Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kolelitiasis atau batu empedu merupakan batu yang terletak pada

kantung empedu, yang merupakan deposit dari cairan pencernaan yang

mengeras dan terbentuk di kantong empedu. Kantung empedu memiliki

fungsi sebagai tempat penyimpanan cairan empedu yang nantinya akan

dilepaskan ke usus halus.1

Batu empedu dapat bersifat asimtomatik, yang ditemukan secara

kebetulan. Pada kasus seperti ini, kemungkinan berkembangnya gejala atau

komplikasi adalah 1-2% pertahunnya. Kolelitiasis asimtomatik yang

ditemukan pada kantung empedu serta biliary tree yang normal umumnya

tidak memerlukan tatalaksana kecuali timbul gejala. Namun dilaporkan

bahwa 20% dari kasis kolelitiasis asimtomatik akan berkembang menjadi

simtomatik selama 15 tahun kedepan.2

Pada benua Asia dilaporkan bahwa prevalensi kolelitiasis mencapai

angka 3-10%. Sebuah studi menemukan bahwa terdapat 3.2% kasus

kolelitiasis di Jepang, 7.1% di India Utara, serta 10.7% di Tiongkok. Pada

benua Asia umumnya lebih sering ditemukan kolelitiasis pigmen coklat pada

duktus koledokus, hal ini disebabkan oleh umumnya infestasi parasit. Sampai

saat ini belum adanya data prevalensi kolelitiasis di Indonesia, namun RSUP

melaporkan pada tahun 2015-2016 terdapat 113 kasus kolelitiasis di Manado.


3,4
Kolelitiasis dapat disebabkan oleh supersaturasi kolesterol, bilirubin

berlebih serta hipomolitas atau terganggunya kontraktilitas kantung empedu.

Batu empedu yang paling sering ditemukan yaitu batu empedu kelesterol,

batu empedu pigmen hitam dan batu empedu pigmen coklat. 90% kasus

kolelitiasis yaitu kolelitiasis kolesterol.5,6

Pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi batu empedu yaitu

pemeriksaan darah lengkap, CMP, PT/PTT, lipase, amilase, alkalin fosfat,

total bilirubin serta Analisa urine. Ultrasonografi tetap menjadi lini pertama

dan modalitas pencitraan pilihan untuk diagnosis batu empedu. Batu empedu

pada USG memiliki penampilan struktur hiperkoik di dalam kantong empedu

dengan bayangan akustik distal. Sludge di kantong empedu juga dapat

terlihat, dengan tampilan lapisan hiperekoik didalam kantong empedu.7

Pada umumnya, pasien dengan kolelitiasis asimtomatik tidak perlu

dilakukan tindakan operasi, dapat ditatalaksana dengan analgesik oral atau

parenteral serta memperhatikan gaya hidup. Saat ini laparoskopi

kolesistektomi menjadi pilihan utama tatalaksana. Umumnya indikasi

dilakukan laparoskopi kolesistemtomi yaitu kolesistitis akut, diskinesia bilier,

serta adanya komplikasi. Data menunjukkan bahwa hanya 50% pasien dengan

batu empedu yang mengalami gejala. Tingkat kematian setelah kolesistektomi

laparoskopi kurang dari 1%. Namun, kolesistektomi darurat dikaitkan dengan

tingkat kematian yang tinggi.8

Sebuah penelitian menemukan tidak adanya perbedaan signifikan pada

mortalitas, komplikasi dan waktu operasi antara laparoskopi dan laparostomi

kolesistektomi terbuka. Kolesistektomi laparoskopi dikaitkan dengan masa


rawat inap yang lebih pendek secara signifikan dan pemulihan yang lebih

cepat dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka klasik.9 Pada penelitian

kali ini akan dibahas dan dipelajari mengenai perbedaan antara lama

perawatan, lama kembali beraktivitas dan tingkat nyeri pasca operasi pada

pasien kolelitiasis yang dilakukan laparotomi kolesistektomi terbuka dengan

yang dilakukan laparoskopi kolesistektomi.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah adanya perbedaan antara lama perawatan, lama kembali beraktivitas

