1.ApnitaZulmaPutri18032031
2.Nandia1832017
Penanggung Jawab PPT : Apnita Zulma
Putri
http://www.free-powerpoint-templates-design.com
TERANGKAN PERATURAN DAN
HUKUMMENGENAIEUTHANASIADIINDONESIATERKINI,LENG
KAPDENGANREFERENSITERBARU SERTA
PAPARKANKONFLIKNILAIMORALYANGTERJADIDAN
PEMECAHANNYA
BAIKPADAKULTURMASYARAKATMAUPUNPADA
PEMERINTAHDANAGAMATERKAITEUTHANASIA(SERTAI
PENJELASANDENGANUNDANGUNDANG/PERPUDANAYATAL
QURANN
HADISTTERKAIT),DANNEGARAMANASAJAYANGMELEGALKA
N EUTHANASIA,INFOTERKINI
Sejarah euthanasia di
Indonesia
Pengertian
Istilah euthanasia pertama kali
Euthanasia secara bahasa berasal dipopulerkan oleh Hippokrates
dari bahasa Yunani eu yang dalam
berarti “baik”, manuskripnya yang berjudul
dan thanatosyang berarti sumpah Hippokrates, yang ditulis
pada tahun 400-300
“kematian”. Dalam bahasa Arab
SM. Dalam sumpahnya tersebut
dikenal dengan istilah qatlu Hippokrates menyatakan; "Saya
ar-rahma atau taysir al-maut. tidak akan
Menurut istilah kedokteran, menyarankan dan atau memberikan
euthanasia berarti tindakan obat yang mematikan kepada
agar kesakitan atau penderitaan siapapun meskipun
yang dialami seseorang yang telah dimintakan untuk itu". Dari
akan meninggal dokumen tertua tentang eutanasia
di atas, dapat kita
diperingan. Juga berarti
lihat bahwa, justru anggapan yang
mempercepat kematian seseorang dimunculkan oleh Hippocrates
yang ada dalam kesakitan adalah penolakan
danpenderitaanhebatmenjelangke terhadappraktekeutanasia.
matiannya.
• Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya
perdebatan dan
• pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa. Pada
tahun 1828 undang-undang
• anti euthanasia diberlakukan di negara bagian New York, dan
beberapa tahun
• kemudian diberlakukan pula di negara bagian lainnya
Sedangkan dari sisi medis, keterlibatan dokter dalam euthanasia diatur dalam
KodeEtikKedokteranIndonesia(KODEKI )pasal11tentangpelindungkehidupan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa
seorang dokter dilarang terlibat, dilarang melibatkan diri, atau tidak diperbolehkan mengakhiri kehidupan seseorang
yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh, yang dengan kata lain adalahmelakukaneuthanasia.
Dapat dilihat didalam KUHP, bila dilihat dari aspek hukum, perbuatan euthanasia juga di anggap sebagai tindak pidana.
Indonesia sampai saat ini tidak setuju jika euthanasia diberlakukan di Indonesia dengan alasan utama perlindungan
HAMbagipasien itusendiridanIndonesiajugamenganutprinsipProLife(prohidup) dikarenakan Konsep Negara Hukum
Indonesia menganut falsafah Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan hal ini sesuai dengan Pasal 28 A ayat (1)
yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.
Dalam hukum pidana Indonesia dikenal berbagai bentuk asas diantaranya
yaitu asas legalitas. Asas legalitas di atur dalam buku I Pasal 1 ayat 1 KUHP
yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuan perundang-undangan pidana telah ada sebelumnya”. Dapat
disimpulkan bahwa, suatu perbuatan tidak dapat dihukum apabila belum ada
Undang-Undang atau aturan dalam hukumpositifIndonesiayangmengaturnya
dengan euthanasia yaitu KKUHP Bab XIX Kejahatan terhadap nyawa pasal 344,
dapat dipaparkan sebagai berikut: Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal di atas ini menghalangi para
dokter untuk melakukan tindakan voluntary euthanasia. Bagi kalangan dokter yang
apapun jenisnya tidak mungkin dilaksanakan, terkecuali bila tindakan eutanasia tidak
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa`
: 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa
besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut
hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam
(Khilafah), sesuai firman Allah :
178( :ألبقرة.)يا أيها ألذين آمنوأ كتب عليكم ألقصاص في ألقتلى ألية
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash
tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan
atau menyedekahkan.
Firman Allah SWT :
. ألية.... فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أدأء اليه بإحسان.......
(178 :أــقـرة
“ ) لبMaka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah :
178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40
hadits Nabi riwayat An-Nasa`i. Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang
emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau
Place Your
Picture Here
senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau
12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975
gram perak).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering
dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga
kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-
aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif,
pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang
diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu
musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri
yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan
musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
“Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka,
lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan
pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah
berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku
mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak
wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti
kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang
kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku
[saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar
dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan
itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku
kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR
Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas
yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah
perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum
pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang
hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif
dalam arti menghentikan pengobatan dengan
mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya
atau rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan
tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-
alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat
dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung
jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter,
disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau
washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk
mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak
mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin
dari pihak penguasa (Al-Hakim atau Ulil Amri).
Negara-negara yang melegalkan Euthanasia
Sejauh ini ada beberapa negara yang sudah melegalkan euthanasia tersebut, di
negara-negara lain, sebut saja Belanda, peraturan perundang-undangan tentang
euthanasia sudah dibuat dan diberlakukan. Dengan demikian akan memberikan rasa
aman kepada para personil medis. Dengan adanya perlindungan kepada mereka yang
menjalankan tugas untuk mengobati dan menghentikan pengobatan terhadap pasien
yang memiliki penyakit tertentu, dengan tingkat keparahan penyakit yang berbeda-
beda. Sayangnya kita tidak dapat begitu saja meniru Belanda. dikarenakan kondisi
masyarakat yang sangat berbeda. Di Belanda masyarakat lebih homogen, lebih
materialistis, logis dan individualistis, sedangkan di Indonesia masyarakat lebih
heterogen, lebih religius dan komunal
Negara-negara yang setuju terhadap praktek Euthanasia tersebut memiliki alasan-alasam
tersendiri. Belanda menyetujui praktek Euthanasi setelah mendapatkan persetujuan dari parlemen
belanda. Dukungan 104 suara berbanding 40 suara yang menolak telah membuktikan keberpihakan
Penal Codes Article 293, 294 dan aturan yang ditulis oleh Royal Dutch Medical Association. Untuk
dapat melakukan praktek Euthanasia di Belanda, harus melalui beberapa tahapan dan persyaratan.
menganut prinsip Pro Choice (pro pilihan) dimana proses legalisasi euthanasia diserahkan
sepenuhnya kepada pasien dan hal ini menjadi dasar bagi Belanda untuk melegalkan tindakan
euthanasia tersebut.
A. Kesimpulan
Istilah euthanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya yang berjudul
sumpah Hippokrates, yang ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam sumpahnya tersebut Hippokrates
menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada
siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Belanda, Amerika dan Belgia merupakan contoh dari negara yang setuju dengan euthanasia, tetapi
ada juga negara yang sampai dengan saat ini tidak setuju untuk melegalisasi prakterk euthanasia di
negaranya, seperti halnya Indonesia. Hal ini dikarenakan memang belum ada peraturan perundang-
undangan di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia, selain itu asas legalitas yang dianut di
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 KUHP secara tidak langsung memiliki
makna hakim dilarang beranalogi, seseorang tidak dapat dihukum apabila belum ada undang-undang
Karyadi, P.Y. 2001. Euthanasia: Dalam Perspektif Hak Azasi Manusia. Yogyakarta Penerbit Media Pressindo.
M, Arwani. 2020. Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Euthanasia Berdasarkan Hukum Dari Beberapa Negara ( Indonesia-
Belanda-Amerika serikat). Dinamika Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol 26, No 8.
S, Abraham, et al. 2009. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro.
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing. Philadelphia : Lippincott.Budiyanto, A, et.al.
1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Kedokteran Indonesia.
Wila Chandrawila Supriadi. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju.
Thank You
Insert the Sub Title of Your Presentation