Anda di halaman 1dari 4

Penatalaksanaan Meningoensefalitis TB

Penatalaksanaan (Farmakologi dan Non-Farmakologi) meningoencephalitis tuberculosis.

Pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, diteruskan dengan pemberian INH dan Rifampisin
selama 10 bulan.

a. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 300 mg/hari.


b. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 600 mg/hari.
c. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2000 mg/hari.
d. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2500 mg/hari.
e. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan tapering off.

Jika didapatkan hidrosefalus dapat dilakukan pemasangan VP-Shunt. Pengobatan suportif


meliputi restriksi cairan, posisis kepala lebih tinggi dan fisioterapi pasif.

Steroid diberikan untuk :

a. Menghambat reaksi inflamasi


b. Mencegah komplikasi infeksi
c. Menurunkan edema serebri
d. Mencegah perlekatan
e. Mencegah infark otak

Indikasi pemakaian streroid :

1. Penurunan kesadaran
2. Defisit neurologis fokal

Steroid yang biasa di pakai yaitu dexametason

Pengobatan simptomatis

a. Menghentikan kejang
- Diazepam 0,25-0,5 mg/kgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/kgBB/dosis rektal
suppositoria, kemudian dilanjutkan dengan :
- Phenytoin mg/kgBB/hari IV/PO di bagi dalam 3 dosis atau
- Phenobarbital 5-7 mg/kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
b. Menurunkan demam
- Antipiretik : paracetamol 10 mg/ kgBB/dosis PO atau ibuprofen 10
mg/kgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali perhari.
- Kompres air hangat

Pengobatan suportif

a. Cairan intravena
b. Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50 %
Perawatan

a. Pada waktu kejang :


- Longgarkan pakaian, bila perlu di buka
- Hisap lendir
- Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
- Hindarkan penderita dari rudapaksa (ek : jatuh)
b. Bila penderita tidak sadar lama :
- Beri makanan melalui sonde
- Cegah dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan merubah posisi penderita
sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam.
- Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/ salep antibiotika
c. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
d. Bila mengalamai inkontinesia alvi lakukan lavement
e. Pemantauan ketat
- Tekanan darah
- Pernafasan
- Nadi
- Produksi air kemih
- Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini adanya DIC
f. Fisioterapi dan rehabilitasi

Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis

a. Komplikasi akut :
- Edema otak
- Hipertensi intrakranial
- Ventrikulitis
- Kejang
- Meningkatnya TIK : dapat diakibatkan edema, SOP, hidrosefalus,
penanganannya : (1) posisi head trunk up 300 , posisi netral. (2) cairan &
osmolalitas tidak boleh hipotonis, terapi hiperosmolar. (3) hipervemtilasi. (4)
terapi demam, induksi hipotermia. (5) tekanan darah 120 – 110 > CPP > 60. (6)
kortikosteroid. (7) bedah. (8) sedasi / barbiturate coma.
b. Komplikasi intermediet :
- Efusi subdural
- Abses otak
- Hidrosefalus
- Demam
c. Komplikasi kronik :
- Memburuknya fungsi kognitif
- Ketulian
- kecacatan motorik.
Meningitis Tuberkulosis

Penderita meningitis tuberkulosis harus dirawat di rumah sakit, di bagian perawatan


intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan secepat mungkin pengobatan segera
dapat dimulai. Perawatan Umum Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus
diperhatikan dengan sungguh-sungguh, antara lain : kebutuhan cairan dan elektrolit,
kebutuhan gizi, posisi penderita, perawatan kandung kemih dan defekasi.

Kebutuhan cairan, elektrolit serta gizi dapat diberikan melalui infus maupun saluran
pipa hidung. Di samping itu, pengobatan untuk hiperpireksia, gelisah atau kejang juga
diberikan. Pengobatan Saat ini telah tersedia berbagai macam Tuberkulostatika, pada
umumnya Tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal sebagai triple drugs,
ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis Tuberkulostatika lainnya. Kita harus kritis
untuk menilai efektivitas masing-masing obat terutama dalam hal timbulnya resistensi.

Berikut ini adalah beberapa contoh Tubekulostatika yang dapat diperoleh di Indonesia :

1. Isoniazid (INH), diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari (pada anak) dan pada
dewasa dengan dosis 400 mg/hari. Efek samping berupa neuropati, gejala-gejala
psikis.
2. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, pada orang dewasa dapat
diberikan dengan dosis 600 mg/hari dengan dosis tunggal. Efek samping
seringditemukan pada anak di bawah 5 tahun dapat menyebabkan neuritis optika,
muntah, kelainan darah perifer, gangguan hepar dan flu-like-symptom.
3. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kg/BB/hari -150 mg/hari Efek samping
dapat menimbulkan neuritis optika.
4. PAS atau Para-Amino-Salicilyc-Acid diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/ hari
dibagi dalam 3 dosis dapat diberikan sampai 12 g/hari. Efek samping dapat
menyebabkan gangguan nafsu makan.
5. Streptomisin, diberikan intramuskuler selama lebih kurang 3 bulan. Dosisnya adalah
30-50 mg/kgBB/hari. Oleh karena bersifat ototoksik maka harus diberikan dengan
hati-hati. Bila perlu pemberian Streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama
2-3 bulan sampai CSS menjadi normal.

Kortikosteroid, biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3 mg/ kgBB/hari


(dosis normal) 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian diteruskan
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya
adalah lebih kurang 3 bulan, apabila diberi deksametason maka obat mi diberikan secara
intravena dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam. Pemberian deksametason ini terutama bila ada
edema otak. Apabila keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap sampai
4 mg setiap 6 jam secara intravena. Pemberian kortikosteroid parenteral ditujukan untuk
mengurangi eksudat di bagian basal mencegah terjadinya nekrosis, perlengketan dan
menghalangi blok spinal. Pemberian kortikosteroid dapat membahayakan penderita karena
munculnya super infeksi, kemampuan menutupi penyakitnya (masking effect).

Anda mungkin juga menyukai