Anda di halaman 1dari 13

DIAGNOSIS RADIOLOGI DARI TUBERKULOSIS (TB) PARU PADA

PELAYANAN PRIMER
Oleh: Basem Abbas Al Ubaidi

ABSTRAK
Pada program skrining Bahrain, diagnosis sangat bergantung pada
penggunaan rontgen thoraks dan PPD, dimana dia tidak menggunakan gejala dan
Xpert MTB / RIF (XP). Kunci penting dari penulisan ini adalah untuk
mengajarkan dan melatih semua dokter dalam mendeteksi gejala awal, dengan
mendiagnosis temuan rontgen tuberkulosis paru aktif, tidak aktif, dan laten.

Kata kunci: Program skrining TB, Tes konfirmasi TB, Temuan radiologis TB,
Sensitivitas dan Spesifisitas Tes Skrining TB

INTRODUKSI
Menetapkan program skrining TB berstandar nasional, merupakan hal
yang sangat penting dalam mendeteksi TB paru aktif di Bahrain secara dini, dan
melatih semua Dokter Perawatan Primer (PCP) untuk mendeteksi kasus TB aktif
secara dini.
Skrining TB merupakan sebuah proses identifikasi untuk orang yang
tampak sehat dengan dugaan TB aktif, dilakukan dengan menggunakan tes atau
prosedur lain yang harus diterapkan pada kelompok yang berisiko.
Metode terbaik untuk skrining TB adalah dengan melakukan anamnesis
dari gejala serta pemeriksaan radiografi thoraks (CXR), yang bergantung pada
ketersediaan sumber daya dan hasil yang diharapkan.
Tiga tes skrining TB konvensional adalah kuesioner dengan menyelidiki
gejala, yaitu dengan menanyakan tentang adanya batuk produktif berkepanjangan,
hemoptisis, demam pada malam hari, berkeringat pada malam hari, penurunan
berat badan, dan nyeri thoraks pleuritik, selain dengan adanya pemeriksaan
rontgen thoraks (CXR) dan PPD. Sensitivitas dari adanya analisis gejala disertai
dengan pemeriksaan CXR, merupakan hal yang lebih baik, jika dibandingkan
dengan metode lain, dan hal ini sama seperti menunjukan setiap kelainan CXR
pada orang yang bergejala.
Dua tes konfirmasi TB aktif yang umum dilakukan adalah sputum- smear
microscopy (SSM) dan Xpert MTB/RIF (XP). Meskipun demikian, sebagian besar
penilaian dokter untuk mencapai diagnosis TB aktif adalah dari kuesioner
anamnesis gejala dan adanya temuan radiografi thoraks. Setiap pasien yang tidak
berespon setelah pemberian antibiotik spektrum luas, maka harus dinilai ulang
untuk kemungkinan adanya kondisi TB yang tersembunyi.
Sensitivitas dan spesifisitas kuesioner skrining penyelidikan gejala,
masing-masingnya adalah sebesar 77% untuk sensitivitas dan 66% untuk
spesifisitas. Dimana nilai ini ditemukan lebih baik pada PPD, yang masing-
masing nilainya yaitu 89% untuk sensitivitas dan 80% untuk spesifisitas. Hasil
inipun lebih tinggi pada CXR, yang masing-masing nilainya mencapai sensitivitas
86% dan spesifisitas 89%.
Sedangkan sensitivitas dan spesifisitas dari dua uji konfirmasi, masing-
masingnya adalah 61% untuk sensitivitas dan 98% untuk spesifisitas pada SSM.
Dimana meskipun nilai ini lebih tinggi pada XP, yang masing-masingnya
mencapai 90% untuk sensitivitas dan 99% untuk spesifisitas. Sensitivitas dan
analisis spesifisitas bergantung pada banyak faktor, seperti adanya status HIV,
usia pasien, keparahan penyakit, latar belakang epidemiologi, pengolahan sputum
dan teknik pewarnaan, serta kualitas diagnostik.

