Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah Dilema Etik Keperawatan. Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan pada makalah ini. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya. Padang, Desember 2013

Penulis

DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Bab I : Pendahuluan A. Latar Belakang Bab II : Pembahasan A. Pengertian B. Prinsip Etik dalam Mengambil Keputusan C. Pulang Paksa D. Do Not Resuscitation (DNR) E. Euthanasia Bab III Penutup A. Kesimpulan B. Saran Daftar Pustaka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keperawatan merupakan salah satu profesi yang mempunyai bidang garap pada kesejahtraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-hariya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian. Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsipprinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all, 1982). Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti masyarakat memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Konsekwensi dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dari tindakan keperawatan harus mampu dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan dan setiap penganbilan keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata tetapi juga dengan mempertimbangkan etika. Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.(Nila Ismani, 2001) Bioetik adalah studi tentang isu etika dalam pelayanan kesehatan (Hudak & Gallo, 1997). Dalam pelaksanaannya etika keperawatan mengacu pada bioetik sebagaimana tercantum dalam sumpah janji profesi keperawatan dan kode etik profesi keperawatan.

BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN 1. Etik Etik adalah cara bagaimana seseorang menetapkan norma atau standar kehidupan seseoarang dan yang seharusnaya dilakukan (Mandla, Boyle dan ODonohoe. 1994). 2. Dilema Etik Dilema Etik adalah suatu masalah yang melibatkan masalah dua atau lebih landasan moral atau tindakan tetapi tidak dapat dilakukan keduanya. 3. Dilema Etik dalam Keperawatan Kritis Merupakan suatu tindakan yang harus diputuskan oleh perawat dalam menangani kasus pasien perawatan kritis dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai yang dipegang oleh keluarga. B. PRINSIP ETIK DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN Sebagaimana yang tercermin dalam model pengambilan keputusan, prinsipprinsip etika yang relevan harus dipertimbangkan ketika dilema etik muncul. Terdapat beberapa prinsip-prinsip etik yang terkait dam pengaturan perawatan kritis, prinsipprinsip ini dimaksudkan untuk memberikan hormat dan martabat bagi semua yang terlibat dalam pengambialn keputusan. a. Menghargai otonomi (facilitate autonomy) Suatu bentuk hak individu dalam mengatur kegiatan/prilaku dan tujuan hidup individu. Kebebasan dalam memilih atau menerima suatu tanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Prinsip otonomi menegaskan bahwa seseorang mempunyai kemerdekaan untuk menentukan keputusan dirinya menurut rencana pilihannya sendiri. Bagian dari apa yang didiperlukan dalam ide terhadap respect terhadap seseorang, menurut prinsip ini adalah menerima pilihan individu tanpa memperhatikan apakah pilihan seperti itu adalah kepentingannya. (Curtin, 2002). Permasalahan dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan Rumah SAkit, ekonomi, tersedianya informsi dan lain-lain (Priharjo, 1995). Contoh: Kebebasan pasien untuk memilih pengobatan dan siapa yang berhak mengobatinya sesuai dengan yang diinginkan. b. Kebebasan (freedom) Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan atau paksaan pihak lain (Facione et all, 1991). Bahwa siapapun bebas menentukan pilihan yang menurut pandangannya sesuatu yang terbaik. Contoh : Klien dan keluarga mempunyai hak untuk menerima atau menolak asuhan keperawatan yang diberikan. c. Kebenaran (Veracity) truth

