Anda di halaman 1dari 48

Referat Ujian

EUTHANASIA

Oleh:
Gusti Rivanty Sukma Iskandar Putri
1730912320050

Pembimbing:
dr. Iwan Aflanie, M. Kes, Sp.F, SH

BAGIAN/SMF FORENSIK
FK ULM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Januari, 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4
A. Definisi ……………………………………… ............................. 4
B. Jenis-Jenis Euthanasia ................................................................... 6
C. Obat Yang Digunakan Untuk Euthanasia...................................... 7
D. Pandangan Mengenai Euthanasia……………………………… .. 13
E. Euthanasia Menurut Hukum Di Berbagai Negara…………… ..... 18
F. Tinjauan Kedokteran Terhadap Euthanasia……………............... 40
G. Tinjauan Filosofi-Etis Terhadap Euthanasia ................................. 42
BAB III KESIMPULAN …………………………………………………… ... 44
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan

seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter

dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan

jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan. Tugas seorang dokter

adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah

tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah

penderitaan seorang pasien. Penghentian pertolongan tersebut merupakan salah

satu bentuk euthanasia.1

Euthanasia adalah melepaskan kehidupan seseorang agar terbebas dari

penderitaan, atau mati secara baik (mati dengan tenang). Masalah ini makin sering

dibicarakan dan mencuri banyak perhatian karena semakin banyak kasus yang

dihadapi dikalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah ditemukan

tindakan pengobatan dengan menggunakan teknologi canggih dalam mengatasi

keadaan-keadaan gawat darurat dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak

kasus-kasus dipusat pelayanan kesehatan terutama di instansi gawat darurat dan di

unit perawatan intensif yang pada masa dulu sudah merupakan kasus yang tidak

dapat dibantu lagi. Dengan demikian, pada kasus-kasus tertentu tetap saja muncul

kembali persoalan-persoalan dasar, yaitu dilema meneruskan atau tidak tindakan

medis yang memperpanjang kehidupan.2

1
Sejauh ini Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia

(Mercy killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan

dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang.

Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui

tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. Ada beberapa

pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa

setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya

dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu

alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk

sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera

diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia

beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya,

karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa

diganggu gugat oleh manusia.2

Perdebatan mengenai euthanasia tidak akan pernah berakhir, karena sudut

pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan

tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada

dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur

dalam pasal 344 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Di Negara-negara

Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri

yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya

dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-

persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.2

2
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar

biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat

disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal.

Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis

tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk

mengusahakan obat atau tindakan medis.2

Bila ditelusuri, hukum di Indonesia belum mengatur euthanasia tetapi mengingat

kondisi tertentu pasien, bisa saja pengadilan mengambil terobosan hukum baru atas

kasus yang secara medik tidak bisa lagi disembuhkan dan dokter sudah angkat

tangan. Meski dalam sejumlah kasus lain berbagai alasan seperti moral, etika,

maupun religius, ada kecenderungan euthanasia dapat saja tetap dinyatakan tabu

dan terlarang untuk dilakukan. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati

disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Jika memang dokter sudah angkat

tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih

butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus

diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan

proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.2

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “euthanathos”.“Eu” berarti

baik sedangkan “thanathos” berarti kematian. Dengan demikian secara etimologis,

euthanasia dapat diartikan kematian yang baik atau bahagia, atau pembunuhan

karena belas kasihan. Dalam arti aslinya (Yunani), kata ini lebih berpusat pada cara

seseorang mati yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada

percepatan kematian. Sedangkan menurut Majelis Kehormatan Etik Kedokteran

Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, euthanasia dapat diartikan dalam tiga

hal yaitu: 3

1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan tanpa penderitaan.

2. Waktu hidup akan berakhir, penderitaan pasien diperingan dengan memberi

obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan

pasien sendiri atau keluarganya.

Konsep euthanasia dalam Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai

kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang

penuh penderitaan dan tak tersembuhkan. Sedangkan dalam kamus kedokteran

Dorland, euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, ada suatu kematian

yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati,

4
pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tidak dapat

disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan sengaja. 3

Terdapat sejumlah pengertian tentang euthanasia, antara lain sebagai berikut:3

1. Plato

Euthanasia adalah mati dengan tenang dan baik.

2. Gezondheidsraad ( Belanda )

Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup

ataupun dengan sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang hidup demi

kepentingan pasien oleh seorang dokter atau bawahannya yang bertanggung

jawab padanya.

3. Van Hattum

Euthanasia adalah sikap mempercepat proses kematian pada penderita –

penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan atau

tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu

korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya

dan untuk membantu keluarganya menghindarkan diri melihat penderitaan

korban dalam menghadapi saat kematiannya.

Dalam arti yang lebih sempit, euthanasia dipahami sebagai mercy killing yaitu

membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah

terhadap anak cacat, orang sakit jiwa atau orang sakit tak tersembuhkan. Tindakan

itu dilakukan agar janganlah hidup yang dianggap tidak bahagia itu diperpanjang

dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat. Akhir-akhir ini banyak

terdengar sebutan lain lagi seperti assisted suicide atau bunuh diri yang dibantu oleh

5
dokter. Maksudnya adalah dokter membantu pasien terminal untuk membunuh

dirinya jika ia memilih untuk mengakhiri penderitaannya. Hal ini biasanya

dilakukan dengan menulis resep untuk obat yang mematikan dalam dosis besar.

Perbedaan dengan euthanasia adalah bahwa pasien terminal membunuh dirinya

sendiri, ia tidak “dibunuh” oleh dokternya. Karena alasan itu, secara psikologis,

bunuh diri dengan bantuan seperti itu barangkali tidak membebani hati nurani

profesi medis daripada euthanasia langsung, tetapi secara etis tidak ada banyak

perbedaan.4

B. Jenis-Jenis Euthanasia

I. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui

intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup

manusia. Euthanasia aktif dibagi menjadi euthanasia aktif langsung dan tidak

langsung. Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tidakan medik secara

terarah yang untuk mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien.

Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing. Euthanasia aktif tidak

langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik

untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut

dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. 4

II. Euthanasia pasif

Euthanasia pasif artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau

tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak

memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya,

6
terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat

ataupun terapi tidak berguna lagi. Pada intinya menghentikan terapi yang telah

dimulai dan terapi yang sedang berlangsung.

III. Euthanasia voluntary

Euthanasia volunteer adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien

sendiri dan dilakukan secara sadar.4

IV. Euthanasia involunteer

Euthanasia involunteer adalah euthanasia yang dilakukan tanpa permintaan

atau persetujuan dari pasien.4

V. Euthanasia Non-volunteer

Euthanasia yang dilakukan pada pasien yang tidak dapat membuat keputusan.4

C. Obat Yang Digunakan Untuk Euthanasia

Obat euthanasia menyebabkan kematian dengan tiga mekanisme dasar: 5

a. Hipoksia langsung atau tidak langsung.

b. Depresi langsung pada saraf-saraf yang penting untuk fungsi kehidupan.

c. Mengganggu aktivitas otak dan merusak saraf-saraf yang penting untuk

kehidupan.