dan tingkat nyeri pasca operasi pada pasien kolelitiasis yang dilakukan

laparotomi kolesistektomi terbuka dengan yang dilakukan laparoskopi

kolesistektomi?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui perbedaan antara lama perawatan, lama kembali

beraktivitas dan tingkat nyeri pasca operasi pada pasien kolelitiasis

yang dilakukan laparotomi kolesistektomi terbuka dengan pasien yang

dilakukan laparoskopi kolesistektomi

1.3.2 Tujuan khusus


1. Mengetahui karakteristik pasien kolelitiasis dengan tatalaksana

laparotomi kolesistektomi terbuka

2. Mengetahui karakteristik pasien kolelitiasis dengan tatalaksana

laparoskopi kolesistektomi

3. Mengetahui durasi lama perawatan pasien kolelitiasis yang

dilakukan laparotomi kolesistektomi terbuka

4. Mengetahui durasi lama kembali beraktvitias pasien

kolelitiasis yang dilakukan laparotomi kolesistektomi terbuka

5. Mengetahui tingkat nyeri paska operasi pasien kolelitiasis

yang dilakukan laparotomi kolesistektomi terbuka

6. Mengetahui durasi lama perawatan pasien kolelitiasis yang

dilakukan laparoskopi kolesistektomi

7. Mengetahui durasi lama kembali beraktivitas pasien

kolelitiasis yang dilakukan laparoskopi kolesistektomi

8. Mengetahui tingkat nyeri paska operasi pasien kolelitiassi

yang dilakukan laparoskopi kolesistektomi

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui perbedaan lama

perawatan, lama kembali beraktivitas dan tingkat nyeri pasca operasi pada

pasien kolelitiasis yang dilakukan laparotomi kolesistektomi terbuka dengan

pasien yang dilakukan laparoskopi kolesistektomi, sehingga dapat menambah


wawasan untuk menerapkan ilmu agar dapat menjadi bekal untuk selanjutnya

dan hasil penelitian ini dapat dipublikasikan pada masyarakat.

1.4.2 Manfaat praktis

1. Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan

dengan karakteristik pasien kolelitiasis dengan laparotomi

kolesistektomi terbuka dan laparoskopi kolesistektomi.

2. Diharapkan dapat digunakan sebagai data acuan untuk melakukan

tatalaksana tindakan pada pasien kolelitiasis.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi

Anatomi pohon bilier tetap menjadi salah satu area tubuh yang
paling bervariasi [4][5]. Kandung empedu adalah organ berbentuk buah pir
yang menempel pada permukaan bawah segmen IVB dan V hati. Itu tidak
memiliki kapsul. Terdapat sedikit kantong empedu di bagian distal yang
disebut kantong Hartman, yang meruncing ke distal ke duktus sistikus,
yang berisi Katup Heister. Duktus sistikus bergabung dengan duktus
biliaris pada pertemuan duktus hepatikus (proksimal) dan duktus biliaris
komunis (distal). Duktus biliaris komunis bermuara ke duodenum di
Ampula Vater. Sfingter Oddi mengontrol aliran empedu ke duodenum.
Duktus hepatika komunis proksimal bercabang menjadi radikal hepatik
kiri dan kanan di hati. Radikal ini akhirnya bercabang menjadi saluran
intrahepatik yang lebih kecil. Dapat terdapat saluran kecil yang melintasi
langsung ke kandung empedu dari dasar kandung empedu hati, yang
disebut saluran Luschka, yang dapat mengakibatkan kebocoran empedu
pasca operasi jika tidak diidentifikasi dan ditangani pada saat operasi.27
Suplai darah ke kandung empedu berasal dari arteri kistik,
yang biasanya bercabang dari arteri hepatik kanan, yang bercabang dari
arteri hepatik komunis. Tidak ada struktur vena formal yang berhubungan
dengan kandung empedu. Landmark yang umum digunakan adalah
segitiga Calot. Ada dua definisi mengenai anatomi ini. Deskripsi asli
menggunakan duktus sistikus, arteri sistikus, dan hati. Deskripsi segitiga
Calot yang lebih umum digunakan adalah duktus sistikus, duktus
hepatikus komunis, dan permukaan bawah hati. Deskripsi terakhir
membantu mengidentifikasi arteri kistik yang terletak di dalam segitiga di
bawah kelenjar getah bening Calot. Vena portal terletak tepat di bawah
duktus biliaris komunis.
15 hingga 20% pasien akan mengalami perubahan anatomi.
Salah satu situasi yang paling berbahaya adalah duktus sistikus pendek
dengan arteri kistik pendek yang menyertainya. Saluran empedu yang
umum mungkin keliru untuk duktus sistikus dan berisiko untuk transeksi.
Arteri kistik pendek dapat menyebabkan cedera atau transeksi arteri
hepatik kanan.28