Melakukan kegiatan/tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang tidak bertentangan (tepat, lengkap). Prinsip kejujuran menurut Veatch dan Fry (1987) didefinisikan sebagai menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Suatu kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang lain. Kebenaran merupakan hal yang fundamental dalam membangun hubungan saling percaya dengan pasien. Perawat sering tidak memberitahukan kejadian sebenarnya pada pasien yang memang sakit parah. Namun dari hasil penelitian pada pasien dalam keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu tentang kondisinya secara jujur (Veatch, 1978). Contoh : Tindakan pemasangan infus harus dilakukan sesuai dengan SOP yang berlaku dimana klien dirawat. d. Keadilan (Justice) Hak setiap orang untuk diperlakukan sama (facione et all, 1991). Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua individu. Artinya individu mendapat tindakan yang sama mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan kehidupan seseorang. Prinsip dari keadilan menurut beauchamp dan childress adalah mereka uang sederajat harus diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat diperlakukan secara tidak sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka. Ketika seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar, maka menurut prinsip ini harus mendapatkan sumber-sumber yang besar pula, sebagai contoh: Tindakan keperawatan yang dilakukan seorang perawat baik dibangsal maupun di ruang VIP harus sama dan sesuai SAK. e. Tidak Membahayakan (Nonmaleficence) Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau membahayakan orang lain.(Aiken, 2003). Contoh : Bila ada klien dirawat dengan penurunan kesadaran, maka harus dipasang side driil. f. Kemurahan Hati (Benefiecence) Menyeimbangkan hal-hal yang menguntungkan dan merugikan/ membahayakan dari tindakan yang dilakukan. Melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain. Merupakan prinsip untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain/pasien. Prinsip ini sering kali sulit diterapkan dalam praktek keperawatan. Berbagai tindakan yang dilakukan sering memberikan dampak yang merugikan pasien, serta tidak adanya kepastian yang jelas apakah perawat bertanggung jawab atas semua cara yang menguntungkan pasien. Contoh: Setiap perawat harus dapat merawat dan memperlakukan klien dengan baik dan benar. g. Kesetiaan (fidelity) Memenuhi kewajiban dan tugas dengan penuh kepercayaan dan tanggung jawab, memenuhi janji-janji. Veatch dan Fry mendifinisikan sebagai tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung jawab dalam konteks hubungan perawat-pasien meliputi tanggung jawab menjaga janji, mempertahankan konfidensi

dan memberikan perhatian/kepedulian. Peduli kepada pasien merupakan salah satu dari prinsip ketataatan. Peduli pada pasien merupakan komponen paling penting dari praktek keperawatan, terutama pada pasien dalam kondisi terminal (Fry, 1991). Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam memberi asuhan keperawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik, memberikan kenyamanan dan menunjukan kemampuan profesional Contoh: Bila perawat sudah berjanji untuk memberikan suatu tindakan, maka tidak boleh mengingkari janji tersebut. C. PULANG PAKSA Pulang paksa adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pasien yang menolak perawatan yang diajukan pihak rumah sakit dengan berbagai alasan. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah kamar untuk rawat inap yang penuh atau yan lebih sering lagi adalah karena tidak ada biaya. Pasien pulang paksa adalah pasien yang mendapatkan perawatan dan pengobatan yang dinyatakan belum sembuh oleh dokter, pulang atas kemauan sendiri. Kejadian ini cukup sering ditemui di rumah sakit pemerintah Pulang paksa merupakan bentuk lepasnya tanggung jawab Rumah Sakit atas apa yang akan terjadi jika pasien pulang, meskipun Rumah Sakit dalam hal ini dokter tidak bisa menjamin kesembuhan pasien. Karena memang seorang dokter tidak boleh memberikan janji yang tidak bisa dipenuhi yakni kesembuhan, yang ada hanya usaha terbaik yang bisa diberikan. Namun sebagai seorang dokter, rasanya menyedihkan ketika pasien menghentikan pengobatan, kemudian pasrah atau beberapa yang lain mencoba pengobatan alternatif yang beberapa kerabatnya anjurkan katanya manjur. Karena biasanya pasien akan kembali ke Rumah Sakit dalam kondisi yang semakin buruk, setelah dia mencoba pengobatan tradisional itu. Masih ada sekitar 30 juta masyarakat miskin yang tidak mempunyai jaminan kesehatan. Mereka inilah yang mengalami pulang paksa karena tidak memiliki biaya untuk mendapatkan perawatan kesehatan. Pemerintah Amerika Serikat menyadari kondisi yang sama terjadi pada penduduknya. Sekitar 30% warga negaranya tidak mempunyai jaminan kesehatan. Sedangkan biaya perawatan kesehatan adalah penyebab nomor 2 kebangkrutan di AS. Melihat fakta tersebut, Obama mengusung Health Care Reform berupa Universal Health Care yang memberikan jaminan kesehatan kepada seluruh warga negaranya. Hal ini luar biasa karena sebelumnya AS (yang merupakan negara dengan health expenditure sekitar 15.4% dari GDP) mengalami polemik tentang pemberlakuan jangkauan semesta tersebut. Beberapa alasan menolak Universal Health Care antara lain karena indikasi ketidakadilan terhadap pembayar pajak yang sehat karena memberikan jaminan yang sama kepada masyakarat yang merokok, alkoholik dan pengguna narkoba. Alasan senada juga terdengar di Indonesia yang sedang menuju ke penerapan Universal Healthcare. Ada pendapat yang menyatakan dengan pelayanan kesehatan yang gratis maka masyarakat akan manja dan memanfaatkan dengan tidak bijak karena mendapatkan jaminan.

D. DO NOT RESUSCITATION (DNR) Do not resuscitation (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan resusitasi adalah pesan untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak mencoba melakukan atau memberikan tindakan pertolongan berupa CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya henti napas pada pasien. Perintah ini ditulis atas permintaan pasien atau keluarga tetapi harus ditanda tangani dan diputuskan melalui konsultasi pada dokter yang berwenang. DNR merupakan salah satu keputusan yang paling sulit, hal ini menimbulkan masalah dilema etika yang menyangkut perawat ataupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang terlibat. Apakah akan mengikuti sebuah perintah jangan dilakukan resusitasi atau tidak? Bagaimana tindakan anda sebagai perawat yang telah mahir untuk melakukan CPR mengetahui jika tiba-tiba pasien mengalami henti jantung. Sebagai seorang perawat yang memiliki rasa care pastinya anda tidak akan membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tetapi masalahnya jika kita mengikuti kata hati dan melakukan CPR pada pasien tersebut, kita justru bisa dituntut oleh keluarga pasien tersebut karena keluarga telah membuat keputusan untuk tidak dilakukan tindakan resusitasi. Ini adalah sebuah dilema yang terjadi di dalam profesi kesehatan. Masalah seperti ini juga sering muncul pada pasien yang menderita penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun pasien yang telah diputuskan oleh keluarga untuk dilakukan euthanasia. DNR ini belum familiar di Indonesia. Dan di rumah sakit-rumah sakit belum ada standart operasional prosedur yang tetap tentang pemberian label pada pasien DNR. Namun keputusan DNR ini sebenarnya sudah ada dan sering kita jumpai tetapi belum disampaikan secara jelas oleh keluarga atau pihak yang bertanggung jawab atas perawatan pasien, hanya secara tersirat misalkan saya sudah ikhlas. Jika kita telaah lebih dalam sebenarnya kata ini adalah suatu pernyataan putus asa dari anggota keluarga terhadap kondisi pasien dan keluarga sudah siap jika sewaktu-waktu pasien dinyatakan meninggal oleh dokter atau tim medis yang menangani pasien tersebut. Ada beberapa keluarga pasien dengan penyakit-penyakit terminal yang pernah di rawat di ICU meminta perawat dan tenaga kesehatan lain untuk tidak melakukan resusitasi. Jadi sebenarnya status klien yang DNR di Indonesia sudah ada, namun belum terdokumentasi secara legal saja. Pasien DNR biasanya sudah diberikan label atau tanda untuk tidak dilakukan resusitasi. Label ini biasa terdapat pada baju atau tempat tidur pasien, di ruang perawatan ataupun di pintu masuk ruang perawatan bila pasien dirawat dalam satu kamar tersendiri. Pemberian tindakan perawatan dan tindakan medis pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien pada umumnya, tetap sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. Pasien juga masih diperlakukan dengan cara yang sama tanpa perkecualian. Label DNR hanya memiliki makna bahwa jika pasien meninggal (berhenti bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak akan melakukan CPR/RJP. Jadi DNR tidak berarti pemberian obat pada pasien dihentikan begitu saja, pasien tetap mendapatkan obat dan tindakan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Namun terkadang dokter dan perawat akan berhenti fokus pada pengobatan, dan mulai fokus

