Anda di halaman 1dari 10

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018 ISSN 2355-987X (Print) ISSN 2622-061X (Online)

DOI: http://dx.doi.org/10.31289/jiph.v5i2.2183

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum


Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/gakkum

Prospektif Pengaturan Euthanasia Di Indonesia Ditinjau


Dari Perspektif Hak Asasi Manusia

The Prospective Of Euthanasia Settings In Indonesia


Reviewed From Human Rights Perspective

Endang Suparta
Dosen Universitas Islam Riau

Diterima: Oktober 2018; Disetujui: Januari 2019; Diterbitkan: Februari 2019

*Coresponding Email: endangsuparta@law.uir.ac.id


Abstrak
Membahas euthanasia dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia merupakan hal yang
sangat menarik mengingat dalam dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia memaknai hak hidup
sebagai salah satu hak yang sangat prinsipil, bahkan hak ini masuk dalam kategori non derogable right,
yakni hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan oleh siapapun. Persoalan euthanasia
memang pada dasarnya adalah suatu bentuk menghilangkan nyawa orang lain dengan cara yang tidak
menimbulkan rasa sakit dengan maksud meringankan beban penyakit dari yang bersangkutan, namun
dalam perspektif HAM, hak hidup sama sekali tidak boleh dihilangkan, sekalipun atas izin dari yang
bersangkutan, sehingga segala bentuk penghilangan hak hidup seseorang jelas merupakan sebuah
pelanggaran HAM yang tentu saja memiliki konsekuensi hukum bila hal tersebut dilakukan. Dari
berbagai macam perdebatan mengenai euthanasia, mulai dari sudut pandang HAM, Agama dan
prakteknya dibeberapa Negara, alangkah baiknya Indonesia tetap melarang perbuatan euthanasia,
dengan menuangkannya ke dalam suatu ketentuan hukum yang lebih tegas dan yang jauh lebih baik
dari pengaturan euthanasia sebagaimana terdapat dalam KUHP saat ini.
Kata Kunci: Euthanasia, Hak Asasi Manusia, Hak Hidup

Abstract
Discussing euthanasia in the perspective of human rights in Indonesia is very interesting considering that
in the Law on Human Rights it means the right to life as a very principle right, even this right is included in
the category of non-derogable right, that is the right cannot be reduced under any circumstances and by
anyone. The issue of euthanasia is basically a form of eliminating the lives of others in a way that does not
cause pain in order to alleviate the burden of disease from those concerned, but in a human rights
perspective, the right to life must not be eliminated, even with the permission of the person concerned, so
that all the form of eliminating a person's right to life is clearly a human rights violation which of course
has legal consequences if this is done. From various debates about euthanasia, starting from the point of
view of human rights, religion and practice in several countries, it would be good for Indonesia to prohibit
the act of euthanasia, by pouring it into a more strict legal provisions and far better than the regulation of
euthanasia contained in the recent KUHP.
Keywords: Euthanasia, Human Rights, The Right to Life

How to Cite: Suparta, E. (2018). Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
Manusia, 5 (2) 2018 : 76-85.

76
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.