Obat-obat yang menginduksi kematian dengan hipoksia secara langsung

ataupun tidak langsung, dapat bekerja pada berbagai tempat dan menyebabkan

hilangnya kesadaran. Untuk kematian tanpa rasa sakit, hilangnya kesadaran harus

mendahului hilangnya aktivitas motorik (pergerakan otot). Namun, hilangnya

aktivitas motorik tidak dapat disamakan dengan hilangnya kesadaran dan tidak ada

penderitaan. Obat yang menginduksi paralisis otot tanpa hilangnya kesadaran tidak

7
diterima sebagai satu-satunya obat euthanasia, misalnya relaksan otot depolarisasi

dan nondepolarisasi, striknin, nikotin, dan garam magnesium. 5

Obat-obat anestesi yang menekan sel saraf otak, menyebabkan hilangnya

kesadaran kemudian dapat berlanjut ke kematian. Beberapa obat-obat ini

melepaskan inhibisi ke aktivitas motorik selama stadium awal anestesi,

menyebabkan yang disebut fase delirium atau eksitasi, dimana mungkin terdapat

vokalisasi dan beberapa kontraksi otot. Kematian mengikuti hilangnya kesadaran

diakibatkan oleh henti jantung dan/atau hipoksemia akibat depresi pusat

pernapasan.5

Kerusakan fisik pada aktivitas otak disebabkan oleh gegar otak sedangkan

kerusakan langsung pada otak atau depolarisasi elektrik pada saraf menyebabkan

hilangnya kesadaran dengan cepat. Kematian terjadi karena kerusakan pusat otak

bagian tengah yang mengontrol aktivitas jantung dan pernapasan. Aktivitas otot

yang berlebihan dapat mengikuti hilangnya kesadaran namun tidak terasa

menyakitkan. 5

1. Obat Inhalasi

Obat yang diinhalasi harus mencapai konsentrasi tertentu pada alveolus untuk

menimbulkan efek, sehingga euthanasia dengan obat inhalasi membutuhkan

beberapa waktu. Euthanasia dengan inhalasi membutuhkan konsentrasi yang tinggi

untuk mempercepat hilangnya kesadaran. Kecocokan beberapa obat bergantung

pada ada tidaknya kesulitan saat awal inhalasi dengan saat hilangnya kesadaran.

Beberapa obat dapat menyebabkan konvulsi, tetapi umumnya diikuti oleh

hilangnya kesadaran. Obat yang lebih menyebabkan konvulsi tidak dipergunakan

8
untuk euthanasia. Yang patut diperhatikan adalah peningkatan konsentrasi obat

alveolar melambat pada pernapasan yang menurun, sehingga diperlukan metode

euthanasia yang lain (misalnya dengan injeksi).5

Obat-obat inhalasi yang digunakan untuk anastesi (misalnya eter, halotan,

metoksifluran, isofluran, sevofluran, desfluran, dan enfluran) telah banyak

digunakan untuk euthanasia.

 Halotan menginduksi anestesi dengan cepat dan merupakan anestesi inhalasi

paling efektif untuk euthanasia.

 Enfluran lebih kurang larut dalam darah dibandingkan halotan, tetapi karena

tekanan uap dan potensinya yang lebih rendah, laju induksi dapat sama dengan

halotan. Dalam kondisi anestesi yang dalam, enfluran dapat menyebabkan

kejang.

 Isofluran lebih kurang larut dibanding halotan dan dapat menginduksi anestesi

lebih cepat. Namun, memiliki aroma yang tajam dan menyebabkan napas agak

tertahan, sehingga memperlambat onset hilangnya kesadaran. Isofluran juga

mungkin membutuhkan obat yang lebih untuk membunuh seseorang,

dibandingkan dengan halotan. Halotan lebih disukai untuk euthanasia

dibandingkan dengan isofluran.

 Sevofluran kurang larut dibandingkan dengan halotan dan tidak memiliki bau

yang tidak menyenangkan. Potensinya lebih kurang dibandingkan isofluran dan

halotan dan memiliki tekanan uap yang lebih rendah. Konsentrasi anestesi dapat

dicapai dan dipertahankan dengan cepat.

9
 Desfluran saat ini merupakan anestesi inhalasi dengan kelarutan paling rendah

tetapi uapnya berbau sangat tajam yang dapat memperlambat induksi. Obat ini

sangat bersifat volatil sehingga dapat menggantikan oksigen dan menginduksi

hipoksemia selama induksi jika oksigen tambahan tidak tersedia.

 Metoksifluran bersifat sangat larut dan memperlambat induksi anestesi dengan

penggunaannya yang dapat disertai dengan agitasi.

 Eter memiliki kelarutan yang tinggi dalam darah dan menginduksi anestesi dengan

lambat. Eter mengiritasi mata dan hidung, menyebabkan risiko yang tinggi

sehubungan dengan sifatnya yang mudah terbakar dan meledak. 5

Euthanasia dapat dilakukan dengan pemberian gas non-anestetik. Contohnya

adalah penggunaan zat karbon dioksiada secara inhalasi. Udara dalam ruangan

mengandung 0.04% karbon dioksida (CO2). Inhalasi CO2 pada konsentrasi 7.5%

meningkatkan ambang batas rangsang nyeri, dan pada konsentrasi yang lebih

tinggi, CO2 memiliki efek anestesi yang cepat. Leake and Waters melaporkan

bahwa pada konsentrasi 30% hingga 40% CO2 dalam O2, anestesi terinduksi dalam

1 hingga 2 menit, biasanya tanpa kesusahan, dan muntah.Waktu untuk hilangnya

kesadaran semakin cepat pada konsentrasi CO2 yang lebih tinggi. Waktu untuk

hilangnya kesadaran akan lebih lama jika konsentrasi gas dinaikkan secara perlahan

dibandingkan langsung memberikan konsentrasi penuh. Beberapa ilmuan telah

melaporkan bahwa inhalasi CO2 berkonsentrasi tinggi dapat menyebabkan rasa

sakit, karena gas asam karbonat yang dihasilkan oleh CO2 dapat merangsang saraf

nosireseptor pada mukosa nasal. 5

10
Nitrous oksida (N2O) dapat digunakan dengan obat inhalasi lain untuk

mempercepat onset anestesi. Jika hanya menggunakan N 2O, bahkan pada

konsentrasi 100%, tidak dapat menginduksi anestesi, dan dapat menyebabkan henti

jantung dan henti napas, sehingga menyebabkan penderitaan sebelum hilangnya

kesadaran. Selain itu ada penelitian yang menggunakan karbon monoksida (CO)

untuk euthanasia dalam percobaan pada hewan yang berukuran kecil. 5

Anestesi inhalasi dapat diberikan dengan kasa yang dibasahkan dengan jumlah

anestesi yang sesuai, atau dapat dengan menggunakan vaporizer. Penggunaan

vaporizer dihubungkan dengan waktu induksi yang lebih lambat, dimana uapnya di

inhalasi hingga pernapasan berhenti dan kematian tiba. Karena hampir semua

anestesi inhalasi yang berada pada fase cair menyebabkan iritasi, maka penggunaan

vaporizer lebih disukai. Oksigen yang cukup harus tersedia selama periode induksi

untuk mencegah hipoksemia. 5

2. Obat Non inhalasi

Penggunaan obat injeksi untuk euthanasia merupakan metode yang paling

cepat dan dapat diandalkan untuk euthanasia. Metode ini dapat dilakukan tanpa

menimbulkan rasa takut atau rasa tertekan. Pemberian secara intraperitoneal dan

intra kardia adalah jarang dan dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu. Cara

pemberian yang tidak dibolehkan adalah secara intramuskular, subkutan,

intrathoraks, intrapulmonal, intrahepatik, intrarenal, intrasplenik dan intrathekal.

a. Asam Barbiturat

Barbiturat menekan sistem saraf pusat dengan pola yang menurun, mulai

dari korteks serebral, dengan hilangnya kesadaran berlanjut ke anestesi.

