jika tindakan ini masih dilakukan, maka kita akan dituntut secara
pidana, dan dari segi agama, besar dosa yang akan kita tanggung.
Konflik Eksternal : hampir sama penyelesainannya dengan konflik intenal. berikan penjelasan dengan
penuh empati. pihak RS tidak dengan mudah hanya menjelaskan tapi juga mengerti kondisi pasien dan
ekluarga, karena jika tidak dengan empati tersebut, pasien akan merasa tidak diperhatikan sisi psikologi
nya. karena apabila seseorang / pihak telah membuat keputusan ingin mekakhiri hidup, kemungkinana
besar sudah mengalami "putus asa" dalam hidupnya, yang pasti memerlukan pendekatan secara
psikologis.
3. Konflik : seorang pasien yang mempunyai hak otonomi terhadap dirinya sendiri untuk menerima
ataupun tidak ingin menerima sebuah tindakan medis yang dilakukan kepada dirinya, kemudian
melakukan permintaan penolakan tindakan. Petugas kesehatan yang emrupakan tim kesehatan yang
merespon permintaan pasien. Namun apabila pihak rumah sakit melakukan permintaan pasien tersebut
maka akan bertentangan dengan norma Hukum dan Agama yang berlaku di Indonesia.
perawat B dan C ada benarnya bahwa dalam melakukan tindakan medis harus melalui perintah seorang
dokter dan seorang dokter dalam melakukan tugasnya harus sesuai dengan kode etik dimana dalam hal
ini seorang dokter harus lebih memperhatikan serta mengedepankan kepentingan dan keselamatan
pasien.thoughtful
Internal : antar perawat harus beri pengertian lagi tentang tugas mereka sebagai tenaga medis harus
mengedepankan keselamatan pasien, perbedaan pendapat antar perawat biasa terjadi tetapi jangan
sampai hal ini membuat suatu pertentangan serius yang nantinya akan timbul keluar dari RS tersebut.
sad
Eksternal : dalam hal ini antara pihak RS terutama dokter dengan pasien dan keluarganya. pasien dan
keluarganya harus diberi pengertian tentang euthanasia itu sendiri dan sanksi terhadap pelanggarannya
seperti yang tecantum dalam KUHP sebagai contoh dalam Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh
dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.” Sedangkan berhubungan dengan pasien pengertian
ini harus dibedakan antara mengakhiri kehidupan dalam hal ini memperpendek dengan mengurangi
konfliknya adalah pelaksanaan euthanasia, ini menjadi suatu permasalahan yang dilematis serta masih
menimbulkan pro dan kontra bagi kalangan dunia kedokteran, dimana seorang dokter harus berpegang
teguh pada kode etik kedokteran. approve Pada satu sisi, seorang pasien berhak atas kehidupannya,
namun ketika tindakan euthanasia dilarang untuk dilakukan, sementara penyakit yang diderita pasien
tidak dapat disembuhkan (tim medis juga tidak dapat menyembuhkan) dan pihak keluarga benar-benar
tidak sanggup lagi untuk menanggung biaya yang besar serta melakukan kewajibannya terhadap dokter
JAWABAN: PERAWAT B
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam
tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak
bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak
Nilai-nilai positif yang dianut buadaya timur seperti Indonesia mengenai euthanasia jelas-jelas melarang
keras, baik dari segi budaya maupun agama. Landasan ini berlaku untuk profesi apapun baik medis
maupun paramedis.
Khusus untuk dokter landasan lain yang mengatur tentang euthanasia tercantum dalam KODEKI. KODEKI
bukanlah semata-mata landasan moral namun lebih luas dari itu yaitu landasan ETIK. Dalam pasal 7d
KODEKI menyataka bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insasi. Dalam KODEKI mengenai euthanasia, ternyata dapat digunakan dalam tiga arti, yaitu:
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang beriman dengan
b. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberi obat
penennag.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluarganya
Pro-euthanasia dalam butir C, di beberapa negara Eropa dan Amerika sudah banyak gerakan yang
mengukuhkan hal tersebutdalam bentuk undang-undang, dalam hal ini mereka melegalkan. Namun kita
di Indonesia SEBALIKNYA, sebagai umat yang beragama dan berfalsafah Pancasila percaya pada
Dalam pertanyaan No. 1 ini memang tidak fokus pada landasan hukum. Namun tidak salahna untuk
mengingatkan mengenai kontroversi “HaK Asasi Manusia” tentang euthanasia. Berikut sanggahan
mengenai HAM dan euthanasia. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP,
ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya,
dengan dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal
pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut
dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah
satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi generalis’, yaitu peraturan yang khusus
Kesimpulan landasan hukum adalah bahwa masalah HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-
mata, tetapi juga bersangkutan dengan masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu masyarakat
tertentu.
2. Bagaimana mengatasi konflik internal dengan sesama staf dan eksternal antara RS dengan pasien?
JAWAB: Dimensi penyelesaian konflik secara umum ada dua macam yaitu kerjasama/tidak kerjasama
dan tegas/tidak tegas yang secara umum dapat dilakukan melalui 5 pendekatan sebagai berikut: (1)
Kompetisi, (2) Akomodasi, (3) Sharing, (4) Kolaborasi dan (5) Penghindaran. Pada dasarnya semua
pendekatan memiliki potensi yang sama dalam hal menyelesaikan konflik, lagi-lagi ini tergantung pada
kasus. Dalam kasus ini pendekatan internal yang digunakan dapat berupa sharing atau kolaborasi
sedangkan pada tarap eksternal dapat dilakukan pendekatan akomodasi oleh pihak direksi.
JAWABAN:
Adanya hal-hal sebagai berikut yaitu: "striking together with force”, implies disagreement, discord and
friction among members of a group dan interaction where words, emotions, and actions "strike
Maka konflik yang terjadi dapat berupa konflik antara sesama pegawai di rumah sakit, konflik RS dengan
Life Support" pasien tersebut ada pada Dokter, bukan perawat, pasien maupun keluarga pasien.
Konflik internal antar staff medik (perawat) diselesaikan dengan menyesuaikan pemahaman dengan
kode etik petugas medik untuk memelihara kehidupan pasien berdasarkan sumpah Hipokrates yang
mengandung dua gagasan yaitu : kesediaan menolong penderita dan menolak membantu orang untuk
bunuh diri. Dua gagasan sumpah ini dimasukkan ke dalam kode etik kedokteran. Sehingga, prioritas
utama adalah "Life saving", bukan mengakhiri hidup.. Akan tetapi, "Decision maker" untuk melakukan
tindakan medik semua tergantung oleh dokter,bukan perawat. Konflik eksternal dengan menyesuaikan
pemahaman tentang kewajiban - kewajiban dokter dan staff medik RS kepada keluarga & pasien
mengenai memelihara kehidupan manusia adalah prioritas utama profesi medik, bukan mengakhiri
kehidupan.
Konflik dalam kasus ini jelas terlihat antara pihak RS yang ingin mempertahankan prinsip pemeliharaan
kehidupan dengan keluarga pasien yang memiliki pemahaman dangkal tentang hak asasi untuk hidup
manusia.
1. Dalam kasus inii keputusan tenaga medis yang benar adalah tenaga medis B dan C untuk tidak setuju
dalam mengambil tindakan yg diinginkan keluarga pasien yaitu mengakhiri hidup pasien dalam kondisi
masih hidup (koma). Hal inii juga dijelaskan dalam pasal 9 BAB II KODEKI tentang kewajiban dokter
kepada pasien. Pada bab inii disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter tidak boleh menggugurkan
kandungan dan mengakhiri hidup orang yang sakit meskipun menurut pengetahuan tidak mungkin
sembuh. Selain itu ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI no.702/PB H2/09/2004 yang menyatakan, “Di
Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan
Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Tetapi seperti kita ketahui juga,kematian pasien dapat diputuskan saat dipastikan telah terjadinya
kematian otak. Tindakan penghentian terapeutik diputuskan oleh oleh dokter yang telah
berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas
hidup yang diharapkan. Sesuai dengan surat edaran IDI menyatakan: Sampaikan kepada pasien dan atau
keluarganya keadaan yang sebenarnya dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien.