PENDAHULUAN keadaan apapun, oleh siapapun, kapan dan


Konsepsi Indonesia sebagai sebuah dalam hal apapun.
Negara Hukum sebagaimana termuat Terkait dengan hak untuk hidup,
dalam Konstitusi telah memberikan memang acap kali menjadi perdebatan
jaminan yang tegas akan pentingnya serius dalam berbagai diskursus terkait
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia. Ada yang menyatakan
(HAM). Perlindungan terhadap HAM dalam bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi, dan
Konstitusi salah satunya terlihat dari ada yang berargumen bahwa hak untuk
jaminan yang diberikan Pasal 27 UUD hidup tidak dapat dikurangi dan dibatasi
1945 yang menyatakan bahwa ”setiap dalam bentuk apapun, karena merupakan
warga negara memiliki kedudukan yang hak tuhan untuk menentukan hidup
sama di hadapan hukum dan pemerintahan matinya seseorang.
itu dengan tidak ada kecualinya”. Prinsip Terkait persoalan kematian, menurut
yang sama juga ditemukan dalam Pasal cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan
28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan membedakan kedalam tiga jenis kematian,
bahwa “setiap orang berhak atas yaitu: 1) Orthothanasia, yaitu kematian
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan yang terjadi karena suatu proses alamiah;
kepastian hukum yang adil serta perlakuan 2) Dysthanasia, yaitu suatu proses
yang sama di hadapan hukum”. kematian yang secara tidak wajar; 3)
Dalam sebuah Negara Hukum Euthanasia, yaitu suatu kematian yang
menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, terjadi dengan pertolongan atau tidak
secara umum terdapat 4 unsur, dengan pertolongan dokter (Prakoso &
diantaranya: 1) Pengakuan dan Nirwanto, 1984)
perlindungan Hak-hak Asasi Manusia yang Jenis kematian yang ketiga inilah
mengandung persamaan dalam bidang yang menarik perhatian dunia dalam
politik, hukum, ekonomi, kultural, sosial beberapa dekade terakhir, terlebih setelah
dan pendidikan; 2) Peradilan yang bebas dilangsungkannya Konfrensi Hukum
dan tidak memihak serta tidak Sedunia. Dalam konfrensi tersebut,
dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau diadakan Sidang Peradilan Semu (sidang
kekuasaan lain apapun; 3) Legalisasi tiruan), mengenai “hak manusia untuk
dalam arti hukum dalam segala bentuk. mati”. Yang berperan dalam sidang
(Triwibowo, 20070. tersebut adalah tokoh-tokoh dibidang
Adanya jaminan dan perlindungan hukum dan kedokteran dari berbagai
terhadap HAM sebagaimana termuat negara didunia, sehingga mendapat
dalam konstitusi tersebut semakin perhatian yang sangat besar (Prakoso &
menegaskan akan pentingnya Nirwanto, 1984).
perlindungan terhadap hak setiap warga Hak kodrat dari manusia yang
Negara sebagai manusia yang merupakan terutama adalah “hak untuk hidup”.
mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Didalam pengertian “hak untuk hidup” ini
Adapun hak-hak tersebut antara lain: hak tercakup pula adanya “hak untuk mati”.
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak Mengenai “hak untuk hidup” telah diakui
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, oleh dunia, dengan dimasukkannya dan
hak beragama, hak untuk tidak diakuinya Universal Declaration of Human
diperbudak, hak untuk diakui sebagai Rights oleh PBB tanggal 10 Desember
pribadi dan persamaan di hadapan hukum, 1948. Sedangkan mengenai “hak untuk
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar mati”, karena tidak dicantumkan secara
hukum yang berlaku surut adalah hak tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam masih merupakan perdebatan dan
pembicaraan dikalangan ahli berbagai

77
Endang Suparta. Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi

bidang di dunia (Prakoso & Nirwanto, mempercepat waktu kematiannya dengan


1984). Walaupun telah diakui dalam melakukan euthanasia atau suntik mati
bidang perundang-undangan, namun (Prakoso & Nirwanto, 1984). Namun di
diakui bahwa “hak untuk mati” itu tidak lain sisi apabila hak untuk mati tersebut
bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam tidak dikabulkan maka akan menimbulkan
suatu keadaan tertentu, misalnya bagi pesoalan lain.
penderita suatu penyakit yang sudah tidak Kasus yang dialami oleh Agian Isna
dapat diharapkan lagi penyembuhannya Nauli (www.hukumonline.com diakses
dan pengobatan yang diberikan sudah tanggal 16 Pebruari 2017), merupakan
tidak berpotensi lagi. Bagi penderita suatu sebagian kisah yang terjadi di Indonesia,
penyakit yang sudah demikian tersebut, Istri dari Hassan Kusuma yang mendadak
diakui dan diperbolehkan menggunakan koma pasca melahirkan anak kedua secara
“hak untuk mati”nya, dengan jalan Cesar. Dia mengalami stroke saat
meminta kepada dokter untuk melahirkan, yang mana sebuah surat
menghentikan pengobatan yang selama ini permohonan untuk melakukan euthanasia
diberikan kepadanya, ataupun dengan pada tanggal 22 Oktober 2004 karena
jalan meminta agar diberikan obat tidak tega menyaksikan istrinya yang
penenang dengan dosis yang tinggi bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun,
(Prakoso & Nirwanto, 1984). terbaring koma selama dua bulan dan di
Sehubungan dengan pembicaraan samping itu ketidakmampuan untuk
mengenai hak untuk hidup dan hak untuk menanggung beban biaya perawatan
mati tersebut, menyangkut masalah merupakan sebuah persoalan yang
hukum pidana yang disebut sebagai mendera pihak keluarga bahkan suami
euthanasia. Ketentuan pasal dalam Kitab Agian terpaksa harus menjual semua
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) asset-asetnya demi kesembuhannya, dan
yang berkaitan dengan euthanasia, yakni berhenti dari pekerjaan untuk mengurus
Pasal 344 KUHP, “Barang siapa merampas Agian, namun Istri tidak kunjung sembuh,
nyawa orang lain atas permintaan orang sampai akhirnya Suami tidak tahu harus
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan berbuat apa mengingat biaya pengobatan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana yang semakin membengkak.
penjara paling lama dua belas tahun.” Kasus-kasus serupa dengan Agian
Penggunaan pasal tersebut bagi banyak sebenarnya, dimana keluarga
pihak-pihak yang dapat dikategorikan dilanda kebimbangan akan kondisi
sebagai “yang melakukan euthanasia” keluarganya yang tidak kunjung membaik
sebagai pihak yang telah melanggar hak, dan kecil harapan akan sembuh,
mutlak diperlukan karena yang menjadi sementara biaya pengobatan semakin
tujuan akhir dari hukum pidana adalah besar, dan tidak sepenuhnya ditanggung
melindungi masyarakat (manusia) dari oleh Negara, yang berujung keluarga harus
pihak-pihak yang hendak memperkosa menjual semua harta untuk
hak-haknya (harta dan nyawa). Persoalan menanggulangi biaya pengobatan, dan
kematian hingga saat ini merupakan tidak jarang harus berhutang keberbagai
misteri yang paling besar, dan ilmu pihak demi kesembuhannya, selain
pengetahuan belum berhasil menguaknya. persoalan biaya, seseorang juga berhak
Satu-satunya jawaban tersedia di dalam untuk menentukan bagiamana
ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari kematiannya dapat dilakukan secara
rangkaian kehidupan di dunia ini, bermartabat dan tanpa menanggung rasa
merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada sakit yang terlalu lama. Hal inilah yang
seorangpun yang berhak menunda semestinya menjadi salah satu
sedikitpun waktu kematiannya, termasuk pertimbangan oleh Negara ketika merevisi

78
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.

Ketentuan Hukum Pidana yang berkaitan pada umumnya bagi yang sedang
dengan Pasal-pasal Euthanasia, untuk menghadapi kematian dengan pertolongan
menentukan masih layak atau tidaknya dokter (Mariyanti, 1988)
ketentuan Euthanasia dipertahankan Belanda, salah satu negara di Eropa
dalam hukum pidana Indonesia, yang tentu yang maju dalam pengetahuan hukum
saja harus dikaji secara mendalam dari kesehatan mendefinisikan euthanasia
aspek hak asasi manusia. sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh
Euthanasia Study Group dari Ikatan Dokter
PEMBAHASAN Belanda: Euthanasia adalah dengan
Sejarah Euthanasia sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
Mengenai masalah euthanasia bila memperpanjang hidup seorang pasien
ditarik kebelakang boleh dikatakan sudah atau sengaja melakukan sesuatu untuk
ada sejak kalangan kesehatan menghadapi memperpendek hidup atau mengakhiri
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hidup seorang pasien dan ini dilakukan
sementara pasien sudah dalam keadaan untuk kepentingan pasien sendiri (Hanafi
merana dan sekarat. Dalam situasi & Amir, 1999)
demikian, tidak jarang pasien memohon Dalam sejarahnya, menurut Ilyas
agar dibebaskan dari penderitaan ini dan Efendi, pada zaman Romawi dan Mesir
tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi Kuno euthanasia pernah dilakukan oleh
atau dilain keadaan pada pasien yang dokter Olympus terhadap diri Ratu
sudah tidak sadar, kelurga orang sakit Cleopatra dari Mesir atas permintaan sang
yang tidak tega melihat pasien yang penuh ratu walaupun sebenarnya ia tidak sakit.
penderitaan menjelang ajalnya dan Cleopatra seorang ratu yang cantik dan
diminta kepada dokter untuk tidak seksi dapat menundukkan da pria perkasa
meneruskan pengobatan atau bila perlu dizamannya, yaitu Yulius Caesar dan
memberikan obat yang mempercepat Markus Antonius, penguasa Imperium
kematian. Dari sinilah euthanasia muncul, Romawi. Cleopatra memiliki ambisi yang
yaitu melepas kehidupan seseorang agar sangat besar untuk menaklukkan dan
terbebas dari penderitaan, atau mati menguasai dunia, akan tetapi ambisinya
secara baik (mati enak) (Prakoso & tidak tercapai karena orang yang
Nirwanto, 1984). diharapkannya memperjuangkannya
Secara bahasa, Euthanasia berasal melalui senat, yaitu Yulius Caesar, mati
dari bahsa Yunani, yaitu eu yang berarti terbunuh oleh kelompok yang terdiri dari
bagus, dan terhormat, sedangkan thanatos anak angkatnya sendiri yaitu Brutus.
yang berarti mati. Secara keseluruhan Orang Kedua yang menggantikan Yulius
kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai Caesar yakni Markus Antonius, yang juga
kematian yang wajar dan senang (Halimy, bertekuk lutut kepada sang ratu, gagal pula
1990). Jadi secara etimologis. Euthanasia meraih kemenangan dalam pertempuran,
dapat diartikan sebagai suatu karena ia dikalahkan oleh lawannya yaitu
pembunuhan atau upaya menghilangkan Oktavianus dan kemudian mati bunuh diri.
nyawa seseorang (Gunawan, 1992). Cleopatra yang merasa kecewa dan putus
Menurut Philo, Euthanasia berarti mati asa akhirnya meminta kepada dokter
dengan baik dan tenang, sedangkan Olympus untuk melakukan euthanasia
Seutonis penulis Romawi dalam bukunya terhadap dirinya. Dengan patokan ular
yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan beracun yang disiapkan oleh dokter
bahwa euthanasia berarti “mati cepat Olympus, Cleopatra akhirnya pada usia 38
tanpa derita”. Sejak awal abad 19 tahun meninggal dunia (Efendi, 1989)
terminologi Euthanasia dipakai untuk Euthanasia dalam dunia kedokteran
penghindaran rasa sakit dan peringanan merupakan sebuah usaha medis yang

79
Endang Suparta. Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi

dilakukan untuk mengantisipasi adalah mahkluk yang mulia yang harus


penyebaran penyakit, setelah usaha-usaa mampu menahan penderitaan dan lebih
penyembuhan medis gagal penting dari materi (Gunawan, 1992).
menyelamatkan pasien. Tindakan Euthanasia aktif ini dapat pula
euthanasia dilakukan kepada pasien yang dibedakan atas Euthanasia aktif langsung
tidak memiliki harapan untuk sembuh (direct) dan Euthanasia aktif tidak
secara medis, sehingga kemungkinan bisa langsung (indirect). Euthanasia aktif
bertahan hidup sangat kecil, bahkan tidak langsung adalah dilakukanya tindakan
ada sama sekali. Selain itu euthanasia juga medik secara terarah yang diperhitungkan
dilakukan untuk menghilankan akan mengakhiri hidup pasien, atau
penderitaan panjang akibat penyakit yang memperpendek hidup pasien. Jenis
tidak bisa diobati. Dalam prakteknya euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy
tindakan euthanasia dilakukan kepada killing. Sedangkan Euthanasia tidak aktif
pasien-pasien penderita penyakit akut dan langsung adalah dimana dokter atau
menular. Usaha ini dilakukan dengan tenaga kesehatan melakukan tindakan
memberikan suntikan mematikan, seperti medik untuk meringankan penderitaan
halnya yang dilakukan dalam hukman pasien,namun mengetahui adanya resiko
mati. Pemberian suntik mati dilakukan tersebut dapat memperpendek atau
setelah diagnose dokter dan pemeriksaan mengakhiri hidup pasien (Gunawan,
medis intensif menunjukan keharusan 1992).
untuk menghilangkan nyawa pasien Ditinjau dari permintaan, euthanasia
(http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/ dibedakan atas Euthanasia voluntir atau
Kontemporer/Euthanasia diakses pada euthanasia sukarela (atas permintaan
tanggal 2 November 2018) pasien) dan Euthanasia involuntir (tidak
Euthanasia bisa ditinjau dari atas permintaan pasien) (Gunawan, 1992).
beberapa sudut, salah satunya adalah cara Euthanasia atas permintaan pasien adalah
dilaksanakan, maka euthanasia dapat euthanasia yang dilakukan atas
dibedakan atas Euthanasia aktif dan permintaan pasien secara sadar dan
Euthanasia pasif. dilakukan berulang-ulang.
Euhanasia aktif suatu peristiwa Euthanasia tidak atas permintaan
dimana dokter atau tenaga kesehatan adalah euthanasia yang dilakukan pada
lainnya, secara sengaja melakukan suatu pasien yang (sudah) tidak sadar, dan
tindakan untuk memperpendek atau biasanya keluarga pasien yang
mengakhiri hidup seorang pasien. Apabila meminta.Ada yang melihat pelaksanaan
seorang dokter melihat pasiennya dalam euthanasia dari sudut lain dan
keadaan sangat menderita, karena membaginya atas 4 kategori, yaitu: 1)
penyakitnya yang sulit disembuhkan dan Tidak ada bantuan dalam proses kematian
menurut perkiraannya penyakit tersebut tanpa maksud memperpendek hidup
akan mengakibatkan kematian dan karena pasien; 2) Ada bantuan dalam proses
rasa kasihan terhadap penderita ia kematian tanpa maksud memperpendek
melakukan penyuntikan/tindakan medis hidup pasien; 3) Tidak ada bantuan dalam
untuk mempercepat kematiannya maka proses kematian dengan tujuan
perbuatan tersebut disebut sebagai memperpendek hidup pasien; 4) Ada
euthanasia aktif (Muslich, 2014) bantuan dalam proses kematian dengan
Praktek euthanasia aktif tidak dapat tujuan memperpendek hidup pasien
dibenarkan secara moral. Alasan-alasan (Amir, 1997).
melakukan euthanasia aktif tidak dapat Lain halnya dengan Euthanasia pasif,
dibenarkan, baik alasan penderitaan yang merupakan suatu keadaan dimana
maupun alasan ekonomi, sebab manusia seorang dokter atau tenaga medis lainnya

80
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.

tidak secara sengaja tidak memberikan Perspektif Hak Asasi Manusia Terkait
bantuan medis terhadap pasien yang dapat Euthanasia
memperpanjang hidupnya. Dalam hal ini HAM adalah hak-hak dasar yang
bukan berarti tindakan perawatan melekat pada diri manusia secara kodrati,
dihentikan sama sekali, melainkan tetap universal, dan abadi sebagai anugerah
diberikan dengan maksud untuk Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk
membantu pasien dalam fase hidupnya hidup, hak berkeluarga, hak
yang terakhir. Dalam euthanasia pasif, mengembangkan diri, hak keadilan, hak
dokter atau tenaga medis tidak kemerdekaan, hak komunikasi, hak
memberikan bantuan secara aktif untuk keamanan, dan hak kesejahteraan, yang
mempercepat proses kematian pasien. oleh karena itu tidak boleh diabaikan dan
Apabila seorang pasien menderita dirampas oleh siapapun. Bangsa Indonesia
penyakit dalam stadium akhir, yang menghormati setiap upaya suatu bangsa
menurut pendapat dokter tidak mungkin untuk menjabarkan dan mengatur hak
disembuhkan, maka kadang-kadang pihak asasi manusia sesuai dengan sistem nilai
keluarga, karena tidak tega melihat salah dan pandangan hidup masing-masing.
seorang anggota keluarganya berlama- Bangsa Indonesia menjunjung tinggi dan
lama menderita di rumah sakit, lantas, menerapkan HAM sesuai dengan Pancasila
mereka meminta kepada dokter untuk sebagai pandangan hidup bangsa (Effendi,
menghentikan pengobatan, tindakan 1994). Pasca adanya jaminan tersebut, hak
penghentian pengobatan ini termasuk hidup mendapatkan jaminan penuh dan
euthanasia pasif (Muslich, 2014) dilindungi oleh Konstitusi.
Untuk mewujudkan kematian Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
tersebut ada beberapa pihak yang 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak
mempunyai andil didalamnya. Pihak-pihak hidup termasuk dalam kebebasan dasar
tersebut diantaranya dokter, pasien, manusia. Pasal 9 ayat (1) menyatakan
keluarga pasien dan pihak ketiga yang bahwa “setiap orang berhak untuk hidup,
mempunyai kaitan langsung dengan mempertahankan hidup dan
proses penyembuhan seorang pasien. meningkatkan kehidupannya”. Dalam
Untuk pihak yang ketiga ini dapat Undang-Undang HAM tersebut, hak hidup
dialamatkan bagi petugas apotik yang tidak hanya menyangkut persoalan
telah tidak meramu obat-obatan sesuai kebebasan untuk bernafas dan menjalani
dengan resep dokter dan para medis yang kehidupan, tetapi di dalamnya juga
telah melakukan hal-hal nyang tidak sesuai mencakup hak untuk meningkatkan
dengan arahan dokter. Khusus bagi dokter, kualitas kehidupan yang layak sesuai
ia dapat menjadi peran utama dalam ketentuan yang berlaku.
mewujudkan “euthanasia” sebagai salah Sedangkan dalam Deklarasi Universal
satu terwujudnya “mercy killing”. Peran Hak Asasi Manusia, pada Pasal 3
dan tindakan dokter tersebut, seperti menyatakan bahwa “setiap orang berhak
membiarkan seorang pasien yang atas kehidupan, kemerdekaan dan
seharusnya mendapatkan perawatan keselamatan pribadinya. Jaminan akan hak
(pasif), memberikan obat yang terlalu hidup manusia akan berimbas kepada
rendah atau terlalu tinggi dosisnya (aktif), realisasi hak lain yang dimiliki manusia,
memberikan obat yang tidak sesuai sebab hak asasi manusia lainnya akan
dengan peruntukan (Amir, 1997) berjalan apabila hak hidup telah di
realisasikan. Jaminan Konstitusi dan
Peraturan perundang-undangan
menunjukkan komitmen bangsa Indonesia
untuk menjunjung tinggi HAM. Sebagai

81
Endang Suparta. Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi

bangsa yang merdeka dan berdaulat, orang demi kehormatan serta


Indonesia menempatkan HAM sebagai perlindungan harkat dan martabat
bagian dari tatanan masyarakat berbangsa manusia. Dalam Undang-Undang HAM
dan bernegara, sehingga pelaksanaan HAK terutama dalam Pasal 4, pada intinya
mendapat jaminan penuh. memaknai hak hidup sebagai salah satu
Hal tersebut diperjelas dalam hak yang sangat prinsipil, bahkan hak ini
penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. 39 masuk dalam kategori non derogable right,
tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan yakni hak yang tidak dapat diganggu gugat
bahwa “setiap orang memiliki hak hidup, dalam kondisi apapun dan oleh siapapun.
hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan Persoalan euthanasia memang pada
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak dasarnya adalah suatu bentuk
beragama, hak untuk tidak diperbudak, menghilangkan nyawa orang lain, namun
hak untuk diakui sebagai pribadi dan dengan cara yang tidak menimbulkan rasa
persamaan dihadapan hukum dan hak sakit, namun dalam perspektif HAM, hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum hidup sama sekali tidak boleh dihilangkan,
yang berlaku surut adalah hak asasi sekalipun atas izin dari yang bersangkutan,
manusia yang tidak bisa dikurangi dalam sehingga segala bentuk penghilangan hak
keadaan apapun dan oleh siapapun”. Hak hidup seseorang jelas merupakan sebuah
atas kehidupan bahkan melekat pada bayi, pelanggaran HAM yang tentu saja memiliki
dengan adanya larangan abortus, hal konsekuensi hukum bila hal tersebut
tersebut semata-mata dikarenakan dilakukan
penghargaan manusia sebagai mahluk Pandangan dari penentang
Tuhan. pemberlakuan euthanasia bersandar
Manusia sebagai makhluk Tuhan kepada DUHAM yang didalamnya
Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi menjamin hak asasi manusia, namun tidak
hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa satupun terdapat mengenai hak untuk
perbedaan antara satu dengan yang mati (Effendi, 2005). Pandangan atau
lainnya. Dengan hak asasi tersebut, konsep baru tentang sebutan hak untuk
manusia dapat mengembangkan diri mati merupakan sesuatu hal yang sangat
pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi ganjil, sehingga mengundang banyak minat
kesejahteraan hidup manusia. Manusia dari para ahli untuk
adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa memperbincangkannya. Konsep mengenai
yang berperan sebagai pengelola dan hak untuk mati inipun menjadi topik yang
pemelihara alam secara seimbang dan menimbulkan banyak pro dan kontra
serasi dalam ketaatan kepada-Nya. karena hak untuk mati ini dipandang telah
Manusia dianugerahi hak asasi dan tercakup pengertiannya dalam hak untuk
memiliki tanggung jawab serta kewajiban hidup yang selama ini telah diketahui
untuk menjamin keberadaan, harkat, dan secara jelas. HAM selalu dikaitkan dengan
martabat kemuliaan manusia, serta hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi
menjaga keharmonisan kehidupan tidak tercantum dengan jelas adanya hak
(Effendi, 2005). seseorang untuk mati. Mati sepertinya
Membahas euthanasia dalam justru dihubungkan dengan pelanggaran
perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) di HAM. Hal ini terbukti dari aspek hukum
Indonesia merupakan hal yang sangat euthanasia, yang cenderung menyalahkan
menarik mengingat dalam dalam Undang- tenaga medis dalam euthanasia.
Undang Hak Asasi Manusia, HAM diartikan Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk
sebagai hak kodrati yang wajib dihormati, hidup layak dan sebagainya, secara tidak
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh langsung seharusnya terbersit adanya hak
Negara, hukum, Pemerintah dan setiap untuk mati, apabila dipakai untuk

82
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.

