Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

ETIKA HUKUM KEDOKTERAN DAN MEDIKOLEGAL

EUTHANASIA

Oleh :

I Gusti Ayu Thasya Indirayanti

NPM : 19710133

Dosen Pembimbing :

dr. Meivy Isnoviana, S.H., M.H.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ETIKA HUKUM KEDOKTERAN DAN


ASPEK MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA


SURABAYA

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Euthanasia

Penyusun : I Gusti Ayu Thasya Indirayanti (19710133)

Bidang Studi : SMF Etika Hukum Kedokteran dan Aspek Medikolegal

Periode : 18 Januari 2021 s/d 31 Januari 2021

Pembimbing : dr. Meivy Isnoviana, S.H., M.H.

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing

Tanggal……………………………………

Pembimbing,

dr. Meivy Isnoviana, S.H., M.H.

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis mendapat kemudahan untuk menyelesaikan
referat yang berjudul “Euthanasia”. Penyusunan referat ini diajukan untuk
memenuhi tugas pada SMF Etika Hukum Kedokteran dan Aspek Medikolegal
dalam menempuh pendidikan profesi dokter di RSUD Kabupaten Sidoarjo serta
dimaksudkan untuk menambah wawasan bagi penulis.

Dalam pembuatan referat ini, penulis mendapat bantuan dan dukungan


dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.


2. dr. Meivy Isnoviana, S.H., M.H selaku pembimbing yang telah berkenan
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, serta arahannya dalam
penyusunan referat ini.
3. Keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan dan doa agar penulis
mampu menyelesaikan referat ini.
4. Semua pihak yang tidak mungkin disebut satu per satu yang telah membantu
dalam menyelesaikan referat ini.
Dalam penulisan referat ini penulis sadar bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dan jauh dari sempurna oleh karena itu penulis mengharapkan semoga
referat ini dapat bermanfaat untuk pembaca dan semua orang.

Sidoarjo, 22 Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. i

KATA PENGANTAR....................................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 01
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 01
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................... 02
1.3 Tujuan........................................................................................................... 02
1.4 Manfaat......................................................................................................... 03

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 04


2.1 Euthanasia..................................................................................................... 04
2.1.1 Pengertian Euthanasia.................................................................... 04
2.1.2 Tujuan Euthanasia......................................................................... 05
2.1.3 Klasifikasi Euthanasia................................................................... 06
2.1.4 Aspek Euthanasia.......................................................................... 09
2.1.5 Tren Euthanasia Di Berbagai Negara............................................. 15
2.2 Kaidah Dasar Moral...................................................................................... 18
2.2.1 Prinsip Beneficience....................................................................... 19
2.2.2 Prinsip Non-Maleficience.............................................................. 20
2.2.3 Prinsip Autonomy.......................................................................... 21
2.2.4 Prinsip Justice................................................................................. 22
2.2.5 Four Box Methods.......................................................................... 23
2.2.6 Prinsip-prinsip Profesionalisme..................................................... 24

BAB III PEMBAHASAN................................................................................. 26


3.1 Contoh Kasus.................................................................................... 26
3.2 Analisis Kasus................................................................................... 26

iii
BAB IV PENUTUP........................................................................................... 29
4.1 Kesimpulan....................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 30

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan termasuk ke dalam salah satu
unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan tujuan bangsa
Indonesia. Kesehatan merupakan sebuah keadaan yang sehat, baik secara fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan tidak hanya berupa sehat
secara fisik saja, tetapi juga meliputi kesehatan mental dan jiwa, dan bahkan
juga secara spiritual (Sri Siswati. 2015).
Kemajuan teknologi terutama dalam bidang genetika dan medis ikut
mempengaruhi antusias masyarakat umum dalam meningkatkan kesehatan dan
kualitas hidup. Namun juga banyak terkait dengan etik maupun norma agama,
salah satunya keputusan untuk mengakhiri hidup seseorang pada kasus
penyakit terminal dan menyakitkan dilakuka pada tahun 1870, hal ini yang
menyebabkan adanya pertentangan tentang euthanasia (Televantos et al.
2013).
Definisi euthanasia sangat bervariasi, mulai dari tindakan mengakhiri
hidup secara sederhana sampai tindakan mengakhiri hidup yang dibantu oleh
dokter bahkan ada yang mendefinisikan sebagai suatu tindakan pembunuhan
tanpa rasa sakit pada pasien yang tidak dapat disembuhkan atau penyakit
dengan rasa sakit yang hebat serta dalam kondisi koma (Televantos et al.
2013).
Euthanasia sampai saat ini masih kontroversial tidak hanya terkait definisi
yang menjelaskan tentang euthanasia tersebut tetapi juga dari segi hukum dan
etika. Disatu sisi euthanasia dianggap sebagai suatu tindakan yang dilakukan
oleh dokter atau tenaga medis untuk membantu pasien yang sedang dalam
kondisi terminal yang bertujuan untuk meringankan penderitaan, namun disisi
lain euthanasia dianggap sebagai suatu bentuk tindakan pembunuhan (Zahra
dan Maria. 2018).

1
Belanda termasuk salah satu Negara yang melegalkan euthanasia atas
permintaan eksplisit dari pasien. Sebelumnya terdapat sejarah panjang terkait
hal ini sampai akhirnya disahkan pada tahun 2002. Hal yang sama juga telah
berlaku di Belgia. Namun tetap ada syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi
sebelum tindakan tersebut dilakukan, seperti tindakan euthanasia harus
dilakukan oleh dokter, telah memenuhi semua prosedur pengobatan, dan atas
permintaan pasien secara eksplisit atas dasar penderitaan yang tidak
tertahankan (Zahra dan Maria. 2018).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka pada penulisan referat
untuk memenuhi tugas pada SMF Etika Hukum Kedokteran dan Aspek
Medikolegal ini penulis akan membahas mengenai euthanasia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi euthanasia ?
2. Apa saja tujuan dilakukannya euthanasia ?
3. Bagaimana klasifikasi euthanasia ?
4. Apa saja aspek pada euthanasia ?
5. Apa saja tren euthanasia di berbagai Negara ?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menambah pengetahuan mengenai Euthanasia.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari euthanasia.
b. Untuk mengetahui tujuan dilakukannya euthanasia.
c. Untuk mengetahui klasifikasi dari euthanasia.
d. Untuk mengetahui aspek pada euthanasia.
e. Untuk mengatahui tren euthanasia di berbagai Negara.

