Anda di halaman 1dari 10

1.

Beneficence

Pasca operasi logam tertinggal di dalam


Donald Church memiliki tumor di perut ketika dia berobat ke dokter ahli bedah di
Universitas Washington Medical Center di Seattle pada bulan Juni 2000. Ketika dia kembali,
tumor sudah tidak ada namun sebuah logam retractor ketinggalan di dalam perut lelaki 49 tahun
itu.
Dokter mengakui kesalahan karena meninggalkan logam retractor sepanjang 13 Inci di dalam
perut. Untungnya, dokter mampu mengangkat retractor tersebut. Masalahnya, paska
pengangkatan, Donald mengalami kesakitan jangka panjang akibat kesalahan tersebut. Rumah
sakit setuju untuk membayar ganti rugi sebesar U$D 97 ribu.
http://www.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-malpraktik-dalam-duniakedokteran.html

Kriteria

Ad
a

1.Utamakan alturisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban)

2.Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia

3.Memandang pasien/keluarga dan sesuatu tak sejauh menguntung dokter


4.Mengusakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya.

5.Paternalisme bertanggung jawab/ kasih sayang

6.Menjamin kehidupan baik minimal manusia

7.Pembatasan Goal-Based
8.Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasein

Tidak
ada

9.Minimalisasi akibat buruk.

10.Kewajiban menolong pasien gawat darurat

11.Menghargaihak pasien secara keseluruhan

12. Tidak menarik honorarium diluar kepantasan

13.Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keselurushan

14.Mengembangkan profesi secara terus-menerus.


15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan Golden Rule Principle

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari kasus dan keterangan pada table diatas yaitu beneficence
nya sudah baik, dapat dilihat dari kriteria yang telah terpenuhi pada table diatas.
Meskipun pada awalnya ada kesalahan tindakan yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit, namun
pihak Rumah Sakit masih bertanggung jawab serta berusaha memberikan yang terbaik atas
kondisi pasien yang sedemikian rupa dan juga memberikan ganti rugi kepada pasien.

2. Non-Maleficence

Salah mencangkok jantung dan paru-paru, sehingga meninggal


Tragis menimpa Jsica Santilln, pasien 17 tahun, imigran Meksiko. Dia meninggal 2 minggu
setelah menerima cangkok jantung dan paru-paru dari orang lain dengan golongan darah
berbeda. Dokter di Duke University Medical Center gagal memeriksa kompatibilitas sebelum
operasi dimulai.
Santilln yang memiliki jenis darah O, telah menerima organ dari tipe donor A. Setelah operasi
transplantasi ke dua untuk memperbaiki kesalahan, Jesica malah menderita kerusakan otak dan
komplikasi lain hingga meninggal.
Padahal Santilln sudah tiga tahun datang ke Amerika Serikat untuk mencari perawatan jantung
dan paru-paru. Transplantasi jantung dan paru-paru oleh Dokter Ahli Bedah Rumah Sakit di
Universitas Duke di Durham diharapkan akan memperbaiki kondisi ini, namun bukan kesehatan
diraih, tapi kematian.
http://www.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-malpraktik-dalam-dunia-kedokteran.html

Kriteria

1. Menolong pasien emergensi

Ad
a

Tidak
Ada

2. Kondisi untuk menggambarkan kriteria ini adalah:


a.Pasien dalam keadaan berbahaya.

b.Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan.

c.Tindakan Kedokteran tadi terbukti efektif

d.Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko


minimal).

3. Mengobati pasien yang luka.

4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)


5. Tidak menghina/caci maki.

6. Tidak memandang pasien sebagai objek


7.Mengobati secara tidak proporsional

8.Tidak mencegah pasien secara berbahaya

9.Menghindari misrepresentasi dari pasien


10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian

11. Tidak memberikan semangat hidup


12. Tidak melindungi pasien dari serangan

13.Tidak melakukan white collar dalam bidang kesehatan

Kesimpulan
Dari kasus serta kriteria yang terpenuhi pada table diatas dapat disimpulkan NonMalficence tidak terpenuhi karena prinsip Non-Malefience pada dasarnya adalah
melarang tindakan yang dapat memperburuk keadaan pasien. Terdapat banyak
kriteria yang tidak terpenuhi dapat dilihat dari salah satu tindakannya yang fatal
yaitu membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian dari pihak Rumah Sakit.
Dan juga tidak melindungi pasien dari serangan bahkan malah sebaliknya membuat
pasien meninggal dunia atas kelalaian yang telah dilakukan.

