Anda di halaman 1dari 41

EUTHANASIA DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM PIDANA DAN

UNDANG – UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK


ASASI MANUSIA

DRAF PROPOSAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana


Hukum Pada Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Alaudiin Makassar

Oleh :

NURUL AZIZAH ADNAN

NIM: 10400119034

ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2023
KOMPOSISI BAB

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Fokus Penelitian Dan Deskripsi Fokus
C. Rumusan Masalah
D. Kajian Pustaka Dan Penelitian Terdahulu
E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Tentang Euthanasia


B. Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia
C. Tinjauan Tentang Tindakan Pidana
D. Tinjauan Tentang Masyarakat

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Dan Lokasi Penelitian


B. Pendekatan Penelitian
C. Sumber Data
D. Metode Pengumpulan Data
E. Instrumen Penelitian
F. Teknik Pengelolahan Dan Analisis Data
BAB I

PENDAHLUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pesatnya penemuan teknologi moderen sekarang ini, mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan yang begitu cepat dalam kehidupan sosial
budaya manusia. Sebagian besar masalah, ruang gerak dan waktu sudah dapat
dipecahkan oleh teknologi dan modernitas. Disamping itu meningkat pula
kemakmuran hidup materilnya, berkat makin cepatnya penerapan-penerapan
teknologi modern tersebut. Diantara sekian banyak penemuan-penemuan
teknologi itu, perkembangan teknologi dibidang medis tidak kalah pesatnya.
Dengan perkembangan diagnosa suatu penyakit dapat lebih sempurna
dilakukan dan pengobatan penyakit pun dapat berlangsung dengan cepat.
Dengan peralatan, rasa sakit si pasien diharapkan dapat diperingan agar
kehidupan seseorang dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu dengan
respirator.
Perkembangan teknologi di bidang medis ini dengan harapan agar dokter
diberi kesempatan untuk mengobati si pasien sebagai upaya bagi si pasien
untuk sembuh menjadi lebih besar, namun kadang menimbulkan kesulitan
dikalangan dokter sendiri. Seperti penggunaan alat respirator yang dipasang
untuk menolong pasien, di mana jantung pasien berdenyut namun otaknya
tidak berfungsi dengan baik.
Menurut konteks aspek aksiologis ilmu hukum, materi kontroversial yang
paling banyak menyita perhatian intelektual sejak dulu hingga sekarang dan
dapat dipastikan juga untuk jangka waktu kedepan salah satunya adalah
masalah “euthanasia” atau hak untuk mati. Kontroversi yang panjang itu
terutama melibatkan kaum filosof, teolog, ahli kedokteran dan ahli hukum. 1
Kaum filosof dan teolog misalnya, euthanasia cenderung dianggap sebagai
pilihan manusia yang tidak dapat dibenarkan, sebaliknya para ahli kedokteran
dan hukum, paling tidak menurut pandangan yang lebih progresif relatif dapat
1
Jamalik abdul, Jamalik, Tanggung jawab Hukum seorang Dokter dalam menangani
Pasien, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990), hlm 67.

1
2

menerimanya. Silang pendapat tersebut memperlihatkan sesungguhnya betapa


komplek permasalahan itu kemudian menimbulkan konflik-konflik nilai
sebagai konsekuensi dari implikasi sosial dan etika yang disandangnya.
Menyinggung soal etika, berarti berbicara tentang baik dan buruk, susila
dan asusila. Benar, bahwa agama pun berbicara soal yang sama, namun
ukuran yang dipakai berbeda dengan etika. Etika sebagai bagian dari filsafat
menghendaki ukuran yang umum dan universal. Walaupun demikian antara
agama dan etika dapat dibedakan, namun sesungguhnya kedua objek tersebut
tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam menyoroti permasalahan euthanasia
yang menjadi topik tulisan ini.
Penemuan-penemuan di bidang kedokteran seringkali sangat mudah
dilihat sisi positif dan negatifnya seprti penggunaan bahan dalam anestesi,
teknik-teknik pembedahan, fertilisasi, euthanasia dan sebagainya 2. Kenyataan
tersebut menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat bebas nilai. Disinlah
pentingnya norma dan etika dalam penggunaan ilmu, yang hendaknya
menjadi konsensus bagi umat manusia. Klaim-klaim hukum terhadap
tindakan dokter dalam euthanasia merupakan bentuk lain dari sisi negatif
dalam penerapan ilmu, yang terkadang sama sekali tidak terbayangkan oleh
dokter yang bersangkutan. Jadi perkembangan ilmu yang kemudian
diwujudkan dalam tindakan berkembang dalam kebudayaan manusia serta
sekaligus mempengaruhi kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada
gilirannya tentu dapat berubah manfaat dan atau bencana.
Demikian pula euthanasia dapat hadir diantara manfaat dan bencana. Dari
segi peratuaran perundang-undangan dewasa ini belum ada pengaturan yang
lengkap tentang euthanasia. Euthanasia Pasif juga pernah terjadi pada awal
tahun 2014 di salah satu Rumah Sakit di Makassar yang pada akhirnya
berakhir pada kematian pasien tersebut. Seorang wanita di pertengahan usia
50 dengan kanker hepatoma stadium akhir bernama Hariati Rahma meninggal
dunia di rumahnya setelah seorang dokter di rumah sakit tersebut meminta
kepada pasien yang bersangkutan untuk dipulangkan saja atas dasar penyakit

2
Achadiat, Eutanasia yang semakin Kontroversial, (Jakarta: Terajana, 2002), hlm. 32.
3

pasien sudah tidak dapat disembuhkan. Dokter akhirnya melepas alat bantu
medis pasien tersebut dan akhirnya dipulangkan oleh keluarganya dan dirawat
di rumah.
Tetapi karena masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa
manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya
sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat
dipakai sebagai landasan hukum, guna pembahasan selanjutnya adalah apa
yang terdapat didalam KUHP Indonesia khususnya yang mengatur masalah
kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Sebagaimana diketahui bahwa
KUHP bukan merupakan refleksi budaya bangsa Indonesia, sebab KUHP
merupakan warisan dari Belanda dan di berlakukan di Indonesia berdasarkan
asas konkordansi. Yang paling mendekati dengan maslah tersebut adalah
peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2, Bab XIX pasal 344 kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan: “Barangsiapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”.
Dalam hal ini, masalah euthanasia berhubungan erat dengan hukum
pidana maka dipandang dari sifatnya, perihal euthanasia termasuk dalam
hubungan antara individu dengan masyarakat atau dengan negara (hukum
publik). Bahwa hukum itu pada umumnya dipergunakan untuk kepentingan
manusia sendiri. Hukum itu mengatur hubungan antara orang dengan orang
lain, dan di samping itu membatasi beberapa kepentingan serta mengadakan
larangan atau keharusan, agar supaya tercapai ketertiban hukum di dalam
masyarakat. Tak luput pula mengenai Hak Asasi Manusia yang terenggut
didalamnya, dimana euthanasia yang sudah dijelakan tadi memiliki
kontroversi yang panjang dari berbagai pihak hingga menimbulkan konflik
didalamnya.
Dari beberapa lembaga hukum di Indonesia sendiripun banyak yang
menganggap bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan menghilangkan
nyawa seseorang dengan keji dan dapat dipidan dengan menggunakan hukum
4

positif di Indonesia. Euthanasia merupakan suatu persoalan yang cukup


dilematik baik dari kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan
agamawan.
Di indonesia, masalah ini juga pernah dibahas, seperti yang dilakukan oleh
pihak Ikatan dokter Indonesia (yang selanjutnya disebut IDI) dalam
seminarnya pada tahun 1980 yang melibatkan para akhli kedokteran, ahli
hukum positif dan ahli hukum islam, akan tetapi hasilnya masih belum ada
kesepakatan yang bulat terhadap masalah tersebut.
Demikian juga dari sudu pandang agama, ada sebagian yang
membolehkan dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan euthanasia,
tentunya dengan berbagai argumen atau alasan.
Telah kita ketahui bersama Hak Asasi Manusia merupakan hak yang
melekat pada diri seseorang yang tidak seorangpun dapat mengganggu gugat,.
Permasalahan-permasalahan yang terus muncul kepermukaan tentang ketidak
adilan yang mengganggu Hak Asasi Manusia seseorang semakin hari semakin
meningkat. Padahal, hukum yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia sudah
sangat rinci. Namun di samping Hak Asasi Manusia, harus pula dipahami
bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga
bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran,
memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan
negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan
prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Karena itu,
jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang
sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin
hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang dimanapun ia
berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana
mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini
merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia
dan kemanusiaan yang adil dan beradap.3

3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), h.89-90.
5

Ada beberapa negara yang berpendapat bahwa masalah hidup dan mati itu
merupakan hak dari pada Tuhan Yang Maha Esa, bukan hak dari pada
manusia. Namun ada pula dari beberapa negara yang mengatur secara jelas di
dalam Perundang – Undangannya bahwa hak untuk mati itu tidaklah bersifat
mutlak bagi setiap manusia. Di Indonesia hak asasi manusia ini diatur dalam
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (yang
selanjutnya disebut UUHAM) dimana didalamnya mengatur hal – hal yang
menyangkut soal hak – hak asasi manusia yang mendasar.

B. Faktor Penelitian Dan Deskripsi Fokus


1. Fokus penelitian
Untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap fokus kajian
dalam penulisan proposal skripsi ini dan untuk menghindari
kesalahpahaman terhadap ruang lingkup penelitian yang dilakukan
oleh penulis maka yang perlu dikemukakan ialah batasan pengertian –
pengertian dari beberapa variable yang tercakup dalam judul tesis hal
ini sangat penting dilakukan agar penulis fokus pada objek kajian dan
tujuan penelitian yang hendak dicapai. Adapun metode dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang dimana bertujuan
untuk mengetahui suatu permasalahan melalui perspektif yang ada.
Oleh karena itu fokus penelitian sangat berperan penting dalam
penelitian. “Euthanasia Dihubungkan Dengan Hukum Pidana Dan
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia”.
2. Deskripsi Fokus
Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka dapat dideskripsikan
beberapa point penting dalam memahami fokus penelitian, adapun
deskripsi fokus penelitian ini sebagai berikut :
a) Euthanasia
Euthanasia yaitu mengakhiri hidup seseorang berhubung adanya
suatu penyakit berat yang dialaminya, dengan berbagai macam
6

pertimbangan dan untuk kebaikan si penderita sendiri agar tidak


terlalu lama menderita4
b) Hukum
1. Hukum merukapan seluruh aturan tingkah laku berupa
norma/kaidah baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat
mengatur dan menciptakan tata tertib dalam masyarakat yang
harus ditaati oleh setiap anggota masyarakatnya berdasarkan
keyakinan dan kekuasaan hukum itu 5
2. Hukum merupakan sistem berarti hukum hukum itu
merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang
terdiri dari bagian – bagian atau unsur – unsur yang saling
berkaitan etar satu sama lain.6
c) Hukum Pidana
Hukum pidana adalah alat yang dipergunakan oleh oleh seorang
penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan
suatu perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut
mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya
dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta
kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak
pidana.
d) Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak yang melekat
dengan kodrat manusia yang bila tidak ada, mustahil seseorang akan
hidup sebagai manusia.7

C. Rumusan Masalah

4
http://jurnal.una.ac.id/index.php/cj/article/view/1486/pdf Di Akses Pada Tanggal 15
Desember 2022.
5
Muhammad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2015),
hlm. 51.
6
Rahman Syamsyuddin, Pengantar Hukum Indonesia, (Kencana, 2019) hlm. 2
7
Fadli Andi Natsif, Hukum Kejahatan HAM, (Kencana, 2020) hlm. 18
7

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis


mengemukakan Rumusan Masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perspektif hukum pidana dan masyarakat di Makassar
mengenai euthanasia ?
2. Bagaimana status Hak Asasi Manusia ketika pihak medis
melakukan tindak euthanasia terhadap pasiennya ?

D. Kajian Pustaka Dan Penelitian Terdahulu


Sebelum melakukan penelitian mengenai “ EUTHANASIA
DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM PIDANA DAN UNDANG –
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI
MANUSIA “ peneliti menemukan buku dan jurnal yang berkaitan sebagai
pedoman dalam penelitian diantaranya :
1. Serri Hutahaean dalam bukunya “Dilematical Euthanasia”, buku
ini menjelaskan mengenai pro dan krontra seputar masalah
euthanasia dari pandangan hukum dan ham, namun tidak
menjelaskan secara terperinci mengenai Euthanasia Pasif yang
terjadi khususnya di Indonesia
2. Sutarno dalam bukunya “Hukum Kesehatan: eutanasia, keadilan,
dan hukum positif di Indonesia”, buku ini menjelasakan seberapa
kuat alasan dokter untuk mengakhiri pasien yang tidak memiliki
harapan hidup namun tidak terlalu terperinci
3. Muh. Amiruddin (2017) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul
“Perbandingan Pelaksanaan Euthanasia Di Negara Yang Menganut
Sistem Hukum Eropa Kontinental Dan Sistem Hukum Anglo
Saxon” menjelaskan mengenai pandangan hukum mengenai
euthanasia dari negara yang menganut sistem hukum eropa
kontinental dan sistem hukum anglo saxon, namun tidak
menjelaskan secata terperinci pada hukum yang berlaku di
Indonesia.
8

4. Lisnawaty Badu (2015) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul


“Euthanasia Dan Hak Asasi Manusia” menjelaskan mengenai
Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran,
namun tidak melihat dari prespektif masyarakat yang sudah tidak
mampu melajutkan hidupnya.

E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Dengan melihat rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan yang ingin
dicapai dengan masalah yang dibahas dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan hukum pidana menurut
masyarakat di Indonesia mengenai euthanasia.
2. Untuk mengetahui bagaimana status Hak Asasi Manusia ketika
pihak medis melakukan tindak euthanasia terhadap pasiennya.
1. Kegunaan Penelitian
a) Kegunaan ilmiah.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pencerahan dan
juga sebagai bahan wacana bagi masyarakat luas yang berada
disetiap daerah dan khususnya wilayah tempat penelitian serta
dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya dibidang Penegakan
Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia
b) Kegunaan prakatis.
Peneliti berharap agar penulisan ini dapat memberikan informasi
baru yang bermanfaat kepada masyarkat luas terkait dengan
masalah yang diangkat baik dalam perspektif Positivisme Hukum
maupun perspektif Hukum Islam terhadap kegiatan Euthanasia
yang dihubungkan dengan Hukum Pidana dan Undang – Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
9
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Tentang Euthanasia


1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara terminologis berasal dari bahasa Yunani yaitu eu
dan thanasia yang berarti kematian yang baik. Dalam bahasa inggris sering
disebut mercy killing. Sedangkan Encyclopedia American menyebutkan
bahwa Euthanasia adalah praktik untuk mengakhiri hidup agar bisa
membebaskan seseorang dari penderitaan yang tidak dapat disembuhkan 8.
Di Belanda disebutkan bahwa Euthanasia adalah dengan sengaja tidak
melakukan suatu usaha untuk memperpanjang hidup seseorang pasien atau
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan
itu sendiri. 9
Euthanasia dalam oxford english dictionary dirumuskan sebagai
kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus
penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan. Menurut Kamus
Kedokteran Dorland 10
Eutanasia mengandung dua pengertian, pertama, suatu kematian
yang mudah atau tanpa rasa sakit, kedua, pembunuhan dengan kemurahan
hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang
tidak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan
disengaja. Arti Harafiahnya sama dengan good death atau easy death.
Sering pula disebut mercy killing karena pada hakekatnya Eutanasia
merupakan tindakan pembunuhan atas dasar kasihan. Tindakan ini
dilakukan semata-mata agar seseorang meninggal lebih cepat, dengan
esensi:

8
http://repository.uki.ac.id/48/1/Eutanasia%20dan%20hak%20asasi%20manusia.pdf Di
Akses Pada Tanggal 15 Desember 2022.
9
Cecep Triwibowo. 2014. Etika Dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
10
Ibid

10
11

a. Tindakan menyebabkan kematian


b. Dilakukan pada saat seseorang itu masih hidup
c. Penyakitnya tidak ada harapan untuk sembuh
d. Motifnya belas kasihan karena penderitaan
e. Tujuannya mengakhiri penderitaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Eutanasia merupakan
tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk, (baik orang
ataupun hewan peliharaan) yang sakit berat atau luka parah dengan
kematian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan. 11
Menurut istilah kedokteran, Eutanasia berarti tindakan untuk
meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang yang
akan meninggal, juga berarti mempercepat kematian seseorang yang
berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat menjelang
kematiannya. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan Eutanasia
dalam tiga arti:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan,
buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberi obat penenang
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
2. Sejarah Eutanasia
Eutanasia telah banyak dilakukan sejak jaman dahulu dan banyak
memperoleh dukungan tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti Plato,
yang mendukung tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang
untuk mengakhiri penderitaan dari penyakit yang dialaminya; Aristoteles
yang membenarkan adanya membunuh anak yang berpenyakit dari lahir
dan tidak dapat hidup menjadi manusia yang perkasa; Phytagoras dan
kawan-kawan menyokong perlakuan pembunuhan pada orang-orang yang
lemah mental dan moral.

11
Ibid
12

Sejak Abad ke- 19, Eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan
pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa. Pada tahun 1828
Undang-Undang anti Eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New
York, yang pada beberapa tahun kemudia diberlakukan pula di beberapa
negara bagian yang lain. Setelah masa perang saudara, beberapa advokat
dan beberapa dokter mendukung dilakukannya Eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung Eutanasia mulanya terbentuk di
Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang
memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia Agresif, walaupun
demikian perjuangan untuk melegalkan Eutanasia tidak berhasil di
Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937, Eutanasia atas anjuran dokter
dilegalkan di Swiss sepanjang yang bersangkutan tidak memperoleh
keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika
menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa
orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan
Eutanasia oleh dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas
kasihan”.
Pada tahun 1939 pasukan Nazi Jerman melakukan suatun tindakan
kontroversial dalam suatu program Eutanasia terhadap anak-anak dibawah
umur tiga tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh,
ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tidak berguna.
Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 atau Action T4 yang pada masa
berikutnya diberlakukan juga terhadap anak-anak usia diatas tiga tahun
dan para orang jompo atau lansia. Setelah dunia menyaksikan kekejaman
Nazi dalam melakukan kejahatan Eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950
maka berkuranglah dukungan terhadap Eutanasia, terlebih-lebih lagi
terhadap tindakan Eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun
karena disebabkan oleh cacat genetika. Uruguay mencantumkan
kebebasan praktik Eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku
sejak tahun 1933.
13

Di beberapa negara Eropa, praktik Eutanasia bukan lagi kejahatan


kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai
kejahatan khusus12. Di Amerika serikat, bunuh diri atau membiarkan
dirinya dibunuh adalah melanggar hukum, satu-satunya negara yang dapat
melakukan tindakan Eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda.
Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta
tindakan Eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat
yang menjadi Anggotanya. Dalam praktik Medis, biasanya tidak dilakukan
Eutanasia Aktif, akan tetapi mungkin ada praktik-praktik medis yang dapat
digolongkan ke dalam Eutanasia Pasif.
Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah
terjadi di penghujung 2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan
euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri
penderitaan istrinya, namun permohonan itu ditolak oleh pengadilan.
Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, tindakan euthanasia
harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial
ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya
pengajuan euthanasia tidak sewenangwenang.13 Jadi, Eutanasia memang
dilarang di Indonesia, terutama untuk Eutanasia aktif dapat dipidana paling
lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak
mudah menjerat pelaku eutanasia pasif yang banyak terjadi.
3. Jenis-Jenis Eutanasia Menurut ahli hukum kedokteran
Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H.,M.H., Eutanasia dapat
dibedakan menjadi:
a. Eutanasia Aktif
Yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.

12
https://www.kompasiana.com/novitutu/550051c3a33311926f510b69/sejarah-eutanasia
Di Akses Pada Tanggal 19 Desember 2022.

13
https://www.hukumonline.com/klinik/a/euthanasia-cl2235 Di Akses Pada Tanggal 19
Desember 2022.
14

Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke


tubuh pasien.
b. Eutanasia Pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang atau memperlama
hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien
yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus
malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara
tidak langsung medis melakukan eutanasia dengan mencabut peralatan
yang membantu pasien untuk bertahan hidup.
c. Autoeutanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah
codicil (pernyataan tertulis). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia atas permintaan sendiri (APS).
Sedangkan Frans Magnis Suseno membagi Euthanasia menjadi
empat yaitu:
a. Eutanasia Murni Yaitu usaha untuk meringankan kematian seseorang
tanpa memperpendek kehidupannya. Di dalamnya termasuk semua
usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.
b. Eutanasia Pasif Tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik
kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang
kehidupan.
c. Eutanasia tidak langsung Usaha meringankan kematian dengan efek
samping bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di dalamnya
termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan
analgetika yang mungkin dapat memperpendek kehidupan walaupun
hal tersebut tidak disengaja.
15

d. Eutanasia aktif Proses kematian diringankan dengan memperpendek


kehidupan secara terarah dan langsung. Ini yang disebut sebagai mercy
killing. Dalam hal ini masi perlu dibedakan apakah pasien
menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana
keinginannya dapat diketahui.14
Dilihat dari orang yang membuat keputusan Eutanasia dibagi
menjadi :
a. Voluntary Euthanasia Jika yang membuat keputusan adalah orang
yang sakit dan atas kemauannya sendiri.
b. Involuntary Euthanasia Jika yang membuat keputusan adalah orang
lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma
medis.
Bila ditinjau dari cara pelaksanannya, Eutanasia dapat dibagi
menjadi dua kategori :
a. Eutanasia Agresif
Suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup
seorang pasien. Euthanasia Agresif dapat dilakukan dengan pemberian
suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalu
suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet
sianida.
b. Eutanasia Non Agresif
Disebut juga sebagai Euthanasia Otomatis, yaitu kondisi dimana
seseorang pasien menolak secara tegas dan sadar untuk tidak
menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa
penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
codicil (pernyataan tertulis).15

14
Triwibowo, Cecep. 2014. Etika & Hukum Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta.
15
Ibid
16

Ditinjau dari sudut pemberian izin maka Euthanasia dapat


digolongkan menjadi tiga yaitu :
a. Eutanasia di luar kemampuan pasien
Suatu tindakan Euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien
untuk tetap hidup. Tindakan Euthanasia semacam ini dapat disamakan
dengan tindak kejahatan pembunuhan.
b. Eutanasia secara tidak sukarela
Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau berhak
untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang
kerabat jauh dari si pasien.
c. Euthanasia secara sukarela
Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri. Selain Eutanasia, Leenen
menyebut ada keadaan yang mirip tindakan Eutanasia, tetapi bukan
Eutanasia, dan keadaan ini disebutnya sebagai Pseudo-Euthanasia atau
Eutanasia Semu, yang dirinci menjadi empat keadaan :
1. Mati batang otak (Pasien mengalami kehidupan vegetatif), hidup seperti
tumbuh tumbuhan, karena memperoleh tindakan suportif dengan bantuan
mesin.
2. Keadaan darurat yang tidak dapat diatasi karena keterbatasan pelayanan
kesehatan yang ada, misalnya pada kejadiankejadian luar biasa seperti
bencana alam.
3. Penghentian tindakan/perawatan medis yang tidak ada gunanya lagi
berdasarkan kriteria ilmu kedokteran.
4. Penolakan perawatan medis. 16

B. Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia


1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap
manusia yang dibawa sejak lahir. Sebagai hak dasar yang dimiliki oleh

16
Siregar, Syahadat, dan Abdul Halim Bin Ahmad. "Perlindungan Hukum Bagi Pasien
Korban Tindakan Mal Praktek Dokter." Legalitas: Jurnal Hukum 9.2 (2019): 198-205.
17

setiap manusia maka Negara wajib memberikan perlindungan. Hak


asasi manusia bukanlah hak yang mutlak atauabsolute. Dalam
pelaksanaannya HAM dibatasi oleh kebebasan orang lain, moral,
keamanan, dan ketertiban. Hak asasi manusia muncul dan menjadi
bagian dari peradaban dunia diilhami oleh rendahnya pengakuan dan
perlakuan terhadap harkat dan martabat manusia. Indonesia sebagai
Negara hukum sesuai dengan penjelasan UUD 1945 wajib memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri
Negara hukum. Perkembangan pesat akan pengakuan dan penghargaan
akan HAM di Indonesia dimulai sejak amandemen kedua UUD 1945
yang secara eksplisit memasukan ketentuan HAM menjadi bagian dari
batang tubuh UUD 1945. Pengakuan dan penghargaan HAM di
Indonesia di tindak lanjuti dengan upaya pemberian perlindungan
hukum kepada warga Negara dengan didirikannya Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang diikuti dengan
didirikannya Peradilan HAM di Indonesia.17
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu adalah kasih
karunia-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.18
Hak asasi manusia adalah hak hukum setiap orang sebagai
manusia. Hak-hak universal dan tersedia untuk semua orang, kaya atau
miskin, laki-laki atau perempuan. Hak-hak tersebut dapat dilanggar,
tetapi tidak pernah dapat dihilangkan. Hak asasi manusia adalah hak-
hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak ini adalah sah. Hak asasi manusia
dilindungi oleh Konstitusi dan hukum nasional di banyak negara di

17
Nurlia, Nurlia. Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia Terkait Vonis Hukuman Mati
terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana Satu Keluarga di Kota Makassar. Diss. Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar, 2021.
18
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
18

dunia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak-hak dasar yang
dibawa manusia sejak lahir sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia
bersifat universal dan abadi. Hak asasi manusia adalah hak-hak manusia
tidak seperti yang diberikan kepadanya oleh masyarakat. Jadi bukan
karena hukum positif, tetapi dengan martabat sebagai manusia.
2. Sejarah Dan Perkembangan HAM Di Indonesia
Sejarah perkembangan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia
sudah ada sejak lama. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum
bukan berdasarkan atas kekuasaan, hal ini dapat kita lihat dengan tegas
di dalam penjelasan UUD tahun 1945. Dalam negara hukum
mengandung pengertian setiap warga negara mempunyai kedudukan
yang sama di hadapan hukum, tidak ada satu pun yang mempunyai
kekebalan dan keistimewaan terhadap hukum. 19
Salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan keadilan di
tengah-tengah pergaulan masyarakat. Keterkaitan antara hak asasi
manusia dan hukum adalah keterkaitan yang erat, karena dalam
pelaksanaan hak asasi manusia adalah masuk ke dalam persoalan
hukum dan harus diatur melalui ketentuan hukum. Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia sumber dari tertib hukum adalah
Pancasila artinya dalam pembuatan suatu produk hukum haruslah
berlandaskan dan sesuai dengan kaedah Pancasila.
Sebagai suatu falsafah bangsa, Pancasila juga memberikan warna
dan arah, bagaimana seharusnya hukum itu diterapkan pada masyarakat
sehingga terciptanya suatu pola hidup bermasyarkat sesuai dengan
hukum dan Pancasila. Mengenai persoalan hak asasi manusia dalam
pandangan Pancasila bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan
ditempatkan dalam keluhuran harkat dan martabatnya dengan kesadaran

19
Syafi’ie, M. "Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan HAM
di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi." Jurnal Konstitusi 9.4 (2016): 681-712.
19

mengemban kodrat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang


dikaruniai hak, kebebasan dan kewajiban asasi di dalam kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Maka dapat dilihat kriteria
hak asasi manusia menurut Pancasila adalah hak dan kewajiban asasi
manusia, dimana hak dan kewajiban asasi ini melekat pada manusia
sebagai karunia Tuhan yang mutlak diperlukan dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Di samping Pancasila sebagai landasan filosofis, perlu dilihat UUD
tahun 1945 sebagai landasan konstitusional. Dalam membicarakan
UUD tahun 1945 haruslah melihat secara keseluruhan artinya melihat
UUD tahun 1945 dari pembukaan, batang tubuh dan penjelasannya.
Pembukaan UUD tahun 1945 merupakan sumber motivasi, sumber
inspirasi cita-cita hukum, cita-cita moral sebagai staatsfundamental
norm Indonesia. Pandangannya ini sesuai dengan bangsa Indonesia
yang telah menentukan jalan hidupnya sendiri sejak tanggal 17 Agustus
1945 sebagai tonggak sejarah dan indikasi bahwa Indonesia telah
melaksanakan prinsip-prinsip HAM, bahkan Indonesia telah
melaksanakan prinsip-prinsip HAM, bahkan berperan aktif dalam
kancah internasional baik di dalam maupun di luar forum PBB.
Peran Indonesia dalam perjuangan hak asasi internasional sejalan
dengan tekad bangsa Inodnesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD
tahun 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia, Indonesia telah
aktif dalam usaha menegakkan penghormatan hak-hak asasi manusia di
forum internasional sesuai dengan prinsipprinsip PBB.
Salah satu peran aktif di Indonesia yang penting, setelah
diterimanya Universal Declaration of Human Rights oleh negaranegara
yang tergabung dalam PBB tahun 1948, adalah diselengarakannya
Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang
menghasilkan Deklarasi Bandung yang memuat pernyataan sikap
negara-negara peserta bertekad untuk menjunjung tinggi:
20

a. Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang sesuai dengan


tujuan dan prinsip-prinsip Piagam PBB
b. Penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial semua
Negara
c. Pengakuan atas persamaan derajat semua ras dan semua bangsa
besar dan kecil
d. Tidak akan melakukan intervensi dan mempengaruhi urusan dalam
negara lain
e. Penghormatan atas hak setiap bangsa untuk mempertahankan
dirinya baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif sesuai dengan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam PBB
f. Menghindarkan diri dari penggunaan cara pertahanan kolektif
untuk kepentingan tertentu dari sikap kekuatan besar dan
menghindarkan diri dari tindak melakukan tekanan terhadap negara
lain
g. Menahan diri dari tindakan-tindakan atau penggunaan kekerasan
terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik setiap
Negara
h. Menyelesaikan segala sengketa internasional dengan cara damai
seperti negoisasi, konsiliasi, arbitrase atau pengadilan serta cara-
cara lain yang dipilih oleh para pihak sesuai dengan ketentuam
Piagam PBB
i. Menjunjung tinggi kepentingan timbal balik dan kerjasama
internasional dan menghormati prinsip keadilan dan kewajiban-
kewajiban internasional.20
Bagi bangsa Indonesia pelaksanaan HAM telah tercermin di dalam
Pembukaan UUD tahun 1945 dan batang tubuhnya yang menjadi
hukum dasar tertulis dan acuan untuk setiap peraturan hukum yang di
Indonesia. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pembukaan UUD

20
Widodo, Joko, and Kholifatul Ummah. "Keserasian Kovenan HAM Internasional
dengan Kovenan HAM Nasional Indonesia." Jurnal An Nuur 11.2 (2021).
21

tahun 1945 telah digali dari akar budaya bangsa yang hidup jauh
sebelum lahirnya Deklarasi HAM Internasional (The Universal
Declaration of Human Rights 1948).21
Pancasila adalah dasar yang melandasi segala hukum dan
kebijaksanaan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Hal ini
berarti Pancasila menjadi titik tolak pikir dan tindakan termasuk dalam
merumuskan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
HAM. Karena Pancasila merupakan akar filosofis jiwa dan budaya
bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku yang memiliki
berbagai macam corak budaya. Dasar-dasar pemikiran dan orientasi
Pancasila pada hakekatnya bertumpu pada dan nilai-nilai yang terdapat
dalam budaya bangsa.
Kebudayaan bangsa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia yang
terdiri dari kebudayaan tradisional yang telah hidup berabad-abad,
maupun kebudayaan yang sudah modern yang telah berakulturasi
dengan kebudayaan lain. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang
disebut HAM yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, hak tersebut tidak dapat diingkari.
Dilihat dari pilihan yang telah ditetapkan bersama terutama dari Bapak
Pendiri Bangsa yang bercita-cita terbentuknya negara hukum yang
demokratis, maka jiwa atau roh negara hukum demokratis tersebut ada
sejauh mana hak asasi itu dijalani dan dihormati.
Apabila dilihat UUD sebelum diamandemen, hak asasi tidak
tercantum dalam suatu piagam yang terpisah melainkan tersebar dalam
beberapa pasal. Jumlahnya terbatas dan diumumkan secara singkat.
Karena situasi yang mendesak pada kependudukan Jepang tidak ada
waktu untuk membicarakan HAM lebih dalam.
Lagipula, pada waktu UUD 1945 dibuat Deklarasi Hak Asasi
Manusia PBB belum lahir, HAM diatur di Pembukaan UUD 1945 yang
kemudian dijabarkan dalam Batang Tubuh yaitu pasal 26, pasal 27,

21
Ibid
22

pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 33, dan pasal 34. Dari
kajian pasal-pasal tersebut dikemukakan: HAM itu meliputi hak yang
bersifat klasik maupun yang bersifat sosial. HAM warganegara yang
bersifat klasik terdapat dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28, pasal 29 ayat
(2). Yang bersifat sosial dirumuskan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 31
ayat (1) dan pasal 24. Sedangkan rumusan dalam pasal 30 tidak
termasuk dalam HAM yang klasik maupun yang sosial.
HAM yang berkenaan dengan semua orang yang berkedudukan
sebagai penduduk tidak dirumuskan dengan hak melainkan dengan
kemerdekaan. Contohnya bunyi pasal 28 dan pasal 29 ayat (2). HAM
yang berkenaan dengan warga negara Indonesia dengan tegas dikatakan
“tidak”. Hal ini dapat dibaca dalam pasal 27 ayat (2), pasal 30 ayat (1)
dan pasal 31 ayat (1). Sebagian besar rakyat masih dalam keadaan serba
kekurangan (pendidikan dan kebutuhan hidup) atau tidak adanya
hukum atau peraturan positif aplikasi dalam kehidupan bernegara.
HAM di Indonesia sebagai pemikiran paradigma tidaklah lahir
bersamaan dengan Deklarasi HAM PBB 1948. Bahwa HAM bagi
bangsa Indonesia bukan barang asing terbukti dengan terjadinya
perdebatan yang terjadi dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sidang periode
pertama BPUPKI terbagai dua yaitu, pertama berlangsung dari tanggal
19 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945. Sidang periode kedua diselenggarakan
pada tanggal 10 sampai 16 Juli 1945. Sidang pertama BPUPKI
mendengar pidato Soekarno, Muhammad Yamin, Soepomo,
Muhammad Hatta terlihat perbedaan pandangan mereka mengenai
konsep-konsep “kebebasan” seperti di negara Barat.
Di lain pihak, Muhammad Hatta khawatir jika jaminan kebebasan
tidak dicantumkan dalam UUD, hak-hak masyarakat tidak akan ada
artinya dihadapan negara. Kemudian masih pada masa sidang kedua,
terjadi perdebatan langsung antara para tokoh tersebut. Dalam
rancangan undang-undang dasar yang sedang dibahas pada waktu itu
23

Muhammad Hatta tidak menemukan pasal tentang HAM dan


kebebasan, namun Soepomo menapik Muhammad Hatta, pasal-pasal
tersebut tidak perlu ada karena hanya akan memberikan peluang kepada
paham individualisme bukan kekeluargaan. Kemudian lahirlah pasal 27,
pasal 28 dan pasal 29 UUD tahun 1945.
Proses perumusan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sejak
awal pendekatan musyawarah mufakat sudah muncul sebagai fakta-
fakta sejarah yang menyangkut proses penyusunan pasal 28 UUD tahun
1945 diungkapkan oleh Muhammad Yamin. Hak-Hak Asasi Manusia
dalam UUD tahun 1945 UUD tahun 1945 sudah memuat beberapa hak
asasi manusai baik dalam Pembukaan maupun dalam Batang Tubuh.
Di dalam pembukanya yaitu mulai dari alinea I sampai alinea IV
semuanya mengatur tentang HAM, sedangkan dalam Batang Tubuh
UUD tahun 1945 HAM diatur dalam pasal: Dalam pasal 1 ayat (1)
dikatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa
negara kita adalah negara yang demokratis negara yang tidak mengakui
absolutisme yaitu bersifat sewenang-wenang oleh sebab itu ketentuan
ini mengakui hak manusia. Dalam pasal 27 ayat (1) yaitu pasal yang
menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Pasal ini menentukan
persamaan hak di depan hukum dan pemerintahan, persamaan untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28 yaitu yang mengatur kebebasan untuk berkumpul, berserikat
dan mengeluarkan pendapat. HAM dalam peraturan perundang-
undangan yaitu:
a. Dalam KUHP yaitu hak manusia tercantum dengan dianutnya asas
legalitas.
b. Dalam BW yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) anak yang di dalam
kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bilamana
kepentingan si anak menghendakinya.
24

c. UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 8


tahun 1981 yaitu KUHAP yang mengatur tentang perlindungan
HAM misalnya bantuan hukum, ganti ruhi maupun rehabilitasi.
d. UU No 9 tahun 1986 yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, di dalam
undang-undang ini pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi juga
terdapat pengaturan dalam pasal 4 yang menyatakan bahwa PTUN
adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa TUN (Tata Usaha Negara).
e. UU No 39 tahun 1999 tentang HAM UU No. 26 tahun 2000 tentang
Peradilan terhadap Pelanggaran HAM. Demikianlah perkembangan
sejarah HAM di Indonesia dan pengaturan yang dibuat dalam rangka
untuk menegakkan masyarakat damai dan sejahtera.
2. Ayat Tenyang Hak Asasi Manusia
Ayat ini menjelaskan bahwasanya islam sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah SWT Q.S Al-Isra ayat 70.

Terjemahanya :
Dan sesungguhnya telah kami mulyakan anak-anak adam, kami
angkut mereka didaratan dan dilautan, kami berika rezeki dari
yang baik-baik dan kami lebihkan mereka yang kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan. 22

22
https://mtsmu2bakid.sch.id/al-quran-dan-ham/ Di Akses Pada Tanggal 23
Desember 2022
25

C. Tinjauan Tentang Tindak Pidana


1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk
dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa
hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak
dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana,
sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah
dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah
yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.23
Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istilah Tindak
Pidana atau perbuatan pidana atau peristiwa pidana dengan istilah:
a. Strafbaar Feit adalah Peristiwa Pidana;
b. Strafbare Handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana, yang
digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan
c. Criminal Act diterjemahkan dengan istilah perbuatan kriminal
Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas
tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang masing-masing memiliki
arti:
1. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum
2. Baar diartikan sebagai dapat dan boleh
3. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan
perbuatan
Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana
atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa
asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan hukuman (pidana).24
23
https://eprints.umm.ac.id/38726/3/BAB%20II%20.pdf Di Akses Pada Tanggal 22
Desember 2022.

24
Ilyas, Amir. Asas-Asas Hukum Pidana. Rangkang Education Yogyakarta dan PuKAP-
Indonesia: Yogyakarta, 2012.
26

Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana


memberikan definisi mengenai delik, yakni suatu perbuatan atau
tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang (pidana).25
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana
a. Berdasarkan Sistem KUHP Tindak Pidana dibedakan menjadi
dua jenis yaitu kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan
pelanggaran yang dimuat dalam Buku III.
Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah
jenis pelanggaran lebih ringan daripada kejahatan. Hal ini dapat
diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang
diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan
denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan ancaman
pidana penjara. Kriteria lain yang membedakan antara kejahatan
dan pelanggaran yakni kejahatan merupakan delik-delik yang
melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya
secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan
in abstracto saja.
b. Berdasarkan cara merumuskannya Tindak Pidana dibedakan
antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti
larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan
tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan
timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat
penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada
perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya
pencurian ditentukan oleh selesainya perbuatan mengambil. Tindak
pidana materil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian

25
Andi Hamzah, Asas –Asas Hukum Pidana, Edisi Cet 3, Jakarta : Rineka Cipta, 2008.
27

rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang


dirumuskan itu adalah timbulnya akibat yang dilarang.
Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang
dilarang itulah yang yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.
Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materil, tidak
bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukannya,
tetapi sepenuhnya tergantung pada syarat timbulnya akibat
terlarang tersebut. Misalnya pada pasal 338 tentang pembunuhan,
seorang pelaku kejahatan yang menyebabkan korbannya
meninggal, baik itu dengan senjata api maupun senjata tajam dapat
dipidana apabila terbukti bahwa seseorang kehilangan nyawa
akibat perbuatannya.
c. Berdasarkan bentuk kesalahan Tindak pidana dibedakan antara
tindak pidana sengaja (dolus) dan tindak pidana dengan tidak
sengaja (culpa).
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung
unsur kesengajaan. Sedangkan tindak pidana dengan tidak sengaja
adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan
ketidaksengajaan atau mengandung unsur culpa.
d. Berdasarkan macam perbuatannya Tindak pidana dibedakan
menjadi tindak pidana commisionis, tindak pidana ommisionis dan
delicta commisionis per omisionem commissa atau tindak pidana
campuran.
Tindak pidana commisionis atau biasa disebut dengan
tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang dapat terjadi karena
melakukan suatu tindakan yang dilarang. Sedangkan tindak pidana
ommisionis atau biasa disebut dengan tindak pidana pasif adalah
tindak pidana yang terjadi karena tidak melakukan suatu tindakan
yang harus dilakukan. Tindak pidana campuran adalah melakukan
suatu tindakan yang sekaligus mencakup pengertian melakukan
28

sambil tidak melakukan sesuatu tindakan yang dilarang dan


diharuskan.
e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya Tindak pidana
dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana
terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau
waktu singkat saja disebut juga dengan aflopende delicten.
Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa,
sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni
setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung
terus, yang disebut juga dengan voordurende delicten.
f. Berdasarkan sumbernya Tindak pidana dibedakan antara tindak
pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang
dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil
(Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah
semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP seperti
UndangUndang Narkotika, Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan
sebagainya.
g. Berdasarkan sudut subjeknya Tindak pidana dibedakan antara
tindak pidana communia dan tindak pidana propria.
Tindak pidana communia adalah tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh semua orang sedangkan tindak pidana propria
adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
berkualitas tertentu seperti pegawai negeri pada kejahatan jabatan
dan nakhoda pada kejahatan pelayaran dan sebagainya.
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan
Tindak pidana dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak
pidana aduan.
29

Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk


dilakukannya penuntutan tidak memerlukan pengaduan dan tidak
dapat dicabut tuntutannya. Sedangkan tindak pidana aduan adalah
tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan diperlukan
pengaduan dari pihak yang berhak dan tuntutannya masih dicabut
oleh pihak yang dirugikan atau berhak.
i. Berdasarkan berat dan ringannya pidana yang diancamkan.
Tindak pidana dibedakan antara tindak pidana pokok,
tindak pidana diperberat dan tindak pidana diperingan. Tindak
pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya
semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada
bentuk yang diperberat dan diperingan, tidak mengulang kembali
unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut
kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya,
kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat
memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi Tindak pidana
sangat banyak macamnya, sangat tergantung pada kepentingan
hukum yang dilindungi dalam suatu peraturan perundang-
undangan.
k. Berdasarkan sudut berapa kali perbuatan tersebut dilakukan
untuk menjadi suatu larangan Tindak pidana dibedakan antara
tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya
tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu
kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP
adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud
dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai
30

selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan secara


berulang26
D. Tinjauan Tentang Masyarakat
1. Definisi Masyarakat
Masyarakat diambil dari kata bahasa Arab, yaitu musyrak
yang memiliki arti hubungan atau interaksi. Sehingga, bisa
dikatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia atau
individu yang hidup secara bersama-sama pada suatu tempat dan
saling berhubungan. Adapun secara umum, pengertian masyarakat
adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi
tertutup atau semi terbuka. Dengan kata lain, masyarakat
merupakan interaksi individu yang berada dalam kelompok
tersebut. Selain itu, masyarakat juga bisa disebut sebagai satu
kesatuan atau kelompok yang memiliki hubungan serta beberapa
kesamaan seperti sikap, perasaan, tradisi, dan budaya. Yang mana
kelompok tersebut membentuk suatu keteraturan.27
2. Fungsi Masyarakat
a. Fungsi adaptasi
Fungsi adaptasi menyangkut hubungan antara masyarakat
sebagai sistem sosial dengan sub-sistem organisme perilaku dan
dengan dunia fisik organik. Hal ini menyangkut penyesuaian
masyarakat terhadap kondisi lingkungan hidupnya.
b. Fungsi integrasi
Fungsi integrasi mencakup jaminan terhadap koordinasi yang
diperlukan antyara sistem sosial, khususnya yang berkaitan dengan
kontribusi pada organisasi dan berperannya keseluruhan sistem.
c. Fungsi mempertahankan

26
Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Rangkang Education Yogyakarta dan
PuKAP-Indonesia: Yogyakarta.
27
https://www.merdeka.com/jateng/mengenal-pengertian-masyarakat-beserta-fungsinya-
perlu-diketahui-kln.html Di Akses Pada Tanggal 22 Desember 2022.
31

Fungsi mempertahankan pola hal ini berkaitan dengan


hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub-
sistem kebudayaan. Hal itu, berarti mempertahankan prinsip-
prinsip tertinggi dari masyarakat. Karena diorientasikan pada
realita yang terakhir.
d. Fungsi pencapaian tujuan
Fungsi pencapaian tujuan menyangkut hubungan antar-
mayarakat sebagai sistem sosial sub-sistem aksi kepribadian.
Fungsi ini menyangkut penentuan tujuan-tujuan yang sangat
penting bagi masyarakat dan mobilisasi masyarakat untuk
mencapai.tujuan.tersebut.28

28
https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/22/131841969/masyarakat-
pengertian-ciri-ciri-dan-fungsi?page=all Di Akses Pada Tanggal 22 Desember 2022.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan lokasi Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni
penelitian kualitatif, metode penelitian yang menggambarkan semua data
atau keadaan subjek/objek penelitian (seorang, lembaga, masyarakat dan
lain-lain) kemudian dianalisa dan dibandingkan sesuai dengan kenyataan
yang sedang berlangsung pada saat ini dan selanjutnya mencoba
memberikan pemecahan masalah.dengan mengambil data lapangan (Field
Research). Penelitian ini akan dilakukan rumah sakit RS Tadjuddin
Chalid Makassar dan masyarakat, agar mendapatkan data yang relevan dan
akurat. 29
B. Pendekatan Penelitian

Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan alat analisis


deskriptif dengan menggunakan 2 pendekatan yakni:

1) Pendekatan Hukum
Penelitian ini menyangkut nilai sosial dalam suatu wilaya ibu kota
Provensi (Kotamadya) tertentu maka kiranya penulis merasa perlu untuk
melakukan pendekatan hukum khususnya dalam bidang pidana dan hukum Islam
agar dapat memahami dan menyimpulkan nilai hukum dan sosial dalam
kehidupan sehari-harinya.

2) Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis merupakan pendekatan yang digunakan untuk
mengkaji kehidupan sosial masyrakat, dengan cara menyelidiki pola tingkah laku
dalam masyarakat. Alasan peneliti menggunakan pendekatan ini karena berkaitan
dengan judul penelitian ini yang merupakan variable utamanya agar menemukan

29
J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis Karakteristik dan Keunggulannya
(Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia, 2010), h.9.

32
33

kemudahan dalam menanggapi problematikan hukum pidana dalam kehidupan


sosial masyarakat Kota Makassar.

C. Sumber Data
Sumber data yang akan digunakan oleh peneliti sebagai berikut :
1) Data primer
Data Primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber pertama di
lokasi Penelitian atau obyek penelitian.30
2) Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti dari sumber kedua
dari data primer atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan.31
3) Data tersier
Data tersier merupakan data yang diperoleh peneliti melalui sumber-
sumber yang terpublikasikan seperti media sosial, internet dan lainnya. Serta
sumber-sumber yang menjadi penunjang dalam membangun kerangka dalam
penelitian ini seperti penggunaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Wikipedia,
website pemerintah daerah dan artikel tentang perwakafan yang bersumber dari
internet dan sumber lainnya. Sehingga data tersier tersebut menjadi data
pelengkap.

D. Metode Penggumpulan Data


Metode penggumpulan data yang akan di gunaklan penulis sebagai
berikut:
1) Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan
responden 32 Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan melalui sistem tanya
jawab langsung dengan informan sehingga bisa menggali informasi-informasi
tambahan yang berkaitan dengan penelitian ini.

30
Burhan Bugin, Metodologi penelitian Kualitatif (Cet. IX; Jakarta: Kencana, 2019),
h.132.
31
Burhan Bugin, Metodologi penelitian Kualitatif , h. 132-133.
32
W. Gulo, Metodologi Penelitian (Jakarta: Gramedia Widasarana Indonesia, 2002), h.81.
34

Proses wawancara bertujuan untuk menggali secara mendalam sudut


pandang informan terhadap suatu obyek, sehingga terjadi interaksi antar peneliti
dan informan dengan mengadakan kegiatan mengumpulkan dan mengidentifikasi
permasalahan terlebih dahulu sebagai bahan kajian. Proses wawancara pada
umumnya dilakukan secara terstruktur dengan menyiapkan terlebih dahulu
pedoman wawancara, hal ini karena rata-rata peneliti tidak mengetahui
permasalahan secara spesifik. oleh karena itu kegiatan wawancara dalam peneitian
sangat penting karena bertujuan untuk menggali informasi sedalam-dalamnya dari
orang (informan) yang dianggap faham terhadap masalah yang diteliti sehingga
data yang diperoleh lebih lengkap.
2) Observasi
Observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk
mengamati tindakan, perilaku dan proses, observasi ini dilakukan untuk
mengamati keadaan di lapangan. 33
Observasi merupakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan
langsung tanpa mediator sesuatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang
dilakukan objek tersebut. Kegiatan observasi meliputi melakukan pengamatan dan
pencatatan secara sistematik sejumlah kejadian, perilaku, objek-objek yang dilihat
dan hal-hal lain yang sekiranya perlu demi mendukung penelitian. Observasi ini
bertujuan untuk melihat lansung bagaiman kehidupan sosial sehari-hari pada
objek penelitian.
3) Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data Kualitatif
dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek
atau orang lain tentang subjek.34 Mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis
dengan cara membaca literature, tulisan, maupun dokumen yang dianggap peneliti
berkenan dengan penelitian yang sedang diteliti.
4) Studi Kepustakaan

33
Nur Sayidah, Metodologi Penelitian: Disertai Dengan Contohnya Dalam Penelitian
(Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2018), h.84
34
Albi Anggita & Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi: CV.
Jejak, 2018), h. 153
35

Menggunakan atau melakukan penelitian terhadap dokumen atau


informasi yang di perlukan peneliti dalam penelitian disebut sebagai peneliti
kepustakaan.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan bagian yang penting dalam pola prosedur


penelitian, karena instrumen berfungsi sebagai alat bantu dalam mengumpulkan
data yang diperlukan.35 Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
prinsip dan kelaziman dalam langka-langkah penelitian kualitatif, yang dilakukan
secara sistematis dari awal sampai akhir. Prosesnya berlangsung secara alamiah
dan berkesan tidak kaku karena peneliti berperan sebagai instrumen dalam
penelitian ini.

Subjek penelitian kualitatif adalah pihak-pihak yang menjadi sasaran


penelitian atau sumber yang dapat memberikan informasi berkaitan dengan objek
penelitian yang dipilih sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini. Olehnya itu
subjek penelitian yang dimaksud adalah kawasan adata ammatoa kajang, tokoh
masyarakat atau masyarakat itu sendiri karena penelitian ini berkaitan dengan
nilai sosial dalam kawasan tersebut. Jadi berdasarkan uraian tersebut maka dapat
dilihat bahwa subjek yang diteliti ditentukan langsung oleh peneliti.

F.Teknik Pengelolahan Dan Analisis Data

Instrumen penelitian merupakan bagian yang penting dalam pola prosedur


penelitian, karena instrumen berfungsi sebagai alat bantu dalam mengumpulkan
data yang diperlukan.36 Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
prinsip dan kelaziman dalam langka-langkah penelitian kualitatif, yang dilakukan
secara sistematis dari awal sampai akhir. Prosesnya berlangsung secara alamiah
dan berkesan tidak kaku karena peneliti berperan sebagai instrumen dalam
penelitian ini.
35
Sendu Sitoyo, Dasar Metodologi Penelitian (Cet. I; Yogyakarta: Literasi Media
Publishing, 2015), h.78
36
Sendu Sitoyo, Dasar Metodologi Penelitian (Cet. I; Yogyakarta: Literasi Media
Publishing, 2015), h.78
36

Subjek penelitian kualitatif adalah pihak-pihak yang menjadi sasaran


penelitian atau sumber yang dapat memberikan informasi berkaitan dengan objek
penelitian yang dipilih sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini. Olehnya itu
subjek penelitian yang dimaksud adalah kawasan adata ammatoa kajang, tokoh
masyarakat atau masyarakat itu sendiri karena penelitian ini berkaitan dengan
nilai sosial dalam kawasan tersebut. Jadi berdasarkan uraian tersebut maka dapat
dilihat bahwa subjek yang diteliti ditentukan langsung oleh peneliti.
33
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Achadiat, Eutanasia yang semakin Kontroversial, (Jakarta: Terajana, 2002)


Albi Anggita & Johan Setiawan, Metodologi Penelitian Kualitatif (Sukabumi:
CV. Jejak, 2018)
Andi Hamzah, Asas –Asas Hukum Pidana, Edisi Cet 3, Jakarta : Rineka Cipta,
2008.
Burhan Bugin, Metodologi penelitian Kualitatif (Cet. IX; Jakarta: Kencana, 2019)
Cecep Triwibowo. 2014. Etika Dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Fadli Andi Natsif, Hukum Kejahatan HAM, (Kencana, 2020)
Ilyas, Amir. Asas-Asas Hukum Pidana. Rangkang Education Yogyakarta dan
PuKAP-Indonesia: Yogyakarta, 2012.
Jamalik abdul, Jamalik, Tanggung jawab Hukum seorang Dokter dalam
menangani Pasien, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990)
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005)
J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis Karakteristik dan Keunggulannya
(Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia, 2010)
Muhammad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media,
2015)
Nurlia, Nurlia. Analisis Hukum dan Hak Asasi Manusia Terkait Vonis Hukuman
Mati terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana Satu Keluarga di
Kota Makassar. Diss. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,
2021.
Nur Sayidah, Metodologi Penelitian: Disertai Dengan Contohnya Dalam
Penelitian (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2018)
Rahman Syamsyuddin, Pengantar Hukum Indonesia, (Kencana, 2019)
Sendu Sitoyo, Dasar Metodologi Penelitian (Cet. I; Yogyakarta: Literasi Media
Publishing, 2015)
Siregar, Syahadat, dan Abdul Halim Bin Ahmad. "Perlindungan Hukum Bagi
Pasien Korban Tindakan Mal Praktek Dokter." Legalitas: Jurnal
Hukum 9.2 (2019)
Syafi’ie, M. "Instrumentasi Hukum HAM, Pembentukan Lembaga Perlindungan
HAM di Indonesia dan Peran Mahkamah Konstitusi." Jurnal
Konstitusi 9.4 (2016)
Triwibowo, Cecep. 2014. Etika & Hukum Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta.
Widodo, Joko, and Kholifatul Ummah. "Keserasian Kovenan HAM Internasional
dengan Kovenan HAM Nasional Indonesia." Jurnal An Nuur 11.2
(2021).
Hermawati. “ EUTHANASIA DI INDONESIA”, Citra Justicia. Vol 20, No 2
(2019)
http://repository.uki.ac.id/48/1/Eutanasia%20dan%20hak%20asasi
%20manusia.pdf Di Akses Pada Tanggal 15 Desember 2022.
https://www.kompasiana.com/novitutu/550051c3a33311926f510b69/sejarah-
eutanasia Di Akses Pada Tanggal 19 Desember 2022.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/euthanasia-cl2235 Di Akses Pada
Tanggal 19 Desember 2022.
https://eprints.umm.ac.id/38726/3/BAB%20II%20.pdf Di Akses Pada Tanggal 22
Desember 2022.
https://www.merdeka.com/jateng/mengenal-pengertian-masyarakat-beserta-
fungsinya-perlu-diketahui-kln.html Di Akses Pada Tanggal 22
Desember 2022.
https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/22/131841969/masyarakat-
pengertian-ciri-ciri-dan-fungsi?page=all Di Akses Pada Tanggal 22
Desember 2022.

Anda mungkin juga menyukai