pada tindakan pendampingan dan pemenuhan kebutuhan dasar pasien saja jika prognosis pasien sudah sangat memburuk. Tindakan ini biasa disebut sebagai perawatan Paliatif. Venneman et al, berpendapat bahwa Do Not Resuscitation adalah bermasalah dan harus diganti dengan membiarkan mati wajar atau Allow Natural Death (AND), akan tetapi beberapa penulis mengatakan bahwa Do Not Resuscitation( DNR) tidak sama dengan Allow Natural Death (AND). Beberapa studi menyimpulkan bahwa 85% dari tenaga kesehatan umumnya mendukung perubahan DNR ke AND, dan pada umumnya mereka sepakat bahwa AND bukan urutan pengganti DNR. RJP telah disetujui oleh American Heart Association tahun 1974 dan sejak itu, semakin banyak rumah sakit dan asosiasi medis profesional telah mengadopsi pedoman untuk DNR orders. DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak akan menerima RJP pada saat cardiac arrest. E. EUTHANASIA a. Pengertian Euthanasia dan Macam-macamnya Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar). Tindakan euthanasia dikategorikan menjadi : 1. Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. 2. Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung. 3. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan. Macam-macam euthanasia : 1. Euthanasia sukarela : Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.Misalnya dengan menolak perawatan medis, meminta perawatannya

2.

3. 4.

5.

6.

dihentikan atau mesin pendukung kehidupannya dimatikan atau menolak untuk makan. Euthanasia non-sukarela : Apabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnya.Ini terjadi ketika pasien sadar atau tidak, sehingga ada orang lain yang mengambil keputusan atas namanya.Euthanasia non-sukarela bisa terjadi pada kasus-kasus seperti pasien sedang koma, pasien terlalu muda (misalnya bayi), orang pikun, mengalami keterbelakangan mental yang sangat parah atau gangguan otak parah. Involuntary Euthanasia : Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi. Assisted suicide (bunuh diri dengan bantuan) : Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut juga, physician assisted suicide. Euthanasia dengan aksi : Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati. Euthanasia dengan penghilangan : Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.

b. Masalah Etika pada Euthanasia Tuhan jelas melarang manusia membunuh dirinya sendiri, atau orang lain melakukannya. Hidup dan mati semuanya di Tangan Tuhan, meskipun manusia, termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan segala ilmu dan teknologi yang dikuasainya, berusaha menolong seorang pasien, tetapi semuanya Tuhan yang akan menentukan. Di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dan lafal sumpah Dokter dinyatakan bahwa dokter mempunyai tugas dan kewajiban untuk melindungi hidup makhluk insani mulai dari saat pembuahan, dan dokter harus membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan. Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyakitnya, pengobatan dan prognosisnya, dan berdasarkan informasi menolak pertolongan atau perawatan oleh seorang dokter. Antara etik kedokteran yang digunakan sebagai landasan tugas dan kewajiban dokter dan hak asasi pasien untuk memilih perawatan kesehatannya tersebut, kadang-kadang menimbulkan masalah antara lain dalam masalah euthanasia ini sudah sejak lama terdapat masalah bagi dokter dalam menghadapi keadaan dari segi medis tidak ada harapan dalam situasi yang demikian ini, tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan dari segala penderitaan dan tidak menginginkan diperpanjang hidupnya atau dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga pasien yang tidak sampai hati melihat penderitaan pasien menjelang ajalnya meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah muncul istilah euthanasia, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau

mati secara enak menurut versi pasien/keluarga pasien yang menginginkannya. Meskipun euthanasia ini berlaku untuk semua makhluk hidup, tetapi biasanya hanya yang berkaitan dengan perawatan kesehatan, atau yang ada kaitannya dengan perawatan manusia. Dari segi moral yang penting adalah bahwa penyebab kematian adalah penyakit yang diderita oleh pasien, dan bukan perbuatan keluarga dan tim pelayanan kesehatan. Aplikasi dari teknologi medis yang terus menerus berkembang menimbulkan masalah yang mengandung berbagai dilema etis. Respirator dan mesin dialisis tentu mahal, tetapi bagi orang yang ingin memperpanjang hidupnya terapi (pengobatan) semacam ini mungkin merupakan terapi yang biasa saja. Dilema etis moral lainnya adalah apakah boleh orang tidak melakukan sesuatupun, sedangkan diketahui bahwa sebagai akibatnya akan timbul keadaan yang membawa kematian. Disini penting pula maksud pelaku : tidak memberikan pengobatan yang kurang berguna atau terlalu membebani keluarga dalam hal pembiayaan dan bukan bermaksud mengakibatkan kematian secara langsung. Dilema etis yang lain adalah adanya perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Seringkali orang merasa bahwa menghentikan suatu terapi yang sudah dimulai adalah bertindak, sedangkan tidak memualai ksuatu terapi mirip dengan perbuatan yang tidak bertindak. Pada umumnya dikatakan bahwa argumen moral untuk keduanya adalah jelas sama. Artinya alasan-alasan untuk tidak memulai dengan respirator seringkali sama dengan alasan-alasan untuk menghentikannya. Walaupun sering kebanyakan orang akan lebih setuju mengenai sesuatu terapi yang tidak banyak bermanfaat bagi kesembuhan pasien, mungkin silang pendapat akan timbul tentang tepat tidaknya menghentikan terapi itu, karena orang lain yang tidak berbuat sesuatu untuk pasien. Disinilah akhirnya timbul masalah etik yaitu ketika mengevaluasi manfaat dan beban terapi bagi si pasien atau keluarganya. Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya. Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya. Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungksi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara

keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu. Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam hubungan profesi sebagai perawat, dokter, dan klien, dapat muncul masalah kerahasiaan, konflik peran, masalah antar perawat sendiri, peran fungsi saling ketergantungan, dan persetujuan/perizinan. Masalah di atas tidak mungkin diselesaikan oleh perawat atau profesi keperawatan tersendiri karena menyangkut bidang pelayanan kesehatan yang khusus maka seharusnya diselesaikan oleh seluruh anggota tim pelayanan kesehatan, sedangkan profesi keperawatan dapat menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan perawat dan keperawatan. Tidak jarang dalam situasi nyata pelayanan kesehatan yang menyangkut semua profesi kesehatan, terjadi suatu masalah yang bersifat saling terkait dan perawat juga terlibat, dalam hal ini perawat harus berupaya terus menyelesaikan dengan menggunakan dasar pertimbangan filsafat moral dan etika keperawatan. Masalah bioetis melibatkan perawat dalam praktik keperawatan dan dalam hubungan perawat dengan yang lainnya. Masalah etismuncul hampir di semua bidang praktik keperawatan. Dengan berubahnya lingkup praktik keperawatan dan teknologi medis, terdapat peningkatan kejadian konflik nilai pribadi perawat dengan praktik. Di satu pihak, atasan mempunyai kebutuhan dan harapan untuk pelayanan dari perawat, di lain pihak, perawat mempunyai hak untuk diarahkan oleh nilai pribadinya. B. Saran Setelah membaca makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan bagi pembaca khususnya tentang dilema etik keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA Hanafiah, Jusuf. 1999. Etika Kesehatan dan Hukum Kesehatan. Jakarta: ECG. Priharjo, Robert. 2006. Pengantar Etika Keperawatan. Cet.9. Yogyakarta: Kanisius.
http://naulicatsadeingesh.blogspot.com/2012/04/dilema-etik-dalam-keperawatan-kritis.htm http://bebenta.blogspot.com/2012/06/etika-euthanasia.html http://nersdody.blogspot.com/2012/03/etik-dilema-etik-dan-contoh-kasus.html

Anda mungkin juga menyukai