2
1.4 Manfaat

1. Bagi penulis
Penulis memperoleh informasi mengenai euthanasia.
2. Bagi Institusi
Dapat digunakan sebagai referensi untuk menambah informasi mengenai
euthanasia pada penulisan selanjutnya.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai sumber data dan referensi untuk menambah informasi mengenai
euthanasia.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Euthanasia
2.1.1 Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eu” dan
“thanatos”. Eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti
kematian. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan
untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh
seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat
menjelang kematiannya (Zahra dan Maria. 2018).
Menurut ikatan dokter Belanda, euthanasia adalah dengan sengaja
tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien
atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk
kepentingan pasien sendiri. Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) menggunakan euthanasia dalam 3 arti yaitu (Hadi, S.
2012) :
a. Berpindah kealam baka dengan tenang dan aman, tanpa
penderitaan.
b. Ketika hidup akan berakhir, penderitaan si sakit diringankan
dengan memberikan obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan
sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Euthanasia juga tidak hanya suatu tindakan mengakhiri hidup
seorang pasien yang sangat menderita saja, melainkan juga sikap
diam, tidak melakukan upaya untuk memperpanjang hidupnya dan
membiarkannya mati tanpa adanya upaya pengobatan. Definisi
euthanasia sedikitnya mencakup tiga kemungkinan, yaitu :

4
a. Memperbolehkan (membiarkan) seseorang mati;
b. Kematian karena belas kasihan;
c. Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan.
Memperbolehkan seseorang mati mengandung pengertian tentang
adanya suatu kenyataan, bahwa segala macam usaha penyembuhan
terhadap penyakit seseorang, sudah tidak ada manfaatnya lagi. Secara
medis usaha penyembuhan tersebut tidak ada hasilnya yang positif,
bahkan dalam keadaan tertentu ada kemungkinan pengobatan tersebut
justru mengakibatkan bertambahnya penderitaan. Dalam keadaan
demikian, seorang penderita lebih baik dibiarkan meninggal dalam
keadaan tenang tanpa campur tangan manusia.
Kematian karena belas kasihan merupakan suatu tindakan langsung
dan disengaja untuk mengakhiri kehidupan seseorang yang didasarkan
atas izin atau permintaannya. Hal ini disebabkan oleh kondisi
penderita yang sudah tidak tahan lagi menanggung rasa sakit yang
demikian berat. Keadaan ini tentu saja tidak sama dengan
memperbolehkan seseorang mati, walaupun mungkin ada juga
persamaannya.
Peristiwa pencabutan nyawa seseorang karena belas kasihan
memberikan pengertian terhadap suatu tindakan yang langsung untuk
menghentikan kehidupan penderita tanpa izinnya. Tindakan ini
didasarkan atas asumsi bahwa kehidupan si penderita selanjutnya
tidak ada artinya lagi. Tentu saja ada perbedaan antara peristiwa ini
dengan kematian karena belas kasihan, yaitu bahwa dalam peristiwa
yang terakhir ini tindakan dilakukan tanpa izin dan persetujuan si
penderita.

2.1.2 Tujuan Euthanasia


Salah satu tujuan dalam kehidupan adalah untuk dapat hidup secara
bahagia dan sedapat mungkin bisa membahagiakan orang lain. Atas
dasar inilah tindakan euthanasia dibagi menjadi 3, yaitu (Zahra dan
Maria. 2018) :

5
1. Pada awal kehidupan
 Bayi lahir dengan cacat fisik dan mental yang berat.
 Keputusan dibuat oleh orang tua atau dibawah petunjuk
dokter dan sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara
tersebut.
 Keputusan juga didasarkan pada kualitas hidup anak
dengan mempertimbangkan pengaruhnya pada keluarga
atau masyarakat setempat dan perawatan selanjutnya jika
kedua orang tua meninggal.
2. Pada akhir kehidupan (stadium terminal)
 Pasien kondisi terminal yang masih sadar dapat
memberikan persetujuan atau keputusan untuk terus
melanjutkan atau menghentikan pengobatan atas
keinginannya sendiri.
3. Ketika seseorang dalam kondisi penyakit yang berat yang
menyebabkan kerusakan otak
 Ketika seseorang dalam kondisi penyakit berat akibat
kerusakan otak baik karena tindak kekerasan, keracunan
atau akibat sebab-sebab alami sehingga otak mengalami
kerusakan irreversible, dengan bantuan alat medis pasien
dapat bertahan namun tidak didapatkan adanya interaksi
dalam hal apapun.
 Dalam hal ini euthanasia diperbolehkan agar seseorang
mengakhiri hidupnya dalam keadaan nyaman.