menghindarkan diri dari segala ketidak https://www.google.com/search?q=eutha


nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala nasia+dari+beberapa+pandangan&source
penderitaan yang hebat =lnms&sa=, diakses tanggal 3 Oktober
(http://irnatilamuhu.blogspot.com diakses 2018.)
tanggal 3 Oktober 2018). Dari berbagai macam perdebatan
Tidak jauh berbeda dengan sudut mengenai euthanasia, mulai dari sudut
pandang HAM, mayoritas agamapun pandang HAM, Agama dan prakteknya
melarang dilakukannya euthanasia antara dibeberapa Negara, alangkah baiknya
lain Ajaran Katolik Roma, Hindu, Islam, Indonesia tetap melarang perbuatan
Budha, Gereja Ortodok, Kristen Prosten, euthanasia, dengan menuangkannya ke
dan Yahudi yang pada intinya memiliki dalam suatu ketentuan hukum yang lebih
kesamaan pandangan bahwa hak hidup tegas, hal tersebut semata-mata dilakukan
adalah domain tuhan yang tidak boleh untuk menghargai harkat dan martabat
dicampuri dan wajib dilindungi manusia serta menghargai hak hidup
dikarenakan hakikat manusia sebagai manusia yang tidak boleh dikurangi dalam
mahluk tuhan, dan bagi yang merampas kondisi apapun. Separah apapun penyakit
nyawa manusia dipandang sebagai yang diderita seorang pasien, bukan
perbuatan yang sangat dilarang dan berarti tidak ada harapan akan sembuh
diancam dengan neraka sama sekali, apalagi saat ini terjadi
(https://www.google.com/search?q=eutha perkembangan yang pesat dalam dunia
nasia+dari+beberapa+pandangan&source kedokteran dan obat-obatan, sehingga
=lnms&sa=, diakses tanggal 3 Oktober tidak boleh ada alasan apapun untuk
2018). menghilangkan nyawa manusia dengan
Terlepas dari berbagai pandangan dalih apapun di Indonesia.
Agama terkait euthanasia, sejauh ini Berkaca dari kasus yang menimpa
euthanasia diperbolehkan dilakukan oleh Again Isna Nauli (www.hukumonline.com
beberapa Negara yakni Belanda, Australia, diakses tanggal 16 Pebruari 2018),
Belgia, di negara bagian Oregon di merupakan sebagian kisah yang terjadi di
Amerika, Kolombia, Inggris, India, Jepang, Indonesia, Istri dari Hassan Kusuma yang
Afrika Selatan, Korea, Ceko, India, China mendadak koma pasca melahirkan anak
dan Swiss, kebanyakan Negara yang kedua secara Cesar. Dia mengalami stroke
memperbolehkan euthanasia biasanya saat melahirkan, yang mana sebuah surat
mensyaratkan bahwa euthanasia yang permohonan untuk melakukan euthanasia
tidak dihukum apabila dilakukan secara pada tanggal 22 Oktober 2004 karena
sukarela atas permintaan pasien hal ini tidak tega menyaksikan istrinya yang
sebagai bentuk pengakomodiran hak bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun,
pasien untuk menentukan nasibnya terbaring koma selama dua bulan dan di
sendiri, meskipun demikian permintaan samping itu ketidakmampuan untuk
euthanasia harus melalui mekanisme yang menanggung beban biaya perawatan
ditentukan oleh masing-masing hukum di merupakan sebuah persoalan yang
Negara tersebut seperti mengajukan izin mendera pihak keluarga bahkan suami
ke pengadilan atau kongres, apabila Agian terpaksa harus menjual semua
disetujui baru euthanasia dapat dilakukan, asset-asetnya demi kesembuhannya, dan
apabila tidak akan dianggap sebagai berhenti dari pekerjaan untuk mengurus
sebuah pembunuhan bila perbuatan Agian, namun Istri tidak kunjung sembuh,
tersebut tetap dilakukan. Namun banyak sampai akhirnya Suami tidak tahu harus
juga beberapa negara yang menyatakan berbuat apa mengingat biaya pengobatan
sebagai kejahatan seperti di Spanyol, yang semakin membengkak. Pasca
Jerman dan Denmark pemerintah menolak permintaan

83
Endang Suparta. Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi

euthanasia dan kemudian mengambil alih atas permintaan keluarga dalam hal orang
seluruh biaya pengobatan, seiring itu sendiri tidak sadar dipidana penjara
berjalannya waktu 1,5 tahun kemudian paling lama 9 tahun”. RUU KUHP sendiri
Agian sadar dari komanya dan tidak mentolerir dilakukannya perbuatan
menunjukkan kondisi kesehatan yang euthanasia, hal tersebut semata-mata
semakin membaik. Kasus Agian untuk menjaga agar tidak ada
mengajarkan semua pihak bahwa tidak penghilangan nyawa manusia, sekalipun
ada yang tidak mungkin, sekalipun dalam dengan maksud ingin mengurangi
kondisi yang kritis, seseorang tetap punya penderitaan seseorang.
hak harapan untuk hidup dan tidak ada Rumusan Pasal 445 RKUHP inipun
yang berhak untuk mengambil hak hidup masih terdapat banyak kekurangan
karena hak hidup merupakan hak yang dikarenakan rumusan pasalnya tidak
tidak dapat dikurangi dalam kondisi membedakan antara euthanasia aktif dan
apapun dan bagaimanapun euthanasia pasif padahal antara unsur
Secara yuridis formal, dalam hukum perbuatan aktif dengan pasif pastilah dua
positif di Indonesia hanya dikenal dua hal yang berbeda, disamping itu rumusan
bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang pasal ini juga membuka peluang
dilakukan atas permintaan korban/pasien pengaturan yang lebih ringan terhadap
dan euthanasia yang dilakukan dengan “pembunuh” dikarenakan adanya frasa “….
sengaja tidak memberikan pertolongan atau atas permintaan keluarga dalam hal
terhadap pasien atau korban sebagaimana orang itu sendiri tidak sadar”. Semestinya
diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 apabila perbuatan tersebut dilakukan
yang merumuskan sebagai berikut: ketika yang bersangkutan tidak sadarkan
“Barang siapa menghilangkan nyawa orang diri, maka terhadap pelakunya dapat
lain atas permintaan orang itu sendiri yang dijerat dengan Pasal Pembunuhan
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, biasa/berencana, dikarenakan dorongan
dipidana dengan pidana penjara paling untuk diambil nyawanya bukanlah datang
lama 12 tahun.” Pasal 344 KUHP seringkali dari orang (pasien) yang bersangkutan,
dikaitkan dengan euthanasia yang melainkan dari orang diluar dirinya,
dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga padahal belum tentu juga orang yang di
medis atas dasar permintaan pasien yang euthanasiakan itu betul-betul
bersangkutan. Tindakan menghilangkan menginginkan dirinya untuk “dimatikan”,
nyawa orang lain sebagaimana disebutkan selain itu ancaman hukuman dalam pasal
dalam Pasal 344 KUHP memang tidak ini jauh lebih rendah daripada yang diatur
menyebutkan secara tegas bahwa dokter oleh KUHP saat ini, beberapa kekurangan
dan atau tenaga kesehatan merupakan inilah yang menurut pendapat penulis
pihak yang bersalah dalam melakukan harus diperbaiki dan disempurnakan .
euthanasia. Kepastian mengenai euthanasia ini
Tidak hanya dalam KUHP, dalam RUU merupakan hal yang sangat penting bagi
KUHP pasien yang mengalami penderitaan
(https://antikorupsi.org/sites/default/file (kritis), maupun keluarga pasien, selain
s/doc//RUU%20KUHP_2013.pdf diakses itu, pada hakikatnya hukum juga
pada Selasa tanggal 2 Oktober 2018) pun menghendaki adanya penataan hubungan
euthanasia masih dianggap hal yang antar manusia, termasuk juga dalam hal ini
dilarang sebagaimana terdapat dalam adalah hubungan antara dokter dan
Pasal 445 menyebutkan “barang siapa pasien, sehingga kepentingan masing-
merampas nyawa orang lain atas masing dapat terjamin dan tidak ada yang
permintaan orang itu sendiri yang jelas terlanggar. Euthanasia harus dimasukkan
dinyatakan dengan kesungguhan hati atau dalam KUHP agar ada ketentuan yang

