Anda di halaman 1dari 10

DILEMA ETIK

A. PENGERTIAN

1. Etik
Etik adalah cara bagaimana seseorang menetapkan norma atau standar kehidupan seseoarang
dan yang seharusnaya dilakukan (Mandla, Boyle dan O’Donohoe. 1994).
2. Dilema Etik
Dilema Etik adalah suatu masalah yang melibatkan masalah dua atau lebih landasan moral
atau tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya.
3. Dilema Etik dalam Keperawatan Kritis
Merupakan suatu tindakan yang harus diputuskan oleh perawat dalam menangani kasus
pasien perawatan kritis dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai yang dipegang oleh
keluarga.

B. PRINSIP ETIK DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

Sebagaimana yang tercermin dalam model pengambilan keputusan, prinsip-prinsip etika


yang relevan harus dipertimbangkan ketika dilema etik muncul. Terdapat beberapa prinsip-
prinsip etik yang terkait dam pengaturan perawatan kritis, prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk
memberikan hormat dan martabat bagi semua yang terlibat dalam pengambialn keputusan.
a. Menghargai otonomi (facilitate autonomy)
Suatu bentuk hak individu dalam mengatur kegiatan/prilaku dan tujuan hidup
individu. Kebebasan dalam memilih atau menerima suatu tanggung jawab terhadap
pilihannya sendiri. Prinsip otonomi menegaskan bahwa seseorang mempunyai kemerdekaan
untuk menentukan keputusan dirinya menurut rencana pilihannya sendiri. Bagian dari apa
yang didiperlukan dalam ide terhadap respect terhadap seseorang, menurut prinsip ini adalah
menerima pilihan individu tanpa memperhatikan apakah pilihan seperti itu adalah
kepentingannya. (Curtin, 2002). Permasalahan dari penerapan prinsip ini adalah adanya
variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat
kesadaran, usia, penyakit, lingkungan Rumah SAkit, ekonomi, tersedianya informsi dan lain-
lain (Priharjo, 1995). Contoh: Kebebasan pasien untuk memilih pengobatan dan siapa yang
berhak mengobatinya sesuai dengan yang diinginkan.

b. Kebebasan (freedom)
Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan atau paksaan
pihak lain (Facione et all, 1991). Bahwa siapapun bebas menentukan pilihan yang menurut
pandangannya sesuatu yang terbaik. Contoh : Klien dan keluarga mempunyai hak untuk
menerima atau menolak asuhan keperawatan yang diberikan.

c. Kebenaran (Veracity)  truth


Melakukan kegiatan/tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang tidak
bertentangan (tepat, lengkap). Prinsip kejujuran menurut Veatch dan Fry (1987) didefinisikan
sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Suatu kewajiban untuk
mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang lain. Kebenaran
merupakan hal yang fundamental dalam membangun hubungan saling percaya dengan pasien.
Perawat sering tidak memberitahukan kejadian sebenarnya pada pasien yang memang sakit
parah. Namun dari hasil penelitian pada pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa
pasien ingin diberitahu tentang kondisinya secara jujur (Veatch, 1978).
Contoh : Tindakan pemasangan infus harus dilakukan sesuai dengan SOP yang berlaku
dimana klien dirawat.

d. Keadilan (Justice)
Hak setiap orang untuk diperlakukan sama (facione et all, 1991). Merupakan suatu
prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua individu. Artinya individu mendapat tindakan
yang sama mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan kehidupan seseorang.
Prinsip dari keadilan menurut beauchamp dan childress adalah mereka uang sederajat harus
diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat diperlakukan secara tidak sederajat,
sesuai dengan kebutuhan mereka.
Ketika seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar, maka menurut prinsip
ini harus mendapatkan sumber-sumber yang besar pula, sebagai contoh: Tindakan
keperawatan yang dilakukan seorang perawat baik dibangsal maupun di ruang VIP harus
sama dan sesuai SAK.

e. Tidak Membahayakan (Nonmaleficence)


Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau membahayakan orang
lain.(Aiken, 2003). Contoh : Bila ada klien dirawat dengan penurunan kesadaran, maka harus
dipasang side driil.

f. Kemurahan Hati (Benefiecence)


Menyeimbangkan hal-hal yang menguntungkan dan merugikan/ membahayakan dari
tindakan yang dilakukan. Melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain. Merupakan prinsip
untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain/pasien. Prinsip ini sering kali sulit
diterapkan dalam praktek keperawatan. Berbagai tindakan yang dilakukan sering memberikan
dampak yang merugikan pasien, serta tidak adanya kepastian yang jelas apakah perawat
bertanggung jawab atas semua cara yang menguntungkan pasien. Contoh: Setiap perawat
harus dapat merawat dan memperlakukan klien dengan baik dan benar.

g. Kesetiaan (fidelity)
Memenuhi kewajiban dan tugas dengan penuh kepercayaan dan tanggung jawab,
memenuhi janji-janji. Veatch dan Fry mendifinisikan sebagai tanggung jawab untuk tetap
setia pada suatu kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks hubungan perawat-pasien
meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi dan memberikan
perhatian/kepedulian. Peduli kepada pasien merupakan salah satu dari prinsip ketataatan.
Peduli pada pasien merupakan komponen paling penting dari praktek keperawatan, terutama
pada pasien dalam kondisi terminal (Fry, 1991). Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam
memberi asuhan keperawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik, memberikan
kenyamanan dan menunjukan kemampuan profesional
Contoh: Bila perawat sudah berjanji untuk memberikan suatu tindakan, maka tidak
boleh mengingkari janji tersebut.

C. PULANG PAKSA
Pulang paksa adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pasien yang menolak
perawatan yang diajukan pihak rumah sakit dengan berbagai alasan. Alasan yang paling sering
dikemukakan adalah kamar untuk rawat inap yang penuh atau yan lebih sering lagi adalah karena
tidak ada biaya.
Pasien pulang paksa adalah pasien yang mendapatkan perawatan dan pengobatan yang
dinyatakan belum sembuh oleh dokter, pulang atas kemauan sendiri. Kejadian ini cukup sering
ditemui di rumah sakit pemerintah
Pulang paksa merupakan bentuk lepasnya tanggung jawab Rumah Sakit atas apa yang
akan terjadi jika pasien pulang, meskipun Rumah Sakit dalam hal ini dokter tidak bisa menjamin
kesembuhan pasien. Karena memang seorang dokter tidak boleh memberikan janji yang tidak
bisa dipenuhi yakni kesembuhan, yang ada hanya usaha terbaik yang bisa diberikan.
Namun sebagai seorang dokter, rasanya menyedihkan ketika pasien menghentikan
pengobatan, kemudian pasrah atau beberapa yang lain mencoba pengobatan alternatif yang
beberapa kerabatnya anjurkan katanya manjur. Karena biasanya pasien akan kembali ke Rumah
Sakit dalam kondisi yang semakin buruk, setelah dia mencoba pengobatan tradisional itu.
Masih ada sekitar 30 juta masyarakat miskin yang tidak mempunyai jaminan kesehatan.
Mereka inilah yang mengalami pulang paksa karena tidak memiliki biaya untuk mendapatkan
perawatan kesehatan.
Pemerintah Amerika Serikat menyadari kondisi yang sama terjadi pada penduduknya.
Sekitar 30% warga negaranya tidak mempunyai jaminan kesehatan. Sedangkan biaya perawatan
kesehatan adalah penyebab nomor 2 kebangkrutan di AS. Melihat fakta tersebut, Obama
mengusung Health Care Reform berupa Universal Health Care yang memberikan jaminan
kesehatan kepada seluruh warga negaranya. Hal ini luar biasa karena sebelumnya AS (yang
merupakan negara dengan health expenditure sekitar 15.4% dari GDP) mengalami polemik
tentang pemberlakuan jangkauan semesta tersebut. Beberapa alasan menolak Universal Health
Care antara lain karena indikasi ketidakadilan terhadap pembayar pajak yang sehat karena
memberikan jaminan yang sama kepada masyakarat yang merokok, alkoholik dan pengguna
narkoba.
Alasan senada juga terdengar di Indonesia yang sedang menuju ke penerapan Universal
Healthcare. Ada pendapat yang menyatakan dengan pelayanan kesehatan yang gratis maka
masyarakat akan manja dan memanfaatkan dengan tidak bijak karena mendapatkan jaminan.

