Anda di halaman 1dari 28

MENINJAU KEMUNGKINAN LEGALISASI EUTANASIA DI

INDONESIA : DISKURSUS ANTARA HAK UNTUK HIDUP &


KEBEBASAN MANUSIA UNTUK MENENTUKAN PILIHAN

Sabdo Adiguno M1
Shintya Yulfa S2
Yuni Lathifah3
1
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
E-mail: sabdoadiguno@gmail.com
2
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
E-mail: shintyayulfas@gmail.com
3
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
E-mail: lathifahyuni78@gmail.com

ABSTRAK
Permasalahan eutanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan sekarat dan menyiksa. Dalam situasi
demikian, tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin
diperpanjang hidupnya. Dari sinilah istilah eutanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang
agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
konsep kebebasan untuk hidup, kebebasan manusia untuk memilih dan meninjau norma hukum di
Indonesia serta beberapa Negara lain. Akan tetapi dalam penerapannya terdapat dilematika, dimana
dianggap bertentangan dengan hak hidup jika euthanasia dilakukan. Penelitian ini adalah penelitian
hukum dengan pendekatan yang diperoleh dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
atau disebut dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Pendekatan
dalam penelitian menggunakan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) yaitu pendekatan
yang beranjak dari pandangan-pandangan ataupun doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Dari
kajian penelitian hukum ini dapat di simpulkan bahwa hadirnya eutanasia dianggap sebagai hak
asasi manusia berupa hak untuk mati yang dianggap dapat mendatangkan kebahagiaan dan
menyenangkan bagi dirinya. Suntik mati atau lebih sering disebut eutanasia jika ditinjau dari aspek
hukum pidana dan hak asasi manusia di indonesia masih mengalami perdebatan yang belum
menemukan ujung, karena antara pemberian hak asasi manusia dengan pertentangan hukum
nasional khususnya KUHP yang diberlakukan di Indonesia. Dari hasil kajian di Indonesia ……..
Kata kunci : eutanasia, hak asasi manusia, legalisasi di Indonesia

Abstract
The problem of euthanasia has existed since the health community has faced an incurable disease,
while the patient is already dying and torturing. In such situations, it is not uncommon for patients

1
to beg for relief from this suffering and do not wish to have their life extended. This is where the
term euthanasia appears, which is letting go of one's life in order to be free from suffering or to die
properly. This study aims to determine the concept of freedom to live, human freedom to choose and
review legal norms in Indonesia and several other countries. This legal research method is legal
research obtained by examining library materials or secondary data or what is called normative
legal research or library law research. From this legal research study, it can be concluded that the
presence of euthanasia is considered a human right in the form of the right to die which is
considered to bring happiness and pleasure to him. However, injecting death or more often called
euthanasia when viewed from the aspect of criminal law and human rights in Indonesia is still
experiencing debates that have yet to find an end, because between the granting of human rights
and the contradiction of national law, especially the Criminal Code which is enforced in Indonesia.
Keywords: euthanasia, human rights, legalization in Indonesia
penderitaan untuknya 1
. Kemudian
A. Pendahuluan dikutip oleh Abd. Halim dari Syamsul
Eutanasia hingga hari ini masih Anwar dalam bukunya Studi Hukum
menjadi topik yang kontroversial di Islam Kontemporer, pengertian eutanasia
bidang kesehatan, hukum, dan hak asasi kemudian diperluas dan ditambahkan
manusia. J Scherer dan R Simon unsurnya menjadi : “……dan sebagai
menyebut terdapat tiga isu global yang cara menangani korban-korban yang
mendorong pentingnya diskursus mengalami sakit yang tidak mungkin
mengenai eutanasia, yakni: (1) disembuhkan lagi” 2.
Perkembangan teknologi di bidang Pada titik ini juga timbul pertanyaan
kedokteran yang memperpanjang mengenai bilamana sebuah penderitaan
kemungkinan hidup pasien; (2) pasien harus diakhiri ? Karena
Fenomena meningkatnya populasi penderitaan sendiri bersifat subyektif dan
dengan usia lanjut dan banyaknya jumlah sulit untuk menetapkan tolok ukurnya
orang yang terkena HIV/AIDS; dan (3) secara obyektif. Jadi penilaian mengenai
Melemahnya pengaruh dari institusi pasien menderita atau tidak
keagamaan (J Scherer and R Simon, diproyeksikan pada diri dokter sebagai
1999:2). Eutanasia sendiri berasal dari penilai. Namun dilema selanjutnya adalah
Bahasa Yunani yang memiliki arti “mati proyeksi sang penilai bergantung pada
secara baik dan mudah”, yang dapat kadar empatinya dan pengalamannya.
diartikan tindakan dari seseorang ingin 1 Nuno Ferreira, “Revisiting Euthanasia: A
mati dengan kondisi bahwa kematian Comparative Analysis of a Right to Die in Dignity,”
SSRN Electronic Journal 4, no. 8 (2005): 6.
menjadi hal yang tidak menimbulkan 2 Abd Halim, “Euthanasia Dalam Perspektif Moral Dan
Hukum,” Jurnal Pemikiran Hukum Al-Mazaib 1 (2012):
4.

2
Penafsiran terhadap penderitaan seorang dengan cara yang mudah dan tenang 3.
pasien akan bertambah rumit karena Tentu disini akan menjadi dilema bagi
melibatkan keluarga yang juga terbebani seorang dokter untuk menyelamatkan
oleh faktor ekonomi, terkurasnya waktu, nyawa pasien namun tidak semua
tenaga, dan pikiran. penyakit dapat disembuhkan olehnya.
Apabila kita sepakat bahwa penilaian Ketika eutanasia diperbincangkan
perihal penderitaan pasien lebih baik menjadi jamak untuk membaginya
diserahkan pada dokter yang benar-benar menjadi dua kategori, yakni eutanasia
memahami pasien dan penyakitnya, aktif dan pasif. Eutanasia aktif dapat
pertanyaan yang timbul berikutnya diartikan sebagai kehendak yang
adalah: “Bagaimana posisi dokter jika bersangkutan meminta agar hidupnya
ada kasus penyakit yang tidak dapat diakhiri dengan segera dan dokter atau
disembuhkan atau pasien menderita sakit orang lain mengambil tindakan-tidakan
terus menerus ?” atau mungkin kita untuk mempercepat kematian orang
bertanya-tanya : “Mana yang lebih baik tersebut 4
. Sedangkan eutanasia pasif
antara membiarkan pasien terus tersiksa dapat diartikan bila orang yang
oleh penyakitnya atau mempercepat bersangkutan menghendaki segala usaha
kematiannya ?” pertolongan untuk memperpanjang
Dalam Pasal 9 bab II Kode Etik hidupnya dihentikan sehingga maut bisa
Kedokteran Indonesia tentang kewajiban segera menjemputnya karena sudah tidak
kedokteran kepada pasien, disebutkan dapat menahan penderitaan yang
bahwa : ”Seorang dokter senantiasa berkepanjangan 5
. Jika dihubungkan
mengingat akan melindungi hidup dengan hukum positif Indonesia,
makhluk insani”. Namun berbeda dengan terutama ketentuan Pasal 345 KUHP
pendapat seorang filsuf abad ke-17 yang yang melarang setiap orang untuk
bernama Francis Bacon dalam bukunya mendorong, menolong, dan memberi
yang berjudul “Novum Organum”, sarana kepada orang lain untuk bunuh
berpendapat bahwa tugas seorang dokter diri, maka dokter maupun orang yang
bukan hanya menyembuhkan pasien, tapi 3
Ferreira, “Revisiting Euthanasia: A Comparative
juga memperbolehkan pasien untuk mati Analysis of a Right to Die in Dignity.”
4
Halim, “Euthanasia Dalam Perspektif Moral Dan
Hukum.”
5
(Halim, 2012:4)

3
membantu pasien melakukan eutanasia membincangkan topik mengenai
aktif dapat dipidana dengan pasal legalisasi eutanasia karena kurang
tersebut. Namun apakah eutanasia pasif signifikan perbedaannya, maka dari itu
kemudian menjadi lebih bermoral atau diperlukan kategori yang cenderung
sah menurut hukum dibandingkan bebas nilai dan moral dengan kriteria
eutanasia aktif ? Mengingat tidak ada Voluntary dan Non-Voluntary Euthanasia
ancaman pidana bagi eutanasia pasif. 6
. Voluntary Euthanasia diartikan sebagai
Meskipun secara yuridis eutanasia tindakan seseorang yang membantu
masih belum dimungkinkan, ternyata mengakhiri hidup orang yang menderita
permohonan untuk eutanasia aktif pernah penyakit berdasarkan permintaan atau
diajukan oleh beberapa orang dalam keinginan. Sedangkan Non-Voluntary
beberapa tahun ini. Salah satunya oleh Euthanasia ada ketika kondisi pasien
Berlin Silalahi yang mengajukan karena penyakitnya tidak dapat
permohonan eutanasia aktif atau suntik mengekspresikan kehendaknya untuk
mati kepada Pengadilan Negeri Banda hidup atau mati. Pembeda antara
Aceh, lantaran kondisinya lumpuh dan eutanasia voluntary dan non-voluntary
mengalami penyakit kronis terletak pada apakah pasien bisa
(https://tirto.id/permintaan-suntik-mati- menyatakan kehendaknya atau tidak.
yang-kontroversial-cokd). Isu tersebut Menanggapi perbedaan kategori
sudah selayaknya diangkat kembali untuk eutanasia di atas, Penulis ingin
merespon kejadian serupa di tempat lain menggunakan kategorisasi yang
dan bagaimana untuk memecahkan memadukan eutanasia aktif dan pasif
permasalahan kronis yang menimpa serta voluntary dan non-voluntary
individu. euthanasia sebagaimana yang diajukan
Berdasarkan definisi eutanasia aktif oleh Natasha Cica. Terdapat empat
dan pasif di atas sebetulnya pasien ingin kategori euthanasia, diantaranya 7.
mengakhiri penderitaan atas rasa 1. Passive voluntary euthanasia :
kondisi ketika perawatan medis
sakitnya, namun hanya cara untuk terhadap pasien dihentikan atau
mengakhiri hidupnya saja yang berbeda. ditangguhkan berdasarkan
permintaan pasien sendiri dan
Menurut Nuno Ferreira, klasifikasi di atas
6
Ferreira, “Revisiting Euthanasia: A Comparative
menjadi tidak relevan jika Analysis of a Right to Die in Dignity.”
7
(Cica, 1996: iii-iv)

4
bermaksud untuk mengakhiri hidup menentukan pilihan atau option luck,
dari pasien secara perlahan;
2. Active voluntary euthanasia : ketika dimana akan disinggung pula mengenai
intervensi sarana medis berperan hak untuk tidak disiksa atau right to
untuk mengakhiri hidup pasien
berdasarkan permintaannya sendiri; freedom from cruel dan kebebasan untuk
3. Passive involuntary euthanasia :
perawatan medis terhadap pasien meyakini kepercayaan, menyatakan
dihentikan atau ditangguhkan dan pikiran dan sikap sesuai dengan hati
bermaksud untuk mengakhiri hidup
dari pasien secara perlahan, namun nuraninya. Sub bahasan berikutnya yang
bukan berasal dari permintaan pasien
disajikan Penulis adalah perbandingan
tersebut;
4. Active involuntary euthanasia : legalisasi euthanasia di negara lain dan
ketika intervensi sarana medis
berperan untuk mengakhiri hidup dilengkapi dengan mekanisme kongkrit
pasien namun tidak berdasarkan pelaksanaan eutanasia apabila dilegalisasi
permintaannya sendiri
di Indonesia.
Maka dari itu Penulis tertarik untuk
mengkaji isu mengenai kemungkinan
B. Identifikasi Masalah
legalisasi eutanasia di Indonesia. Dalam
Menilik dari latar belakang yang telah
tulisan ini legalisasi eutanasia yang
dipaparkan di atas, penulis menyusun
dimaksud adalah kategori active
suatu perumusan masalah sebagai
voluntary euthanasia. Terdapat dua
pertanyaan dasar yang akan dikaji dalam
argumentasi yang melandasi mengapa
penelitian hukum ini, yakni sebagai
Penulis ingin membatasi lingkup
berikut:
legalisasi eutanasia, yakni :
1. Active voluntary euthanasia memiliki
1. Bagaimana konsep hak untuk hidup
persinggungan dengan isu kebebasan dan hubungannya dengan eutanasia
individu untuk memilih atau option
luck; serta kebebasan manusia untuk
2. Untuk keperluan praktis, yakni menentukan pilihan?
memadatkan pembahasan tulisan ini,
argumentasi yang dipergunakan 2. Bagaimana kemungkinan legalisasi
untuk legalisasi involuntary
euthanasia memerlukan pemaparan euthanasia di Indonesia dan beberapa
yang sama panjangnya dengan active negara lain?
voluntary euthanasia.
Penulis akan mengkaji seberapa jauh
C. Metode Penelitian
konsep hak manusia untuk hidup.
Jenis peneltian yang dilakukan adalah
Kemudian Penulis akan menjabarkan
penelitian hukum doktrinal. Penelitian ini
mengenai kebebasan manusia untuk

5
berusaha memberikan penjelasan 1. Konsep Hak Untuk Hidup dan
sistematis tentang peraturan tertentu, Hubungannya dengan Euthanasia
menganalisis hubungan antar aturan, Hak untuk hidup atau freedom
menjelaskan permasalahan, dan mungkin of life disebutkan secara eksplisit
memprediksi pembangunan hukum masa dalam Article 6(1) ICCPR sebagai
depan.8 Penelitian ini termasuk dalam berikut :
jenis penelitian preskriptif. Pendekatan “Every human being has the
yang digunakan dalam pendekatan ini inherent right to life. This right
shall be protected by law. No one
adalah pendekatan undang-undang shall be arbitrarily deprived of
his life.”
(statute approach) dan pendekatan
Hak untuk hidup
konseptual (conseptual approach). Jenis
dikategorikan sebagai “supreme
data yang digunakan adalah : (1) Data
human right” karena tanpa jaminan
primer, yaitu data yang diperoleh dari
perlindungan yang efektif, membuat
perundang- undangan; (2) Data sekunder,
hak-hak yang lain tanpa arti 10
.
yaitu data yang diperoleh dari bahan
Diperkuat pula dengan pendapat
pustaka, antara lain buku-buku, literatur
Dinstein sebagaimana dikutip George
ilmiah, jurnal hukum maupun ilmu
Zdenkowski, bahwa hak untuk hidup
lainnya, serta sumber lainnya yang
adalah hak paling mendasar dalam
terkait; dan (3) Data tersier, yaitu data
masyarakat yang beradab 11
. Hanya
yang diperoleh dari kamus hukum dan
hak inilah yang disebutkan secara
surat kabar cetak maupun daring 9. Data-
eksplisit sebagai “inherent” atau
data hukum yang diperoleh akan
melekat dengan kemanusiaan 12
.
dianalisis dengan menggunakan teknik
Kemudian kalimat kedua Article 6(1)
analisis logika deduktif.
diatas menghendaki sebuah
kewajiban bagi negara untuk berperan
melindungi hak untuk hidup.
D. Pembahasan
10
Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and
Political Rights : CCPR commentary / Manfred Nowak
(Germany: Arlington, Va., U.S.A. : N.P. Enge, 2005).
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: 11 George Zdenkowski, “Human rights and
Kencana Prenada Media Group, 2005). euthanasia,” Deutsches Zentralblatt fur Krankenpflege
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudi, Penelitian 11, no. 1 (2015): 12.
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT 12 Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights :
Grafindo Persada, 1986). CCPR commentary / Manfred Nowak.