11
Dengan dosis yang berlebih, anestesi yang dalam berlanjut ke fase apneu

yang menunjukkan penekanan pusat pernapasan, yang diikuti oleh henti

jantung. Semua turunan asam barbiturat yang digunakan unuk anestesi

diberikan secara intravena. Onset kerja yang cepat dan hilangnya kesadaran

yang diinduksi oleh barbiturat menghasilan nyeri minimal atau transies yang

dihubungkan dengan venipuncture. Barbiturat yang digunakan bersifat

poten, dgn waktu kerja yang lama, stabil dalam larutan, dan murah. Natrium

pentobarbital sangat sesuai dengan kriteria ini dan paling banyak digunakan

secara luas, selain itu sekobarbital juga dapat digunakan. Keuntungan

barbiturat yang terutama adalah onset kerja yang cepat, menginduksi

euthanasia dengan lembut, dan tidak mahal dibandingkan obat euthanasia

yang lain. 5

b. Kombinasi Pentobarbital

Beberapa jenis agen euthanasia diformulasikan untuk mencakup turunan

asam barbiturat (biasanya natrium pentobarbital), dengan penambahan agen

anestesi lokal atau agen yang dapat memetabolisasi pentobarbital.

Kombinasi ini tercantum oleh DEA sebagai obat golongan III, membuat

mereka lebih mudah untuk didapatkan, dibeli, dan digunakan dibanding

obat golongan II misalnya natrium pentobarbital. Sifat farmakologi dan

penggunaan kombinasi antara natrium pentobarbital dengan lidokain atau

dengan fenitoin dapat digantikan dengan turunan asam barbiturat murni.

Dosis yang digunakan adalah tiga kali dosis anestesi yaitu sekitar 85mg/kg

sampai 200 mg/kg.5

12
c. Kloral hidrat

Kloral hidrat menekan serebrum dengan lambat. Kematian disebabkan oleh

hipoksemia yang disebabkan dari penekanan progresif pada pusat

pernapasan dan dapat didahului oleh megap-megap, spasme otot, dan

vokalisasi.5

D. Pandangan Mengenai Euthanasia

A. Pandangan Hukum 2,6

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai

pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu

pembunuhan berencana atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.

Dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan

euthanasia, tanpa melihat latar belakang yang dilakukannya euthanasia tersebut.

Tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau

keluarganya dan untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau

rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak,

hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang

tentunya masih ingin hidup dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien

yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal-pasal dalam undang-

undang yang terdapat dalam KUHP pidana. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan

dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, 359. Hubungan hukum dokter-

pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315,

dan 1319 KUH Perdata. Secara formal, tindakan euthanasia di Indonesia belum

13
memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan

hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.

Aspek hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup damai dan

sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati.

Mati justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti

dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam

euthanasia. Sebetulnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,

secara tidak langsung seharusnya tersirat adanya hak untuk mati, apabila dipakai

untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari

segala penderitaan yang hebat.

B. Pandangan Ilmu Pengetahuan 2,6

Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian

kedalam tiga jenis:

1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,

2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,

3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan

pertolongan dokter,

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan

upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan

pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk

mendapatkan kesembuhan atau pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak

boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya

yang dilakukan akan sia-sia bahkan sebaliknya dapat dituduh sebagai suatu

14
kebohongan karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang

lain akan terseret dalam pengurasan dana.

C. Pandangan Agama

Kelahiran dan kematian adalah hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun

didunia ini yang memiliki hak untuk memperpanjang atau memperpendek

uumurnya sendiri. Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melarang tindakan

euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan

melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki

euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam

keadaan sekarat, dapat dikategorikan sebagai putus asa, dan putus asa tidak

berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang

yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam

pernderitaan apalagi sekarat.

1. Agama Islam 7

Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat

menentang dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama

yang menantang euthanasia ini, ada beberapa ulama yang mana

mendukungnya. Menurut pendapat para ulama, bahwa euthanasia boleh

dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi kalau tidak bisa

disembuhkan. Pendapat Ibrahim Hosen ini disandarkan kepada suatu kaidah

ushul fiqh: Al-Irtifaqu Akhaffu Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua

mudlarat. Jadi katanya, langkah ini boleh dipilih karena ia merupakan pilihan

dari dua hal yang buruk. Pertama, penderita mengalami penderitaan. Kedua,

15
jika menular membahayakan sekali. Artinya dia menjadi penyebab orang lain

menderita karena tertular penyakitnya, dan itu dosa besar. Dan beliau bukan

hanya menganjurkan euthanasia pasif tapi juga euthanasia aktif.

Sedangkan menurut Hasan Basri pelaksanaan euthanasia bertentangan, baik

dari sudut pandang agama, undang-undang, maupun etik kedokteran. Dan lebih

lanjut beliau menjelaskan bahwa persoalan hidup mati sepenuhnya hak Allah

SWT. Manusia tidak bisa mengambil hak Allah SWT.

Para ulama telah sepakat bahwa apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa

euthanasia aktif, yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada

saat yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan,

Islam mengharamkannya. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik

dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat

membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan tindakan euthanasia

lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka percaya bahwa yang

berhak menentukan kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas manusia hanya

berikhtiar. Seorang dokter yang melakukan euthanasia bisa saja diajukan ke

pengadilan karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut dilakukan

berdasarkan permintaan pasien. Tetapi kelompok yang mana menyetujui

praktek euthanasia ini lebih melihat pada sisi maslahat dan keadaan yang

menuntut. Seorang penderita secara kronis, hanyalah akan terus menderita

tanpa bisa disembuhkan. Satu-satunya cara untuk meringankan beban pasien

dalam kondisi semacam itu adalah memberikan kepadanya kematian yang

16
damai (mercy killing). Tanpa tindakan ini, para dokter dan kerabat keluarga

hanya akan menyiksa atau membiarkan penderitaan sang pasien.

Islam akan menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis

dalam menghadapi setiap musibah. Sebab seorang mu’min dicipta justru untuk

berjuang, bukanlah untuk tinggal diam, dan untuk berperang bukan untuk lari.

Iman dan budinya tidak mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab

setiap mukmin mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu senjata iman

dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi para penderita untuk bersabar

dan menjadikan penderitaan sebagai sarana pendekatan diri kepada Yang Maha

Kuasa. Agar supaya meringankan derita sakit seorang muslim diberi pelipur

lara oleh Nabi Saw. Dengan sabdanya, Jika seseorang dicintai Tuhan maka ia

akan dihadapkan kepada cobaan yang beragam. Lain halnya dengan mereka

yang tidak mendapatkan alternative lain dalam mengatasi penderitaan dan rasa

putus asa, Islam memberi jalan keluar dengan menjanjikan kasih sayang dan

rahmat Tuhan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Az-Zumar ayat 53:

2. Agama Kristen Katolik dan agama Hindu

Pada agama Katolik Roma tidak mendukung tindakan bunuh diri sama halnya

dengan Hindu yang turut melarang tindakan bunuh diri. Menurut kepercayaan

17
agama Hindu, jika seseorang melakukan bunuh diri, dia tidak akan pergi ke

neraka ataupun surga. Tetapi akan tetap dibumi sebagai roh jahat dan

mengembara tanpa tujuan. Satu pengecualian dalam bunuh diri agama Hindu

adalah mempraktekkan prayopavesa atau puasa sampai mati. Prayopavesa

tidak dihubungkan dengan bunuh diri karena dianggap alami, tidak merugikan,

dan hanya diterima karena mengandung nilai spiritual. 4

3. Agama Budha

Ajaran agama Budha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan

dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup

merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan ada hal tersebut

diatas, maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang

tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal

tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada belas kasih. Mempercepat

kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran

terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi

“karma” negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan

guna menghentikan kehidupan.4

E. Euthanasia Menurut Hukum Di Berbagai Negara

Sejauh ini, euthanasia diperkenankan yaitu di negara Belanda dan Belgia serta

ditoleransi dinegara bagian Oeragon di Amerika dan Swiss dan ada yang

menyatakan euthanasia sebagai suatu kejahatan seperti di Indonesia.

