Anda di halaman 1dari 13

Hubungan Euthanasia Dengan Etika Keperawatan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk
menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu. Di
jaman modern ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose
maupun yang tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi
bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum. Yang
pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa
orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya eutanasia adalah untuk
menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang dianggap terlalu menyiksa.
Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan,
sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia,
namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat
ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap
melakukan tindakan yang melanggar hukum. Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang
penyelenggaraan eutanasia, namun masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan
eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak, dengan berbagai alasan. Kampanye anti
eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan bahwa praktek
eutanasia memang masih kerap terjadi.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia, mengenai
pengertiannya, sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan juga pandangan
beberapa Negara dan beberapa Agama tentang penerapan eutanasia serta hukum terkait
eutanasia.

1
1.2 Tujuan
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini, yaitu:
a. Pembaca mengetahui pengertian dari eutanasia?
b. Pembaca mengetahui bagaimana standar prosedur pelaksanaan eutanasia?
c. Pembaca mengetahui apa saja jenis-jenis eutanasia yang pernah dilakukan?
d. Pembaca mengetahui bagaimana sejarah penerapan eutanasia?
e. Pembaca mengetahui bagaimana hukum eutanasia pada beberapa Negara di dunia?
f. Pembaca mengetahui bagaimana pandangan Agama terhadap praktek eutanasia?

1.3 Sistematika Penulisan Makalah

Makalah ini terdiri atas lima bab yaitu :


BAB I : Pendahuluan berisikan tentang latar belakang penulisan makalah,
tujuan penulisan makalah, sistematika penulisan, dan metoda
penulisan makalah.
BAB II : Tinjauan Teori Aspek legal terkait Euthanasia berisikan
tentang pengertian Euthanasia; sejarah Euthanasia; klasifikasi
Euthanasia; Pandangan Euthanasia menurut para ahli, agama;
Aspek hukum Euthanasia di Indonesia dan hukum Euthanasia di
berbagai belahan negara.
BAB III : Kasus terkait aspek legal Euthanasia.
BAB IV : Pembahasan terkait kasus aspek legal Euthanasia.
BAB V : Penutup berisikan tentang simpulan dan saran.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu mati.
Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit.
Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan
tenang. Hal ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru
mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan
teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang
dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan
perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan
etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam
dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di
satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak
lain.
2.2 Sejarah Euthanasia
Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam manuskripnya
yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-300 SM. Dalam
supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak akan menyarankan dan atau
memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dari dokumen tertua tentang eutanasia di atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang
dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-
19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara
dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara
bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa
Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter
mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung
eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938
yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian
perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang
bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan
Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua
yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai
bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu
"program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup
mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak
diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era
tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi
terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan
3
oleh cacat genetika. (Wikipedia). Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh
Adolf Hitler, menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu
bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa kepada semua
orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang cukup menarik terkait dengan
praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu kala, berikut sedikit uraiannya:
a. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke
dalam sungai Gangga.
b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
c. Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah
berlaku sejak tahun 1933.
d. Di beberapa Negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia
yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai
kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika
Serikat.
f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya
adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta
tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi
anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan
tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

2.3 Klasifikasi
A. Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
- Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit.
Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian
segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak
menunjang.
- Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain
sepertinpihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
Assisted Suicide, tindakan ini bersifat individual yang pada keadaan tertentu
dan alasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
- Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan meringankan
penderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak untuk
mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi agak berbeda
pengertiannya karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan.

4
B. Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf
pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat
mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan menjadi:

- Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi
tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.

- Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau
tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus
malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung
medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan
hidup.
- Autoeuthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan
tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas sendiri
(APS).
C. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori:
- Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.
- Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan
sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi
dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang
pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang
dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi
yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat

5
penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah
sakit.
2.4 Pendapat Ahli
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy
killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis
sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati
baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti
euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland
(Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk
tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan
sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
2.5 Pandangan Agam
A. Menurut Ajaran Agama Islam
Euthanasia berasal dari kata ‘eu’ yang berarti normal, baik, atau sehat, dan ‘thanatos’ yang
artinya mati. Secara harfiah istilah ini berkonotasi positif, yaitu mati secara baik (dan mudah),
tanpa penderitaan. Sehingga sesungguhnya euthanasia merupakan dambaan dan harapan
setiap setiap pemeluk aliran kepercayaan dan agama. Dalam hal agama hal seperti ini disebut
dengan mati yang husnul khatimah. Tetapi di kalangan medis, euthanasia mengakhiri
kehidupan seseorang secara sengaja dengan tenang dan mudah untuk mengakhiri
penderitaannya.
Dalam agama Islam atau hukum apapun, masalah kematian adalah suatu keniscayaan,
hanyalah Tuhan yang punya kewenangan terhadap hidup makhluknya. Dengan demikian,
manusia tidak diberi hak atau wewenang dalam mengakhiri hidup seseorang.
Islam sangat menghargai jiwa. Banyak ayat al Quran maupun hadist nabi yang
mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia. Oleh karenanya, seseorang
tidak diperkenankan melenyapkan hidup seseorang. Manusia dilarang memperlukakan jiwa
manusia dengan tidak hormat. Tindakan menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada
lembaga pengadilan sesuai dengan aturan pidana Islam.
Secara normative, memudahkan proses kematian secara aktif ( Euthanasia Aktif ) tidak
dibenarkan oleh syara’. Sebab berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara
overdosis. Dengan demikian dokter telah melakukan tindakan pembunuhan, baik dengan
penghentian pengobatan, pemberian racun yang keras, penyengatan listrik, dan lain-lain.
Dalam segi agama, perbuatan tersebut dikategorikan dalam pembunuhan yang diharamkan
meskipun factor yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada pasien dan bermaksud
meringankan rasa sakitnya. Selain itu, euthanasia aktif maupun auto-euthanasia tidak
diperbolehkan, karena alasan sebagai berikut:
1. Dari pihak pasien yang meminta kepada dokter karena tidak tahan lagi menderita sakit,
karena jenis penyakit ini teralu kronis/ gawat dan telah lama dialami, maka ia meminta
kepada dokter untuk melakukan euthanasia. Pertimbangan lain karena pasien sadar bahwa

6
beban pengobatannya sangat besar bagi keluarganya. Atau pasien menyadari bahwa ajalnya
sudah sangat dekat, harapan sembuhnya kecil, sehingga pasien meminta dirinya dilakukan
euthanasia. Hal ini tidak boleh dilakukan karena termasuk bunuh diri, di mana bunuh diri
dalam agama apapun adalah terlarang.
2. Dari pihak keluarga / wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien, apalagi jika
pasien tampaknya tidak tahan lagi menanggung penyakitnya.
3. Kemungkinan lain, bisa terjadi, pihak keluarga tertentu bekerja sama dengan dokter
untuk mempercepat kematian pasien karena suatu factor amoral, jelas ini merupakan suatu
pembunuhan.
Sedangkan untuk menentukan hukum euthanasia pasif ini terlebih dahulu perlu dilihat
keterkaitannya dengan hukum berobat. Ulama menyatakan bahwa hukum berobat menjadi
sunah, wajib, mubah, atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Namun
apabila pasien sudah diberi berbagai macam cara pengobatan, baik dengan cara meminum
obat, suntikan, ataupun menggunakan alat-alat pernapasan dan lain sebagainya dalam waktu
yang relative lama tetapi penyakitnya tidak mengalami kemajuan, pengobatan seperti itu
tidak wajib dilakukan, dengan kata lain, boleh mencabut atau menyudahi proses
pengobatannya.
Memudahkan proses kematian semacam ini seyogyanya tidak diembeli dengan unsure
membunuh karena kasih saying, dalam hal ini tidak ada tindakan aktif dari dokter, tetapi,
dokter hanya meninggalkan sesuatu yang bersifat tidak wajib. Tindakan ini dibolehkan oleh
agama bila pihak keluarga meninginkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk
meringankan beban pasien dan keluarganya.
Peralatan bantu medis yang terpasang pada pasien yang lama koma misalnya, hal tersebut
hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah, yakni yang tampak dalam
pernapasan dan peredaran darah dengan denyut nadi saja, padahal dari segi aktivitas pasien
sudah seperti orang mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu, dan tidak dapat
merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan syarafnya sudah rusak. Membiarkan pasien
dalam keadaan demikian hanya akan menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti
menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih
bisa mendapatkan manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien juga hanya akan membuat
keluarganya merasa sedih dan menderita. Dalam kondisi seperti ini,medis diperbolehkan
melepas seluruh instrument yang dipasang pada seseorang meskipun jantungnya masih
berdenyut, karena berdenyutnya jantung pasien karena kerja instumen tersebut.