Gambar 1.1
Anatomi Traktus Bilier.29

2.1 Kolelitiasis

2.1.1 Definisi
Penyakit batu empedu atau kolelitiasis adalah salah satu penyakit
gastrointestinal yang paling umum, dengan beban besar untuk sistem
perawatan kesehatan. Batu empedu dapat terbentuk karena banyak
gangguan yang berbeda. Kolelitiasis adalah penyakit hepatobilier kronis
berulang, yang dasarnya terjadi karena adanya gangguan metabolisme
kolesterol, bilirubin dan asam empedu, yang ditandai dengan
pembentukan batu empedu di saluran empedu hati, saluran empedu
umum, atau kantong empedu.
Pada umumnya batu empedu dibagi menjadi tiga jenis, yaitu batu
kolesterol, batu pigmen (batu bilirubin), dan batu campuran. Batu
pigmen dibagi menjadi pigmen coklat dan pigmen hitam. Batu
kolesterol merupakan jenis yang paling sering ditemukan.10
Batu empedu umumnya terjadi tanpa gejala, dan mungkin tetap
asimtomatik selama beberapa dekade. Migrasi batu empedu ke dalam
lubang duktus sistikus dapat menghalangi aliran keluar empedu selama
kontraksi kandung empedu, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
ketegangan dinding kandung empedu yang dihasilkan menghasilkan jenis
nyeri yang khas (kolik bilier). Obstruksi duktus sistikus, jika berlangsung
lebih dari beberapa jam, dapat menyebabkan peradangan kandung empedu
akut, yang disebut kolelitiasis akut.11

2.1.2 Epidemiologi

Kolelitiasis memiliki prevalensi yang cukup tinggi dan dapat


ditemukan pada sekitar 6% pria dan 9% wanita. Prevalensi tertinggi
kolelitiasis muncul pada populasi penduduk asli Amerika. Batu empedu
tidak umum di Afrika atau Asia. Epidemi obesitas diperkirakan telah
memperbesar munculnya diagnosis batu empedu.
Kasus kolelitiasis merupakan kasus yang cukup sering terjadi,
namun lebih dari 80% orang tetap asimtomatik. Pada umumnya, nyeri
bilier akan berkembang setiap tahun pada 1% hingga 2% individu yang
sebelumnya tidak menunjukkan gejala. Mereka yang mulai
mengembangkan gejala dapat terus mengalami komplikasi utama
(kolesistitis, koledokolitiasis, pankreatitis batu empedu, kolangitis)
terjadi pada tingkat 0,1% hingga 0,3% setiap tahun.
Di Indonesia sendiri belum terdapat data epidemiologi pasti
mengenai banyaknya kasus kolelitiasis. Namun sebuah studi
melaporkan terdapat kasus kolelitiasis sebanyak 113 kasus pada RSUP
Prof. Dr. R.D Kandou Manado pada periode bulan Oktober 2015
hingga Oktober 2016.4
2.1.3 Etiologi7

Terdapat tiga jalur utama dalam pembentukan batu empedu:


