Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Pandemi coronavirus novel 2019 (sekarang disebut SARS-CoV-2, yang
menyebabkan penyakit COVID-19) telah meluas dari Wuhan ke seluruh Cina dan
kini semakin meluas ke berbagai negara. Dimulai pada Desember 2019,
sekelompok kasus pneumonia dengan penyebab yang tidak diketahui dilaporkan
di Wuhan, provinsi Hubei, Cina. Sejak laporan kasus pertama pada akhir 2019
dari Wuhan, sebanyak lebih dari 80.000 kasus COVID-19 telah dilaporkan di
Tiongkok, dengan sebagian besar dari mereka berasal dari provinsi Hubei dan
sekitarnya.1,2,3
Pada 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
mendeklarasikan hal ini sebagai outbreak pada Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC). Pada 12 Februari 2020, WHO menyebut
penyakit yang disebabkan oleh coronavirus novel sebagai Penyakit Coronavirus
2019 (COVID-19).4
Sampai dengan 20 November 2020, Pemerintah Republik Indonesia telah
melaporkan 488.310 orang dengan COVID-19 yang dikonfirmasi. Ada 15.678
kematian terkait COVID-19 yang dilaporkan dan 410.552 pasien telah pulih dari
penyakit tersebut. WHO bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk
memantau situasi dan mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.5
Tingkat kematian COVID19 sejauh ini lebih rendah daripada penyakit
coronavirus SARS atau MERS. Namun, SARSCoV2 sangat menular dan bisa
menjadi ancaman kesehatan yang signifikan. Diketahui bahwa SARS CoV pada
tahun 2002 dan MERSCoV pada tahun 2012, masing-masing melibatkan lebih
dari 8000 pasien dan 1000 pasien, dengan tingkat kematian yang tinggi (10%
untuk SARSCoV dan 37% untuk MERSCoV).3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang
belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia, dan diketahui disebabkan
oleh virus bernama SARS-CoV-2.1,2,5
Coronavirus adalah salah satu patogen utama yang terutama menargetkan
sistem pernapasan manusia. Dimana dia merupakan keluarga besar virus yang
menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua
jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan
gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS). Kelompok virus Coronaviridae mencakup enam
coronavirus yang menginfeksi manusia yang belum diketahui sebelumnya, yang
terselubung, tidak teregmentasi, virus RNA positif yang secara luas
didistribusikan pada manusia dan mamalia lain. Coronavirus novel SARSCoV2
adalah anggota ketujuh dari keluarga Coronaviridae yang diketahui menginfeksi
manusia.3,5,6,7

II. EPIDEMIOLOGI
Wabah pneumonia yang sedang berlangsung yang terkait dengan
coronavirus baru, yang disebut sebagai sindrom pernapasan akut coronavirus 2
(SARS-CoV-2), dilaporkan di Wuhan, provinsi Hubei, Cina pada Desember 2019.
Kemudian pada minggu-minggu berikutnya, infeksi menyebar ke seluruh China
dan negara-negara di seluruh dunia. Secara global, lebih dari 400.000 kasus
COVID-19 yang telah dikonfirmasi dan dilaporkan. Sampai dengan tanggal 25
Maret 2020, dilaporkan total kasus konfirmasi 414.179 dengan 18.440 kematian
(CFR 4,4%) dimana kasus dilaporkan di 192 negara.2,4,5

2
Gambar 1. Pasien COVID-19 di dalam dan luar Cina.4

Pada 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)


mendeklarasikan hal ini sebagai outbreak pada Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC). Pada 12 Februari 2020, WHO menyebut
penyakit yang disebabkan oleh coronavirus novel sebagai Penyakit Coronavirus
2019 (COVID-19).4

Gambar 2. Peta persebaran COVID-19 di dunia.6

Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus konfirmasi


COVID-19 sebanyak 2 kasus. Sampai dengan tanggal 25 Maret 2020, Indonesia
sudah melaporkan 790 kasus konfirmasi COVID-19 dari 24 Provinsi yaitu: Bali,
Banten, DIY, DKI Jakarta, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kep. Riau, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Lampung, Riau, Maluku Utara,
Maluku dan Papua. Wilayah dengan transmisi lokal di Indonesia adalah DKI
Jakarta, Banten (Kab. Tangerang, Kota Tangerang), Jawa Barat (Kota Bandung,
Kab. Bekasi, Kota Bekasi, Kota Depok, Kab. Bogor, Kab. Bogor, Kab.
Karawang), Jawa Timur (kab. Malang, Kab. Magetan dan Kota Surabaya) dan
Jawa Tengah (Kota Surakarta).5