2.1.3 Klasifikasi Euthanasia


Kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti kematian
yang damai. Ini juga berarti penghentian hidup yang disengaja atas
permintaan eksplisit dari pasien atau keluarga pasien yang dinyatakan
akan meninggal. Namun, eutanasia mencakup berbagai bentuk dalam
praktiknya yang secara luas dapat dikategorikan sebagai berikut :

6
1. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan Komisi. Identik dengan
pembunuhan yang dilakukan atas dasar belas kasihan dan
melibatkan pengambilan tindakan untuk mengakhiri hidup.
Eutanasia aktif diartikan sebagai pengobatan apapun yang
diprakarsai oleh seorang dokter, dengan tujuan mempercepat
kematian pasien yang sakit parah, dengan motif membebaskan
pasien tersebut dari penderitaan yang hebat. Misalnya, dengan
sengaja memberi dosis obat yang mematikan untuk mengakhiri
periode kematian yang menyakitkan dan berkepanjangan.
2. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah tindakan Kelalaian yang berarti
menghentikan atau tidak menggunakan tindakan penopang
kehidupan yang luar biasa untuk memperpanjang hidup. Misalnya
kegagalan untuk menyadarkan pasien yang sakit parah atau tidak
mampu (misalnya bayi baru lahir yang cacat parah). Metode lain
termasuk menghentikan selang makanan, atau tidak melakukan
operasi yang memperpanjang hidup atau tidak memberikan obat-
obatan yang memperpanjang hidup, dll. “Membiarkan mati”
berarti memberi jalan pada proses disintegrasi organisme dalam
yang sedang berlangsung, tanpa mendukung atau mempertahankan
fungsi vital. Oleh karena itu ekstubasi (pelepasan dari ventilator)
pasien yang sakitnya tidak dapat disembuhkan, meskipun tindakan
fisik dengan kematian berikutnya, tidak membunuh dalam arti
yang sebenarnya. Ekstubasi tidak menghasilkan efek kematian
tetapi hanya mempengaruhi waktu terjadinya.
3. Euthanasia Sukarela (Volunter)
Pada eutanasia sukarela, kematian disebabkan oleh
tindakan langsung yang dilakukan oleh dokter sebagai tanggapan
atas permintaan pasien. Eutanasia sukarela berarti, pemberian
obat-obatan mematikan yang disengaja untuk menghentikan
kehidupan pasien yang menderita kondisi tak tersembuhkan yang

7
dianggap tak tertahankan oleh pasien atas permintaan pasien.
Permintaan eutanasia sukarela harus dilakukan oleh siapa pun
yang merasakan nyeri tak tertahankan atau menderita penyakit
terminal. Euthanasia sukarela juga dapat diartikan sebagai sebuah
penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas
permintaan pasien.
Argumen utama yang mendukung legalisasi eutanasia
sukarela aktif didasarkan pada prinsip penentuan nasib sendiri dan
hak atas otonomi diri. Menurut kedua prinsip ini setiap manusia
memiliki nilai dan layak dihormati, ia memiliki hak-hak dasarnya,
dan kebebasan termasuk kemampuan pengambilan keputusan
akhir.
4. Euthanasia Non-sukarela (Involunter)
Euthanasia Involunter adalah suatu tindakan yang
dilakukan terhadap pasien dimana pasien tersebut tidak dalam
keadaan sadar, dalam keadaan seperti ini pasien tidak mungkin
untuk menyampaikan keinginannya, dalam hal ini dianggap pihak
keluarga pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan
pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan pembunuhan
kriminal. Keadaan yang termasuk euthanasia involunter yaitu
dimana :
a. Pasien tersebut sedang koma
b. Pasien tersebut mengalami keterbelakangan mental
sampai tingkat yang sangat parah
c. Pasien tersebut mengalami kerusakan otak yang parah
d. Pasien tersebut mengalami gangguan mental
sedemikian rupa sehingga harus dilindungi
5. Euthanasia dibantu dokter
Dalam bunuh diri yang dibantu dokter, dokter membekali
pasien dengan pengetahuan medis (yaitu mendiskusikan cara
medis yang tidak menimbulkan rasa sakit dan efektif untuk

8
melakukan bunuh diri) yang memungkinkan pasien untuk
mengakhiri hidupnya sendiri.
Hak atas bunuh diri yang dibantu oleh dokter umumnya
didasarkan pada dua hak Konstitusional yang berbeda, yang
pertama adalah hak privasi yang disebut sebagai "privasi
keputusan". Hak untuk membuat keputusan yang bersifat sangat
pribadi tanpa campur tangan dari Negara. Dasar Konstitusional
kedua untuk menetapkan hak bunuh diri yang dibantu oleh dokter
ditemukan dalam kasus-kasus yang menangani pengambilan
keputusan medis mengenai integritas tubuh, otonomi dan
kebebasan.
6. Euthanasia medis yang sah
Euthanasia medis yang sah berarti memberikan pengobatan
(biasanya untuk mengurangi rasa sakit) yang mempunyai efek
samping mempercepat kematian pasien. Ini didasarkan pada
doktrin "efek ganda" dan menyangkut penggunaan dosis
mematikan, atau sedasi terminal oleh beberapa profesional medis.
Pemberian obat penenang terminal, yaitu dosis mematikan, kepada
pasien yang kompeten dan sakit parah oleh dokter, yang dengan
"efek ganda" dapat mempercepat kematian pasien adalah etis dan
legal selama pengobatan terminal dimaksudkan untuk
meringankan rasa sakit dan penderitaan penyakit terminal yang
menyiksa (klasifikasi editorial eutanasia).

2.1.4 Aspek Euthanasia


Tindakan euthanasia sampai saat ini masih terus diperdebatkan
dasar legitimasinya baik dari segi medis, etik, budaya, spiritual,
maupun hukum. Adapun berbagai macam aspek pada Euthanasia,
yaitu :
1. Aspek Medis
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini

9
seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema
untuk memberikan bantuan tersebut atau tidak dan jika sudah
terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan. Tugas seorang
dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika
dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu
diteruskan maka terkadang akan menambah penderitaan seorang
pasien. Penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu
bentuk euthanasia. Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu
pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu :
a. Orthothanasia, merupakan kematian yang terjadi karena
proses alamiah
b. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar
c. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan
atau tidak dengan pertolongan dokter.
2. Aspek Etik
Beberapa permasalahan terkait etika yang mendukung
tindakan euthanasia, antara lain :
a. Untuk menghormati otonomi penderita
Argumen ini didasarkan pada “Rights of the Elderly” dari
Australian Council of the Ageing’s yang menyatakan bahwa
“The right of individuals to consultation and participation in
decisions affecting all aspects of their lives.”
b. Memungkinkan individu menghargai kualitas hidup
Ketika seseorang berada dalam kondisi menderita suatu
penyakit yang berat sehingga dirinya harus merasakan rasa
nyeri yang berat, aktivitas fisik yang terbatas dan hidup yang
bergantung sepenuhnya pada obat, mereka akan lebih
menghargai kualitas hidup sehingga memilih untuk mengakhiri
kehidupannya.
c. Untuk mengakhiri penderitaan
Salah satu pendapat yang mendukung bahwa tindakan
euthanasia diperbolehkan bagi seseorang yang menderita

10
penyakit berat atau kondisi fisik lumpuh yang sulit untuk
disembuhkan dan telah menyatakan keinginannya untuk
mengakhiri hidup yaitu penderitaan itu harus segera berakhir.
Penderitaan ini dianggap telah membuat seseorang jauh dari
kedamaian dan ketenangan hidup.
d. Untuk mengurangi ketergantungan pada alat-alat medis
Biaya perawatan kesehatan yang terus meningkat juga
mempengaruhi alasan seseorang untuk mengakhiri hidup.
e. Menghindari resiko tindakan bunuh diri “dini”
Beberapa pasien yang beradaDalam suatu kondisi penyakit
terminal seringkali memilih tindakan guna diri sebelum terlalu
membebani keluarga yang ada.
Beberapa permasalahan etik yang menentang euthanasia, yaitu :
a. Penghormatan terhadap hak hidup
Orang-orang yang menghargai pendapat ini akan sangat
menghargai hak hidup atas seorang manusia, mereka meyakini
bahwa kematian hanya boleh diambil secara “paksa” melalui
perang atau hukuman mati. Hidup seseorang harus benar-benar
dilindungi.
b. Hilangnya otonomi secara paksa
Penerimaan masyarakat terhadap Eutanasia dianggap dapat
mengganggu hak otonomi seseorang. Seseorang dianggap
berada di bawah tekanan ketika meminta kematiannya
dipercepat, ini lebih didasari karena rasa bersalah dan beban
terhadap keluarga yang merawat selama ini.
c. Pengambilan keputusan di saat yang kurang tepat
Keinginan seseorang untuk mengakhiri hidup seringkali
didasari oleh kondisi depresi, rasa nyeri yang tidak tertahankan
atau dysphoria yang masih dapat ditangani dengan pengobatan
yang tepat.

11
d. Konflik kepentingan
Hal ini terjadi hanya jika seseorang membuat keputusan atas
nama orang lain. Ketika keluarga atau caregiver yang memiliki
tanggung jawab yang sangat besar terhadap seseorang yang
sedang dalam kondisi penyakit terminal atau kelumpuhan
maka sangat memungkinkan juga keluarga atau caregiver
tersebut membuat keputusan terkait kehidupannya.
3. Aspek Religi
Dari segi agama dan spiritual, euthanasia lebih banyak
mendapat pertentangan, hari ini didasari oleh :
a. Keyakinan akan kesucian hidup
Pemikiran ini tidak hanya didasari oleh bahwa kehidupan itu
suci, namun juga mengakhiri hidup secara “paksa” termasuk
tindakan yang berdosa. Orang-orang ini meyakini bahwa
tindakan yang berdosa ini akan mendapatkan hukuman dari
Tuhan.
b. Keyakinan adanya hukuman dari Tuhan
Orang-orang yang meyakini bahwa adanya kehidupan setelah
kematian meyakini bahwa kebahagiaan hidup diakhirat
dipengaruhi oleh kebaikan yang dilakukan semasa hidupnya.
Masing-masing ajaran agama memiliki pandangan tersendiri.
4. Aspek budaya
Terdapat perbedaan pandangan budaya antara tenaga
kesehatan dan masyarakat pada umumnya dalam hal penanganan
pasien pariatif dan kondisi terminal. Studi yang dilakukan di
Australia terhadap imigran yunani, italia dan Cina serta kelompok
Anglo-Saxon menunjukkan bahwa responden Yunani dan Italia
lebih memandang dari sisi negatif terhadap tindakan euthanasia
berdasarkan dari pandangan agama dan moral, sedangkan
responden Cina menunjukkan kesulitan dalam memahami konsep
euthanasia.

12
Pengambilan keputusan untuk mengakhiri hidup atau
menggunakan alat penunjang medis pada pasien dengan penyakit
berat atau terminal selama ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya
dan keyakinan (belief). Walaupun faktor budaya, keyakinan, dan
tradisi merupakan hal yang penting, namun dalam hal perawatan
medis hari ini sebaiknya tidak di internalisasikan kedalamnya.
Melalui penilaian individu dan komunikasi personal dapat
dipahami keyakinan atau budaya yang mempengaruhi seseorang,
hal ini penting karena dengan memahami budaya seseorang maka
dapat dipahami sikap dan perilaku yang dipilihnya. Misalnya
Amerika dan sebagian besar wilayah di Eropa, dimana pasien
berhak memutuskan atas dirinya sendiri namun lain halnya bagi
Hispanik dan Korea dimana keputusan merupakan tanggungjawab
dari keluarga. Rendahnya otonomi pasien akan berefek pada
pengobatan. Sehingga sebagian besar Hispanik merasa bahwa
dirinya tidak memiliki kendali atas proses kehidupannya, sehingga
cenderung mengikuti proses pengobatan secara menyeluruh.
Pasien dari bangsa Jepang cenderung tertutup dan kurang mau
terbuka tentang kondisi penyakitnya dan perasaan pasien terhadap
dokternya. Berbeda dengan budaya Jepang, india cenderung
terbuka dan membangun suatu hubungan yang dalam dan erat
dengan dokternya. Mereka juga sangat menghargai masukan dari
dokternya dan mengikuti saran dari dokter terhadap proses
pengobatannya.
Hal lain yang juga berbeda dalam suatu budaya adalah
dalam penyampaian berita buruk. Dalam budaya medis yang
berkembang di Amerika Serikat, dokter akan menyampaikan
secara menyeluruh tentang kondisi pasien tidak peduli seberapa
berat kondisi tersebut. Di Cina, keluarga berusaha untuk menutupi
kondisi yang sebenarnya dari pasien. Namun budaya yang berlaku
di suatu tempat tidak bisa dijadikan standar untuk daerah tersebut,
karena semua keputusan kembali pada pasien. Pasien mempunyai

13
hak penuh untuk memutuskan apakah ia memilih untuk
mengakhiri hidup atau tidak.
5. Aspek hukum
Beberapa pemikiran terkait hukum yang mendukung
euthanasia, antara lain :
a. Untuk menghindari bahaya hukuman bagi pelaku Eutanasia
Kasus euthanasia semakin sering dijumpai akhir-akhir ini.
Secara hukum, seseorang yang membunuh orang lain atau
membantu suatu tindakan mengakhiri kehidupan secara
“paksa” dapat terkena hukuman berat. Walaupun dasar
tindakan tersebut adalah empati atau kasih sayang tetap tidak
akan mengubah hukuman atas orang tersebut. Karena hal
inilah, legalisasi tindakan euthanasia sangat diharapkan
sehingga seseorang yang membantu mengakhiri kehidupan
orang lain atas dasar motif kasih sayang dan empati dapat
terlindungi secara hukum.
b. Untuk mengatur prosedur pelaksanaan euthanasia
Selama ini sebagian besar kasus euthanasia terjadi secara
terselubung. Diharapkan dengan adanya legalisasi terhadap
tindakan ini akan dapat tersusun sebuah prosedur tetap
pelaksanaan, meliputi formulir permintaan dan persetujuan,
konseling untuk pasien dan keluarga, dasar pengambilan
keputusan tindakan tersebut.
Sedangkan beberapa pemikiran yang mendasari penolakan
terhadap Eutanasia, antara lain karena sulit untuk melakukan
penegakan dan pemantauan secara hukum. Sangat sulit
menentukan sebab kematian seseorang, apakah kematiannya
bersifat alamiah ataukah karena tindakan euthanasia. Walaupun
melalui proses otopsi dapat diketahui dasar dari kematian tersebut,
namun kekhawatiran adanya saling tumpang tindih antara
penyebab alamiah dan tindakan euthanasia tetap menjadi dasar
pemikiran ini.

14
2.1.5 Tren Euthanasia di Berbagai Negara
Euthanasia di berbagai Negara berbeda-beda, tergantung dari
hukum dan undang-undang yang berlaku di Negara tersebut. Adapun
berbagai tren euthanasia yang ada di berbagai Negara, yaitu :
a. Euthanasia di Belgia
Senat Belgia menyetujui undang-undang yang mengusulkan
eutanasia dengan mayoritas yang signifikan pada 25 Oktober 2001.
Pada 16 Mei 2002, setelah duahari perdebatan, majelis rendah
parlemen Belgia mengesahkan RUU tersebut dengan 86 suara
mendukung, 51 menentang, dan 10 abstain. Undang-undang
tersebut menetapkan kondisi dimana dokter dapat mengakhiri
hidup pasien yang sakit parah dan menderita tak tertahankan.
Kandidat untuk eutanasia harus tinggal di Belgia untuk
mendapatkan hak ini. Usia pasien harus lebih dari 18 tahun dan
permintaan khusus, sukarela, dan berulang diperlukan agar hidup
mereka diakhiri. Jumlah pasti "permintaan berulang" tidak
disediakan dan terbuka untuk interpretasi. Pada 13 Februari 2014,
Belgia melegalkan eutanasia dengan suntikan mematikan untuk
anak-anak. Dengan pemungutan suara 86 banding 44 dengan 12
abstain, majelis rendah Parlemen menyetujui undang-undang yang
sebelumnya telah disahkan oleh Senat negara itu. Anak-anak kecil
akan diizinkan untuk mengakhiri hidup mereka dengan bantuan
seorang dokter yang merupakan perpanjangan tangan hukum
eutanasia paling radikal di dunia. Di bawah hukum tidak ada
batasan usia bagi anak di bawah umur yang dapat meminta
suntikan mematikan.
b. Euthanasia di Belanda
Belanda adalah salah satu negara pertama yang mengizinkan
eutanasia aktif. Eutanasia menjadi legal di Belanda dengan undang-
undang 12 April 2001, berjudul "Hukum Penghentian Kehidupan
atas Permintaan dan Bunuh Diri Terbantu", yang berlaku efektif
pada tanggal 1 April 2002. Ini adalah hasil dari proses panjang

15
perdebatan yang dimulai pada tahun 70-an sampai 80-an, dengan
visi yang lebih "memahami" untuk dokter, dibentuk berdasarkan
kasus hukum, dan berdasarkan beberapa usulan legislatif. Hukum
PAS disebutkan sebagai resep obat oleh seorang dokter, untuk
tujuan pemberian sendiri oleh pasien. Undang-undang menetapkan
lima kriteria untuk mengabulkan permintaan euthanasia :
- Permintaan pasien harus sukarela dan dipertimbangkan dengan
baik
- Penderitaan pasien seharusnya tidak tertahankan dan tidak ada
harapan
- Pasien harus diberitahu tentang situasi dan prospek mereka
- Tidak ada alternatif yang masuk akal
- Selanjutnya, berkonsultasi dengan dokter lain, dan Eutanasia
harus dilakukan dengan perawatan dan perhatian medis. Jika
permintaan eutanasia dibuat oleh pasien yang sakit jiwa, harus
berkonsultasi dengan dua dokter independen, termasuk
setidaknya satu psikiater.
c. Euthanasia di Amerika Serikat
Para dokter diizinkan untuk meresepkan obat dengan dosis
mematikan untuk pasien yang sakit parah di lima negara bagian
AS. Eutanasia, bagaimanapun, adalah ilegal. Dalam beberapa tahun
terakhir, gerakan "bantuan dalam kematian" telah memperoleh
keuntungan tambahan, tetapi masalahnya tetap kontroversial.
Oregon adalah negara bagian AS pertama yang melegalkan bunuh
diri dengan bantuan. Undang-undang tersebut mulai berlaku pada
tahun 1997, dan mengizinkan pasien yang sakit parah dan
kompeten secara mental dengan waktu hidup kurang dari enam
bulan untuk meminta resep pengobatan yang mengakhiri hidup.
Lebih dari satu dekade kemudian, Negara Bagian Washington
menyetujui tindakan yang mengikuti model hukum Oregon. Dan
tahun lalu, badan legislatif Vermont mengeluarkan undang-undang