3. Autonomi

Masalah Biaya dan Prosedur Jadi Alasan Pasien Tolak Operasi Laparoskopi
Di klinik khusus pencernaan atau Digestive Clinic, Siloam Hospital Kebon
Jeruk (SHKJ), teknik operasi laparoskopi menjadi teknik utama untuk melakukan
pembedahan pada pasien dengan permasalahan pencernaan. Salah satu dokter
klinik, dr Errawan R. Wiradisuria, SpB(K)BD, MKes, mengatakan pihak asuransi yang
biasanya berusaha agar pasien mendapatkan tindakan operasi konvensional.
Permintaan pasien untuk dioperasi konvensional muncul karena alasan biaya. Biaya
operasi dengan laparoskopi dibandingkan dengan operasi biasa memang lebih
mahal. dr Errawan mengatakan asuransi biasanya berusaha mendapatkan
penanganan operasi konvensional untuk pasien jika memang bisa dilakukan.
"Ini pandangan terbalik. Memang sedikit lebih mahal harga bedah laparoskopi, tapi
laparoskopi dirawat cuma tiga hari untuk kasus batu empedu contohnya. Kalau
dibelek itu bisa dirawat seminggu atau sepuluh hari. Nanti pada akhir pembayaran,
biayanya hampir sama," kata dr Errawan saat ditemui pada peresmian Digestive
Clinic di SHKJ, Jakarta, Kamis (4/9/2014).
Selain masalah biaya, ada juga pasien yang menolak operasi laparoskopi karena
meragukan metodenya. Kolega dari dr Errawan, dr Wifanto Saditya, Sp(K)BD
mengatakan laparoskopi memiliki kekurangannya tersendiri dan kekurangan
tersebut tentu harus diberitahu kepada pasien sebelum operasi.
"Kalau operasi biasa kita menggunakan tangan. Menggunakan tangan kita bisa
merasakan ini jaringan sehat, tumor, atau infeksi misalnya. Tapi kalau dengan
laparoskopi itu kita tidak bisa menggenggam dengan tangan, jadi hanya
berdasarkan alat. Kita tidak bisa menentukan batasnya dengan jelas, makanya
dibantu dengan bantuan teropong," papar dr Wifanto ditemui di acara yang sama.
dr Wifanto mengatakan pasien bisa jadi menolak operasi laparoskopi setelah
mengetahui kekurangan tersebut. Akibatnya pasien memilih jalan aman dengan
operasi konvensional.

http://health.detik.com/read/2014/09/04/110629/2681009/763/masalah-biaya-danprosedur-jadi-alasan-pasien-tolak-operasi-laparoskopi

Kriteria

Ada

1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri,


menghargai martabat pasien.

2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat


keputusan (pada kondisi elektif)

3. Berterus terang

4. Menghargai privasi.

Tidak
Ada

5. Menjaga rahasia pribadi


6. Menghargai rasionalitas pasien.

7. Melaksanakan informed consent

8. Membiarkann pasien dewasa dan kompeten


mengambil keputusan sendiri.

9. TIdak mengintervensi atau meghalangi outonomi


pasien.

10.
Mengcegah pihak lain mengintervensi
pasien dan membuat keputusan, termasuk,
termasuk keluarga pasien sendiri.

11.
Sabar menunggu keputusan yang akan
diambil pasien pada kasus non emergensi.

12.
Tidak berbohong ke pasien meskipun demi
kebaikan pasien.

13.

Menjaga hubungan (kontrak)..