 Supersaturasi kolesterol: pada umumnya, empedu dapat
melarutkan jumlah kolesterol yang dikeluarkan oleh hati. Tetapi
jika hati memproduksi lebih banyak kolesterol daripada yang
dapat dilarutkan oleh empedu, kolesterol yang berlebih ini dapat
mengendap sebagai kristal. Kristal terperangkap dalam lendir
kandung empedu, dan menghasilkan sludge kandung empedu.
Seiring waktu, kristal dapat tumbuh membentuk batu dan
menyumbat saluran yang akhirnya menghasilkan penyakit batu
empedu.
 Kelebihan bilirubin: Bilirubin merupakan pigmen kuning yang
berasal dari pemecahan sel darah merah, yang akan disekresikan
ke dalam empedu oleh sel-sel hati. Kondisi hematologi tertentu
menyebabkan hati membuat terlalu banyak bilirubin melalui
proses pemecahan hemoglobin. Kelebihan bilirubin ini juga
dapat menyebabkan pembentukan batu empedu.
 Hipomotilitas kandung empedu atau gangguan kontraktilitas:
Jika kandung empedu tidak dapat mengosongkan diri secara
efektif, empedu dapat menjadi terkonsentrasi dan membentuk
batu empedu.
Tergantung pada etiologinya, batu empedu memiliki komposisi
yang berbeda. Tiga jenis yang paling umum adalah batu empedu
kolesterol, batu empedu pigmen hitam, dan batu empedu pigmen
coklat. 90% batu empedu adalah kasus batu empedu kolesterol.
Setiap batu memiliki serangkaian faktor risiko yang berbeda –
beda . Beberapa faktor risiko untuk terjadinya batu empedu
kolesterol adalah obesitas, usia, jenis kelamin perempuan,
kehamilan, genetika, nutrisi parenteral total, penurunan berat badan
yang cepat, dan obat-obatan tertentu (kontrasepsi oral, clofibrate,
dan analog somatostatin). Sekitar 2% dari semua kasus batu empedu
adalah batu pigmen hitam dan coklat. Hal ini dapat ditemukan pada
individu dengan pergantian hemoglobin yang tinggi. Pigmen yang
dimaksud sebagian besar terdiri dari bilirubin. Pasien dengan
sirosis, penyakit ileum, anemia sel sabit, dan cystic fibrosis
dilaporkan memiliki resiko terjadinya kolelitiasis pigmen hitam.
Kolelitiasis pigmen coklat terutama ditemukan pada populasi Asia
Tenggara dan tidak umum di Amerika Serikat. Faktor risiko batu
pigmen coklat adalah stasis intraductal dan kolonisasi kronis
empedu dengan bakteri. Pasien dengan penyakit Crohn dan mereka
dengan penyakit ileum (atau reseksi) tidak dapat menyerap kembali
garam empedu, hal ini juga dapat meningkatkan risiko batu empedu.

2. 1. 4 Faktor Resiko
Faktor risiko yang paling umum dikenal untuk penyakit batu
empedu adalah empat "F: female, fat, forty, dan fertile," dengan banyak
penelitian mendukung faktor risiko yang diketahui untuk penyakit batu
empedu. Individu dengan kulit putih juga telah dilaporkan oleh
beberapa penelitian sebagai faktor kelima. Meskipun penelitian telah
menunjukkan bahwa populasi Indian Pima dan Meksiko memiliki
prevalensi tinggi batu empedu dan penyakit terkait batu empedu.
Obesitas juga telah dianggap sebagai faktor risiko utama untuk penyakit
akibat batu empedu kolesterol. Meskipun pembentukan batu terjadi
sebagai akibat dari adanya interaksi kompleks genetik, lingkungan,
metabolisme, dan kondisi terkait, faktor-faktor seperti usia lanjut dan
jenis kelamin tidak dapat diubah. Diet dan aktivitas fisik mungkin
merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
Sejumlah penelitian mengenai hubungan antara batu empedu
kolesterol dan banyak faktor predisposisi seperti obesitas, diabetes tipe
2, dan sindrom metabolik. Selain itu, usia lanjut, jenis kelamin
perempuan, paritas, penurunan berat badan yang cepat, terapi
penggantian estrogen, kontrasepsi oral estrogen, nutrisi parenteral total,
faktor genetik, dan etnis juga telah ditemukan terkait dengan
peningkatan kejadian batu empedu.