16
serupa. Keputusan pengadilan menjadikan praktik tersebut legal di
Montana dan, yang terbaru, di New Mexico.
d. Euthanasia di Australia
Eutanasia dianggap ilegal di Negara Australia, namun pada
undang-undang mengizinkan kematian yang dibantu secara
sukarela di negara bagian Victoria. Di Australia undang-undang ini
akan mulai berlaku pada pertengahan 2019 (ABC News, 2017).
e. Euthanasia di India
Sejak Maret 2018, eutanasia pasif legal di India di bawah
pedoman ketat. Pasien harus menyetujui melalui keinginan hidup,
dan harus sakit parah atau dalam keadaan vegetatif. Pada 9 Maret
2018, Mahkamah Agung India mengesahkan eutanasia pasif
dengan mencabut bantuan hidup kepada pasien dalam keadaan
vegetatif permanen. Keputusan tersebut diambil sebagai bagian dari
putusan dalam kasus yang melibatkan Aruna Shanbaug, yang telah
berada dalam Status Vegetatif yang Persisten (PVS) hingga
kematiannya pada tahun 2015.
Pada tanggal 9 Maret 2018, Mahkamah Agung India,
mengeluarkan keputusan hukum bersejarah yang mengizinkan
Eutanasia Pasif di negara tersebut. Keputusan ini dikeluarkan
setelah permohonan Pinki Virani ke pengadilan tertinggi pada
bulan Desember 2009 di bawah ketentuan Konstitusional. Ini
adalah hukum penting yang menempatkan kekuatan pilihan di
tangan individu, di atas pemerintah, kontrol medis atau agama yang
melihat semua penderitaan sebagai "takdir". Mahkamah Agung
menetapkan dua kondisi yang tidak dapat diubah untuk
mengizinkan Undang-Undang Eutanasia Pasif dalam Undang-
undang tahun 2011: (I) Orang mati otak yang ventilatornya dapat
dimatikan (II) Mereka yang dalam Kondisi Vegetatif yang
Persisten (PVS) yang untuknya akan dapat diberikan meruncing
dan paliatif penatalaksanaan nyeri ditambahkan, sesuai dengan
spesifikasi internasional yang ditetapkan. Hukum penghakiman

17
yang sama juga meminta penghapusan 309, kode yang menghukum
mereka yang selamat dari percobaan bunuh diri. Pada Desember
2014, pemerintah India menyatakan niatnya untuk melakukannya.
Namun, pada 25 Februari 2014, tiga hakim Mahkamah
Agung India menyebut putusan dalam kasus Aruna Shanbaug
sebagai 'tidak konsisten' dan telah merujuk masalah eutanasia ke
hakim konstitusi lima hakim. Pada 9 Maret 2018, Mahkamah
Agung India mengizinkan Eutanasia Pasif di negara tersebut.

2.2 Kaidah Dasar Moral


Prinsip-prinsip bioetika pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-
prinsip etika dalam bidang kedokteran dan kesehatan. Bioetika kedokteran
merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial dalam kedokteran yang
memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral (normatif) yang
berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif (das
sein), yang bersumber pada 4 kaidah dasar moral (kaidah dasar bioetika-
KDB) beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral bersama dengan
teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar etika
merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran. Beauchamp dan
Childress menguraikan empat kaidah dasar (basic moral principle) dan
beberapa rules dibawahnya. Keempat kaidah dasar tersebut adalah :
(Afandi. 2017)

1. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan


tindakan yang ditujukan untuk kebaikan pasien
2. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan
yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai
“primum non nocere” atau “above all do no harm”

3. Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak


pasien, terutama hak autonomi pasien (the rights to self
determination).

18
4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).

2.2.1 Prinsip Beneficence

Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan,


kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan kepentingan orang lain,
mencintai dan kemanusiaan. Beneficence dalam makna yang lebih
luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang lain.
Prinsip moral beneficence adalah kewajiban moral untuk melakukan
suatu tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang lain (pasien).
Prinsip etik beneficence memerlukan petugas medis profesional untuk
memberikan terapi yang memberikan manfaat maksimal terhadap
pasien, dimana disisi lain prinsip non malaficence melindungi petugas
medis untuk tidak melakukan hal yang membahayakan pasien. Prinsip
ini digambarkan sebagai alat untuk memperjelas atau meyakinkan diri
sendiri dan diterima secara luas sebagai tujuan kedokteran yang tepat.
Beuchamp dan Childress menulis: “dalam bentuk yang umum,
dasar-dasar beneficence mempunyai tujuan membantu orang lain
melebihi kepentingan dan minat mereka.” Dasar dari beneficence
mengandung dua elemen, yaitu keharusan secara aktif untuk kebaikan
berikutnya, dan tuntutan untuk melihat berapa banyak aksi kebaikan
berikutnya dan berapa banyak kekerasan yang terlibat. (Afandi, 2017)
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini
bukanlah satu-satunya prinsip yang harus dipertimbangkan, melainkan
satu diantara beberapa prinsip lain yang juga harus dipertimbangkan.
Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat, resiko, dan biaya (sebagai
hasil dari tindakan) serta tidak menentukan pencapaian keseluruhan
kewajiban. Kritik yang sering muncul terhadap penerapan prinsip ini
adalah tentang kepentingan umum yang diletakan di atas kepentingan
pribadi. Sebagai contoh, dalam penelitian kedokteran, atas dasar
kemanfaatan untuk kepentingan umum, sering prosedur penelitian
yang membahayakan individu subjek penelitian diperbolehkan.