Kesimpulan
Kasus diatas dapat dikatakan termasuk kasus autonomi dimana telah banyak
kriteria yang terpenuhi didalam table tersebut. Secara teori prinsip autonomi adalah
prinsip moral yang menghargai hak pasien terutama hak otonomi pasien yang akan
menyebabkan terjadinya informed concent. Dimana dokter memberika segala hak
kepada pasien tanpa paksaan dari siapapun.
Pada kasus ini dr Errawan secara terang-tarangan menyampaikan kelebihan teknik
operasi laparoskopi namun dia juga mengatakan adanya kekurangan pada hal
tersebut. Diperkuat dengan pernyataan dr Wifanto yang mengatakan pasien juga
dapat memilih operasi konvensional dengan jalan aman, dikarenakan menurut
keterangan yang beliau berikan menunjukan adanya kekurangan pada teknik
operasi laparoskopi tersebut.

4. Justice

Tolak Pasien Langgar Kode Etik Dokter


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Andre Safa Gunawan, bocah berusia 10 tahun
menghembuskan nafas terakhirnya, Sabtu (8/3) lalu. Ia meninggal setelah Rumah Sakit Tarakan,
Jakarta Pusat yang diduga menelantarkannya karena enggan menangani pasien tersebut.
Kasus Andre Safa bukanlah yang pertama terjadi. Sebelumnya ada sejumlah kasus penolakan
pasien miskin oleh rumah sakit. "Tindakan darurat pasien apapun, ada uang atau tidak harus
ditolong itu sesuai etika kedokteran, medis internasional, dan aturan pemerintah," ungkap
mantan Direktur Utama PT Askes Orie Andari Sutadji.
Penolakan pasien miskin oleh rumah sakit, ulas Orie, terjadi karena lambatnya proses
pembayaran dari pemerintah ke rumah sakit. Alasan rumah sakit untuk menolak pasien selalu
sama. Rumah sakit khawatir pemerintah tidak akan membayar tagihan mereka. Tagihan rumah
sakit yang sudah lama pun biasanya juga sangat lambat dibayarkan oleh pemerintah. Maka,
terjadilah penolakan oleh rumah sakit.
"Untuk menghindari kasus penolakan pasien, pemerintah harus gencar melakukan sosialisasi
sistem pembayaran untuk rumah sakit. Selain itu pemerintah juga harus melakukan kaji ulang
mengenai kebijakan pengelompokan penyakit, obat, tarif, dan penentuan premi dari masyarakat,"
ujar Orie.
Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI dr Anarulita Muchtar menilik kasus penolakan
pasien sebagai kesalahan rumah sakit. "Rumah sakit mencari keuntungan, tidak mau rugi, dan
tidak mau bertanggungjawab jika terjadi kesalahan. Akhirnya jika ada pasien yang harus
diberikan tindakan segera, tapi pasien tidak bisa membayar akhirnya ditolak," ujarnya.
Agar tidak terjadi penolakan di rumah sakit, ia menyarankan agar pemerintah meminta rumah
sakit untuk bergabung dalam Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sehingga
tindakan gratis bisa dilakukan rumah sakit, namun pemerintah harus segera membayarkan klaim
atau rumah sakit yang belum dibayarkan.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/10/n277qe-tolak-pasien-langgar-kodeetik-dokter

Kriteria

1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal

Ad
a

Tidak
Ada

2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia


lakukan.
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi
yang sama.

4. Menghargai hak sehat pasien (affordability,


equality,accessibility,availability,quality)

5. Menghargai hak hukum pasien.

6. Menghargai hak orang lain.

7. Menjaga kelompok yang rentan (yang paling dirugikan)

8. Tidak melakukan penyalahgunaan.


9. Bijak dalam makro alokasi.

10. Memberikan kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan


pasien

11. Meminta partisipasi pasien seusai dengan kemampuan.

12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya,


beban ., sanki) secara adil

13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan
kompeten.

14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan
sah/tepat.

15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/ggn


kesehatan.

16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status


sosial dll.

Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai