Anda di halaman 1dari 3

Nama : Dian Artika Sari

Npm : 20.12.024

Prodi : PSKM1
KASUS EUTANASIA SESUAI DENGAN

ASPEK HUKUM DAN PERUNNDANG UNDANGAN.

Pada Prinsipnya, Hak Untuk Hidup Merupakan Hak Fundamental Atau Hak Asasi
Dari Setiap Manusia. Konstitusi Kita Yakni Uud 1945 Melindungi Hak Untuk Hidup Ini
Dalam Pasal 28a UUD 1945 Yang Menyebutkan Bahwa Setiap Orang Berhak Untuk
Hidup Serta Berhak Mempertahankan Hidup Dan Kehidupannya.

Euthanasia Dapat Dikelompokkan Dalam 5 Kelompok Yaitu:


1. Euthanasia Pasif, Mempercepat Kematian Dengan Cara Menolak
Memberikan/Mengambil Tindakan Pertolongan Biasa, Atau Menghentikan
Pertolongan Biasa Yang Sedang Berlangsung.
2. Euthanasia Aktif, Mengambil Tindakan Secara Aktif, Baik Langsung Maupun
Tidak Langsung Yang Mengakibatkan Kematian.
3. Euthanasia Sukarela, Mempercepat Kematian Atas Persetujuan Atau
Permintaan Pasien.
4. Euthanasia Tidak Sukarela, Mempercepat Kematian Tanpa Permintaan
Atau Persetujuan Pasien, Sering Disebut Juga Sebagai Merey Killing.
5. Euthanasia Nonvolountary, Mempercepat Kematian Sesuai Dengan
Keinginan Pasien Yang Disampaikan Oleh Atau Melalui Pihak Ketiga, Atau
Atas Keputusan Pemerintah (Kartono Muhammad, 1992:19).

Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar hak
asasi manusia yaitu hak untuk hidup.

Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar KUHP

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (“KUHP”) mengatur tentang


larangan  melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.”

Untuk euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, ada beberapa pasal yang
berkaitan atau dapat menjelaskandasar hukum dilakaukannya euthanasia bagi orang
atau keluarga yang mengajukan untuk dilakukan euthanasia:

1. Pasal 340 KUHP Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan , dengan
hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara
selama-lamanya dua puluh tahun.
2. Pasal 359 Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum
penjara selamalamanya lima tahun atau kurungan selamalamanya satu tahun.

3. Pasal 345 Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh
diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara. Berdasarkan penjelasan
pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia dalam skenario ini, maka dokter dan
keluarga yang memberikan izin dalam pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan
dengan pasal 345 KUHP yang ber bunyi barang siapa dengan sengaja mendorong
orang lain untuk bunuh diri, atau memberikan sarana kepadanya untuk itu, diancam
dengan pidana penjara dengan acaman penjara selamalamanya empat tahun penjara
(Moeljatno, 1999:127).

Dengan tidak adanya regulasi yang jelas di Indonesia maka dapat dipastikan bahwa
suntuk mati (euthanasia) masih belum mempunyai dasar hokum yang jelas untuk
melakukan tindakan suntik mati atau euthanasia tersebut.

Contoh Kasus Eutanasia :

Kasus Euthanasia di Indonesia yang


saya dapat adalah Permohonan euthanasia yang diajukan
Berlin Silalahi (BS) 