19
Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga
dipertimbangkan. Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk
kebaikan individu seorang pasien maupun kebaikan masyarakat
keseluruhan.
Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan
komponen penting dalam moralitas. Karena luasnya cakupan
kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan dalam praktek
(kedokteran) yang baik lahir dari prinsip beneficence ini. Adapun
contoh penerapan prinsip beneficence ini adalah :
1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.
2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.
3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.
4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).
5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.

2.2.2 Prinsip Non-Maleficience

Non-Maleficence atau tidak merugikan orang lain, adalah suatu


prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan perbuatan yang
memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling kecil
resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya.
Prinsip non-maleficence ini melarang tindakan yang
membahayakan atau memperburuk keadaan pasien, prinsip ini dikenal
sebagai “First, do no harm” yang masih tetap berlaku dan harus
diikuti. Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan hipokrates yang
menyatakan, “saya akan menggunakan terapi untuk membantu orang
sakit berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi saya tidak
akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan
mereka”. Prinsip non-maleficence memegang peranan penting dalam
mengambil keputusan untuk mempertahankan atau mengakhiri
kehidupan, terutama dalam kasus penyakit terminal, penyakit serius
dan luka serius.

20
Pada dasarnya, prinsip ini memberikan peluang kepada pasien,
walinya, dan para tenaga kesehatan untuk menerima atau menolak
suatu tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat dan
hambatannya dalam situsi atau kondisi tertentu. Adapun ciri-ciri
prinsip non-maleficence, adalah :
1. Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya
sesuatu yang penting.
2. Dokter sangggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut.
3. Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif.
4. Manfaat bagi pasien lebih besar dari kerugian dokter.
5. Tidak membunuh pasien.
6. Tidak memandang pasien sebagai objek.
7. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian.
8. Tidak melakukan white collar crime.

2.2.3 Prinsip Justice

Keadilan (Justice) adalah suatu prinsip dimana seorang dokter


memperlakukan sama rata dan adil untuk kebahagiaan
dan kenyamanan pasien. Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan
politik, agama, kebangsaan, perbedaan kedudukan sosial, kebangsaan,
dan kewarganegaraan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap
pasiennya. Adapun prinsip Justice mempunyai ciri-ciri :
1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal.
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia
lakukan.
3. Menghargai hak sehat pasien.
4. Menghargai hak hukum pasien.

Jenis keadilan :

1. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima).


2. Distributif (membagi sumber): kebajikan membagikan sumber-
sumber kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata/merata,

21
sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani;
secara material kepada :
3. Setiap orang andil yang sama
4. Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya
5. Setiap orang sesuai upayanya.
6. Setiap orang sesuai kontribusinya
7. Setiap orang sesuai jasanya
8. Setiap orang sesuai bursa pasar bebas 

2.2.4 Prinsip Autonomy

Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang


berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan
atau hukum. Sejak zaman Kant, autonomi adalah konsep penting
dalam filsafat. Didalam filsafat dan etik, konsep autonomi dan
kebebasan mempunyai hubungan erat. Menurut, Joel Feinberg, dia
membedakan autonomi sebagai kapasitas, autonomi sebagai kondisi
yang sebenarnya, autonomi sebagai karakter ideal dan autonomi
sebagai hak untuk bertindak.
Konsep autonomi sangat diperlukan karena berhubungan dengan
hak asasi manusia. Pada awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu
wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri atau
hukum sendiri. Kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu
kondisi individu yang maknanya bermacam-macam, seperti
memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi, kebebasan
berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama dari otonomi
individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang
bebas, baik bebas dari campur tangan orang lain maupun dari
keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang benar, seperti
karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang yang dibatasi
otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang lain atau

22
seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan
rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi.
Meskipun demikian, secara umum ada beberapa cara menerapkan
prinsip otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran. Cara-cara
tersebut antara lain :
1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the
truth).
2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others).
3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential
information).
4. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien
(obtain consent for interventions with patients).
5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask,
help others make important decision).

Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai


kompetensi pasien. Para pakar meyakini belum ada satu definisi
kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak, sehingga begitu
banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu definisi
kompetensi pasien yang dapat diterima adalah ”kemampuan untuk
melaksanakan atau perform suatu tugas atau perintah”.

2.2.5 Four Box Methods

Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat


juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan
kaidah dasar moral di atas. Jonsen, Siegler dan Winslade
mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial
dalam pelayanan klinik, yaitu:
1. Medical indication
2. Preferrences
3. Quality of life

23
4. Contextual features

Ke dalam topik medical indication dimasukkan semua prosedur


diagnostik dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien
dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi
etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan maleficence.
Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh
informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin
informed concent.
Pada topik patient preference kita memperhatikan nilai (value) dan
penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya,
yang berarti cerminan kaidah automy. Pertanyaan etiknya meliputi
pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap dan
keputusannya, pemahaman atas informasi, siap pembuat keputusan
bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien,
dll.
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan
kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas
hidup insani. Apa, siapa dan bagaimana melakukan penilaian kualitas
hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan
dengan beneficence, nonmaleficence dan autonomi.
Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek
non medis yang mempengaruhi keputusan, seputar faktor keluarga,
ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor
hukum.

2.2.6 Prinsip-Prinsip Profesionalisme

Profesionalisme memiliki beberapa prinsip dalam


pelaksanaannya. Ada empat prinsip, yaitu :

24
1. Altruism
Dokter hendaknya mendahulukan kepentingan pasien diatas
kepentingan pribadi. Menjalin komunikasi yang baik dengan
pasien dan menghormati kebutuhan pasien
2. Duty
Dokter dapat dihubungi dan cepat tanggap bila sedang
melaksanakan tugas atau dinas
3. Excelence
Dokter harus menjaga mutu tinggi dan mau berkomitmen untuk
belajar terus menerus atau long life learning
4. Accountability
Dokter harus memiliki rasa penuh tanggung jawab kepada
penderita, keluarga penderita, masyarakat, dirinya sendiri dan
profesinya
5. Respect for Others
Menghormati sesama, teman sejawat, penderita dan keluarganya,
tim kerja, mahasiswa, residen, dll
6. Humanity
7. Menjaga kehormatan serta intregitas sebagai dokter, memiliki
perasaan belas kasih dan empati terhadap pasien.

25
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus


Aruna Shanbaug adalah seorang perawat yang bekerja di Rumah Sakit
King Edward Memorial, Parel, Mumbai. Pada 27 November 1973 dia dicekik
dan disodomi oleh Sohanlal Walmiki, seorang tukang sapu. Selama serangan
itu dia dicekik dengan rantai, dan kekurangan oksigen telah membuatnya
dalam kondisi vegetatif sejak saat itu. Dia telah dirawat di KEM sejak
kejadian itu dan tetap hidup dengan selang makanan. Atas nama Aruna,
temannya Pinki Virani, seorang aktivis sosial, mengajukan petisi ke
Mahkamah Agung dengan alasan bahwa "keberadaan Aruna secara terus
menerus melanggar haknya untuk hidup bermartabat". Mahkamah Agung
membuat keputusannya pada tanggal 7 Maret 2011 (Setelah 36 tahun
imobilitas, harapan baru untuk kematian, 2009). Pengadilan menolak
permohonan untuk menghentikan dukungan hidup Aruna tetapi
mengeluarkan seperangkat pedoman luas yang melegalkan eutanasia pasif di
India. Keputusan Mahkamah Agung yang menolak penghentian bantuan
seumur hidup Aruna didasarkan pada fakta bahwa staf rumah sakit yang
merawatnya tidak mendukung eutanasia. Akhirnya dia meninggal karena
pneumonia pada 18 Mei 2015, setelah dalam keadaan koma selama 42 tahun.

3.2 Analisis Kasus


1. Dilema Etik
a. Autonomy
Teman pasien ingin melakukan euthanasia terhadap pasien sebab ia
menganggap keberadaan pasien secara terus menerus akan melanggar
haknya untuk hidup bermartabat.

26
b. Justice
Dari pihak hukum (MA) tidak menyetujui tindakan tersebut karena
teman pasien tidak memliki hak untuk mengambil keputusan, namun
pada kasus ini juga tidak dijelaskan mengenai keluarga pasien.

2. Prima Facie
Justice

3. “4-Box” Method of Clinical Ethics


a. Medical Indication
• Ny. A dirawat di RS King Edward Memorial, Parel, Mumbai oleh
karena dicekik dengan rantai dan disodomi oleh Tn. S yang
menyebabkan pasien kekurangan oksigen dan membuatnya dalam
kondisi vegetatif.
• Penyakitnya darurat.
• Prognosisnya buruk.
• Kondisi pasien merupakan kondisi yang tidak baik (buruk) karena
untuk melanjutkan hidupnya pasien harus menggunakan selang
makanan dan oksigen.
b. Patient Preference
• Pasien mengalami coma, jadi keputusan berada di tangan keluarga,
suami, dan hukum.
c. Quality of Life
• Kondisi pasien tidak baik dan memerlukan penanganan yang
efektif dan berkesinambungan.
c. Contextual Features
 Staf Rumah Sakit yang merawat pasien tersebut tidak menyetujui
untuk melakukan euthanasia.
 Faktor legalitas dapat mempengaruhi keputusan untuk tindakan
selanjutnya terhadap pasien.

27
4. Ordinary and Extraordinary
Extraordinary : karena seharusnya dilakukan euthanasia pada pasien ini,
sebab selama ini ia hidup hanya menggunakan alat bantu tapi kalau alat
bantunya di lepas pasien bisa langsung meninggal.

28
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi Ny. A
merupakan kondisi yang vegetatif, karena selama hidupnya pasien hanya
bergantung dengan alat bantu untuk makan dan pernapasannya. Pada kasus
ini tindakan yang dilakukan teman pasien, yaitu Ny. P kurang benar, sebab
seharusnya ia melaporkan keputusan tersebut ke pihak dokter terlebih dahulu
tidak langsung ke hukum karena Ny. P tidak memiliki hak untuk mengajukan
hal tersebut, yang berhak memberikan keputusan adalah pihak keluarga,
sehingga hukum berhak untuk tidak menyetujui permintaan Ny. P, namun
lain halnya apabila dokter yang menangani pasien tersebut yang meminta
kepada mahkamah agung untuk melakukan euthanasia.

29
DAFTAR PUSTAKA

Afandi Dedi. 2017. Kaidah Dasar Bioetika Dalam Pengambilan Keputusan Klinis
yang Etis. Makalah Kedokteran Andalas, Vo.40, no. 2
"Euthanasia: Victoria becomes the first Australian state to legalise voluntary
assisted dying". ABC News. 29 November 2017.
Hadi, S. 2012, Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Etika
Kedokteran. Progresif, 4(1).
Sri Siswati. 2015, Etika Dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-
Undang Kesehatan, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 32.
Televantos, A et al. 2013, “Attitudes towards euthanasia in severely ill and
dementia patients and cremation in Cyprus : a population-based survey”,
in BioMed Central Public Health ; 13(878): 1-7.
Zahra, Z dan Maria M. 2018, Tinjauan Aspek Medis, Etik, Religi, Budaya dan
Hukum pada Euthanasia. Aceh. Jurnal Kedokteran FK Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh. Vol 1. No.1.

30

Anda mungkin juga menyukai