Selanjutnya pada pedoman WHO yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret


2020, jumlah kasus Indonesia yang sudah tercatat di laporan WHO adalah

3
sebanyak 1.414 kasus positif COVID-19 dengan kasus baru 129 dan kematian 122
jiwa. Secara global, kasus terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 750.890
dengan angka kematian 36.405 jiwa.6

Gambar 3. Kurva kasus terkonfirmasi COVID-19 di berbagai benua hingga tanggal 31 Maret
2020.6
III. KLASIFIKASI
Berikut klasifikasi menurut buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Coronavirus Diseases (COVID-19) Per 13 Juli 2020 :
a. Kasus Suspect, kriterianya:
1) Kasus infeksi saluran pernafasan akut dimana didalam
dalam 14 hari sebelum sakit, apabila orang
yangbersangkutan berasal/tinggal didaerah yang sudah
terjadi local transmission.
2) Orang yang bersangkutan dalam 14 hari terakhir pernah
kontak dengan kasus terkonfirmasi positif atau kontak
dekat dengan kasus probable.
3) Orang yang bersangkutan mengalami infeksi saluran
pernafasan akut yang berat dan harus dirawat di RS dan
tidak ditemukan penyebabnya secara spesifik dan
meyakinkan bahwa ini bukan penyakit COVID-19.
b. Kasus Probable
Kasus klinis yang diyakini COVID-19 yang kondisinya dalam
keadaan berat dengan ARDS atau ISPA berat serta gangguan
pernafasan yang sangat terlihat, namun belum dilakukan
pemeriksaan laboratorium melalui RT-PCR.
c. Kontak Erat

4
Seseorang yang kontak dengan kasus konfirmasi positif atau
dengan kasus probable
d. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang sudah terkonfirmasi positif setelah melalui
pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Ada 2 kriteria dalam kasus
konfirmasi, yaitu simptomatik atau kasus konfirmasi dengan gejala
dan asimptomatik atau kasus konfirmasi tanpa gejala
e. Pelaku Perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri
(domestik) maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.
f. Discarded
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
1) Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil
pemeriksaan RT-PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-
turut dalam selang waktu >24 jam.
2) Seseorang dengan status kontak erat yang telah
menyelesaikan masa karantina selama 14 hari.
g. Selesai Isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
1) Asimptomatik atau kasus konfirmasi tanpa gejala yang
tidak dilakukan dengan pemeriksaan follow up RT-PCR
dengan ditambah 10 hari isolasi mandiri sejak pengambilan
spesimen diagnosis konfirmasi.
2) Simptomatik atau Kasus probable/kasus konfirmasi dengan
gejala (simptomatik) yang tidak dilakukan pemeriksaan
follow up RT-PCR yang dihitung 10 hari sejak tanggal
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi
menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
3) Simptomatik atau kasus probable/kasus konfirmasi dengan
gejala yang mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-
PCR 1 kali negatif, dengan ditambah minimal 3 hari setelah

5
tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan
pernapasan.
h. Kematian COVID-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus
konfirmasi/probable COVID-19 yang meninggal.

IV. FAKTOR RISIKO


Beberapa literatur menyebutkan bahwa salah satu faktor penyebab
terjadinya COVID-19 ini adalah kontak dengan hewan, terutama kelelawar.
Disebutkan pula bahwa tampaknya kelelawar adalah sumber utama, entah apakah
virus COVID-19 ditransmisikan langsung dari kelelawar atau melalui beberapa
mekanisme lain (misalnya, melalui host perantara) masih tidak diketahui. Namun,
kesamaan urutan RNA terdekat adalah dengan dua corona virus di kelelawar.2,4

Gambar 4. Transmisi COVID-19 yang diduga dari kelelawar.8

Usia tampaknya juga berpengaruh terhadap keparahan penyakit ini.


