DOI: http://dx.doi.org/10.31289/jiph.v5i2.2183
Endang Suparta
Dosen Universitas Islam Riau
Abstract
Discussing euthanasia in the perspective of human rights in Indonesia is very interesting considering that
in the Law on Human Rights it means the right to life as a very principle right, even this right is included in
the category of non-derogable right, that is the right cannot be reduced under any circumstances and by
anyone. The issue of euthanasia is basically a form of eliminating the lives of others in a way that does not
cause pain in order to alleviate the burden of disease from those concerned, but in a human rights
perspective, the right to life must not be eliminated, even with the permission of the person concerned, so
that all the form of eliminating a person's right to life is clearly a human rights violation which of course
has legal consequences if this is done. From various debates about euthanasia, starting from the point of
view of human rights, religion and practice in several countries, it would be good for Indonesia to prohibit
the act of euthanasia, by pouring it into a more strict legal provisions and far better than the regulation of
euthanasia contained in the recent KUHP.
Keywords: Euthanasia, Human Rights, The Right to Life
How to Cite: Suparta, E. (2018). Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
Manusia, 5 (2) 2018 : 76-85.
76
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.
77
Endang Suparta. Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
78
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.
Ketentuan Hukum Pidana yang berkaitan pada umumnya bagi yang sedang
dengan Pasal-pasal Euthanasia, untuk menghadapi kematian dengan pertolongan
menentukan masih layak atau tidaknya dokter (Mariyanti, 1988)
ketentuan Euthanasia dipertahankan Belanda, salah satu negara di Eropa
dalam hukum pidana Indonesia, yang tentu yang maju dalam pengetahuan hukum
saja harus dikaji secara mendalam dari kesehatan mendefinisikan euthanasia
aspek hak asasi manusia. sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh
Euthanasia Study Group dari Ikatan Dokter
PEMBAHASAN Belanda: Euthanasia adalah dengan
Sejarah Euthanasia sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
Mengenai masalah euthanasia bila memperpanjang hidup seorang pasien
ditarik kebelakang boleh dikatakan sudah atau sengaja melakukan sesuatu untuk
ada sejak kalangan kesehatan menghadapi memperpendek hidup atau mengakhiri
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hidup seorang pasien dan ini dilakukan
sementara pasien sudah dalam keadaan untuk kepentingan pasien sendiri (Hanafi
merana dan sekarat. Dalam situasi & Amir, 1999)
demikian, tidak jarang pasien memohon Dalam sejarahnya, menurut Ilyas
agar dibebaskan dari penderitaan ini dan Efendi, pada zaman Romawi dan Mesir
tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi Kuno euthanasia pernah dilakukan oleh
atau dilain keadaan pada pasien yang dokter Olympus terhadap diri Ratu
sudah tidak sadar, kelurga orang sakit Cleopatra dari Mesir atas permintaan sang
yang tidak tega melihat pasien yang penuh ratu walaupun sebenarnya ia tidak sakit.
penderitaan menjelang ajalnya dan Cleopatra seorang ratu yang cantik dan
diminta kepada dokter untuk tidak seksi dapat menundukkan da pria perkasa
meneruskan pengobatan atau bila perlu dizamannya, yaitu Yulius Caesar dan
memberikan obat yang mempercepat Markus Antonius, penguasa Imperium
kematian. Dari sinilah euthanasia muncul, Romawi. Cleopatra memiliki ambisi yang
yaitu melepas kehidupan seseorang agar sangat besar untuk menaklukkan dan
terbebas dari penderitaan, atau mati menguasai dunia, akan tetapi ambisinya
secara baik (mati enak) (Prakoso & tidak tercapai karena orang yang
Nirwanto, 1984). diharapkannya memperjuangkannya
Secara bahasa, Euthanasia berasal melalui senat, yaitu Yulius Caesar, mati
dari bahsa Yunani, yaitu eu yang berarti terbunuh oleh kelompok yang terdiri dari
bagus, dan terhormat, sedangkan thanatos anak angkatnya sendiri yaitu Brutus.
yang berarti mati. Secara keseluruhan Orang Kedua yang menggantikan Yulius
kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai Caesar yakni Markus Antonius, yang juga
kematian yang wajar dan senang (Halimy, bertekuk lutut kepada sang ratu, gagal pula
1990). Jadi secara etimologis. Euthanasia meraih kemenangan dalam pertempuran,
dapat diartikan sebagai suatu karena ia dikalahkan oleh lawannya yaitu
pembunuhan atau upaya menghilangkan Oktavianus dan kemudian mati bunuh diri.
nyawa seseorang (Gunawan, 1992). Cleopatra yang merasa kecewa dan putus
Menurut Philo, Euthanasia berarti mati asa akhirnya meminta kepada dokter
dengan baik dan tenang, sedangkan Olympus untuk melakukan euthanasia
Seutonis penulis Romawi dalam bukunya terhadap dirinya. Dengan patokan ular
yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan beracun yang disiapkan oleh dokter
bahwa euthanasia berarti “mati cepat Olympus, Cleopatra akhirnya pada usia 38
tanpa derita”. Sejak awal abad 19 tahun meninggal dunia (Efendi, 1989)
terminologi Euthanasia dipakai untuk Euthanasia dalam dunia kedokteran
penghindaran rasa sakit dan peringanan merupakan sebuah usaha medis yang
79
Endang Suparta. Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
80
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.
tidak secara sengaja tidak memberikan Perspektif Hak Asasi Manusia Terkait
bantuan medis terhadap pasien yang dapat Euthanasia
memperpanjang hidupnya. Dalam hal ini HAM adalah hak-hak dasar yang
bukan berarti tindakan perawatan melekat pada diri manusia secara kodrati,
dihentikan sama sekali, melainkan tetap universal, dan abadi sebagai anugerah
diberikan dengan maksud untuk Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk
membantu pasien dalam fase hidupnya hidup, hak berkeluarga, hak
yang terakhir. Dalam euthanasia pasif, mengembangkan diri, hak keadilan, hak
dokter atau tenaga medis tidak kemerdekaan, hak komunikasi, hak
memberikan bantuan secara aktif untuk keamanan, dan hak kesejahteraan, yang
mempercepat proses kematian pasien. oleh karena itu tidak boleh diabaikan dan
Apabila seorang pasien menderita dirampas oleh siapapun. Bangsa Indonesia
penyakit dalam stadium akhir, yang menghormati setiap upaya suatu bangsa
menurut pendapat dokter tidak mungkin untuk menjabarkan dan mengatur hak
disembuhkan, maka kadang-kadang pihak asasi manusia sesuai dengan sistem nilai
keluarga, karena tidak tega melihat salah dan pandangan hidup masing-masing.
seorang anggota keluarganya berlama- Bangsa Indonesia menjunjung tinggi dan
lama menderita di rumah sakit, lantas, menerapkan HAM sesuai dengan Pancasila
mereka meminta kepada dokter untuk sebagai pandangan hidup bangsa (Effendi,
menghentikan pengobatan, tindakan 1994). Pasca adanya jaminan tersebut, hak
penghentian pengobatan ini termasuk hidup mendapatkan jaminan penuh dan
euthanasia pasif (Muslich, 2014) dilindungi oleh Konstitusi.
Untuk mewujudkan kematian Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
tersebut ada beberapa pihak yang 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak
mempunyai andil didalamnya. Pihak-pihak hidup termasuk dalam kebebasan dasar
tersebut diantaranya dokter, pasien, manusia. Pasal 9 ayat (1) menyatakan
keluarga pasien dan pihak ketiga yang bahwa “setiap orang berhak untuk hidup,
mempunyai kaitan langsung dengan mempertahankan hidup dan
proses penyembuhan seorang pasien. meningkatkan kehidupannya”. Dalam
Untuk pihak yang ketiga ini dapat Undang-Undang HAM tersebut, hak hidup
dialamatkan bagi petugas apotik yang tidak hanya menyangkut persoalan
telah tidak meramu obat-obatan sesuai kebebasan untuk bernafas dan menjalani
dengan resep dokter dan para medis yang kehidupan, tetapi di dalamnya juga
telah melakukan hal-hal nyang tidak sesuai mencakup hak untuk meningkatkan
dengan arahan dokter. Khusus bagi dokter, kualitas kehidupan yang layak sesuai
ia dapat menjadi peran utama dalam ketentuan yang berlaku.
mewujudkan “euthanasia” sebagai salah Sedangkan dalam Deklarasi Universal
satu terwujudnya “mercy killing”. Peran Hak Asasi Manusia, pada Pasal 3
dan tindakan dokter tersebut, seperti menyatakan bahwa “setiap orang berhak
membiarkan seorang pasien yang atas kehidupan, kemerdekaan dan
seharusnya mendapatkan perawatan keselamatan pribadinya. Jaminan akan hak
(pasif), memberikan obat yang terlalu hidup manusia akan berimbas kepada
rendah atau terlalu tinggi dosisnya (aktif), realisasi hak lain yang dimiliki manusia,
memberikan obat yang tidak sesuai sebab hak asasi manusia lainnya akan
dengan peruntukan (Amir, 1997) berjalan apabila hak hidup telah di
realisasikan. Jaminan Konstitusi dan
Peraturan perundang-undangan
menunjukkan komitmen bangsa Indonesia
untuk menjunjung tinggi HAM. Sebagai
81
Endang Suparta. Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
82
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.
83
Endang Suparta. Prospektif Pengaturan Euthanasia di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi
euthanasia dan kemudian mengambil alih atas permintaan keluarga dalam hal orang
seluruh biaya pengobatan, seiring itu sendiri tidak sadar dipidana penjara
berjalannya waktu 1,5 tahun kemudian paling lama 9 tahun”. RUU KUHP sendiri
Agian sadar dari komanya dan tidak mentolerir dilakukannya perbuatan
menunjukkan kondisi kesehatan yang euthanasia, hal tersebut semata-mata
semakin membaik. Kasus Agian untuk menjaga agar tidak ada
mengajarkan semua pihak bahwa tidak penghilangan nyawa manusia, sekalipun
ada yang tidak mungkin, sekalipun dalam dengan maksud ingin mengurangi
kondisi yang kritis, seseorang tetap punya penderitaan seseorang.
hak harapan untuk hidup dan tidak ada Rumusan Pasal 445 RKUHP inipun
yang berhak untuk mengambil hak hidup masih terdapat banyak kekurangan
karena hak hidup merupakan hak yang dikarenakan rumusan pasalnya tidak
tidak dapat dikurangi dalam kondisi membedakan antara euthanasia aktif dan
apapun dan bagaimanapun euthanasia pasif padahal antara unsur
Secara yuridis formal, dalam hukum perbuatan aktif dengan pasif pastilah dua
positif di Indonesia hanya dikenal dua hal yang berbeda, disamping itu rumusan
bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang pasal ini juga membuka peluang
dilakukan atas permintaan korban/pasien pengaturan yang lebih ringan terhadap
dan euthanasia yang dilakukan dengan “pembunuh” dikarenakan adanya frasa “….
sengaja tidak memberikan pertolongan atau atas permintaan keluarga dalam hal
terhadap pasien atau korban sebagaimana orang itu sendiri tidak sadar”. Semestinya
diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 apabila perbuatan tersebut dilakukan
yang merumuskan sebagai berikut: ketika yang bersangkutan tidak sadarkan
“Barang siapa menghilangkan nyawa orang diri, maka terhadap pelakunya dapat
lain atas permintaan orang itu sendiri yang dijerat dengan Pasal Pembunuhan
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, biasa/berencana, dikarenakan dorongan
dipidana dengan pidana penjara paling untuk diambil nyawanya bukanlah datang
lama 12 tahun.” Pasal 344 KUHP seringkali dari orang (pasien) yang bersangkutan,
dikaitkan dengan euthanasia yang melainkan dari orang diluar dirinya,
dilakukan oleh seorang dokter atau tenaga padahal belum tentu juga orang yang di
medis atas dasar permintaan pasien yang euthanasiakan itu betul-betul
bersangkutan. Tindakan menghilangkan menginginkan dirinya untuk “dimatikan”,
nyawa orang lain sebagaimana disebutkan selain itu ancaman hukuman dalam pasal
dalam Pasal 344 KUHP memang tidak ini jauh lebih rendah daripada yang diatur
menyebutkan secara tegas bahwa dokter oleh KUHP saat ini, beberapa kekurangan
dan atau tenaga kesehatan merupakan inilah yang menurut pendapat penulis
pihak yang bersalah dalam melakukan harus diperbaiki dan disempurnakan .
euthanasia. Kepastian mengenai euthanasia ini
Tidak hanya dalam KUHP, dalam RUU merupakan hal yang sangat penting bagi
KUHP pasien yang mengalami penderitaan
(https://antikorupsi.org/sites/default/file (kritis), maupun keluarga pasien, selain
s/doc//RUU%20KUHP_2013.pdf diakses itu, pada hakikatnya hukum juga
pada Selasa tanggal 2 Oktober 2018) pun menghendaki adanya penataan hubungan
euthanasia masih dianggap hal yang antar manusia, termasuk juga dalam hal ini
dilarang sebagaimana terdapat dalam adalah hubungan antara dokter dan
Pasal 445 menyebutkan “barang siapa pasien, sehingga kepentingan masing-
merampas nyawa orang lain atas masing dapat terjamin dan tidak ada yang
permintaan orang itu sendiri yang jelas terlanggar. Euthanasia harus dimasukkan
dinyatakan dengan kesungguhan hati atau dalam KUHP agar ada ketentuan yang
84
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5 (2) Desember 2018: 76-85.
secara tegas unsur-unsur pidana dan Effendi. (1994). Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi
sanksi yang tegas baik bagi dokter maupun Hukum Nasional Dan Hukum Internasional,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
dari keluarga pasien, karena euthanasia Faridhi, A. (2017). Penguji Peraturan Perundang-
menyangkut persoalan nyawa seseorang undangan Tunggal Keniscayaan. JURNAL
yang dalam hukum Indonesia harus MERCATORIA, 10(2), 180-196.
dijunjung tinggi dan tak boleh dihilangkan Gunawan. (1992). Memahami Etika Kedokteran,
dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun. Yogyakarta: Kanisius,.
Halimy, I. (1990). Euthanasia, Ramadani, Solo.
Hanafi, M.J. & Amir, A. (1999), Etika Kedokteran dan
SIMPULAN Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC.
Euthanasia sebagai cara yang http://irnatilamuhu.blogspot.com diakses tanggal 3
dianggap untuk mengurangi penderitaan Oktober 2018.
pasien yang menghadapi penyakit yang http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontempo
rer/Euthanasia diakses pada tanggal 2
sukar disembuhkan dalam berbagai November 2018
ketentuan Hak Asasi Manusia di Indonesia https://antikorupsi.org/sites/default/files/doc//R
dianggap sebagai perbuatan melanggar UU%20KUHP_2013.pdf diakses pada Selasa
hukum, dikarenakan hak hidup merupakan tanggal 2 Oktober 2018
hak yang tidak dapat dikurangi dalam https://www.google.com/search?q=euthanasia+da
ri+beberapa+pandangan&source=lnms&sa=,
keadaan dan kondisi apapun, serta dalih diakses tanggal 3 Oktober 2018.
apapun, sehingga alasan demi kepentingan Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
seseorang dan untuk mengurangi tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
penderitaannya tidak dapat diterima oleh undangan, Lembaran Negara Republik
hukum di Indonesia. Sejalan dengan itu Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Indonesia sudah punya piranti hukum Nomor 5234.
yang cukup mumpuni untuk menjerat Jurnal Pemilu dan Demokrasi, (2012). Memperkuat
pelaku euthanasia, dan dalam Rancangan Sistem Pemutakhiran Daftar Pemilih, Jakarta:
KUHP juga tetap dipertahankan eksistensi Yayasan Perludem.
pasal terkait euthanasia, namun dengan Mariyanti, N. (1988), Malapraktek Kedokteran Dari
Segi Hukum Pidana Dan Hukum Perdata,
beberapa perbaikan sebagaimana yang Jakarta: Bina Aksara.
penulis sarankan Muslich, A.M. (2014). Euthanasia Menurut Hukum
Positif dan Hukum Islam, PT. Raja Grafindo
DAFTAR PUSTAKA Persada, Jakarta.
Amir, A. (1997), Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2016
Jakarta: Widya Medika. Prakoso, D. & Nirwanto, D.A. (1984). Euthanasia
Efendi, I. (1989). Euthanasia Ratu Cleopatra Dua Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana,
Puluh Abad Lalu, dalam Majalah Kartini No. Jakarta
369, Edisi 9, 22 Januari 1990. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-
Effendi, M. (2005), Perkembangan Dimensi Hak VII/2009.
Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Supriyanto & Wulandari. (2013). Basa Basi Dana
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia, Kampanye, Jakarta: Yayasan Perludem.
Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 258. www.hukumonline.com diakses tanggal 16
Pebruari 2017.
85