D. DO NOT RESUSCITATION (DNR)


Do not resuscitation (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan resusitasi adalah pesan
untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak mencoba melakukan atau
memberikan tindakan pertolongan berupa CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau Resusitasi
Jantung Paru (RJP) jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya henti
napas pada pasien.
Perintah ini ditulis atas permintaan pasien atau keluarga tetapi harus ditanda tangani dan
diputuskan melalui konsultasi pada dokter yang berwenang. DNR merupakan salah satu
keputusan yang paling sulit, hal ini menimbulkan masalah dilema etika yang menyangkut
perawat ataupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang terlibat. Apakah akan mengikuti
sebuah perintah “jangan dilakukan resusitasi” atau tidak? Bagaimana tindakan anda sebagai
perawat yang telah mahir untuk melakukan CPR mengetahui jika tiba-tiba pasien mengalami
henti jantung. Sebagai seorang perawat yang memiliki rasa care pastinya anda tidak akan
membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tetapi masalahnya jika kita mengikuti kata hati dan
melakukan CPR pada pasien tersebut, kita justru bisa dituntut oleh keluarga pasien tersebut
karena keluarga telah membuat keputusan untuk tidak dilakukan tindakan resusitasi. Ini adalah
sebuah dilema yang terjadi di dalam profesi kesehatan. Masalah seperti ini juga sering muncul
pada pasien yang menderita penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR
ataupun pasien yang telah diputuskan oleh keluarga untuk dilakukan euthanasia.
DNR ini belum familiar di Indonesia. Dan di rumah sakit-rumah sakit belum ada standart
operasional prosedur yang tetap tentang pemberian label pada pasien DNR. Namun keputusan
DNR ini sebenarnya sudah ada dan sering kita jumpai tetapi belum disampaikan secara jelas oleh
keluarga atau pihak yang bertanggung jawab atas perawatan pasien, hanya secara tersirat
misalkan “saya sudah ikhlas”. Jika kita telaah lebih dalam sebenarnya kata ini adalah suatu
pernyataan putus asa dari anggota keluarga terhadap kondisi pasien dan keluarga sudah siap jika
sewaktu-waktu pasien dinyatakan meninggal oleh dokter atau tim medis yang menangani pasien
tersebut. Ada beberapa keluarga pasien dengan penyakit-penyakit terminal yang pernah di rawat
di ICU meminta perawat dan tenaga kesehatan lain untuk tidak melakukan resusitasi. Jadi
sebenarnya status klien yang DNR di Indonesia sudah ada, namun belum terdokumentasi secara
legal saja.
Pasien DNR biasanya sudah diberikan label atau tanda untuk tidak dilakukan resusitasi.
Label ini biasa terdapat pada baju atau tempat tidur pasien, di ruang perawatan ataupun di pintu
masuk ruang perawatan bila pasien dirawat dalam satu kamar tersendiri. Pemberian tindakan
perawatan dan tindakan medis pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien pada umumnya,
tetap sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. Pasien juga
masih diperlakukan dengan cara yang sama tanpa perkecualian. Label DNR hanya memiliki
makna bahwa jika pasien meninggal (berhenti bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim
medis tidak akan melakukan CPR/RJP. Jadi DNR tidak berarti pemberian obat pada pasien
dihentikan begitu saja, pasien tetap mendapatkan obat dan tindakan perawatan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Namun terkadang dokter dan perawat akan berhenti fokus pada pengobatan,
dan mulai fokus pada tindakan pendampingan dan pemenuhan kebutuhan dasar pasien saja jika
prognosis pasien sudah sangat memburuk. Tindakan ini biasa disebut sebagai perawatan Paliatif.
Venneman et al, berpendapat bahwa Do Not Resuscitation adalah bermasalah dan harus
diganti dengan membiarkan mati wajar atau Allow Natural Death (AND), akan tetapi beberapa
penulis mengatakan bahwa Do Not Resuscitation( DNR) tidak sama dengan Allow Natural Death
(AND). Beberapa studi menyimpulkan bahwa 85% dari tenaga kesehatan umumnya mendukung
perubahan DNR ke AND, dan pada umumnya mereka sepakat bahwa AND bukan urutan
pengganti DNR. RJP telah disetujui oleh American Heart Association tahun 1974 dan sejak itu,
semakin banyak rumah sakit dan asosiasi medis profesional telah mengadopsi pedoman untuk
DNR orders. DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak akan menerima RJP pada saat
cardiac arrest.

E. EUTHANASIA
a. Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah
mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa
muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien
(bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
Tindakan euthanasia dikategorikan menjadi :
1. Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti :
melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk
tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan
ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda
kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
2. Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam
keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis
sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya,
mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya
pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu
tinggi, tidak berfungsinya jantung.
3. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan
tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

Macam-macam euthanasia :

1. Euthanasia sukarela : Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri
hidupnya.Misalnya dengan menolak perawatan medis, meminta perawatannya dihentikan
atau mesin pendukung kehidupannya dimatikan atau menolak untuk makan.
2. Euthanasia non-sukarela : Apabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau
menyetujui untuk diakhiri hidupnya.Ini terjadi ketika pasien sadar atau tidak, sehingga
ada orang lain yang mengambil keputusan atas namanya.Euthanasia non-sukarela bisa
terjadi pada kasus-kasus seperti pasien sedang koma, pasien terlalu muda (misalnya
bayi), orang pikun, mengalami keterbelakangan mental yang sangat parah atau gangguan
otak parah.
3. Involuntary Euthanasia : Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi pada
kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.
4. Assisted suicide (bunuh diri dengan bantuan) : Atau bisa dikatakan proses bunuh diri
dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang
untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut
juga, “physician assisted suicide”.
5. Euthanasia dengan aksi : Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan
melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.
6. Euthanasia dengan penghilangan : Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang
dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien.
Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.

b. Masalah Etika pada Euthanasia


Tuhan jelas melarang manusia membunuh dirinya sendiri, atau orang lain
melakukannya. Hidup dan mati semuanya di Tangan Tuhan, meskipun manusia, termasuk
dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan segala ilmu dan teknologi yang dikuasainya,
berusaha menolong seorang pasien, tetapi semuanya Tuhan yang akan menentukan. Di dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia dan lafal sumpah Dokter dinyatakan bahwa dokter
mempunyai tugas dan kewajiban untuk melindungi hidup makhluk insani mulai dari saat
pembuahan, dan dokter harus membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan.
Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyakitnya,
pengobatan dan prognosisnya, dan berdasarkan informasi menolak pertolongan atau
perawatan oleh seorang dokter. Antara etik kedokteran yang digunakan sebagai landasan
tugas dan kewajiban dokter dan hak asasi pasien untuk memilih perawatan kesehatannya
tersebut, kadang-kadang menimbulkan masalah antara lain dalam masalah euthanasia ini
sudah sejak lama terdapat masalah bagi dokter dalam menghadapi keadaan dari segi medis
tidak ada harapan dalam situasi yang demikian ini, tidak jarang pasien meminta agar
dibebaskan dari segala penderitaan dan tidak menginginkan diperpanjang hidupnya atau
dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga pasien yang tidak sampai hati
melihat penderitaan pasien menjelang ajalnya meminta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari
sinilah muncul istilah euthanasia, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari
penderitaan, atau mati secara “enak” menurut versi pasien/keluarga pasien yang
menginginkannya. Meskipun euthanasia ini berlaku untuk semua makhluk hidup, tetapi
biasanya hanya yang berkaitan dengan perawatan kesehatan, atau yang ada kaitannya dengan
perawatan manusia.
Dari segi moral yang penting adalah bahwa penyebab kematian adalah penyakit yang
diderita oleh pasien, dan bukan perbuatan keluarga dan tim pelayanan kesehatan. Aplikasi
dari teknologi medis yang terus menerus berkembang menimbulkan masalah yang
mengandung berbagai dilema etis. Respirator dan mesin dialisis tentu mahal, tetapi bagi
orang yang ingin memperpanjang hidupnya terapi (pengobatan) semacam ini mungkin
merupakan terapi yang biasa saja. Dilema etis moral lainnya adalah apakah boleh orang tidak
melakukan sesuatupun, sedangkan diketahui bahwa sebagai akibatnya akan timbul keadaan
yang membawa kematian.
Disini penting pula maksud pelaku : tidak memberikan pengobatan yang kurang
berguna atau terlalu membebani keluarga dalam hal pembiayaan dan bukan bermaksud
mengakibatkan kematian secara langsung.
Dilema etis yang lain adalah adanya perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak
berbuat sesuatu. Seringkali orang merasa bahwa menghentikan suatu terapi yang sudah
dimulai adalah bertindak, sedangkan tidak memualai ksuatu terapi mirip dengan perbuatan
yang tidak bertindak. Pada umumnya dikatakan bahwa argumen moral untuk keduanya
adalah jelas sama.
Artinya alasan-alasan untuk tidak memulai dengan respirator seringkali sama dengan
alasan-alasan untuk menghentikannya. Walaupun sering kebanyakan orang akan lebih setuju
mengenai sesuatu terapi yang tidak banyak bermanfaat bagi kesembuhan pasien, mungkin
silang pendapat akan timbul tentang tepat tidaknya menghentikan terapi itu, karena orang
lain yang tidak berbuat sesuatu untuk pasien. Disinilah akhirnya timbul masalah etik yaitu
ketika mengevaluasi manfaat dan beban terapi bagi si pasien atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah
untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-
jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun
memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini
kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin
saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami
kematian batang otak atau kehilangan fungksi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut
secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan
terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus
secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga
pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan
permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan
penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan
perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang
dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi
dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak
ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

Anda mungkin juga menyukai