6
Hak untuk hidup yang tidak perlindungan atas hak untuk hidup
boleh dicabut secara semena-mena yang bisa dilakukan oleh negara
oleh individu lain maupun oleh semaksimal mungkin dan untuk
negara atau “arbitrarily deprived” membatasi seminimal mungkin
yang dilaksanakan dengan membatasi tindakan yang diperbolehkan untuk
cakupan dari hak tersebut, dan oleh merampas hak untuk hidup. Sehingga
karena itu merupakan tugas negara ada dua faktor yang dapat membantu
untuk memastikan hak untuk hidup. kita untuk menentukan apakah sebuah
Cakupan dari hak untuk hidup sendiri perampasan hak untuk hidup
menurut Dinstein sebagaimana dikatakan “arbitrarily” atau tidak,
dikutip George Zdenkowski adalah yakni pengawasan hukuman secara
hak untuk dilindungi dari hukuman ketat dan proporsionalitas 15
.
mati yang semena-mena . Dalam
13
Ramcharan berkesimpulan bahwa hak
proses pembentukan Article 6(1) untuk hidup adalah norma yang
ICCPR sendiri, beberapa perwakilan mengikat dalam hukum internasional,
negara-negara dengan tradisi hukum namun hak tersebut tidaklah absolut
Anglo-Saxon mempersamakan makna .
16

“arbitrarily” dengan “without due Konteks yang sama dapat


process of law” atau tanpa prosedur dipahami dalam hukum nasional
hukum yang jelas 14
. Dengan Indonesia. Pasal 28A UUD NRI 1945
demikian hak untuk hidup memiliki menjamin setiap orang berhak untuk
cakupan yang terpisah dengan hidup serta mempertahankan
misalnya kegagalan pemerintah untuk kehidupannya. Anatomi pasal-pasal
memenuhi gizi bayi yang kemudian tentang Hak Asasi Manusia dalam
mengakibatkan tingginya angka konstitusi diikuti dengan keberadaan
kematian untuk bayi. Pasal 28J ayat (2), konsekuensi logis
BG Ramcharan sebagaimana dari hal tersebut adalah setiap hak
juga dikutip oleh George Zdenkowski yang dijamin dalam UUD 1945 dapat
berpendapat bahwa pemilihan kata dibatasi oleh undang-undang dengan
“arbitrarily” didasarkan pada maksud : (1) Menjamin pengakuan
13
Zdenkowski, “Human rights and euthanasia.” 15
Ibid.
14
Ibid. 16
Ibid.

7
dan penghormatan atas hak dan Komentar UN Human Right
kebebasan orang lain; dan (2) Committee berikut menyatakan
Memenuhi tuntutan yang adil sesuai bahwa hukum yang melegalkan
dengan pertimbangan moral, nilai- voluntary euthanasia tidak
nilai agama, keamanan, dan berhubungan dengan kewajiban
ketertiban umum dalam suatu negara untuk melindungi hak untuk
masyarakat yang demokratis. hidup 18:
Pemaknaan Article 6(1) yang “If a national legislature limits
menjamin hak untuk hidup oleh MK criminal responsibility here after
carefully weighing all the
cenderung partikularistik, seperti affected rights and takes
adequate precautions against
dalam Putusan MK Nomor 2-3/PUU-
potential abuse, this is within the
V/2007 yang menguji scope of the legislature’s
discretion in carrying out its duty
konstitusionalitas hukuman mati to ensure the right…the State’s
dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 obligation to ensure does not go
so far as to require that life and
tentang Narkotika. Meskipun health be protected against the
express wishes of those affected”
mengakui semangat dari ICCPR
Dari pernyataan di atas, komentar UN
adalah untuk menghapus hukuman
Human Rights Committee
mati, namun MK berpendapat bahwa
menunjukkan bahwa hukum negara
hukuman mati masih bisa dijatuhkan
yang memperbolehkan eutanasia
untuk kejahatan-kejahatan paling
harus menyediakan prosedur
serius atau the most serious crime 17.
keselamatan yang efektif akan bahaya
Dimana MK berpendapat bahwa
penyalahgunaan 19
. Artinya perlu
narkotika termasuk dalam kejahatan
prosedur operasional yang menjadi
serius karena bisa memengaruhi
panduan bagi dokter dalam
pondasi ekonomi, politik, dan budaya
melakukan eutanasia berdasarkan
dalam masyarakat.
permintaan pasien.
Bahwa tidak ada relasi antara
2. Kebebasan Manusia Untuk
hak untuk hidup yang harus
Menentukan Pilihan
dilindungi negara dengan eutanasia.
18
Philip Baker, “Human rights and the law,”
17
Pan Mohamad Faiz, “Pendekatan MK terhadap Australian Human Rights Commission 6, no. 3 (2016):
Konstitusionalitas Hukuman Mati,” Majalah Konstitusi 26–27.
(jakarta, Februari 2015). 19
Ibid.

8
Hak untuk hidup merupakan Demi menentukan hak-hak
suatu hak asasi manusia dan melekat yang akan diperoleh maka pilihan
dalam diri manusia, namun hidup oleh seseorang tidak dapat
bagaimana dengan hak untuk mati? diabaikan. Ketika eutanasia dianggap
Selain hak hidup manusia memiliki bisa mencapai kematian yang
hak asasi yang berkaitan dengan hak menyenangkan bagi pasien artinya,
menentukan diri sendiri. Berawal dari pilihan mati merupakan wujud dari
sini kemudian lahirlah pemikiran pilihan akhir dari kehidupan yang
adanya eutanasia secara sukarela, tidak bisa diabaikan. Akan tetapi jika
dimana hak untuk mati dianggap keputusan yang diambil
jugabagian dari hak asasi manusia. mendatangkan ketidakberuntungan,
Kepemilikan hak ini sering dikaitkan kompensasi tidak diberikan bagi
dengan orang yang mengalami sakit individu yang telah memilih bagi
sudah mencapai tahap terminal dan kehidupannya sendiri. Terdapat
diizinkan untuk menyudahi hidupnya, perbedaan antara option luck dan
atau meminta bantuan demi brute luck menurut Ronal Dworkin.
mengakhiri nyawanya atau menolak Adapun yang dimaksud dengan
untuk menjalankan perawatan demi Option luck merupakan kondisi-
memperpanjang kehidupannya. kondisi yang bisa terjadi sebab
Hadirnya eutanasia dianggap keputusan terbut dari pilihan yang
sebagai hak asasi manusia berupa hak kita buat. Sementara brute luck yaitu
untuk mati yang dianggap dapat kondisi-kondisi yang bisa terjadi
mendatangkan kebahagiaan dan numun bukan dari pilihan atau
menyenangkan bagi dirinya. Hak keputusan yang kita buat 20. Hal yang
asasi manusia berupa hak untuk mati wajar apabila kompensasi diberikan
dianggap suatu konsekuensi dari hak kepada orang yang mengalami
untuk hidup. Oleh karena terdapat hak ketidakberuntungan karena kondisi
untuk hidup maka setiap orang juga yang dialami bukan karena pilihan
berhak untuk memiliki hak untuk dari orang tersebut. Misalnya, ketika
mati yang kemudian disebut dengan
20
Ronald Dworkin, Sovereign Virtue The Theory and
eutanasia. Practice of Equality (Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press, 2000).

9
seorang pasien mengalami sakit parah tidak memiliki hak untuk hidup atas
tumor otak dan kecil dirinya karena manusia tidak
kemungkinannya untuk sembuh memiliki hidup itu sendiri. Hal ini
kemudian pasien tersebut bisa dilihat dari kelahiran manusia, ia
mengingkan eutanasia yang tidak memiliki hak kapan dia ingin
diyakininya bisa memberika kematian dilahirkan, dalam keadaan kondisi
yang menyenangkan, hal ini menjadi yang seperti apa ia lahir, dan juga dari
wajar dilakukan karena dalam Rahim siapa dilahirkan. Jika hak
keadaan sakit parah (ketidak hidup berada ditangan manusia maka
beruntungan) yang dialami bukan dia dapat memilih kapan dia lahir dan
merupakan pilihan hidupnya, maka dalam keadaan seperti apa dia hidup.
keputusan untuk memilih mati Akan tetapi pada kenyataannya
menjadi adalah hal wajar untuk manusia tidak memiliki hak yang
dilakukan. demikian. Manusia hanya sebatas
Hak untuk hidup bukanlah hak mengetahui ia telah lahir dan
mutlak, oleh Karena itu, istilah “hak dikaruniai kehidupan.
fundamental” tidak boleh Dari penjelasan di atas,
menyembunyikan fakta bahwa ia kehidupan manusia sepenuhnya milik
adalah hak yang sangat rapuh dan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga
sangat rentan terhadap interpretasi manusia tidak memiliki hak untuk
berbasis kepentingan 21
. Jika di kaji hidup ataupun hak untuk mati. Karena
lebih dalam sebenarnya manusia tidak Tuhan telah memberikan karunia
memiliki hak untuk hidup karena kehidupan kepadanya, sehingga ia
secara filosofis manusia ada dan memiliki hak untuk mempertahankan
hidup karena kehendak Tuhan Yang hidupnya. Jadi lebih tepatnya manusia
Maha Esa 22
. Manusia sebenarnya memiliki hak untuk mempertahankan
21
Hans-Georg Ziebertz dan Francesco Zaccaria, hidup bukan hak untuk hidup. Dari
Euthanasia, Abortion, Death Penalty and Religion :
The Right to Life and its Limitations: International hak mempertahankan hidup lahirlah
Empirical Research (Switzerland: Springer Nature hak untuk mendapatkan perlakuan
Switzerland AG, 2019),
https://b-ok.asia/book/3662620/e091a3. yang sama, hak untuk merdeka dan
22
Nur Hayati, “Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia dan Kaitannya dengan Hukum Pidana,” Lex hak untuk kebebasa bergerak.
Jurnalica 1, no. 2 (2004): 93.

10
Dalam bukunya 23
yang Dalam hal ini, karena hidup dan mati
berjudul Human Right Or Religius adalah dua hal yang berlawanan,
Rules? Mengatakan bahwa “From a maka tidak mungkin jika hak untuk
religious point of view, the dignity of mati merupakan perkembangan dari
every human life derives from this hak untuk hidup 24 .
belief that it is given by God, and Pandangan baru tentang
therefore it has to be accepted, konsep hak untuk mati terasa sangat
cherished and protected, and not ganjil sehingga menimbulkan banyak
violated or terminated” . Itulah pro dan kontra, karena dianggap
sebabnya jika berbicara pandangan tercakup pengertiannya dalam hak
dari dunia agama dalam hal untuk hidup yang selama ini telah
perlindungan hak untuk hidup sangat diketahui secara jelas. Tidak
sensitif , dan mereka tidak mudah tercantum secara jelas hak untuk mati
dalam hal membenarkan mengahiri bagi seseorang, terkait dengan mati
kehidupan. Dari uraian diatas dapat sepertinya lebih cenderung
disimpulkan bahwa hak untuk mati melakukan pelanggaran hak untuk
merupakan sebuah perkembangan hidup.
dari hak asasi manusia tentang hak Membicarakan eutanasia (eu =
untuk hidup. baik, thanatos = mati, mayat) ,
25

Apabila dikaji lebih dalam, sebenarnya tidak lepas dari apa yang
maka hak untuk mati bukanlah suatu disebut hak untuk menentukan nasib
perkembangan dari adanya hak untuk sendiri (the right self of
hidup karena kematian dan kehidupan determination) pada diri pasien. Hak
tidak berbanding lurus, tetapi untuk menentukan nasib sendiri
berbanding terbalik. Kehidupan tidak dalam praktek eutanasia menjadi
dapat dimiliki bersamaan dengan suatu titik fokus sendiri apakah itu
kematian. Kehidupan dan kematian melanggar hak asasi manusia atau
selalu berada pada posisi yang
bersebrangan dimana jika tidak hidup 24
Hayati, “Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi
maka berarti mati, dan sebaliknya. Manusia dan Kaitannya dengan Hukum Pidana.”
25
Pingkan K. Paulus, “Kajian euthanasia menurut
23
J. A. Van der Ven, Human rights or religious rules? HAM (Studi banding hukum nasional Belanda),”
(Leiden/Boston: Brill, 2010). Columbia Law Review 33, no. 1 (2016): 123.

11
tidak 26
. Dalam kasus eutanasia, Hak untuk menentukan nasib
dibedakan apakah bantuan aktif atau sendiri merupakan bagian dari Hak
bantuan pasif yang diberikan. Asasi Manusia, pada hakekatnya hak
Bantuan aktif sangat kontroversial ini menjadi bagian bagi hak-hak dasar
dan umumnya dilarang, bahkan dalam tertentu, termasuk dalam hal ini hak
bantuan pasif sejumlah kriteria dari pasien untuk menentukan
dibahas mengenai kapan dan dalam pilihannya dalam hal pelayanan
keadaan seperti apa bantuan tersebut kesehatannya 28
. Kemudian pada
diizinkan 27
. Eutanasia aktif bisa akhirnya hak ini yang dikaitkan
dilakukan dengan cara menyuntikkan dengan seorang pasien yang ingin
suatu senyawa yang mematikan atau mengakhiri kehidupannya dengan
diberikan melalui oral ke dalam tubuh cara eutanasia. Hal ini di dasarkan
seseorang, salah satu contohnya pada hak dari pasien itu sendiri dalam
adalah tablet sianida. Sementara menentukan kehidupannya.
euthanasia yang pasif dengan cara 3. Kemungkinan Legalisasi
tidak memberikan perawatan atau Euthanasia & Perbandingan
menghentikan alat bantu yang dapat dengan Negara Lain
membantu pasien memperpanjang a. Aturan Norma Hukum
hidup pasien secara sengaja, misalnya Euthanasia di Indonesia
dengan tidak memberikan oksigen Pengaturan eutanasia di
pada pasien yang mengalami dalam hukum positif Indonesia
kesulitan bernafas, meniadakan secara khusus belum ditemukan
operasi yang jika dilakukan dalam undang - undang
seharusnya bisa membantu untuk kesehatan, undang - undang
memperpanjang hidup pasien, rumah sakit dan undang -
ataupun memberikan obat penghilang undang praktik kedokteran29.
rasa sakit yang tanpa disadari ini bisa Secara yuridis formal, yang
mengakibatkan kematian
28
Paulus, “Kajian euthanasia menurut HAM (Studi
banding hukum nasional Belanda).”
26
Ibid. 29
Ni Gusti Ayu Agung Febri Dhamayanti dan Made
27
Ziebertz dan Zaccaria, Euthanasia, Abortion, Death Nurmawati, “Tinjauan Yuridis Euthanasia Ditinjau Dari
Penalty and Religion : The Right to Life and its Aspek Hukum Pidana,” Jurnal Kertha Wicara 8, no. 10
Limitations: International Empirical Research. (2019): 11.