B. Dalam ajaran gereja Katolik Roma


Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem
penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-
program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-
sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah
moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk
ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de eutanasia") yang
menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya

7
kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana
yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin
meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor
64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari
`budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat
dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa
eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas
kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu
tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae,
nomor 66).
C. Dalam ajaran Agama Hindu
Pandangan Agama Hindu terhadap eutanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma,
moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis
kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan
pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk
adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang
menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip
"anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan
yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat
menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan
"karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat
berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat
dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani
kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia
ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan),
setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia
akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma"
nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

D. Dalam ajaran Agama Buddha


Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana
penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu
moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa
eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha.
Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran
terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif
kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan
seseorang tersebut.

8
E. Dalam ajaran Agama Yahudi
Ajaran Agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari
Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan.
Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan
berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan
terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian
Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan
menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku
akan menuntut nyawa sesama manusia". Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan
bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
2.6 Aspek Hukum Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang secara jelas mengatur tentang
euthanasia.namun demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab undang-undang hukum
pidana (KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara tersirat,yaitu:pasal 304,pasal 306,dan
pasal 344 KUHP.
Pasal 304 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam
kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada
orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian,dihukum
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ratus ribu
rupiah.
Catatan.
Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya
lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur
dalam pasal 306 KUHP ayat 2.
Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP
tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.

Pasal 306 KUHP


Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang
mati,sitersalah itu dihukum penjarapaling lama 9 tahun.
Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,yang
disebutnya dengannya dengan nyata dan bersungguh sungguh,dihukum penjara paling lama
12 tahun.

9
BAB III
ANALISA KASUS
3.1 Kasus terkait 1

Pada suatu publikasi besar – besaran, persidangan yang digelar di Massachusetts


(Commonwealth v. Anne Capute [1982]), seorang perawat praktik berlisensi disebuah rumah
sakit mendapat tuduhan pembunuhan. Jaksa penuntut menuduh Perawat Capute berniat
membunuh pasien ketika ia memberikan 195mg morfin sesuai instruksi dokter untuk
menghilangkan nyeri pasien pada satu kali pemberian dalam periode 8 jam. Jaksa penuntut
berpendapat bahwa jumlah morfin yang diberi kepada pasien adalah penyebab kematian
pasien dan bahwasanya pasien tidak akan meninggal jika tidak diberi morfin.

Pengacara Perawat Capute mengungkapkan bahwa pasien menderita penyakit terminal yang
menyebabkan kematiannya. Terhadap kemungkinan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup,
jika terbukti bersalah, Capute menyatakan dihadapan dewan juri bahwa ia memberi morfin
untuk membantu pasien dan bahwa pengacara tidak memahami nyeri dari penderitaan pasien
karena mereka tidak berada disana dan menyaksikan kejadian sesungguhnya.

Karena dewan juri tidak percaya pembuktian dewan penuntut, yakni bahwa kematian pasien
disebabkan oleh obat yang diberikan, Capute dinyatakan bebas dari tuntutan pembunuhan.
3.2 Kasus terkait 2
Pada 1994, diadakan vote di Oregon mengenai euthanasia. Oregon voters mengesahkan
euthanasia atau yang disebut juga bunuh diri- dibantu (assisted-suicide). Namun, penetapan
hukum pengadilan mengenai hal ini masih ditunda. Oregon voters berpendapat bahwa dokter
atau tenaga medis lain berhak mencari alternative lain untuk meringankan rasa sakit bagi
pasien yang sakit parah dan memiliki penderitaan tak tertahankan. Publik berpendapat bahwa
pasien berhak menentukan takdir mereka sendiri. Hal ini berarti dokter boleh memberikan
tindakan euthanasia bila pasien tersebut menginginkannya.
Dr. Jack Kevorkian yang telah melakukan ‘bantuan bunuh diri’ (euthanasia) lebih dari 130
pasien terminal didukung oleh banyak orang, termasuk para juri yang berhasil membebaskan
dirinya dari tuntutan pengadilan Michigan pada 1995. Hingga pada tahun 1998, Dr.
Kevorkian memperoleh pengakuan legal dan etik.
Dalam sebuah berita 60 Minutes, Dr Kevorkian tidak hanya memberikan pengakuan bahwa ia
memberikan obat mematikan kepada pasien, ia bahkan menunjukan video rekaman
bagaimana ia melakukannnya. Pasien tersebut yang mengidap penyakit Lou Gehrig meminta
Dr. Kevorkian untuk membunuhnya. Pasien tersebut menulis sebuah inform concern dan
menandatanganinya. Dr. Kevorkian mengatakan bahwa motifnya melakukan euthanasia
waktu itu hanyalah ingin melakukan sebuah tes/ percobaan euthanasia aktif. Akhirnya, pada
April 1999 pengadilan menvonisnya bersalah sebagai kasus pembunuhan tingkat dua
sehingga dia dijatuhi hukuman dua puluh lima tahun penjara.

10
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
4.1 Pandangan terhadap kasus 1
Penggunaan morfin pada pasien menjelang kematiannya dalam mengatasi nyeri adalah hal
ilustrasi klasik akan masalah ini. Efek morfin yang baik adalah menghilangkan rasa
penderitaan nyeri. Efek yang berbahaya adalah mempercepat kematian. Tujuan perawat ialah
meredakan penderitaan pasien, bukan membunuh pasien. Efek yang merugikan, yang
kemungkinan mempercepat kematian pasien adalah bahaya yang muncul yang terkandung
pada penggunaan obat. Kematian tidak diharapkan terjadi, tetapi merupakan risiko yang
dapat terjadi. Keta efek yang baik dan yang berbahaya timbul secara simultan. Risiko
mempercepat kematian muncul pada saat yang bersamaan dengan manfaat pasien terbebas
dari nyeri.
Meringankan penderitaan pasien yang menjelang kematian sangatlah penting. Tugas utama
para pemberi layanan kesehatan adalah membebaskan pasien dari rasa sakit dan penderitaan
ketika usaha untuk menyembuhkan sudah diupayakan secara maksimal tugas ini merupakan
alasan yang cukup untuk menggunakan morfin dengan dosis berapapun untuk mencapai
sasaran yang diinginkan. Walau itu adalah menghilangkan nyeri pada pasien dengan penyakit
terminal bahkan ketika hal tersebut berisiko memperpendek hidup mereka.
Apa yang dilakukan oleh perawat tersebut semata menjalankan tugas, walau apa yang
dilakukannya juga merupakan kewajibannya dalam meringankan penderitaan pasien untuk
menghilangkan rasa nyeri hebat yang dialaminya. Memberikan perawatan secara moral
memang diijinkan,namun pertimbangan atas penderitaan yang dialami pasien lebih kepada
rasa kemanusiaan serta tugasnya dalam membantu pasien menghilangkan rasa nyeri. Hal ini
membantu dalam menjelaskan mengapa seorang petugas pelayan kesehatan diijinkan untuk
memberikan penghilang rasa nyeri dengan dosis tinggi untuk mengatasi rasa nyeri pada
pasien yang menderita penyakit terminal, bahkan dalam jumlah yang dapat menyebabkan
pasien meninggal lebih cepat.
Euthanasia masih menjadi hal yang diperdebatkan akan keabsahan hukumnya. Sebagian
besar dokter dan perawat masih enggan menggunakan obat penghilang rasa nyeri dosis tinggi
terhadap pasien yang sedang mengahadapi terminal dengan kondisi yang sangat
menyakitkan. Keengganan ini terjadi akibat rasa takut terhadap hukum karena melanggar
kode etik yang berlaku serta gejolak psikologi yang terjadi dalam diri seorang perawat.
4.2 Pandangan terhadap kasus 2
Banyak kritik yang menentang euthanasia. Walaupun banyak perawat atau tenaga medis lain
yang berpendapat bahwa keluarga pasien koma atau terminal boleh mencabut respirator,
makanan, atau alat medis lainnya, namun mereka menentang euthanasia aktif. Banyak yang
berpendapat bahwa euthanasia dapat membunuh pasien, bahwa euthanasia dilakukan tanpa
keinginan pasien atau sepengetahuan pasien. Pasien terminal atau koma, tidak punya
kemampuan mengungkapakan keinginannya. Keluarga, dokter, maupun perawat tidak
mengetahui apakah sebenarnya pasien terminal tersebut menginginkan kematian dan mereka
tidak punya hak untuk memutuskan hidup mati pasien tersebut.Banyak perawat professional
dan organisasi kesehatan lainnya yang menentang euthanasia. ANA (American Nursing
Association) telah menyatakan penentangannya ini kepada public.

11
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
a. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan ‘thanatos’ yang berarti
kematian, sehingga istilah eutanasia secara singkat dapat diartikan sebagai ‘kematian yang
baik’.
b. Terdapat dua prinsip utama dalam standar prosedur euthanasia, yaitu secara fisik (misalnya
dengan pemutusan leher, perusakan otak, atau penembakan kepala) dan secara kimiawi
(dengan teknik inhalasi gas beracun atau suntik subtansi kimia mamatikan)
c. Eutanasia memiliki berbagai klasifikasi berdasarkan beberapa katagori tertentu.
d. Pada beberapa Negara euthanasia telah dilegalkan sebagai salah satu tindakan medis, di
beberapa Negara yang lain, euthanasia masih digolongkan sebagai tindakan criminal,
termasuk di Indonesia.
e. Pada umumnya agama menolak dilakukannya euthanasia, karena dianggap mendahului
kehendak Tuhan, sebab, hidup dan mati ada di tangan Tuhan.

5.2 Saran
Eutanasia merupakan suatu tindakan yang kontroversial, disatu sisi, ada niatan baik untuk
membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain, bagaimanapun eutanasia merupakan
suatu praktik menghilangkan nyawa orang lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih
banyak lagi mengkaji terkait dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia
secara holistic dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana.

12
DAFTAR PUSTAKA

Helm. Ann.2005. Malpraktik Keperawatan: Menghindari Masalah Hukum. Jakarta: EGC.


Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
William, Lippincot and Walkins. 2004. Nurse’s Legal handbook. 5th Ed. USA: Springhouse
Corporation.
Zuhroni,dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2. Jakarta:
Departemen Agama RI.
www.blogperawat.com. 2010. Euthanasia Dalam Keperawatan.
http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-euthanasia-killing-yang-
terjadi-di-dunia

13

Anda mungkin juga menyukai