A. Indonesia 1,2,8,9

18
Secara yuridis formal dalam hukum pidana di Indonesia, hanya dikenal satu

bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau

korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur

dalam pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan:”Barang siapa

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang secara jelas

dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama

dua belas tahun”.

Bertolak dari ketentuan pasal 344 KUHP, dapat disimpulkan bahwa

pembunuhan atas permintaan korban sekalipun, tetap diancam pidana bagi

pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum di Indonesia, euthanasia tetap

dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan tidak mungkin dilakukan

pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan

tersebut tetap didiskualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang

diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Di dalam

himpunan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Konsil Kedokteran

Indonesia) Bab III tentang bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, nomor 12 yang

dibuat berdasarkan fatwa IDI nomor 231/PB/4/7/1990 dan World Medical

Association : Declaration of Euthanasia (Madrid, 1987) yang menyatakan bahwa :

“Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehupan pasien atas permintaan

sendiri atau keluarganya” merupakan salah satu bentuk pelanggaran disiplin

kedokteran.

Bertolak dari peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tersebut, setiap dokter

tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan

19
manusia, karena selain bertentangan dengan sumpah kedokteran dan atau etika

kedokteran dan atau tujuan profesi kedokteran, juga bertentangan dengan aturan

hukum pidana. Pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana segala upaya

kedokteran kepada pasien merupakan kesia-siaan (futile) menurut State of the Art

(SOTA) ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan atau keluarga

dekatnya, dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi tetap memberikan

perawatan yang layak (ordinary care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan

untuk berkonsultasi dengan sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.

Secara universal, kewajiban dokter telah tercantum dalam Declaration of

Ganewa yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-dunia di Ganewa

pada bulan September 1948. Didalam deklarasasi ini, terdapat beberapa hal,khusus

untuk Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam

kode etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1968

berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang pernyataan berlakunya

kode etik kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode etik kedokteran

Indonesia ini dibuat berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30

Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969. Dalam bab II pasal 9 dari Kode Etik

Kedokteran Indonesia tersebut, dinyatakan bahwa: “Seorang dokter harus

senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani”. Dan

dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 19 April 2002, pasal 7d yang

berbunyi:”Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi

hidup makhluk insani”.

20
Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan hidupnya dan ini

juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut Kode Etik

Kedokteran Indonesia, dokter tidak diperbolehkan:

1. Menggugurkan kandungan

2. Mengakhiri hidup seorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalamannya

tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).

Dengan demikian, berarti di negara manapun didunia ini, seorang dokter

mempunyai kewajiban untuk menghormati setiap insan mulia saat

terjadinyapembuahan, sesuai yang diatur didalam lafal sumpah dokter. Dalam hal

ini berarti pula bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter

tetap harus melindungi dan mempertahankan pasien itu walaupun sebenarnya sudah

tidak dapat disembuhkan lagi atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan

lamanya. Oleh sebab itu, para dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan

Dokter Indonesia (IDI), menganut paham bahwa hidup dan mati bukan merupakan

hak dari manusia, melainkan hak dari Tuhan Yang Maha Esa (TYME) dan

melakukan tindakan euthanasia melanggar sumpah Hipocrates yanng pernah

diucapkan para dokter.

B. Malaysia 10

Malaysia tidak melegalkan tindakan euthanasia, karena euthanasia tidak dapat

diterima oleh kehidupan multi-agama dan multi-ras di Malaysia. Agama Islam

sebagai agama resmi berperan penting didalam populasi masyarakat di Malaysia.

Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama

Islam Malaysia Kali Ke-97 yang telah dilaksanakan pada tanggal 15-17 Desember

21
2011 telah membahas mengenai Hukum Eutanasia atau Mercy killing,. sehingga

ditetapkan bahwa menghentikan hayat hidup seseorang sebelum ia disahkan mati

dengan menggunakan apa-apa cara adalah haram dan dilarang oleh Islam.

Sehubungan itu, perbuatan mempercepatkan kematian melalui tindakan eutanasia

(samada Eutanasia Voluntary, Non-Voluntary atau Involuntary) atau mercy

killing adalah haram menurut Islam kerana ia menyamai perbuatan membunuh dan

ianya juga bertentangan dengan Etika Perubatan di Malaysia.

Bagaimanapun, dalam keadaan di mana dokter ahli telah mengesahkan bahawa

jantung dan/atau otak pasien telah berhenti berfungsi secara hakiki dan pasien

disahkan tidak ada lagi harapan untuk hidup dan hanya bergantung kepada alat

bantuan pernafasan, Muzakarah memutuskan bahawa tindakan menghentikan alat

bantuan pernafasan tersebut adalah dibenarkan oleh Islam kerana pasien telah

disahkan mati dan tidak diperlukan lagi perawatan. Begitu juga dalam kasus dimana

dokter ahli telah menyatakan bahawa pasien tiada harapan untuk sembuh, maka

tindakan menghentikan perawatan utama dan hanya meneruskan pemberian

perawatan supportive adalah dibenarkan oleh Islam kerana keadaan seperti ini tidak

termasuk dalam tindakan eutanasia atau mercy killing.

C. Belanda 11,12,13

Pada April, Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan

euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April

2002 yang menjadikan Belanda sebagai tempat pertama di dunia yang melegalisasi

praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak

tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tapi perlu ditekankan,

22
bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal, euthanasia dan bunuh

diri masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul

The Slippery Slope of Dutch Euthanasia dalam majalah Human Life International

Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3, melaporkan bahwa sejak

tahun 1994, setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan

tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.

Prosedur tersebut adalah melakukan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus

seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter

untuk melaporkan semua kasus euthanasia dan bunuh diri. Instansi kehakiman akan

menilai betul tidaknya prosedur tersebut. Pada tahun 2002, sebuah konferensi yang

berusia 20 tahun telah dimodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang

dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

D. Australia

Negara bagian Australia, Northen Territory, menjadi tempat pertama di dunia

dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri, meski reputasi ini tidak

bertahan lama. Pada tahun 1995, Northen Territory menerima UU yang disebut

“Right of the terminally ill bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang

baru ini beberapa kali di praktikkan, tapi bulan Maret 1997 dihapus oleh keputusan

senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Hukum di Australia

memperbolehkan euthanasia dalam beberapa hal yaitu: 6,14

a. Hak pasien untuk meminta tindakan eutanasia

23
b. Hak untuk permintaan keputusan dibuat dengan melibatkan pihak-pihak yang

terkait

c. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kondisi pasien mendukung dalam

pembuatan keputusan

d. Keadaan kejiwaan dan mental dari keluarga pasien

e. Perawatan yang cukup untuk pasien mencakup pemeriksaan fisik dan psikiatri

f. Ada ansuransi yang berkualitas

g. Diberikan dukungan dalam psikososial, dimana pasien mengetahui dengan

benar tentang keputusannya

h. Memastikan bahwa dari pihak keluarga tidak menolak dan tidak mengadu

dalam proses pemeriksaan pasien.