Disebutkan bahwa usia yang lebih tua memiliki risiko yang lebih rentan terjadinya
COVID-19 dibandingkan yang masih muda.2
Beberapa keadaan khusus yang juga menjadi komorbid dari penyakit
COVID-19 ini adalah:
 Penyakit kardiovaskular
 Diabetes mellitus
 Hipertensi
 Penyakit paru-paru kronis
 Kanker
 Penyakit ginjal kronis.2

6
V. ETIOPATOGENESIS
Bagaimana proses terjadinya penyakit COVID-19 ini masih belum jelas
diketahui dan masih banyak peneliti yang mencari teori paling tepat mengenai
proses pathogenesis penyakit ini.
Coronavirus adalah asam ribonukleat beruntuk dan beruntai tunggal
dengan permukaan yang panjangnya 9-12 nm. CoV adalah virus RNA untai
positif dengan penampilan seperti mahkota di bawah mikroskop elektron c
(oronam adalah istilah Latin untuk mahkota) karena adanya lonjakan glikoprotein
pada envelope. Subfamili Orthocoronavirinae dari keluarga Coronaviridae (orde
Nidovirales) digolongkan ke dalam empat gen CoV: Alphacoronavirus
(alphaCoV), Betacoronavirus (betaCoV), Deltacoronavirus (deltaCoV), dan
Gammacoronavirus (deltaCoV).2,4,8

Gambar 5. Struktur SARS-Cov-2.8

Urutan genom lengkap dan analisis filogenik menunjukkan bahwa


coronavirus yang menyebabkan COVID-19 adalah betacoronavirus dalam
subgenus yang sama dengan virus SARS, serta beberapa coronavirus kelelawar,
tetapi dalam clade yang berbeda. Struktur wilayah gen pengikat reseptor sangat
mirip dengan coronavirus SARS, dan virus telah terbukti menggunakan reseptor
yang sama, angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2), untuk entri sel. Dalam
analisis filogenetik dari 103 strain SARS-CoV-2 dari Cina, ada dua jenis SARS-
CoV-2 yang telah diidentifikasi, yaitu tipe L (70% kasus) dan tipe S (30%
kasus).2,4
Penyebaran orang ke orang dari SARS-CoV-2 diperkirakan terjadi
terutama melalui droplet yang menyerupai penyebaran influenza. Dengan
penularan melalui droplet, virus dilepaskan dalam sekresi pernapasan ketika
seseorang dengan infeksi batuk, bersin, atau berbicara. Hal itu dapat menginfeksi

7
orang lain jika ia melakukan kontak langsung dengan selaput lendir/ lapisan
mukosa. Infeksi juga dapat terjadi jika seseorang menyentuh permukaan yang
terinfeksi dan kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulutnya. Droplet
biasanya tidak lebih dari jarak enam kaki (sekitar dua meter) dan tidak berlama-
lama di udara. Namun, dalam literatur lainnya dijelaskan bahwa SARS-CoV-2
tetap dapat bertahan di aerosol dalam kondisi eksperimental selama setidaknya
tiga jam. Mengingat ketidakpastian saat ini mengenai mekanisme transmisi,
tindakan pencegahan melalui udara direkomendasikan secara rutin di beberapa
negara dan dalam pengaturan prosedur berisiko tinggi tertentu di negara lain.2
Selanjutnya, SARS-CoV-2 telah terbukti bekerja dengan menginfeksi sel
epitel pernapasan manusia melalui interaksi antara protein S virus dan
angiotensin. Kemudian mengubah reseptor enzim 2 pada sel manusia. Sehingga
dengan demikian, SARS-CoV-2 memiliki kemampuan yang kuat untuk
menginfeksi manusia. Ada empat protein struktural utama yang dikodekan oleh
genom coronavirus pada envelope, salah satunya adalah protein spike (S) yang
berikatan dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) dan
memediasi fusi selanjutnya antara sel envelope dan sel inang untuk membantu
entri virus ke dalam sel inang.3,4,7

Gambar 6. Proses replikasi virus corona COVID-19.8

Mulai dari viral RNA, sintesis polyprotein 1a / 1ab (pp1a / pp1ab) di


dalam host direalisasikan. Transkripsi bekerja melalui replication-transcription
complex (RCT) yang diatur dalam vesikel membran ganda dan melalui synthesis
of subgenomic RNAs (sgRNAs). Dari catatan, pemutusan transkripsi terjadi pada

8
sekuens pengatur transkripsi, yang terletak di antara apa yang disebut open
reading frames (ORFs) yang berfungsi sebagai templat untuk produksi mRNA
subgenomik. Dalam genom CoV atipikal, setidaknya enam ORF dapat muncul. Di
antara ini, sebuah frameshift antara ORF1a dan ORF1b memandu produksi
polipeptida pp1a dan pp1ab yang diproses oleh protease seperti chymotrypsin
(3CLpro) atau protease utama (Mpro) yang dikodekan secara virual untuk
memproduksi 16 protein non-struktural (nsps). Terlepas dari ORF1a dan ORF1b,
ORF lain mengkode protein struktural, termasuk lonjakan, membran, amplop, dan
protein nukleokapsid dan rantai protein tambahan. CoV yang berbeda
menghadirkan protein struktural dan aksesori khusus yang diterjemahkan oleh
sgRNA khusus.8

VI. MANIFESTASI KLINIS


Periode dari timbulnya gejala COVID-19 hingga kematian berkisar antara
6 hingga 41 hari dengan median 14 hari. Periode ini tergantung pada usia pasien
dan status sistem kekebalan pasien.7
Manifestasi umum COVID-19 sama seperti manifestasi umum pada
pneumonia yang lainnya, yaitu ditandai terutama oleh demam, batuk, dan
dyspnea. Gejala lain yang kurang umum antara lain adalah bunyi napas kasar,
sakit kepala, sakit tenggorokan, badan terasa lemas, hemoptisis, ruam kulit, dan
rinore. Selain gejala pernapasan, gejala gastrointestinal juga telah dilaporkan,
misalnya mual, muntah, dan diare.2,3,7
Dalam satu penelitian, demam dilaporkan pada hampir semua pasien,
tetapi sekitar 20 % memiliki demam tingkat sangat rendah <100,4 ° F / 38 ° C.
Dalam penelitian lain terhadap 1099 pasien dari Wuhan dan daerah lain di China,
demam (didefinisikan sebagai suhu aksila lebih dari 99,5 ° F / 37,5 ° C) hanya ada
di 44 % pasien pada saat masuk tetapi akhirnya tercatat pada 89 persen selama
rawat inap.2
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada subjek COVID-19 di
Wuhan, manifestasi klinis yang paling umum pada awal penyakit muncul adalah:
 Demam sebanyak 99 %

9
 Kelelahan sebanyak 70 %
 Batuk kering sebanyak 59 %
 Anoreksia sebanyak 40 %
 Myalgia sebanyak 35 %
 Dispnea sebanyak 31 %
 Batuk berdahak sebanyak 27 %.2
Beberapa pasien dengan gejala awalnya ringan dapat berkembang selama
seminggu. Dalam satu studi dari 138 pasien dirawat di rumah sakit di Wuhan
untuk pneumonia karena SARS-CoV-2, dispnea berkembang setelah rata-rata 5
hari sejak timbulnya gejala, dan masuk rumah sakit terjadi setelah rata-rata 7 hari
dari gejala muncul.2

VII. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis, perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang yang terkait dengan COVID-19.
1. Hasil Laboratorium
Pada pasien dengan COVID-19, hasil laboratorium yang dapat ditemukan
adalah sebagai berikut:
 Jumlah sel darah putih yang dapat bervariasi, Leukopenia, leukositosis,
atau limfopenia. Namun limfopenia tampak lebih umum terjadi.2,7
 Peningkatan enzim hati.2
 Peningkatan laktat dehidrogenase (LDH).2
 Penanda inflamasi yang meningkat (mis., Protein C-reaktif [CRP],
ferritin). Dalam studi literatur disebutkan bahwa protein C-reaktif darah
pada pasien COVID-19 tercatat di atas kisaran normal (0-10 mg / L).2,7
 Peningkatan sedimentasi eritrosit.7
 Peninggian D-dimer (> 1 mcg / mL).2
 Peningkatan waktu protrombin (PT).2
 Kadar sitokin dan kemokin dalam darah yang sangat tinggi, yang
mencakup IL1-β, IL1RA, IL7, IL8, IL9, IL10, FGF2 dasar, GCSF,

10
GMCSF, IFNγ, IP10, MCP1, MIP1α, MIP1β, PDGFB, TNFα, dan
VEGFA. Beberapa kasus parah yang dirawat di unit perawatan intensif
menunjukkan peningkatan tinggi sitokin proinflamasi yang meliputi IL2,
IL7, IL10, GCSF, IP10, MCP1, MIP1α, dan TNFα.7
 Peningkatan troponin.2
 Peningkatan creatine phosphokinase (CPK).2
 Cidera ginjal akut.2

2. Rontgen Thoraks
Pemeriksaan radiologis sangat penting dalam deteksi dini dan manajemen
COVID-19. Karena rontgen toraks tidak peka untuk mendeteksi adanya ground-
glass opacity (GGO) dan mungkin menunjukkan temuan normal pada tahap awal
infeksi, maka rontgen thoraks tidak direkomendasikan sebagai modalitas
pencitraan lini pertama untuk COVID-19.4
Namun walaupun demikian, pada rontgen thoraks ditemukan gambaran
konsolidasi multifokal bilateral dapat dilihat pada pasien yang parah, serta
sebagian bergabung menjadi konsolidasi masif dengan efusi pleura yang kecil dan
bahkan menunjukkan gambaran “paru-paru putih”.4

Gambar 8. Gambaran rontgen thoraks pasien COVID-19.4

3. CT Thoraks
Saat ini, pemeriksaan CT thoraks telah direkomendasikan sebagai bukti
utama untuk diagnosis klinis yang dikonfirmasi di Hubei, Cina. CT thoraks dapat
mengidentifikasi infeksi paru fase awal, sehingga mendorong sistem pengawasan
tenaga kesehatan.4

11
Gambaran klinis yang diungkapkan oleh CT scan thoraks disajikan
sebagai gambaran pneumonia, namun ada fitur abnormal lainnya seperti
RNAaemia, sindrom gangguan pernapasan akut, cedera jantung akut, dan
gambaran ground-glass opacity yang dapat menyebabkan kematian.7

Gambar 9. Gambaran CT Thoraks pada pasien severe COVID-19.4

Literatur lainnya juga menjelaskan bahwa CT thoraks pada pasien dengan


COVID-19 paling umum menunjukkan gambaran ground-glass opacity dengan
atau tanpa kelainan konsolidasi, yang konsisten dengan pneumonia virus. Dalam
beberapa kasus, beberapa ground-glass opacity perifer diamati di daerah
subpleural kedua paru yang kemungkinan menginduksi respon imun sistemik dan
lokal yang menyebabkan peningkatan peradangan. Temuan yang kurang umum
termasuk penebalan pleura, efusi pleura, dan limfadenopati. CT thoraks mungkin
membantu dalam membuat diagnosis, tetapi bukan sebagai gold standard dalam
penegakan diagnosa COVID-19.2,3,7

Gambar 10. CT thoraks Transverse thin-section pada pasien dengan pneumonia COVID-19. (A)
Pria 56 tahun, hari ke-3 setelah onset gejala: opacity ground-glass terkait dengan penebalan
septum interlobular dan intralobular yang halus di lobus kanan bawah. (B) Wanita 74 tahun, 10
hari setelah onset gejala: bilateral, opacity ground-glass terkait dengan penebalan septum
interlobular dan intralobular halus (crazy-paving pattern). (C) wanita berusia 61 tahun, 20 hari
setelah onset gejala: pola konsolidasi dominan bilateral dan perifer dengan perubahan kistik bulat

12
secara internal (panah). (D) wanita 63 tahun, hari 17 setelah onset gejala: bilateral, pola campuran
perifer terkait dengan bronkogram udara di kedua lobus bawah dan atas, dengan sedikit efusi
pleura (panah).3

4. Swab RT-PCR
Saat ini, uji Real-Time Reverse-Transcription–Polymerase-Chain-reaction
(RT-PCR) tetap menjadi standar rujukan untuk membuat diagnosis definitif
infeksi COVID-19. Namun, tingginya angka negatif palsu dan tidak tersedianya
uji RT-PCR pada tahap awal wabah membatasi diagnosis segera pada pasien yang
terinfeksi.4
CDC merekomendasikan untuk melakukan swab nasofaring untuk
menguji SARS-CoV-2. Swab oropharyngeal, mid-turbinate hidung, atau nasal
adalah alternatif yang dapat diterima jika swab nasofaring tidak tersedia.2

Penelitian di China mencoba membuat skor COVID-19 Early Warning


Score (COVID-19 EWS) berdasarkan 1311 orang yang melakukan pemeriksaan
SARS-CoV-2 RNA. Parameter yang di nilai dalam skor ini yaitu memasukkan
gambaran pneumonia pada CT scan toraks, riwayat kontak erat, demam, gejala
respiratorik bermakna, suhu tertinggi sebelum masuk rumah sakit, jenis kelamin
laki-laki, usia, dan rasion neutrofil limfosit (RNL). Nilai skor COVID-19 EWS
miminal 10 menunjukkan nilai prediksi yang baik untuk dugaan awal pasien
COVID-19. Diagnosis komplikasi seperti ARDS, sepsis, dan syok sepsis pada
pasien COVID-19 ditegakkan menggunakan kriteria standar masing-masing yang
sudah ditetapkan. Tidak terdapat standar khusus untuk menegakan diagnosis
ARDS, sepsis, dan syok sepsis pada pasien COVID-19.

VIII. TATALAKSANA
Penularan infeksi COVID-19 dari orang ke orang yang sangat cepat
menyebabkan isolasi pasien merupakan hal yang paling penting dalam perawatan
pasien COVID-19.7

13
Menurut Kemenkes dalam pedoman tatalaksana COVID-19 di Indonesia
Revisi ke-4, poin tatalaksana pasien COVID-19 di RS yang dapat diberikan oleh
petugas kesehatan adalah:
1. Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat dan
distress pernapasan, hipoksemia, atau syok. Terapi oksigen dimulai dengan
pemberian 5 L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target
SpO2 ≥90% pada anak dan orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2 ≥
92%-95% pada pasien hamil. Semua pasien dengan ISPA berat dipantau
menggunakan pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan
baik.5
2. Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA berat tanpa
syok.
3. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada kasus
sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik empirik
yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.
4. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan
pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan
lain.
5. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami
perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan
suportif secepat mungkin.
6. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan
penilaian prognosisnya.
7. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan penyesuaian
dengan fisiologi kehamilan.5

Sampai sekarang, pengobatan COVID-19 masih diteliti secara luas, karena


dianggap belum ada obat yang benar-benar cocok untuk penyakit ini. Sebuah
laporan menunjukkan bahwa antivirus spektrum luas remdesivir dan klorokuin
sangat efektif dalam pengendalian infeksi 2019-nCoV in vitro. Senyawa antivirus
ini telah digunakan pada pasien manusia dengan rekam jejak keselamatan. Dengan

14
demikian, agen terapi ini dapat dianggap untuk mengobati infeksi COVID-19.
Sejalan dengan yang sebelumnya, sebuah literatur lainnya menyebutkan bahwa
penggunaan chloroquine dan hydroxychloroquine telah dilaporkan dapat
menghambat SARS-CoV-2 secara in vitro, walaupun hydroxychloroquine
tampaknya memiliki aktivitas antivirus yang lebih manjur. Dosis optimalnya
masih tidak pasti. Dan berbagai rejimen sedang digunakan, termasuk 400 mg dua
kali sehari pada hari 1 kemudian setiap hari selama lima hari, 400 mg dua kali
sehari pada hari 1 kemudian 200 mg dua kali sehari selama empat hari, dan 600
mg dua kali sehari pada hari 1 kemudian 400 mg setiap hari selama empat hari.
Penelitian lainnya menyebutkan bahwa dalam penatalaksanaan COVID-19,
regimen dengan bahan dasar klorokuin dapat diberikan sebanyak 600 mg (6 tablet
sediaan 100 mg) dilanjutkan 300 mg post 12 jam setelahnya (masih pada hari
pertama). Kemudian dilanjutkan 300mg 2x sehari pada 2-5 hari pengobatan.2,7,10
Dalam penelitian lainnya disebutkan bahwa efek pengobatan kombinasi
hidroksiroklorokuin dan azitromik memiliki hasil yang lebih baik jika
dibandingkan pengobatan hidroksiroklorokuin tunggal. Sebuah penelitian
menunjukkan hasil pada hari ke 6 pasca pengobatan, 100% pasien yang diobati
dengan kombinasi hydroxychloroquine dan azithromycin disembuhkan secara
virologis dibandingkan dengan 57,1% pada pasien yang diobati dengan
hydroxychloroquine saja, dan 12,5% pada kelompok kontrol.9
Beberapa percobaan acak sedang dilakukan untuk mengevaluasi
kemanjuran remdesivir untuk COVID-19 sedang atau berat. Remdesivir juga
dianggap sebagai salah satu agen yang efektif dalam pengendalian infeksi 2019-
nCoV in vitro. Remdesivir adalah analog nukleotida baru yang memiliki aktivitas
melawan sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2) secara in
vitro dan coronavirus lainnya (termasuk SARS dan MERS-CoV) baik secara in
vitro maupun dalam penelitian pada hewan. Dampak klinis remdesivir pada
COVID-19 masih belum diketahui.2,7
Pedoman pengobatan dari Komisi Kesehatan Nasional China menuliskan
bahwa tocilizumab dapat digunakan untuk pasien dengan tingkat COVID-19 yang