DISKUSI
Tidak ada algoritma universal yang ideal yang diterapkan di pelayanan
primer. Namun meskipun demikian, solusinya bisa berupa:
- tes skrining yang diikuti dengan satu tes konfirmasi; atau
- satu tes skrining yang diikuti oleh dua tes konfirmasi berurutan; atau
- dua tes skrining paralel diikuti dengan satu tes konfirmasi; atau
- dua tes skrining yang diikuti dengan satu tes konfirmasi.
Tuberkulosis paru primer aktif adalah penyakit yang terjadi pada masa
bayi, atau dewasa muda, ketika tidak terpajan basil Mycobacterium TB. Penyakit
ini dapat bermanifestasi sebagai konsolidasi pneumonik (opasitas padat homogen
atau patch opak pada sebagian besar lobus tengah dan bawah, dengan atau tanpa
limfadenopati hilus, yang kemudian disebut kompleks Ghon. Gambaran radiologis
lainnya dari TB primer aktif adalah opasitas miliaria, atau efusi pleura, atau
edema paru (garis Kerely B) (Gambar1-6).

Gambar 1: Foto rontgen thoraks menunjukkan opasitas padat homogen di lobus


kanan, tengah, dan bawah pada TB paru primer.

Gambar 2: Foto rontgen thoraks menunjukkan adenopati hilus bilateral pada TB


paru primer.
Gambar 3: Foto rontgen thoraks menunjukkan opasitas yang tidak merata di paru
kanan atas dan zona tengah dengan bayangan fibrotik, keduanya limfadenopati
hilar.

Gambar 4: Foto rontgen thoraks menunjukkan opasitas milier difus bilateral dari
TB paru primer.

Gambar 5: Foto rontgen thoraks menunjukkan efusi pleura opasitas padat di


paru kiri bawah pada TB paru primer.
Gambar 6: Foto rontgen thoraks menunjukkan garis Kerely B karena edema
interstisial (hanya pada anak-anak) dari TB paru primer.

Namun temuan rontgen thoraks dari TB yang tidak aktif, menunjukkan


gambaran yang bervariasi, seperti fibrosis, kalsifikasi persisten (fokus Ghon), dan
tuberkuloma (massa persisten seperti opasitas).
Fokus Ghon adalah lesi TB granulomatosa kecil yang muncul di bagian
superior lobus bawah, atau bagian inferior lobus atas. Sedangkan kompleks Ghon
sama seperti fokus Ghon yang ditambah dengan adenopati hilus limfonodi
(Gambar 7-9).

Gambar 7: Rontgen thoraks yang menunjukkan kompleks Ghon dari TB aktif.


Gambar 8: Rontgen thoraks menunjukkan fokus Ghon sebagai bekas luka
kalsifikasi yang persisten.

Gambar 9: Rontgen thoraks menunjukkan tuberkuloma halus sebagai massa


yang persisten seperti opasitas.

Di sisi lain, TB paru aktif post-primer (reaktivasi TB atau TB sekunder)


merupakan penyakit orang dewasa, dimana sebelumnya pasien pernah terpapar
basil Mycobacterium TB dalam dua tahun terakhir, yang ketika kekebalan pasien
memburuk. Temuan gambaran Rontgen pada TB post-primer, baik berupa
konsolidasi patch yang tidak jelas, dengan disertai lesi kavitas, atau penyakit
fibroproliferatif dengan densitas retikulonodular kasar, yang biasanya melibatkan
segmen posterior lobus atas atau segmen superior dari lobus bawah, yang
menyebar ke endobronkial, dengan tampilan seperti "tree-in-bud". Lesi nodular
dengan batas yang tidak jelas dan dengan densitas bulat di dalam parenkim paru,
juga disebut sebagai tuberkuloma yang kabur (Gambar 10- 14).

Gambar 10: Foto rontgen thoraks menunjukkan lesi kavitas paru-paru kiri atas
pada TB paru post-primer.

Gambar 11: Foto rontgen thoraks menunjukkan lesi kavitas dan air-fluid level di
lobus kiri bawah dan paru kanan tengah pada TB paru post-primer.
Gambar 12: Foto rontgen thoraks menunjukkan lesi fibroproliferatif di paru
kanan atas pada TB paru post-primer.

Gambar 13: Foto rontgen thoraks menunjukkan densitas retikulonodular kasar di


paru-paru kanan bawah pada TB paru post-primer.

Gambar 14: Foto rontgen thoraks menunjukkan nodul dengan tepi yang tidak
jelas atau kurang jelas (tanda tree-in-bud) pada TB paru post-primer.

Sekuel akhir dari TB sekunder adalah adanya bekas luka fibrokalsifik,


bekas luka fibronodular dengan kolaps lobular, traksi impaksi mukoid
bronkiektasis, penebalan pleura, dan kalsifikasi pleura (Gambar 15-21).
Gambar 15: Rontgen thoraks menunjukkan bekas luka fibrokalsifik sebagai
gambaran opasitas di ruang udara atau gambaran kabur yang berada di antara atau
di sekitar densitas.

Gambar 16: Foto rontgen thoraks menunjukkan nodul bulat diskrit dengan tepi
bulat tanpa kalsifikasi.

Gambar 17: Foto rontgen thoraks menunjukkan bekas luka fibrotik yang berbeda
dengan kehilangan volume atau retraksi, disertai deviasi ke atas, oleh fisura atau
hilus, pada sisi yang sesuai dengan asimetri volume dari dua rongga toraks.
Gambar 18: Nodul diskrit dengan kehilangan volume, atau retraksi dari satu atau
lebih densitas nodular dengan batas yang berbeda, dan tidak ada opasitas di ruang
udara di sekitarnya, dengan reduksi ruang yang ditempati oleh lobus atas. Nodul
berbentuk bulat atau ujungnya membulat.

Gambar 19: Foto rontgen thoraks menunjukkan kehilangan volume, dan lobar
yang kolaps.

Gambar 20: Rontgen thoraks yang menunjukkan densitas bronkiektasis di paru


bilateral pada TB paru post-primer.
Gambar 21: Foto rontgen thoraks menunjukkan penebalan pleura pada TB paru
post-primer.

Secara umum, dokter harus memiliki indeks kecurigaan yang tinggi


terhadap lesi TB aktif, dan harus membedakannya dari lesi TB yang tidak aktif
(Tabel 1).

Tabel 1: Lesi radiologis pada TB paru aktif dan tidak aktif.

Infeksi TB laten pada individu asimtomatik dengan pemeriksaan rontgen


thoraks rutin dan apusan sputum negatif yang memiliki tes kulit positif
(PPD/TST) (Tabel 2), atau hasil tes IGRA darah yang menunjukkan infeksi TB
sebelumnya.
Tabel 2: Klasifikasi reaksi tes kulit tuberkulin positif (PPD).

Dokter harus mengetahui penyebab reaksi PPD positif palsu (misalnya


Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis, sebelum vaksinasi BCG, metode yang
salah pada pengambilan, interpretasi yang salah, dan penggunaan botol antigen
yang salah). Demikian pula dokter harus mendeteksi penyebab reaksi PPD negatif
palsu (misalnya imunitas rendah pada akhir-akhir ini, atau infeksi TB lama, yaitu
pada bayi dengan usia ≤ enam bulan, vaksinasi virus hidup yang dilakukan saat ini
atau adanya penyakit, metode pemberian PPD yang salah, serta interpretasi reaksi
yang salah).
PPD dikontraindikasikan hanya untuk orang yang memiliki reaksi parah
sebelumnya (misalnya syok anafilaksis, melepuh, nekrosis akut, atau ulserasi pada
TST).
Pengobatan infeksi TB laten adalah rejimen rifapentin ditambah isoniazid,
yang diberikan sekali seminggu selama tiga bulan, bukan 9 bulan pengobatan
INH.
Temuan gambaran rontgen yang tidak menunjukkan penyakit TB, tidak
memerlukan evaluasi tindak lanjut, misalnya penebalan pleura, gambaran
diaphragm tenting, sudut kostofrenia yang tumpul, nodul kalsifikasi soliter atau
granuloma, temuan muskuloskeletal minor, dan temuan jantung minor.

KESIMPULAN
Penyusunan program skrining TB berstandar nasional sangat penting
untuk deteksi dari TB paru aktif secara dini. Metode terbaik untuk skrining TB
adalah dengan anamnesis gejala dan pemeriksaan radiografi thoraks (CXR).
Dokter harus dilatih untuk melakukan diagnosis TB aktif secara dini. Dimana
mereka harus membedakan antara tanda radiologi pada TB aktif dan TB tidak
aktif. Dokter harus memberikan diagnosis infeksi TB laten dan memberikan
algoritma penatalaksanaan TB yang tepat. Algoritma TB harus disederhanakan
dan diperbarui secara reguler.

Anda mungkin juga menyukai