1. Argumen yang memihak euthanasia

a. Etis / moral

i. Untuk menghormati otonomi pasien

Konsep ideal ini ditetapkan dalam aturan No.6 pada “Australian Council of

the Ageing’s” mengenai hak orang tua. Setiap individu mempunyai hak untuk

berkonsultasi dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan tentang hidup

mereka. Hak untuk mati dan hak untuk mati dengan tenang menjelaskan bahwa

setiap pasien mempunyai hak absolut untuk menentukan apakah akan hidup

atau mati, yang merupakan hak moral bagi si pasien. Jika pasien memutuskan

untuk mengakhiri hidupnya, maka euthanasia yang legal dapat dilakukan

secara aman tanpa melibatkan orang lain atau pihak lain. 6

24
Disini, ia berpendapat bahwa setiap orang memiliki hak untuk memutuskan

apakah kualitas hidup atau kesucian hidup yang paling penting bagi mereka.

Ketika seseorang menderita sakit parah atau ketika hidupnya tergantung pada

obat-obatan yang dapat mengurangi kesadarannya, mereka yang lebih

menghargai kualitas hidup mungkin akan berusaha mengakhiri hidupnya.

Maka euthanasia akandapat dilakukan tanpa menempatkan orang lain dalam

bahaya hukum.6

ii. Untuk mengakhiri penderitaan

Salah satu argumen yang mendukung eutanasia menjadi suatu pilihan bagi

seseorang yang mempunyai penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi,

misalnya penderita penyakit yang sangat parah yang tidak bisa disembuhkan

dan menyatakan keinginannya untuk mati, yang bertumpu pada keyakinann

bahwa penderitaan harus berakhir.Penderitaan yang dialami penderita telah

merampas kesenangan dan kedamaian hidup mereka. Kadang-kadang, ini

menyangkut penderitaan orang tua atau orang yang merawat penderita yang

menyaksikan penderitaan yang dialami oleh penderitadan menjadi sulit bagi

mereka baik secara emosional maupun fisik sehingga prospek lega ialah hanya

ketika penderita mengalami kematian.6

iii. Untuk mengurangi ketergantungan pada sistem pendukung kehidupan dan

/ atau pengetahuan medis canggih

Biaya perawatan kesehatan semakin lama semakin meningkat.

Ketidakwajaran ini disebabkan oleh penggunaan teknologi yang canggih dan

perosedur medis yang mahal yang bermanfaat dalam perpanjangan hidup

25
sementara tanpa peningkatan kualtitas hidup atau prospek pemulihan.Ini sering

menjadi argumen untuk dilakukan euthanasia.6

iv. Untuk mengurangi resiko bunuh diri

Beberapa penderita penyakit parah yang ingin mengakhiri penderitaan

mereka tanpa memberatkan orang – orang yang disayanginya mengambil

keputusan untuk bunuh diri secara rahasia. Oleh karena secara fisik mereka

mampu melakukannya, beberapa pasien mengakhiri hidup mereka sejak dini.

Tujuh persen dokter dalam surver Medix –Inggris melaporkan bahwa

setidaknya satu dari pasien mereka yang menderita penyakit parah telah

melakukan percobaan bunuh diri.6

b. Hukum

i. Untuk mengurangi bahaya hukum terhadap orang yang melakukan euthanasia

Secara hukum, seseorang yang membunuh orang lain atau bekerjasama

dalam mengakhiri hidup orang lain dapat dituntut melakukan tindakan pidana

berat dan dapat dihukum. Pembuhunan akibat permintaan dari penderita dan

hal itu dilakukan dengan motif empati, belum tentu akan mengubah situasi

hukum. Jika euthanasia diakui sebagai pilihan, maka orang yang membantu

seseorang untuk mati akan dilindungi dari penuntutan atau setidaknya

memiliki pembelaan.6

ii. Agar terdapat sebuah aturan mengenai eutanasia

Diketahui secara luas bahwa eutanasia kadang-kadang dilakukan secara

sembunyi-sembunyi. Adanya pengakuan hukum terhadap euthanasia akan

membolehkan pengembangan suatu aturan oleh pemerintah mengenai cara

26
meminta dan memenuhi permintaan euthanasia, konseling terhadap penderita

dan keluarganya, keputusan mengenai cara kematian dan lain-lain.6

c. Opini masyarakat

Survey dan pooling yang dilakukan untuk melihat perubahan sikap

masyarakat dan kalangan profesional terhadap eutanasia dalam satu dekade

terakhir menunjukkan bahwa masyarakat luas dan juga kalangan profesional

sudah lebih siap untuk mempertimbangkan euthanasia sebagai alternatif

daripada mempertahankan suatu kehidupan yang penuh penderitaan. Jika

diyakini bahwa legislasi harus menunjukkan respon terhadap opini publik, maka

hal ini akan menberikan argumen yang mendukung suatu perubahan legislasi. 6

2. Argumen yang menentang eutanasia

a. Etika / moral

i. Penghargaan absolut terhadap kehidupan manusia

Beberapa kepercayaan tertentu masih sangat tidak sesuai dengan tidakan

euthanasia bagaimanapun situasinya.Orang-orang yang memeluk keyakinan

ini pantas untuk diakui.Di dalam lingkungan masyarakat tertentu, terdapat

larangan keras terhadap pencabutan nyawa seseorang kecuali dalam kondisi

tertentu seperti perang atau hukuman berat.Keyakinan ini berpendapat bahwa

kelangsungan hidup harus dipastikan dengan melindungi setiap kehidupan.6

ii. Kemungkinan akan hilangnya otonomi

Pengakuan masyarakat akan euthanasia mungkin akan mengakibatkan

kerugian bagi otonomi seseorang. Seseorang bisa saja ditekan dengan cara

membuatnya merasa bersalah akibat beban yang ditimbulkannya bagi keluarga

27
atau penjaganya sehingga ia meminta untuk diakhiri hidupnya. Euthanasia

mungkin akan ditawarkan sebagai pilihan, terutama ketika pasien belum

pernah menyinggung mengenai euthanasia sebelumnya.6

iii. Ketidakmampuan pasien membuat keputusan

Keinginan seseorang untuk mengakhiri hidupnya mungkin dipengaruhi

oleh kondisi depresi, nyeri atau disforia yang tidak terkendali dan kondisi-

kondisi yang sebenarnya dapat ditangani dengan penatalaksanaan yang sesuai.