15
parah dan peningkatan kadar IL-6, karena tocilizumab yang bekerja dengan cara
menghambat IL-6. Namun, agen ini sedang dievaluasi dalam uji klinis.2
Beberapa dokter telah menyarankan penggunaan obat anti-inflamasi non-
steroid (NSAID) di awal perjalanan penyakit mungkin memiliki dampak negatif
pada hasil penyakit. Kekhawatiran ini didasarkan pada laporan dari beberapa
pasien yang menerima NSAID di awal perjalanan infeksi dan mengalami penyakit
parah. Mengingat kekhawatiran ini, beberapa pihak menggunakan asetaminofen
sebagai pengganti NSAID untuk mengurangi demam. Namun, belum ada data
klinis atau populasi yang secara langsung menangani risiko penggunaan NSAID
pada pasien COVID-19.2
WHO dan CDC merekomendasikan untuk tidak menggunakan
glukokortikoid pada pasien dengan pneumonia COVID-19 kecuali ada indikasi
lain (misalnya, eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronis). Glukokortikoid telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian pada pasien.2
Tidak semua pasien COVID-19 dilakukan penatalaksanaan di rumah sakit,
beberapa diantaranya dapat dilakukan karantina mandiri di rumah. Tabel di bawah
ini menunjukkan status pasien dan lokasi tempat penatalaksanaan yang sesuai.

16
Tabel 1. Karantina Sesuai Status Pasien.5

Ket:*tempat perawatan kasus mempertimbangkan kondisi klinis, risiko penularan, dan kapasitas.

1. OTG
Terhadap OTG dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-14
untuk pemeriksaan RT PCR. Dilakukan pemeriksaan Rapid Test apabila tidak
tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, apabila hasil pemeriksaan pertama
menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan
PHBS dan physical distancing; pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya.
Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan
RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium
pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan
PHBS dan physical distancing; Pada kelompok ini juga akan dikonfirmasi
dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di
Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.5
Apabila OTG yang terkonfirmasi positif menunjukkan gejala demam
(≥380C) atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan selama masa karantina maka:
a. Jika gejala ringan, dapat dilakukan isolasi diri di rumah
b. Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
c. Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan.5

2. ODP
Terhadap ODP dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2
untuk pemeriksaan RT PCR. Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR,

17
dilakukan pemeriksaan Rapid Test. Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test pertama
menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; pemeriksaan
ulang pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari
berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan
pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; Pada kelompok
ini juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali
selama 2 hari berturut-turut,di Laboratorium pemeriksa yang mampu
melakukan pemeriksaan RT PCR.5
Apabila ODP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala perburukan maka:
a. Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
b. Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan.5

3. PDP
Terhadap PDP dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2
untuk pemeriksaan RT PCR. Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR,
dilakukan pemeriksaan Rapid Test. Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test pertama
menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah sesuai kondisi: ringan (isolasi diri di
rumah), sedang (rujuk ke RS Darurat), berat (rujuk ke RS Rujukan);
pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang
positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali
selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa yang mampu
melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah adalah sesuai kondisi: ringan (isolasi
diri di rumah), sedang (rujuk ke RS Darurat), berat (rujuk ke RS Rujukan);
Pada kelompok ini juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT PCR
sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa
yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.5

18
Apabila PDP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala perburukan maka:
a. Jika gejala ringan berubah menjadi sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
b. Jika gejala sedang berubah menjadi berat, dilakukan isolasi di RS rujukan.5

IX. PENCEGAHAN
Langkah-langkah umum berikut ini direkomendasikan untuk mengurangi
penularan infeksi:
1. Rajin mencuci tangan, terutama setelah menyentuh permukaan di depan
umum. Penggunaan pembersih tangan yang mengandung setidaknya 60
persen alkohol jika tangan tampak tidak terlalu kotor.
2. Menjaga kebersihan pernafasan (mis., Menutupi batuk atau bersin).
3. Hindari menyentuh wajah (khususnya mata, hidung, dan mulut).
4. Menghindari orang banyak jika memungkinkan (terutama di ruang dengan
ventilasi buruk) dan menghindari kontak dekat dengan orang sakit.
5. Membersihkan dan mensterilkan benda dan permukaan yang sering
disentuh.2