2. Konflik yang dapat terjadi yaitu adanya konflik internal maupun eksternal. Konflik-konflik inii dapat
dipecahkan dengan cara mengkomunikasikan masalah yang ada, dengan mengingat kembali KODEKI
serta hukum - hukum tentang euthanasia, setelah semua paham dengan euthanasia dan dirasa semua
3. Permasalahan Yang jadi masalah pada kasus inii yaitu keinginan pasien untuk mengakhiri hidup yang
bertentangan dengan KODEKI jika dilakukan, lalu adanya masalah internal antar tenaga medis, dan yang
1. Menurut saya perawat B benar, perawat B menyatakan bahwa semua anggota/staf yang berada
dirumah sakit tidak mempunyai hak menjadi seorang pembunuh karena adanya indikasi-indikasi baik
medis maupun permintaan dari pasien sendiripun tidak melegalkan praktik eutanasia mengingat
eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela
kehidupan. Sedangkan menurut hukum KUHP pasal 344 “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain,
atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh dihukum
penjara selama-lamanya 12 tahun”. Pasal tersebut jelas menerangkan tentang pengaturan masalah
euthanasia yang melarang adanya euthanasia aktif, yaitu suatu tindakan yang positif dari dokter untuk
2. Untuk mangatasi konflik eksternal, dibutuhkan pendekatan RS terhadap keluarga pasien berupa
penjelasan tentang pentingnya perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak
keluarga. Kebutuhan psikis dan emosional seperti kasih sayang dan perhatian sangat dibutuhkan agar
jika memang sudah waktunya, pasien siap menerima kematian dengan ikhlas.
Sedangkan penyelesaian masalah internal sesama staf yaitu perlunya penjelasan dan pemahaman
tentang dasar-dasar hukum, agama, medis dan moral yang ada di Indonesia terutama tentang
EUTHANASIA, sehingga setiap staf bisa mengerti secara menyeluruh tidak hanya berdasarkan
- Konflik internal yaitu konflik perbedaan pendapat antara tenaga medis yang ada di rumah sakit
- Konflik eksternal yaitu konflik antara Rumah sakit dengan keluarga pasien berupa keinginan keluarga
pasien unutk mengakhiri hidup pasien padahal hal tersebut bertentangan dengan hukum dan etik yang
1. menurut saya, saya setuju dengan pendapat perawat B bahwa semua anggota /staf yang berada
dirumah sakit tidak mempunyai hak menjadi seorang pembunuh. berdasarkan agama masalah
kehidupan & kematian seseorang itu berasal dari Sang Pencipta yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang
menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang berasal dari Tuhan merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.Hal ini sesuai dengan KODEKI
(Kode Etik Kedokteran Indonesia) pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter
dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu
kedokteran mutakhir, hukum dan agama. Dari aspek hukum dinyatakan bahwa Undang-undang yang
tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya
euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan
nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam
tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui
pengobatannya
a. konflik internal : dengan mendiskusikan lebih lanjut secara internal semua tim medis di RS tersebut
dan herus menyadari bahwa perbedaan pendapat diantara mereka bukan merupakan suatu masalah
tetapi dianggap sebagai sesuatu yang dapat saling melengkapi. Untuk masalah euthanasia itu sendiri
pihak RS harus memutuskan dengan tegas dan mengacu kepada aspek moral, agama dan hukum di
b. konflik eksternal : antara RS dengan pasien dan keluarga pasien dengan jalan memberikan penjelasan
dan pengertian kepada pasien dan keluarganya bahwa euthanasia adalah suatu tindakan yang
bahwa kehidupan seseorang harus disokong. yang kedua, hak otonomi pasien untuk menerima atau
menolak tindakan medis. yang ketiga, adanya perbedaan pendapat antara tim medis di RS tersebut.
1. Perawat B yang paling benar dengan pendapatnya bahwa bahwa semua anggota/staf yang berada
dirumah sakit tidak mempunyai hak menjadi seorang pembunuh. Euthanasia tidak benarkan dari sudut
-Hukum : Pancasila dan UUD 45. KUHP 359, 345, 344, 340, 338, 356
-Etika : KODEKI, Surat Edaran IDI, PPNI, Sumpah profesi dokter, perawat.
2. Konflik Internal : Menjalin komunikasi yang baik antara seluruh pihak/ staf rumah sakit agar tidak
pasien yang sesungguhnya, dan menjelaskan tentang larangan Euthanasia. Apabila tidak terdapat
kesepakatan dilimpahkan pada pihak pengadilan, putusan pengadilan adalah yang menjadi penentu
3. Konflik yang terjadi adalah Konflik Internal RS antaraperawat A,B,C. Konflik eksternal anatar rumah
tugas_euthanasia.docx
Jawaban No.1
Perawat B benar karena hidup dan mati seseorang yang menentukan adalah Allah. Selain itu, euthanisa
juga tidak dibenarkan baik dari sisi kedokteran (karena melanggar etika) maupun dari sisi hukum.
dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum
dan agama.
pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaaan manusia.