Dengan penatalaksanaan yang sesuai, orang yang sebelumnya ingin mati

mungkin akan mengurungkan niatnya. Kemampuan seseorang untuk membuat

keputusan yang kompeten setelah mendapat informasi yang baik mungkin sulit

dipastikan.6

iv. Konflik kepentingan

Hal ini berlaku jika orang lain diberi kuasa untuk membuat keputusan bagi

pasien. Jika penjaga bersedia untuk mengambil tanggungjawab yang sangat

besar untuk seseorang yang sakit berat, akan sangat mudah baginya untuk

mengambil tanggungjawab total, hingga pada titik dimana orang tersebut

memutuskan kapan penderita harus mati. Ketika kematian dapat mendapatkan

keuntungan bagi penjaga (misalnya kebebasan, uang, harta), maka tentunya

akan lebih memotivasi untuk membuat keputusan tanpa mempertimbangkan

keinginan penderita.6

b. Hukum

Kesulitan dalam penegakan dan pemantauan. Sangat sulit dibedakan antara

kematian yang terjadi secara alami dan kematian akibat prosedur

28
euthanasia.Berdasarkan survey praktek kedokteran di Belanda sebelum tahun

1993, Jochemsen menemukan 65-75% dokter melaporkan bahwa mereka

menyangka kematian akibat euthanasia sebagai kematian akibat

alami.Penentuan sebab kematian secara pasti sangat sulit dilakukan sehingga

otopsi mungkin dapat memberikan sedikit jaminan. Kekhawatiran mengenai

hal ini ada dan tidak tergantung pada pengakuan masyarakat maupun hukum

terhadap euthanasia.6

c. Teknis

i. Kegagalan memberikan kematian yang mudah

Suatu metode euthanasia yang sudah diterima luas mungkin saja gagal

mematikan seseorang dalam rentang waktu yang diharapkan sehingga malah

menambah penderitaan pasien. Prosedur yang sama dapat memberikan hasil

yang berbeda pada masing-masing orang. 6

ii. Kesalahan diagnosis dan kemajuan di bidang kedokteran

Diagnosis adalah keahlian, seni dan ilmu yang tidak sempurna sehingga

kesalahan dapat saja terjadi dalam memperkirakan hasilakhir dari suatu

kondisi kesehatan seseorang. Seiring perluasan ilmu pengetahuan, obat-

obatan, prosedur dan teknologi yang baru ditemukan dan diperkenalkan ke

dalam praktek kedokteran, sehingga kondisi yang sudah dianggap terminal

pada suatu waktu (di suatu negara) mungkin dapat diobati di waktu yang akan

datang atau di tempat lain. Oleh karena itu, penerimaan akan euthanasia

mungkin akan merampas kemungkinan untuk meneruskan hidup seseorang.6

iii. Pengurangan usaha diagnosis, tatalaksana dan perawatan

29
Adanya euthanasia mungkin akan mengurangi usaha untuk menyediakan

atau meningkatkan kualitas diagnosis, tatalaksana dan perawatan. Jika pasien-

pasien diperbolehkan memilih kematian, hal ini akanmengurangi motivasi

untuk menyediakan dana untuk pemeriksaan, fasilitas perawatan dan sistem

penunjang. Pertimbangan ekonomi dapat memberikan motivasi kepada otoritas

yang ada untuk mendukung euthanasia.6

iv. Kecukupan perawatan medis dan paliatif

Beberapa orang berpendapat bahwa bidang penatalaksanaan medis,

kontrol nyeri dan perawat paliatif sudah sedemikian maju sehingga seseorang

yang menderita penyakit terminal tidak usah lagi mengalami penderitaan dan

rasa nyeri.Hal ini menyingkirkan salah satu motivasi melakukan eutanasia.6

d. Spiritual

i. Kepercayaan tentang kesucian hidup

Sistem kepercayaan tertentu menganggap bahwa hidup manusia tidak

hanya suci, tetapi pencabutan nyawa akan menimbulkan dosa. Beberapa orang

berpendapat bahwa tindakan dosa termasuk mencabut nyawa seseorang akan

dihukum oleh kekuasaan ilahi. Kepercayaan seperti ini tidak bisa menerima

tindakan eustanasia. Beberapa orang yang menganut kepercayaan ini dapat

menerima percepatan kematian melalui “prinsip efek ganda”, dimana

perawatan yang ditujukan untuk meringankan penderitaan memiliki efek

sekunder yang mengakibatkan kematian. Beberapa orang juga meyakini bahwa

pencabutan alat-alat penunjang kehidupan diterima dalam kondisi tertentu,

30
sehingga euthanasia pasif dapat diterima oleh orang yang menolak euthanasia

aktif.6

ii. Kepercayaan akan hukum ilahi

Beberapa orang yang meyakini adanya kehidupan setelah kematian

percaya bahwa kehidupan yang bahagia setelah kematian tergantung pada nilai

kehidupan saat ini. Jika nilai kehidupan sekarang ini tidak dicemari oleh

tindakan membunuh orang, maka pertimbangan untuk mencabut nyawa sendiri

maupun dibantu orang lain untuk mati akan menghilangkan kesempatan orang

tersebut untuk menikmati kehidupan setelah kematian. Oleh karena itu,

pemeluk kepercayaan ini akan menolak euthanasia.6

3. Argumen ‘Slippery slope”

Beberapa argumen yang disebutkan sebelumnya menyiratkan mengenai apa

yang kemudian dikenal sebagai argumen “slippery slope” atau argumen

‘preseden”. Mann (1995) berpendapat bahwa jika tabu dan larangan tradisional

sudah dapat dihilangkan, maka masyarakat mungkin akan tertarik untuk menerima

praktek-praktek yang sebelumnya tidak dapat diterima. Sehubung dengan ini,

Helme (1993) telah mendiskusikan mengenai kemungkinan entanasia sebagai

pilihan legal menyatakan: jika hukum akan diubah, keseimbangan pendapat akan

berubah sehingga apa yang dianggap sebagai perluasan hak bagi beberapa orang

yang kemungkinan merupakan kelompok minoritas mungkin akan menimbulkan

kewajiban bagi orang lain. Jika euthanasia diajadikan pilihan legal, maka hal ini

akan menempatkan pasien dibawah tekanan karena menganggap diri mereka

sebagai beban bagi orang lain, sehingga menyerah dan tidak melindungi

31
kepentingan pribadinya. Helme mengungkapkan kemungkinan seorang pasien

akan membuat permintaan euthanasia untuk memanipulasi, mengancam atau

memanfaatkan seorang penjaga yang terlalu baik. Helme menyeimbangkan

argumen ini dengan menunjukkan bahwa pasien lain mungkin akan memasuki

kondisi penyakit terminalnya dengan tenang karena dia mengetahui bahwa ada

pilihan untuk meminta euthanasia walaupun mereka mungkin tidak akan pernah

mengajukan permintaan tersebut. 6

Pembagian ciri penting eutanasia di Australia, yaitu: 14

Atas Kemauan Sendiri Diluar Kemauan Sendiri

Aktif A. menginginkan kematian A. (atau C) tidak meminta /

menginginkan kematian atau

masih ingin hidup

B. menentukan cara kematian B. mentukan cara kematian dan sebab

dan sebab kematian si A kematian si A

Pasif A. menginginkan kematian A. (atau C) tidak menginginkan

kematian atau masih ingin hidup

B. memberhentikan atau B. memberhentikan atau mengambil

mengambil kembali obat-obat kembali obat-obatan yang

yang mendukung atau alat mendukung atau alat medis serta

medis serta sebab kematian A sebab kematian A

Ket:

A: Merupakan orang yang menderita yang kematiannya adalah menjadi hasil

32
B: Mewakili perawatan profesional utama/penasehat (dokter, perawat, pasien)

C: merupakan agen ini, misalnya kerabat, teman, wali, pelaksana 14

E. Belgia 12

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September

2002.Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia

setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan euthanasia di

negara ini.Namun, mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan

euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adanya upaya untuk menciptakan

“birokrasi kematian”. Kini, Belgia menjadi negara ketiga yang melegalisasi

euthanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).

Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu

penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien

yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah orang yang memiliki hak

penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir

hidupnya.Prevalensi studi yang dilakukan pada tahun 2001-2002 menunjukkan

bahwa di Belgia, euthanasia terjadi pada 0,3 % dari semua kematian di Belgia.

F. Amerika Serikat

Euthanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat

ini, satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit

mengizinkan pasien terminal (yang tidak mungkin disembuhkan lagi) mengakhiri

hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan

kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan memberlakukan UU tentang

kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini

33
hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia. Syarat-syarat yang

diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas dan hanya

boleh meminta bantuan untuk mengakhiri hidupnya jika mereka diperkirakan akan

meninggal dalam waktu enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga

kali, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari diantaranya) dan

sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh

memiliki hubungan keluarga dennga pasien). Dokter harus mengkonfirmasikan

diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa dalam pengambilan

keputusan, pasien tidak berada dalam gangguan mental.1,6,14

Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri

hidupnya tidak boleh terpengaruh dengan ansuransi yang dimilikinya baik

ansuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari

tuanya.15,16,17

G. Inggris

Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of

Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan

Bioetik Nuffield (Nuffield Concil on Biothetics) agar dipertimbangkan izin untuk

melakukan euthanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat(disable newborns).