84
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.

secara tegas unsur-unsur pidana dan Effendi. (1994). Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi
sanksi yang tegas baik bagi dokter maupun Hukum Nasional Dan Hukum Internasional,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
dari keluarga pasien, karena euthanasia Faridhi, A. (2017). Penguji Peraturan Perundang-
menyangkut persoalan nyawa seseorang undangan Tunggal Keniscayaan. JURNAL
yang dalam hukum Indonesia harus MERCATORIA, 10(2), 180-196.
dijunjung tinggi dan tak boleh dihilangkan Gunawan. (1992). Memahami Etika Kedokteran,
dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun. Yogyakarta: Kanisius,.
Halimy, I. (1990). Euthanasia, Ramadani, Solo.
Hanafi, M.J. & Amir, A. (1999), Etika Kedokteran dan
SIMPULAN Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC.
Euthanasia sebagai cara yang http://irnatilamuhu.blogspot.com diakses tanggal 3
dianggap untuk mengurangi penderitaan Oktober 2018.
pasien yang menghadapi penyakit yang http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontempo
rer/Euthanasia diakses pada tanggal 2
sukar disembuhkan dalam berbagai November 2018
ketentuan Hak Asasi Manusia di Indonesia https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc//R
dianggap sebagai perbuatan melanggar UU%20KUHP_2013.pdf diakses pada Selasa
hukum, dikarenakan hak hidup merupakan tanggal 2 Oktober 2018
hak yang tidak dapat dikurangi dalam https://www.google.com/search?q=euthanasia+da
ri+beberapa+pandangan&source=lnms&sa=,
keadaan dan kondisi apapun, serta dalih diakses tanggal 3 Oktober 2018.
apapun, sehingga alasan demi kepentingan Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
seseorang dan untuk mengurangi tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
penderitaannya tidak dapat diterima oleh undangan, Lembaran Negara Republik
hukum di Indonesia. Sejalan dengan itu Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Indonesia sudah punya piranti hukum Nomor 5234.
yang cukup mumpuni untuk menjerat Jurnal Pemilu dan Demokrasi, (2012). Memperkuat
pelaku euthanasia, dan dalam Rancangan Sistem Pemutakhiran Daftar Pemilih, Jakarta:
KUHP juga tetap dipertahankan eksistensi Yayasan Perludem.
pasal terkait euthanasia, namun dengan Mariyanti, N. (1988), Malapraktek Kedokteran Dari
Segi Hukum Pidana Dan Hukum Perdata,
beberapa perbaikan sebagaimana yang Jakarta: Bina Aksara.
penulis sarankan Muslich, A.M. (2014). Euthanasia Menurut Hukum
Positif dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo
DAFTAR PUSTAKA Persada, Jakarta.
Amir, A. (1997), Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2016
Jakarta: Widya Medika. Prakoso, D. & Nirwanto, D.A. (1984). Euthanasia
Efendi, I. (1989). Euthanasia Ratu Cleopatra Dua Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana,
Puluh Abad Lalu, dalam Majalah Kartini No. Jakarta
369, Edisi 9, 22 Januari 1990. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-
Effendi, M. (2005), Perkembangan Dimensi Hak VII/2009.
Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Supriyanto & Wulandari. (2013). Basa Basi Dana
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Kampanye, Jakarta: Yayasan Perludem.
Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 258. www.hukumonline.com diakses tanggal 16
Pebruari 2017.

85

Anda mungkin juga menyukai