X. KOMPLIKASI
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah komplikasi utama
pada pasien dengan penyakit parah dan dapat bermanifestasi segera setelah
timbulnya dispnea. Dalam studi terhadap 138 pasien di Wuhan, ARDS
berkembang dalam 20 % pada rata-rata delapan hari setelah timbulnya gejala.
Dalam penelitian lain terhadap 201 pasien rawat inap dengan COVID-19 di
Wuhan, 41 % berkembang menjadi ARDS, dengan faktor komorbid berupa usia
lebih dari 65 tahun, diabetes mellitus, dan hipertensi.2
Komplikasi lain termasuk aritmia, cedera jantung akut, dan syok yang
masing-masing sebesar 17%, 7%, dan 9%. Dalam penelitian lain sebanyak 21
pasien yang sakit berat dan dirawat di ICU di Amerika Serikat, sepertiganya
berkembang menjadi kardiomiopati.2

19
BAB III
KESIMPULAN

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang


belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia, dan diketahui disebabkan
oleh virus bernama SARS-CoV-2.
Untuk menegakkan diagnosis, perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang yang terkait dengan COVID-19. Gejala
COVID-19 memiliki variasi yang sangat luas, dimana semakin hari gejalanya
semakin tidak khas. Manifestasi umum COVID-19 sama seperti manifestasi
umum pada pneumonia yang lainnya, yaitu ditandai terutama oleh demam, batuk,
dan dyspnea. Gejala lain yang kurang umum antara lain adalah bunyi napas kasar,
sakit kepala, sakit tenggorokan, badan terasa lemas, hemoptisis, ruam kulit, dan
rinore. Selain itu, gejala gastrointestinal juga telah dilaporkan, misalnya mual,
muntah, dan diare. Saat ini, uji Real-Time Reverse-Transcription–Polymerase-
Chain-reaction (RT-PCR) tetap menjadi standar rujukan untuk membuat
diagnosis definitif infeksi COVID-19.
Tatalaksana pasien COVID-19 cukuplah kompleks, mulai dari
farmakologis hingga nonfarmakologis. Isolasi nampaknya membawa peran
penting dalam tatalaksana penyakit ini. Sampai sekarang, pengobatan
farmakologis COVID-19 masih diteliti secara luas, karena dianggap belum ada
obat yang benar-benar cocok untuk penyakit ini.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Lipsitch M, Swerdlow DL, dan Finelli L. Defining the Epidemiology of


Covid-19 — Studies Needed. n engl j med. 2020; 382 (13): 1194-1196
2. McIntosh K. Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19). Uptodate. 2020.
3. Shi H, Han X, Jiang N, Cao Y, et al. Radiological findings from 81 patients
with COVID-19 pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study. Lancet
Infect Dis. 2020; 1-10.
4. Zu ZY, Jiang MD, Xu PP, Chen W, et al. Coronavirus Disease 2019
(COVID-19): A Perspective from China. Radiology. 2020; 1-10.
5. Isbaniah F, Kusumowardhani D, Sitompul PA, Susilo A, et al. Pedoman
Pencegahan Dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) Revisi Ke-
4. Kementerian Kesehatan RI. 2020.
6. World Health Organization. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation
Report – 71. Diakses pada 31 Maret 2020 di
https://www.who.int/publications-detail/infection-prevention-and-control-
during-health-care-when-novel-coronavirus-(ncov)- infection-is-suspected-
20200125
7. Rothan HA dan Byrareddy SN. The epidemiology and pathogenesis of
coronavirus disease (COVID-19) outbreak. Journal of Autoimmunity. 2020;
1-4.
8. Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, Dulebohn SC, et al. Features, Evaluation
and Treatment Coronavirus (COVID-19). StatPearls Publishing. 2020; 1-14.
9. Gautret P, Lagier JC, Parola P, Hoang VT, et al. Hydroxychloroquine and
azithromycin as a treatment of COVID-19: results of an open-label non-
randomized clinical trial. International Journal of Antimicrobial Agents.
2020; 1-15.
10. Cortegiani A, Ingoglia G, Ippolito M, Giarratano A, et al. A systematic
review on the efficacy and safety of chloroquine for the treatment of COVID-
19. Journal of Critical Care. 2019; 1-14.

21

Anda mungkin juga menyukai