Proposal tersebut bukanlah untuk melegalisasi eutanasia di Inggris, melainkan

semata-mata guna memohon dipertimbangkannya secara seksama dari sisi faktor

kemungkinan hidup si bayi sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.Namun

hingga saat ini euthanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di

kerajaan Inggris, demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).Demikian pula

34
kebajikan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association –

BMA) yang secara menantang euthanasia dalam bentuk apapun juga.11,17

Masalah yang cukup sulit juga dihadapi saat menangani pasien-pasien yang

bergantung pada artificial feeding untuk bertahan hidup.Walaupun tidak terdapat

sebuah kewajiban untuk mempertahankan tindakan medis yang tidak akan

memberikan kegunaan apa-apa, jelas terdapat sebuah kewajiban untuk

menyediakan kebutuhan dasar pasien. Hal ini biasanya berarti bahwa penyediaan

perawatan dasar termasuk pemberian makanan dan air secara hukum wajib

diberikan sehingga waktu ajal menjemput.17

Pada kasus-kasus pasien yang tidak dapat menelan, keperluan ini tidak begitu

sulit, karena pasien seperti ini memang harus diberikan makanan dan minuman

walaupun tindakan pengobatan lain sudah tidak diberikan. Begitu juga pada pasien

yang berada dalam kondisi vegetatif persisten dan tidak sadar, ia membutuhkan

pemberian nutrisi dan air melalui selang sehingga secara keseluruhan ia sangat

tergantung pada metode-metode buatan untuk menyediakan kebutuhan hidupnya.

Secara klinis, orang seperti ini tidak dapat didiagnosis mati batang otak karena

batang otak masih berfungsi untuk mempertahankan respirasi dan sirkulasi.17

Peradilan di Inggris sekarang sudah memperjelas posisi pasien seperti ini

setidaknya dalam hal hukum sipil. Dalam kasus ‘Airedale National Health Service

Trust vs Bland’, House of lords di Inggris mempertimbangkan posisi seorang pria

muda yang menderita trauma kapitis berat dalam posisi seseorang yang telah

memasuki kondisi vegetative persisten. Dokter dan keluarga dari pasien tersebut

menerima bahwa tidak terdapatkemungkinan pemulihan kesadaran sehingga dalam

35
kondisi seperti ini rumah sakit meminta izin peradilan untuk melepaskan NGT

untuk pemberian nutrisi sehingga pasien dibiarkan meninggal. 17

Hasil putusan baik pada ‘court of appeal stage’ maupun pada ‘house of lords’

merupakan contoh-contoh dari tindakan peradilan yang sangat sensitif mengenai

suatu masalah yang penuh dengan emosi dan telah mendapat banyak persetujuan

walaupun persetujuan tersebut bersifat anonim. Pada intinya, pemberian artificiaal

feeding lebih dipandang sebagai tindakan medis daripada sebagai kewajiban. Oleh

karena itu, keputusan penghentian artificial feeding dapat diselesaikan

sebagaimana keputusan penghentian tindakan medis lain dibuat. 17

H. Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia.

Demikian pula pengadilan tinggi Jepang (Supreme court of Japan) tidak pernah

mengatur mengenai euthanasia tersebut. Ada dua kasus euthanasia yang pernah

terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai

“euthanasia pasif”.Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di

Tokai University pada tahun 1955 yang dikategorikan sebagai “euthanasia

aktif”.Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu

kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana euthanasia secara aktif dan

pasif boleh dilakukan secara legal.18

Meskipun demikian euthanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus

tersebut adalah tetap dinyatakan melewan hukum, dimana dokter yang

melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan

pasiennya. Oleh karena keputusan pegadilan ini masih diajukan ke tingkat federal,

36
maka keputusan tersebut belum mepunyai kekuatan hukum sebagai sebuah

yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangkan

hukum sementara guna melaksanakan euthanasia.18

Komunikasi antara dokter dan pasien di Jepang juga mempunyai batasan.

Dimana seorang dokter di Jepang jarang melakukan komunikasi dengan pasiennya.

Misalnya, pada pasien dengan kasus kanker stadium lanjut.Biasanya dokter lebih

memilih merahasiankan keadaan pasien, karena tidak ingin membuat pasien merasa

tertekan dengan keadaan penyakitnya.18

Secara tradisi, dokter di Jepang kebanyakan membuat keputusan tanpa adanya

masukan dari pasien dan memberikan informasi seminim mungkin.Kesempatan

pasien untuk bertanya kepada dokter adalah kecil. Karena, para dokter percaya

bahwa dengan memberitahu keadaan pasien yang menderita kanker akan

memperburuk dan menyebabkan mental pasien terganggu. Dari penelitian yang

dilakukan oleh para ahli di Tokyo, 95% dari para dokter tidak pernah membicarakan

mengenai hal-hal yang menyinggung tentang prognosis pasien yang buruk.18

Asai Eukuharai, melaporkan 77% dari dokter di Jepang percaya bahwa para

dokter sebaiknya mendiskusikan terapi yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas

hidup, terlebih dahulu dengan keluarga pasien meskipun pasien tersebut

berkompeten mengambil keputusan tersebut. Dokter lebih sering menyampaikan

diagnosis yang samar dan yang lebih mudah diterima, sedangkan diagnosis yang

sebenarnya diinfokan kepada keluarga (McDonald-Scott). Sebagai hasilnya, dokter

dan keluarga akan berhasil memberikan dorongan kepada pasien untuk percaya

bahwa mereka bisa sembuh dan bisa tetap menjaga interaksi dan komunikasi yang

37
baik dengan keluarga dan dokter. Inti dari inform concentadalah semua tidakan

medis yang berkaitan dengan pasien harus didiskusikan dengan pasien dan sesuai

dengan kehendaknya. Motivasi seseorang akan berkurang untuk menandatangani

inform consent jika pasien tersebut sudah mengetahui keadaan penyakitnya yang

sudah fase terminal. Keinginan sebenarnya dari pesien menjadi sulit, karena factor

rasa sakit yang tak tertahankan.18

Kasus di Olaka, memaparkan ada suami yang membunuh istrinya karena

penderitaan istrinya yang sangat berat. Pasien selalu menginginkan komunikasi

yang lancar dan dua arah dengan dokter untuk menghasilkan hubungan yang

suportif antara dokter dan pasien.18

Di Jepang, euthanasia diperbolehkan, dimana keputusan yang dibuat baik oleh

orang yang dekat dengan pasien (misalnya, anggota keluarga atau teman-teman)

atau oleh profesional medis.Pasien tidak terlalu aktif dalam membuat keputusan.

Terlepas dari pasien jiwa, umumnya orang orang terdekat akanmerasa simpati,

dalam rangka untuk meringankan penderitaan mereka. Ini merupakan perbedaan

dramatis antara Jepang dan Negara Negara barat dalam hal partisipasi pasien dalam

mengambil keputusan.18

Hayashi berpendapat bahwa situasi di Jepang adalah suatu perubahan.Pertama,

hak-hak pasien diakaui dengan pengenalan ide-ide otonomi dan masing-masing

menentukan nasib sendiri. Kedua, banyak orang yang bebrbicara tentang

bagaimana cara kematiannya. Terdapat pula suatu asosiasi Jepang yang didirikan

pada tahun 1970 sebagai asosiasi euthanasia di Negara Jepang dan telah mencapai

70.000 orang setelah beberapa tahun. 18

38
I. India

Di India, euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai

larangan terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari

Kitab Undang undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860.