Permohonan euthanasia yang diajukan Berlin Silalahi (BS) malah sudah diputuskan
pengadilan. Berdasarkan penelusuran hukumonline, permohonan euthanasia diajukan
Berlin ke Pengadilan Negeri Banda Aceh pada Mei 2017 lalu. Pemohon adalah korban
tsunami Aceh yang terjadi pada 24 Desember 2004. Seperti sejumlah korban lain, BS
ditempatkan di barak Neuheun Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar.
Selama dua tahun di sana, BS menunggu bantuan perumahan yang layak.
Rumah yang ditunggu belum terealisasi, BS dipindahkan ke barak lain di Gampong
Tibang, kecamatan Syiah Kuala. Di sini, BS bersama isteri dan anak bungsunya tinggal
selama 2,5 tahun. Ia kembali dipindahkan ke barak lain di Bakoy Kecamatan Ingin Jaya,
Aceh Besar. Di barak inilah BS tinggal sejak 2009 hingga mengajukan permohonan
euthanasia.
Permohonan euthanasia diajukan lantaran sakit yang diderita BS sejak 2013. Pria
kelahiran 1971 itu sudah lumpuh dan tak dapat lagi mencari nafkah untuk keluarganya.
Kebutuhan sehari-hari banyak dibantu penghuni barak. Selain lumpuh, BS menderita
sakit kronis, infeksi peradangan pada tulang, dan asma sehingga tidak dapat
melakukan aktivitas apapun. Pengobatan medis ke rumah sakit dan pengobatan
tradisional sudah dijalani namun tak kunjung sembuh. Penderitaan pemohon semakin
berat karena kepala daerah memerintahkan bongkar paksa barak yang ditinggali
pemohon. Itu sebabnya, BS mengajukan permohonan euthanasia ke pengadilan. Surat
pernyataan dari BS, surat persetujuan isteri, dan surat konsultasi dari dokter spesialis
sudah dilampirkan sebagai bukti.
Ternyata, permohonan BS ditolak pengadilan. Hanya dalam waktu dua pekan, hakim
tunggal sudah mencapai kata sepakat untuk ‘menolak permohonan pemohon’. Hakim
merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kode Etik
Kedokteran, dan Pasal 344 KUH Pidana. Dalam pertimbangannya, hakim menegaskan
punya kewajiban untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat, sesuai amanat Pasal 5 UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kaitan itu, hakim tak hanya melihat
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hukum Islam yang dianut pemohon, dan
hukum adat setempat.
Hakim Ngatemin yang memutus permohonan ini mengutip pandangan Majelis Ulama
Indonesia bahwa euthanasia dilarang karena keputusasaan, dan tidak diperkenankan
dalam Islam. Kemudian hakim mengutip sejumlah ayat Al Qur’an dan Hadits yang pada
intinya melarang membunuh diri sendiri. “Menimbang bahwa sesuai dengan agama
yang dianut oleh Pemohon, yaitu agama Islam, bahwa berputus asa dalam hukum
Islam tidak dibenarkan, begitu halnya terhadap sebuah penyakit yang sedang diderita
oleh seseorang, sehingga euthanasia tidak seharusnya dilakukan demi mengakhiri
penderitaan,” demikian antara lain pertimbangan hakim.
Dalam hukum adat pun, kematian dianggap sebagai takdir Tuhan. Euthanasia dengan
cara disuntik dapat dianggap sebagai bunuh diri. Bunuh diri adalah perbuatan yang
dilarang baik dalam adat maupun agama. Dari sisi hukum positif pun, ada larangan
melakukan euthanasia, meskipun hakim mengakui belum ada aturan yang secara
khusus mengatur euthanasia. Karena itu, hakim berketatapan hati untuk menolak
permohonan BS.
Sentil Pemerintah
Dalam pertimbangannya, hakim sempat ‘menyentil’ pemerintah. “Bila melihat dan
membaca permohonan pemohon pada intinya pemohon mengharapkan peran
pemerintah dalam hal ini pemerintah Aceh terhadap masyarakat yang kurang mampu”.
Dilanjutkan sang hakim dalam pertimbangan: “jadi, dari kasus ini dihubungkan dengan
UU Pemerintahan Aceh, diharapkan peran pemerintah lebih baik lagi”.
Setelah itu, hakim menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan tindakan yang keliru
untuk dilakukan seseorang meskipun dengan alasan untuk mengakhiri penderitaan.
Sebab, penderitaan masih dapat diatasi dengan upaya lain tanpa harus melakukan
suntik mati atau cara euthanasia lainnya. UU Hak Asasi Manusia, tegas majelis, tak
mengatur hak untuk mati. Jadi, euthanasia merupakan suatu tindakan yang
bertentangan dan melanggar UU Hak Asasi Manusia.
Penasehat hukum BS dari Yayasan Advokat Rakyat Aceh, Safaruddin, menjelaskan
kliennya tak mengajukan banding atas putusan itu. Setelah permohonan euthanasia
diajukan petugas Dinas Sosial sudah datang dan memberikan bantuan kepada
kliennya. “Diberikan tempat yang layak,” jelas Safaruddin kepada hukumonline, Rabu
(20/11).

Dari kejadian ini dapat disimpulkan kemiskinan atau faktor ekonomi juga dapat
mempengaruhi seseorang melakukan ajuan permohonan euthanasia

Anda mungkin juga menyukai