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan, “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam,
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Pasal 340 KUHP dinyatakan, “ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat
Jadi baik dari sisi kedokteran ataupun hukum, tidak ada yang membenarkan euthanasia
Jawaban No.2
Cara menyelesaikan konflik internal di rumah sakit antar pegawai rumah sakit bisa dengan negosiasi
atau mendiskusikan masalah euthanasia tersebut baik dari sisi moral, kedokteran dan hukum sesuai
Cara menyelesaikan konflik eksternal yaitu antara pihak keluarga dan pihak rumah sakit, yang pertama
adalah dengan menjelaskan ke keluarga pasien bahwa dari sisi kedokteran maupun dari sisi hukum tidak
ada yang membenarkan untuk dilakukan euthanasia. Jika pihak keluarga tetap tidak mau terima dengan
penjelasan dan keterangan dari pihak rumah sakit maka bisa dengan menggunakan bantuan dari pihak
ketiga yaitu dengan membawa masalah tersebut ke pengadalian seperti yang telah dilakukan pada kasus
tersebut.
Jawaban no. 3.
Konflik yang terjadi adalah konflik antara petugas kesehatan di rumah sakit tersebut yang berbeda
pendapat tetang legal atau tidak dilakukannya euthanasia di rumah sakit tersebut. Konflik yang kedua
adalah keinginan pihak keluarga untuk mengakhiri hidup pasien dan kewajiban rumah sakit sebagai “life
support”.
tgs_mmr.docx
1. 1. Menurut saya yang benar adalah perawat B dan C. Pihak rumah sakit semua anggota/staf yang
berada dirumah sakit tidak mempunyai hak menjadi seorang pembunuh, semua tergantung dari
keputusan dari pasien itu sendiri dan dengan pihak keluarga, kemudian semua itu menjadi hak dokter
untuk dapat mengambil keputusan. Kasus yang saya liat bahwa kurang komunikasi antara pihak rumah
sakit dan keluarga. Serta kurang pemahaman prosedur tindakan medis oleh keluarga Tn. C. Tugas dokter
dan tenaga medis adalah memaksimalkan tindakan medis untuk membantu atau menolong
kesembuhan pasien. Apabila dokter tidak melakukannya ini sudah termasuk dalam kategori euthanasia
pasif, yaitu secara tidak sengaja tidak memberikan pertolongan. Islam mengakui hak seseorang untuk
hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang
dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Dari segi agama pada
konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu
alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan
(mercy killing) dalam alasan apapun juga. Jadi tindakan kita sebagai dokter adalah memaksimalkan
tindakan kita dengan menggandeng pihak keluarga. Bila buruk hasilnya, itu sudah hal yang terbaik yang
sudah kita berikan, dan takdir dari Allah dan Allah maha tau.
2. 2. Dalam mengatasi masalah ini untuk konflik internal perlu adanya negosiasi diantara ketiga perawat
ini. Membahas dari sudut pandang dari ketiga perawat ini, dan mencari jalan tengah dengan
Untuk konflik eksternal perlu pembahasan dari pihak rumah sakit dan dari pihak keluarga. Bagaimana
pihak rumah sakit dapat menjelaskan alasan tindakan medis serta akibat bila tidak dilakukan tindakan
medis ke pihak keluarga. Beban biaya yang harus ditanggung oleh pihak keluarga dan dijelaskan secara
jujur. Serta memberi penjelasan juga maksud dan tujuan dari tindakan ini, apakah bertentangan dengan
3. 3. Diawali oleh tindakan medis yang segera dilakukan tim dokter untuk menyelamatkan nyawa dari
Tn.C dengan cara memberi resusitasi untuk mempertahankan hidup pasien. Karena kurangnya
Kemudian tindakan apa yang seharusnya dilakukan dokter. Dengan izin keluarga apakah sebagai dokter
tetap membiarkan tidak memaksimalkan tindakan medisnya. Dan bagaimana landasan yang tepat untuk
kasus ini.
Tampilkan induknya | Tanggapan
Aditiya Pramudya W.
Tugas_Eutanasia_Aditiya_Pramudya_W_MMR.doc
Copyright 2008-2009
Administrator Contact
Moodle.org