Namun, berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya

dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya

pembunuhan, sehingga hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 340-IPC.15

Ketentuan ini hanyalah terhadap kasus euthanasia sukarela dimana si pasien

sendirilah yang menginginkan kematian dan dokter hanyalah membantu

pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan euthanasia).Pada kasus euthanasia secara

tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun euthanasia diluar kemampuan

pasien akan dikenakan hukum berdasarkan pasal 92 Undang Undang hukum pidana

India.15

J. Korea

Belum ada suatu hukum yang tegas yang mengatur tentang euthanasia di

Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) di Korea yang

dikenal dengan “kasus rumah sakit Boramae”. Dimana dua orang dokter yang

didakwa mengizinkan dihentikannya pengananan medis pada seorang pasien yang

menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya.Polisi kemudian

menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan

bahwa dokter tersebut seharusnya dinyatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak

menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing, dalam arti kata euthanasia

aktif. Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa “Pada kasus tertentu dari

39
penghentianpenanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan euthanasia

pasif dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari

perawatan medis terhadap dirinya”.11,19

F. Tinjauan Kedokteran Terhadap Euthanasia

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:

a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan

b. Waktu hidup akan berakhir , diringankan penderitaan si sakit dengan

memberikan obat penenang

c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya.1,9

Dari pengertian pengertian diatas maka euthanasia mengandung unsur unsur

sebagai berikut: 1,9

a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian atau tidak memperpanjang hidup

pasien.

c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan

d. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya

e. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi

kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan.Profesi

medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan.

Sumpah Hiprokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun

kepada yang memintanya”.Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh

40
dokter di dunia, termasuk di Indonesia.Mungkin saja sumpah ini bukan Hiprokrates

sendiri yang membuatnya. 1,9

Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban

dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat

akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode

etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit

meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi

apaabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan

fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati

walaupun jantungnya masih berdenyut. 1,9

Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang

berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal

itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman,

selain itu harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan

kualitas hidup terbaik yang diharapkan.Dengan demikian, dasar etik moral untuk

melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien

dan bukan mengakhiri hidup pasien.Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di

Indonesia yang mengatur tentang euthanasia.Pasal-pasal KUHP justru menegaskan

bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang.Demikian pula

dengan euthanasia aktif dengan permintaan.Hakikat profesi kedokteran adalah

meyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan

radikal dengan hakikat itu.Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa

tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat

41
dianggap sebagai penganiayaan.Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang

dikuasai oleh seorang dokter.Tindakan diluar batas ilmu kedokteran tersebut dapat

dikatakan diluar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan

medis.Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi

berkompeten melakukan perawatan medis. 1,9

G. Tinjauan Filosofi-Etis Terhadap Euthanasia

Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan

otonomi dan kebebasan manusia dimana manusia ingin menguasai dirinya sendiri

secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati

(hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut:

Atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai

kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia mempunyai

kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran

penderitaan yang tidak berguna. Pertanyaannya adalah apakan pengakhiran hidup

seperti itu dapat dibenarkan? Banyak pakar etik menolak euthanasia dan assisted

suicide salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia. Jika kita

mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa

dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang

dianggap tidak beguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita

harus menghormati kehidupan manusia.Tidak pernah boleh kita mengorbankan

manusia kepada suatu tujuan tertentu.Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian

kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena

mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana mana harus dihormati.6

42
Setiap orang memiliki martabat (nilai) sendiri sendiri yang ada secara intrinsik

(ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya

manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya

ia ada, entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus

mempertangungjawabkan hidupnya sendiri dan oleh karena itu masing-masing

orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh

dipakai hanya sebagai alat atau instrument untuk mencapai suatu tujuan tertentu

oleh orang lain. Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia.

Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal yaituthe right to die.6

Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta

agar penderitaannya segera diakhiri. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan

hanya sekedar mempercepat kematiannya, sehingga memungkinkan “kematian

yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu.6

43
BAB III

KESIMPULAN

Pada seorang pasien, hal yang sangat dibutuhkan selain perawatan adalah

pendampingan.Baik bagi pasien maupun bagi pihak keluarga, perhatian dan kasih

sayang sangat diperlukan karena bukan hanya kebutuhan fisik, tetapi lebih pada

kebutuhan psikis dan emosional sehingga baik secara lansung maupun tidak

lansung kita dapat membantu pasien menyelesaikan persoalan-persoalan

pribadinya dan kemudian siap menerima kematian dari Tuhan Yang Maha Esa.

Bagaimanapun pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang

seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi.

Hukum yang berlaku di Indonesia belum memberikan ruang bagi

euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa harus

mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan ini penting untuk disampaikan

mengingat berbagai hal yang ada. Pertama, munculnya tindakan medis euthanasia

hakikatnya menjadi indikasi betapa masyarakat mengalami pergeseran nilai

kultural. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang pendapat ini dengan

menggunanakan argument quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsier, Merdias. Dkk. Himpunan Peraturan Tentang Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.

Jakarta 2006.

2. Rohim, Abdal. Euthanasia Perspektif Medis dan Hukum Pidana Indonesia.

3. Zainafree, Intan. Euthanasia (Dalam Perspektif Etika dan Moralitas).

KEMAS – Volume 4 No.2. Januari-Juni 2009

4. Darji, JA, Dr. et all. Euthanasia: Most Controversial and debatable topic.

NJIRM. 2011. P 94-97

5. Modes of action euthanatizing agenst. In: AVMA Guiddelines on

Euthanasia. AVMA. 2007. p.5-11.

6. Dickens, Elizabeth. et all. Psycological perpectives on euthanasia and the

terminally ill. The Australian Psycological society. 2008. p.2,12-13.

7. Rada, Arifin. Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam. Perspektif

Volume XVIII No.2. Mei 2013

8. Lafal Sumpah Dokter. Peraturan Pemerintah 26/1960. Jakarta 1960.

9. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik

Kedokteran Indonesia. Majelis kehormatan etik kedokteran Indonesia

Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta 2002. Hal 40-45

10. Hukum Euthanasia atau Mercy killing. Cited in http://www.e-

fatwa.gov.my/fatwa-kebangsaan/hukum-eutanasia-atau-mercy-killing.

Malaysia. 2014

45
11. Naudts, K. Dkk. Euthanasia: The Rule of The Psychiatrist. In: The British

Journal of Psychiatrics. Royal Collage of Psychiatrics. 2006. p 405-409.

12. Cohen, R,A. Belgian Euthanasia law : a critical analysis. Medical Ethis.

2009. P.436-439.

13. Jochemsen, H. Euthanasia in Holand: an ethical critique of the new law.

Medical Ethics, 1994. p.212-217

14. Voluntary Euthanasia and New Zealand. Parlementary Library 2003. p.15.

15. Bansal, R.K. et all. Death wish. In: Medicolegal notes, JK Science. 2005.

P.169-171.

16. Sanbar, S.,S.,MD, Ph.D, JD, FCLM. Classification of Euthanasia. P.1-2

17. Smith, Alexander McCall. Euthanasia: the law in the United Kingdom.

British Medical Bulletin. 1996. p.334-339.

18. Hayashi, M. Kitamura,T. Euthanasia Trial in Japan: Implication for Legal

and Medical Practice. In International Journal of Law and Psychiatric.

Pergamon 2001. p.557-569

19. Shin, Dong Cun. Perspective on Death: Korea’s first court decision

supporting death will dignity, it’s meaning and future prospect. In:

International Journal Community. JMAJ.2009. p.132-133

46

Anda mungkin juga menyukai