12
terdapat dalam (KUHP), hanya nyawa orang lain atas
dikenal dua bentuk eutanasia, permintaan itu sendiri yang
yaitu eutanasia yang dilakukan jelas dinyatakan dengan
atas permintaan pasien / korban kesungguhan hati diancam
itu sendiri dan eutanasia yang dengan pidana penjara paling
dilakukan dengan sengaja lama dua belas tahun”. Dengan
membiarkan pasien / korban demikian, dalam konteks
sebagaimana secara eksplisit hukum positif di Indonesia,
diatur dalam Pasal 344 KUHP “pengakhiran hidup seseorang”
dan Pasal 304 KUHP 30. Pasal merupakan sesuatu yang
304 KUHP menyatakan : dilarang sekalipun atas
“Barangsiapa dengan sengaja permintaan orang itu sendiri
menempatkan atau membiarkan karena perbuatan tersebut,
seseorang dalam keadaan dikualifikasi sebagai tindak
sengsara, padahal menurut pidana. Dalam hal ini, bentuk
hukum yang berlaku baginya merampas nyawa orang lain
atau karena persetujuan dia yang diatur pada Pasal 344
wajib memberi kehidupan, KUHP ini adalah bentuk dari
perawatan atau pemeliharaan eutanasia aktif (atas permintaan)
kepada orang itu, diancam langsung.
dengan pidana penjara paling Patut dicermati bahwa
lama dua tahun delapan bulan pasal 344 KUHP tersebut
atau pidana denda paling terdapat kata “atas permintaan
banyak empat ribu lima ratus sendiri” yang disertai pula
rupiah.” dengan kalimat “yang jelas
Sementara pasal 344 dinyatakan dengan
KUHP secara tegas menyatakan kesungguhan hati”
: “Barang siapa merampas menyebabkan perumusan Pasal

30
344 KUHP menimbulkan
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, “Suntik Mati
(Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana dan kesulitan dalam pembuktiannya
Hak Asasi Manusia di Indonesia,” Jurnal Ilmiah
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1, no. 1
(2016): 61.

13
pada saat di persidangan 31
. yang luar biasa, atau pasien
Sebagai contoh misalnya di yang berada dalam in persistent
suatu kondisi seorang pasien vegetative state menyebabkan
dalam keadaan sakit yang parah dilema sang dokter untuk
dan tidak memiliki kemampuan melakukan tindakan medis yang
untuk berkomunikasi dalam akan dilakukan. Tentunya
bentuk apapun sehingga tidak dokter - dokter yang
dapat menyatakan dengan bertanggungjawab akan
kesungguhan hati terhadap mengalami pertentangan batin
keinginannya mengakhiri hidup. yang dilematis terhadap pasien
Eutanasia kerap terjadi pada yang bersangkutan karena
pasien dengan keadaan kritis tindakan medis yang akan
dengan kondisi diatara mati dilakukan berdampak pada
tidak dan hidup pun juga tidak aspek hukum, moral dan etika
(in persistent vegetative state) serta berimplikasi medis. Maka
.
32
Tentunya hal ini akan dari itu, ketika melihat implikasi
membawa konsekuensi hukum hukum dalam tindakan
pada dokter yang eutanasia ini dari sisi hukum
bertanggungjawab melakukan pidana khususnya yang diatur
tindakan. dalam KUHP, patut menjadi
Contoh lain adalah pasien bahan pertimbangan apakah
dengan penyakit kanker yang perbuatan yang dilakukan itu
cenderung tidak dapat tertolong. termasuk suatu pembunuhan,
Pasien kanker tersebut akan penganiayaan atau suatu
merasakan nyeri yang tidak perbuatan yang mengabaikan
tertahankan dan penderitaan seseorang sampai menyebabkan
meninggal dunia. Sesuai dengan
31
Made Wahyu Chandra Satriana, “Efektifitas
Pengaturan Euthanasia Dalam KUHP Terhadap Pasien tanggungjawabnya, para dokter
Penderita Kanker Dengan Kondisi Inpersistent dan tenaga medis akan selalu
Vegetative State,” in Seminar Nasional Riset Inovatif
6, 2018, 341. berusaha secara maksimal agar
32
Suwarto, “Euthanasia dan Perkembangannya Dalam
Kitab Undang - Undang Hukum Pidana,” Jurnal Hukum dapat menyembuhkan penyakit
Pro Justitia 27, no. 2 (2009): 171.

14
yang diderita pasien. Namun dimaksud Pasal 338 KUHP
perlu diingat bahwa dokter tidak yang secara tegas menyatakan
akan mengobati penyakit yang “Barang siapa sengaja
tidak dapat disembuhkan. 33 merampas nyawa orang lain
Munculnya permintaan diancam, karena pembunuhan
tindakan medis untuk dengan pidana penjara paling
mengakhiri kehidupan pada lama lima belas tahun”, atau
akhir – akhir ini seperti pada pembunuhan berencana
kasus Hasan Kesuma yang sebagaimana dalam Pasal 340
mengajukan suntik mati untuk KUHP yang menyatakan
istrinya, Ny. Again dan terakhir “Barang siapa dengan sengaja
kasus Rudi Hartono yang dan dengan rencana lebih dulu
mengajukan hal yang sama merampas nyawa orang lain
untuk istrinya, Ny. Siti Zuleha, diancam, karena pembunuhan
maka perlunya dicermati secara berencana, dengan pidana mati
hukum. Kedua kasus ini secara atau pidana penjara seumur
konseptual dikualifikasi sebagai hidup atau selama waktu
non-voluntary eutanasia, tetapi tertentu paling lama dua puluh
secara yuridis formal (meninjau tahun” 35.
KUHP) kasus ini tidak bisa Seperti yang telah diketahui
dikualifikasikan sebagai bahwa eutanasia merupakan
eutanasia sebagaimana yang perbuatan yang dilarang dan
tertera dalam Pasal 344 KUHP dapat menimbulkan ancaman
34
. Secara yuridis formal kasus pidana seperti yang diatur pada
tersebut paling memungkinkan Pasal 344 KUHP, namun
untuk disebut sebagai kenyataannya pencantuman
pembunuhan biasa sebagaimana pasal ini dirasa kurang efisien
33
Satriana, “Efektifitas Pengaturan Euthanasia Dalam sebab sulitnya pembuktian.
KUHP Terhadap Pasien Penderita Kanker Dengan Untuk mengatasi hal tersebut,
Kondisi Inpersistent Vegetative State.”
34
Muh Amiruddin, “Perbandingan Pelaksanaan 35
Hermien Hardiati Koeswadji, Hukum Kedokteran.
Euthanasia di Negara yang Menganut Sistem Hukum Studi tentang Hubungan Hukum dalam Mana Dokter
Eropa Kontinental dan Sistem Hukum Anglo Saxon,” sebagai Salah Satu Pihak (Jakarta: PT. Aditya Bakti,
Jurnal Jursprudencie 4, no. 1 (2017). 1998).

15
maka Leenen melalui Supriati jelaslah bahwa pengaturan
Tjahjaningtyas, menanyakan eutanasia yang lengkap sampai
kepada pembuat undang - saat ini belum ada, padahal
undang agar ketentuan yang masalah eutanasia ini
terdapat pada Pasal 344 KUHP menyangkut nyawa manusia
ditambahkan dengan ayat - ayat dan kasus-kasusnya mulai
yang memuat ketentuan tentang semakin bermunculan. Untuk
36
: itu penanggulangan masalah
1. Pengecualian penjatuhan eutanasia, perlu diatur aturan
pidana terhadap eutanasia khusus sehingga tidak
seorang pasien, bila dilakukan bertentangan dengan hukum,
oleh seorang dokter yang moral dan agama. Perlunya
mengobatinya. menserasikan masalah eutanasia
2. Beberapa keharusan dengan hukum, dimaksudkan
mengenai prosedur seperti agar eutanasia tidak merupakan
pernyataan pasien secara tertulis suatu hal yang dilematis bagi
dan konsultasi dokter lain. dokter. Menurut hemat penulis,
Leenen melalui usulannya agar eutanasia diperoleh dasar
apabila diterima, maka tidak tindakan medis untuk
dapat dipungkiri akan berakibat kesejahteraan umat manusia.
terhadap sesuatu yang lebih Perlunya aturan pelegalan
penting dan lebih luas serta eutanasia didasarkan pada
prinsipal jangkauannya, yaitu berkembang luasnya pokok-
kemungkinan adanya pokok pikiran baru yang
pengakuan terhadap hak muncul yakni 37
: Pertama,
manusia untuk menentukan bahwa orang mempunyai hak
nasib sendiri (the right for self untuk menentukan dirinya
determination). sendiri dalam arti the right to
Dilihat dari segi hukum self determination. Kedua,
36
Leenen, “Rechten van morsen inde
Gezcnheidszorg” on Supriati Tjahjaningtyas 37
Khoiruddin Manahan, “Euthanasia Dalam Perspektif
(Euthanasia Ditinjau Dari Hukum Pidana yang Berlaku Hukum Positif Dan Politik Hukum Pidana Di
di Indonesia),” 1986. Indonesia,” Usu Law Journal 6, no. 3 (2018): 98.

16
bahwa orang bukan mempunyai healty are moving).
hak untuk mati, melainkan hak Meninjau perkembangan
untuk hidup dan mati (the right ilmu hukum setelah tahun 1987,
choose beetwen life and death) muncul pemikiran baru tentang
dalam arti jika seseorang eutanasia sebagai standart
mempunyai hak untuk hidup, pengakuan hukum yang bersifat
maka sama juga mempunyai komplementer, yaitu 38:
hak untuk menentukan akhir
1. Dapat melepaskan dari
kehidupannya. Ketiga, bahwa
tuntutan hukum apabila
manusia tidak boleh dipaksa
dokter telah menjalankan
untuk menderita yang tidak
tugas sesuai dengan etika
dapat ditanggungnya dalam arti
medis dan bertindak secara
sama dengan penganiayaan
profesional medis.
(many individual today are
afraid of protected dying and 2. Dapat melepaskan diri dari
dependence. It would be logical tuntutan hukum apabila
for the society to permit the dalam bentuk pseudo
termination of useless torture). eutanasia, dalam arti:
Keempat, bahwa eutanasia
a. Mengakhiri perawatan
merupakan tindakan untuk
pasien karena gejala
mengakhiri hidup seseorang
mati batang otak;
atas permintaan orang yang
bersangkutan karena penyakit b. Mengakhiri hidup
yang dideritanya (eutanasia is seseorang dalam
the act of putting to death keadaan darurat
painlessly a person suffering (emergency);
froman incruable disease).
c. Memberhentikan
Kelima, bahwa sudah semakin
perawatan medis yang
dipahami tentang definisi hidup
tidak berguna lagi dan
mati dan kesehatan tidak statis
dokter menolak
(the definition of life, death, and
38
Ibid.

17
perawatan medis berupa melegalkan eutanasia
auto eutanasia melalui hukum positifnya
mengingat tanpa ijin yang diatur dalam wet van
pasien dokter tidak 12 April 2001 Wet toetsing
diperkenankan levensbeeindiging op
melakukan tindakan verzoek en hulp bij
medis karena zelfdoding atau Undang -
bertentangan dengan Undang mengenai
asas keperdataan. Pengakhiran Kehidupan
atas Permintaan dan Bunuh
Perkembangan pokok-pokok
Diri Terbantu (The
pikiran tentang eutanasia yang
Termination of Life on
menjadi ukuran medis normatif
Request and Assisted
di atas dapat dijadikan ukuran
Suicide) dan mulai berlaku
medis normatif dalam
pada 1 April 2002 39.

perkembangan penegakan
Belanda menjadi
hukum khususnya eutanasia di
paradigma utama eutanasia
Indonesia. Perlunya
dalam praktik di dunia saat
perkembangan hukum ini
ini. Asosiasi Medis
mengingat perubahan nilai
Belanda adalah satu -
yang kerap terjadi di
satunya di dunia yang
masyarakat dan sifat hukum
menerima bahwa praktik
yang dinamis sehingga
medis terdiri dari
menjadikan legalisasi eutanasia
penyembuhan dan
dalam pembaharuan rumusan
peningkatan kesehatan,
hukum pidana di Indonesia
tetapi juga membantu
sebagai sesuatu yang memiliki
pasien mencapai kematian
potensial nyata.
yang damai dan
b. Pelaksanaan Euthanasia di
bermartabat.
Beberapa Negara
Eutanasia atau bunuh
1. Belanda
39
Ferreira, “Revisiting Euthanasia: A Comparative
Belanda telah Analysis of a Right to Die in Dignity.”

18
diri dengan bantuan tidak diantisipasi dari pasien
dianggap sebagai yang berusia setidaknya
pelanggaran jika kondisi enam belas tahun);
tertentu terpenuhi. Penting b. Dokter memberitahu pasien
untuk dicatat bahwa tentang situasi yang terjadi
eutanasia dan bunuh diri dan prospek yang akan
dengan bantuan masih terjadi; Menurut pendapat
dianggap sebagai tindak medis yang berlaku,
pidana sebagaimana yang penderitaan pasien tidak
tertera pada Articles 293 tertahankan dan tidak ada
dan 294 Criminal Code.40 prospek perbaikan;
Sebagai konsekuensi dari c. Dokter dan pasien
amandemen oleh peraturan mendiskusikan alternatif
ini, maka dokter yang untuk eutanasia dan telah
bertanggung jawab tidak sepakat bahwa tidak ada
dituntut jika dia telah solusi lain yang dapat
mengamati secara cermat diperkirakan;
kriteria yang terdapat pada d. Dokter berkonsultasi
Section 2 of the Act dan dengan setidaknya satu
melaporkan intervensinya dokter lain dengan sudut
ke ahli patologi. pandang independen, yang
Kriterianya adalah sebagai pasti pernah melihat pasien
berikut 41: dan memberikan pendapat
a. Ada permintaan eutanasia tertulis tentang kriteria
secara sukarela, perawatan;
pertimbangan dengan baik, e. Eutanasia dilakukan sesuai
adanya kemauan yang kuat, dengan praktik kedokteran
dan eksplisit (pembuatan yang baik.
permintaan tertulis yang Seperti yang telah
40
Rospita A. Siregar, “Euthanasia dan Hak Asasi disebutkan, dokter
Manusia,” Jurnal Hukum to-ra 1, no. 3 (2015): 199.
41
Ferreira, “Revisiting Euthanasia: A Comparative melaporkan kepada ahli
Analysis of a Right to Die in Dignity.”

19
patologi tentang eutanasia maka dapat dihukum
yang telah dipraktikkan. penjara selama 12 tahun,
Laporan ini sangat rinci tergantung pada verifikasi
dan harus memberikan .
42

jawaban yang lengkap Alasan yang paling


untuk semua aspek penting relevan Belanda memimpin
terkait penyakit, alasan dalam menetapkan aturan
permintaan untuk progresif tentang eutanasia
eutanasia, hasil konsultasi karena berkaitan dengan
dengan dokter / dokter lain ciri - ciri agama dan sosial
dan pelaksanaan eutanasia Belanda dimana tradisi
itu sendiri. Selanjutnya, toleransi agama dan moral
ahli patologi melaporkan telah berkontribusi pada
kasus kepada komite masyarakat yang
peninjau regional, yang demokratis dan permisif.
menilai apakah dokter yang Orang - orang dianggap
merawat bertindak sesuai sangat mandiri, menghargai
dengan kriteria perawatan. integritas moral dan adanya
Jika memenuhi kriteria semangat membela
tersebut, maka laporan kebebasan warga sipil.
tersebut akan disimpan Selain itu, peran dokter
dalam arsip, jika tidak keluaraga dan karakteristik
panitia menyerahkan sistem hukum juga
ketidaksesuainnya kepada menambah kekuatan
Kejaksaan, yang akan legalisasi eutanasia 43.
memutuskan apakah akan 2. Belgia
melakukan penuntutan atau Penahanan dan
tidak. Apabila seorang pencabutan pengobatan
dokter tidak taat pada telah lama diterima secara
kriteria yang ditetapkan umum di Belgia. Selain itu,
dalam undang - undang, 42
Ibid.
43
Ibid.

20
dukungan populer untuk dapat disembuhkan;
eutanasia mencapai 72 % e. Adanya verifikasi kapasitas
dari populasi pada tahun dokter untuk menyatakan
2001 . Proses legalisasi
44
permintaan, usia dan
eutanasia memakan waktu kesadaran pasien;
total tiga tahun dan f. Permintaan harus sukarela,
dianggap menghasilkan diulang dan dipertimbangkan
rezim yang lebih ketat dengan hati - hati, serta
daripada rezim Belanda. bukan karena tekanan dari
Undang - undang Belgia luar;
yang melegalkan eutanasia g. Permintaan harus ditulis,
yaitu Act of 28 May 2002 diberi tanggal dan
on Eutanasia baru efektif ditandatangani, dapat
berjalan pada tanggal 20 dibuat pada saat itu sendiri
September 2002. Adapun atau sebelumnya (masa
persyaratan pelaksanaan berlaku terbatas hingga 5
eutanasia berdasarkan tahun) dan dapat dicabut
Article 3 adalah sebagai atau diubah kapan saja;
berikut : h. Wawancara antara dokter
a. Usia atau pasien minor yang dan pasien dimana dokter
dibebaskan, tetapi minimal menginformasikan pasien
berumur 15 tahun; tentang pilihan terapi yang
b. Penderitaan fisik atau mental mungkin masih tersedia
yang terus - menerus dan tak dan mengadakan
tertahanlam dan tidak dapat wawancara berkala untuk
diredakan; memastikan bahwa pasien
c. Adanya sesuatu akibat dari secara fisik atau psikis
gangguan yang tidak terus menerus menderita
disengaja atau patologis; dan mengulangi
d. Kondisi serius dan tidak permintaannya.
Belgia sendiri
44
Ibid.

21
mempunyai Komisi Federal Articles 393, 394, and 397
yang bertugas mengontro; Penal Code. Komisi ini
dan mengevaluasi juga bertugas untuk
penerapan undang – menyampaikan kepada
undang. Semua dokumen DPR laporan – laporan
pasien yang telah menerima yang menjelaskan dan
eutanasia, dengan mengevaluasi penerapan
menyebutkan persyaratan undang – undang ini, serta
tindakan dan prosedur apa memberikan rekomendasi
saja yang telah dilakukan untuk perubahan atau
dikirimkan ke Komisi penambahan undang –
Federal. Kemudian, komisi undang bila diperlukan.
ini memverifikasi apakah 3. Luxembourg
prosedur yang telah Pada 16 Maret 2009,
dilakukan sesuai dengan eutanasia dan bunuh diri
aturan yang berlaku. dengan bantuan disahkan di
Apabila ada pelanggaran, Luksemburg, dan saat ini
Komisi ini meneruskan diatur oleh Comissão
berkas tersebut ke Nacional de Controle e
Kejaksaan dan kasus Avaliação (Komisi Nasional
tersebut akan ditangani untuk Pengendalian dan
sesuai dengan ketentuan Penilaian) 45. Undang-undang
umum hukum pidana yang tersebut mencakup orang
berlaku. Menurut hal ini, dewasa yang kompeten,
perawat medis professional orang dengan penyakit yang
yang bertanggungjawab tidak dapat disembuhkan dan
dapat dituntut dengan mematikan yang
pembunuhan sukarela, menyebabkan penderitaan
pembunuhan berencana fisik atau psikologis yang
atau pembunuhan beracun 45
et.al Castro, Mariana Parreiras Reis de Castro,
“Euthanasia and assisted suicide in western countries:
seperti yang terdapat dalam a systematic review,” The Revista Bioetica Research
24, no. 2 (2016).

22
terus-menerus dan tak hari. Menurut laporan
tertahankan, tanpa terakhir Komisi, antara 2009
kemungkinan pemulihan. dan 2014, 34 kasus kematian
Pasien harus meminta yang dibantu telah terdaftar.
prosedur melalui "ketentuan Dari jumlah tersebut, 21
akhir hidupnya", yang adalah perempuan, sebagian
merupakan dokumen tertulis besar berusia antara 60 dan
yang wajib didaftarkan dan 79; 27 menderita kanker dan
dianalisis oleh Komisi 22 menjalani prosedur di
Nasional untuk Pengendalian rumah sakit 46.
dan Penilaian (Comissão
Nacional de Controle e
Avaliação). Dokumen
tersebut juga memungkinkan
pasien untuk mencatat
keadaan di mana dia ingin
menjalani kematian bantuan,
yang dilakukan oleh dokter
yang dipercaya oleh
pemohon. Permintaan dapat
dicabut oleh pasien setiap
saat, dan dalam hal ini akan
dihapus dari rekam medis.
Sebelum prosedur, dokter
harus berkonsultasi dengan
ahli independen lain, tim
kesehatan pasien, dan “orang
terpercaya” yang ditunjuk
oleh pasien; setelah selesai,
kematian harus dilaporkan ke
Komisi dalam waktu delapan
46
Ibid.

23
Tabel 1. Pelaksanaan Eutanasia
di Berbagai Negara

No Negara Pengaturan

1. Belanda Diatur dalam wet


van 12 April 2001
Wet toetsing
levensbeeindiging
op verzoek en hulp
bij zelfdoding atau
Undang - Undang
mengenai
Pengakhiran
Kehidupan atas
Permintaan dan
Bunuh Diri
Terbantu (The
Termination of Life
on Request and
Assisted Suicide)
dan mulai berlaku
pada 1 April 2002.

2. Belgia Undang - undang


Belgia yang
melegalkan
eutanasia yaitu Act
of 28 May 2002 on
eutanasia baru
efektif berjalan pada
tanggal 20
September 2002.

3. Luxembourg Diatur oleh


Comissão Nacional
ade Controle e E. Simpulan
Avaliação (Komisi
Nasional untuk Hak untuk hidup yang tidak
Pengendalian dan boleh dicabut secara semena-mena
Penilaian)
atau “arbitrarily deprived” yang
dilaksanakan dengan membatasi

24
cakupan dari hak tersebut, dan oleh ketentuan lain yang digunakan untuk
karena itu merupakan tugas negara menjerat pelaku euthanasia, yaitu Pasal
untuk memastikan hak untuk hidup. 356 ayat (3) KUHP yang menegaskan
Negara yang memperbolehkan bahwa “Penganiayaan yang dilakukan
euthanasia harus menyediakan dengan memberikan bahan yang
prosedur keselamatan yang efektif berbahaya bagi nyawa dan kesehatan
supaya tidak digunakan sebagai untuk dimakan atau diminum”.
penyalahgunaan. Kemudian Pasal 304 KUHP yang
Hadirnya eutanasia dianggap menegaskan “Barang siapa dengan
sebagai hak asasi manusia berupa hak sengaja menempatkan atau membiarkan
untuk mati yang dianggap dapat seorang dalam keadaan sengsara,
mendatangkan kebahagiaan dan padahal menurut hukum yang berlaku
menyenangkan bagi dirinya. Hak baginya atau karena persetujuan, dia
untuk menentukan nasib sendiri wajib memberikan kehidupan,
merupakan bagian dari Hak Asasi perawatan, atau pemeliharaan kepada
Manusia, pada hakekatnya hak ini orang itu, diancam dengan pidana
menjadi bagian bagi hak-hak dasar penjara paling lama dua tahun delapan
tertentu, termasuk dalam hal ini hak bulan atau denda paling banyak tiga
dari pasien untuk menentukan ratus rupiah” serta Pasal 306 ayat (2)
pilihannya dalam hal pelayanan KUHP yang menyatakan “Jika
kesehatannya. mengakibatkan kematian, perbuatan
Dalam hukum positif di tersebut dikenakan pidana penjara
Indonesia tidak dimungkinkan maksimal Sembilan tahun”. Pasal 304
melakukan pegakhiran hidup seseorag dan Pasal 306 ayat (2) KUHP ini
karena dalam pasal Pasal 344 KUHP memberikan penegasan bahwa dalam
secara tegas menyatakan : “Barang siapa konteks peraturan perundang –
merampas nyawa orang lain atas undangan, meninggalkan orang yang
permintaan itu sendiri yang jelas membutuhkan pertolongan juga
dinyatakan dengan kesungguhan hati dikualifikasi tindak pidana. Di sisi lain,
diancam dengan pidana penjara paling terdapat beberapa Negara yang sudah
lama dua belas tahun”. Terdapat melegalkan eutanasia diantaranya adalah

25
Belanda, Belgia, Luxembourg, Amerika
Serikat, Inggris, dan Australia.

26
DAFTAR PUSTAKA no. 8 (2005): 6.
Amiruddin, Muh. “Perbandingan Halim, Abd. “Euthanasia Dalam Perspektif
Pelaksanaan Euthanasia di Negara yang Moral Dan Hukum.” Jurnal Pemikiran
Menganut Sistem Hukum Eropa Hukum Al-Mazaib 1 (2012): 4.
Kontinental dan Sistem Hukum Anglo Hayati, Nur. “Euthanasia Dalam Perspektif
Saxon.” Jurnal Jursprudencie 4, no. 1 Hak Asasi Manusia dan Kaitannya
(2017). dengan Hukum Pidana.” Lex Jurnalica
Baker, Philip. “Human rights and the law.” 1, no. 2 (2004): 93.
Australian Human Rights Commission Koeswadji, Hermien Hardiati. Hukum
6, no. 3 (2016): 26–27. Kedokteran. Studi tentang Hubungan
Castro, Mariana Parreiras Reis de Castro, Hukum dalam Mana Dokter sebagai
et.al. “Euthanasia and assisted suicide in Salah Satu Pihak. Jakarta: PT. Aditya
western countries: a systematic review.” Bakti, 1998.
The Revista Bioetica Research 24, no. 2 Leenen. “Rechten van morsen inde
(2016). Gezcnheidszorg” on Supriati
Dhamayanti, Ni Gusti Ayu Agung Febri, dan Tjahjaningtyas (Euthanasia Ditinjau
Made Nurmawati. “Tinjauan Yuridis Dari Hukum Pidana yang Berlaku di
Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum Indonesia),” 1986.
Pidana.” Jurnal Kertha Wicara 8, no. 10 Manahan, Khoiruddin. “Euthanasia Dalam
(2019): 11. Perspektif Hukum Positif Dan Politik
Dworkin, Ronald. Sovereign Virtue The Hukum Pidana Di Indonesia.” Usu Law
Theory and Practice of Equality. Journal 6, no. 3 (2018): 98.
Cambridge, Massachusetts: Harvard Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.
University Press, 2000. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Faiz, Pan Mohamad. “Pendekatan MK 2005.
terhadap Konstitusionalitas Hukuman Natasya, Cica. “Euthanasia- the Australian
Mati.” Majalah Konstitusi. jakarta, Law in an International Context Part I :
Februari 2015. Passive Voluntary Euthanasia Research
Ferreira, Nuno. “Revisiting Euthanasia: A Paper.” Parliamentary Library Research
Comparative Analysis of a Right to Die Paper 7, no. 3 (1996): 3.
in Dignity.” SSRN Electronic Journal 4, Nowak, Manfred. U.N. Covenant on Civil

27
and Political Rights : CCPR Van der Ven, J. A. Human rights or religious
commentary / Manfred Nowak. rules? Leiden/Boston: Brill, 2010.
Germany: Arlington, Va., U.S.A. : N.P. Zdenkowski, George. “Human rights and
Enge, 2005. euthanasia.” Deutsches Zentralblatt fur
Paulus, Pingkan K. “Kajian euthanasia Krankenpflege 11, no. 1 (2015): 12.
menurut HAM (Studi banding hukum Ziebertz, Hans-Georg, dan Francesco
nasional Belanda).” Columbia Law Zaccaria. Euthanasia, Abortion, Death
Review 33, no. 1 (2016): 123. Penalty and Religion : The Right to Life
Pradjonggo, Tjandra Sridjaja. “Suntik Mati and its Limitations: International
(Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Empirical Research. Switzerland:
Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia Springer Nature Switzerland AG, 2019.
di Indonesia.” Jurnal Ilmiah Pendidikan https://b-ok.asia/book/3662620/e091a3.
Pancasila dan Kewarganegaraan 1, no.
1 (2016): 61.
Satriana, Made Wahyu Chandra. “Efektifitas
Pengaturan Euthanasia Dalam KUHP
Terhadap Pasien Penderita Kanker
Dengan Kondisi Inpersistent Vegetative
State.” In Seminar Nasional Riset
Inovatif 6, 341, 2018.
Siregar, Rospita A. “Euthanasia dan Hak
Asasi Manusia.” Jurnal Hukum to-ra 1,
no. 3 (2015): 199.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mahmudi.
Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Grafindo
Persada, 1986.
Suwarto. “Euthanasia dan Perkembangannya
Dalam Kitab Undang - Undang Hukum
Pidana.” Jurnal Hukum Pro Justitia 27,
no. 2 (2009): 171.

28

Anda mungkin juga menyukai