2. 1. 5 Patofisiologi7
Batu empedu kolesterol terbentuk terutama karena sekresi
kolesterol yang berlebihan oleh sel-sel hepar dan hipomotilitas atau
gangguan pengosongan kandung empedu. Pada batu empedu
berpigmen, kondisi dengan pergantian heme tinggi, bilirubin dapat
muncul dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari
normal. Bilirubin kemudian dapat mengkristal dan akhirnya
membentuk batu.
Gejala dan komplikasi kolelitiasis terjadi ketika batu
menyumbat duktus sistikus, saluran empedu atau keduanya.
Obstruksi sementara duktus sistikus (seperti ketika batu tersangkut
di duktus sistikus sebelum duktus berdilatasi dan batu kembali ke
kandung empedu) menyebabkan nyeri bilier tetapi biasanya tidak
berlangsung lama. Hal ini dikenal sebagai kolelitiasis. Obstruksi
duktus sistikus yang lebih persisten (seperti ketika batu besar
tersangkut secara permanen di leher kandung empedu) dapat
menyebabkan kolesistitis akut. Terkadang batu empedu bisa
melewati duktus sistikus dan tersangkut dan berdampak pada
saluran empedu, dan menyebabkan obstruksi dan penyakit kuning.
Komplikasi ini dikenal sebagai Koledolitiasis.
Jika batu empedu melewati duktus sistikus, duktus biliaris
komunis dan copot di ampula bagian distal duktus biliaris,
pankreatitis batu empedu akut dapat terjadi akibat cadangan cairan
dan peningkatan tekanan di duktus pankreas dan aktivasi enzim
pankreas in situ. Kadang-kadang, batu empedu besar dapat
melubangi dinding kandung empedu dan membuat fistula antara
kantong empedu dan usus kecil atau besar, menghasilkan obstruksi
usus atau ileus.
2.1.6 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. 7

Pasien dengan penyakit batu empedu umumnya mengeluhkan


gejala kolik bilier (episode intermiten konstan, tajam, nyeri perut
kuadran kanan atas (RUQ) sering dikaitkan dengan mual dan
muntah), temuan pemeriksaan fisik normal, dan hasil tes
laboratorium normal. Ini mungkin disertai dengan diaforesis, mual,
dan muntah. Kolik bilier umumnya disebabkan oleh kontraksi
kandung empedu sebagai tanggapan terhadap beberapa bentuk
stimulasi, sehingga batu melalui kandung empedu ke dalam
pembukaan duktus sistikus, yang menyebabkan peningkatan
ketegangan dan tekanan dinding kandung empedu yang sering
mengakibatkan nyeri yang dikenal sebagai kolik bilier. Saat
kantong empedu rileks, batu sering jatuh kembali ke kantong
empedu, dan rasa sakitnya mereda dalam waktu 30 hingga 90
menit.
Makanan berlemak adalah pemicu umum untuk kontraksi
kandung empedu. Rasa sakit biasanya dimulai dalam waktu satu
jam setelah makan berlemak dan sering digambarkan sebagai
intens dan tumpul, dan dapat berlangsung dari 1 sampai 5 jam.
Namun, hubungan dengan makanan tidak universal, dan pada
sebagian besar pasien, rasa sakitnya terjadi di malam hari.
Frekuensi episode berulang bervariasi, meskipun kebanyakan
pasien tidak memiliki gejala setiap hari.
Pemeriksaan fisik menyeluruh berguna untuk membedakan
nyeri bilier akibat kolesistitis akut, kolelitiasis tanpa komplikasi
atau komplikasi lainnya. Pada kolik bilier tanpa komplikasi, pasien
tidak demam dan pada dasarnya pemeriksaan abdomen light
palpation ditemukan tanpa rebound atau guarding. Kolesistitis
akut terjadi ketika batu persisten copot dari duktus sistikus
menyebabkan kandung empedu menjadi buncit dan meradang.
Pasien mungkin juga datang dengan demam, nyeri di kuadran
kanan atas dan nyeri tekan di atas kandung empedu (ini dikenal
sebagai tanda Murphy). Bila terdapat demam, takikardia persisten,
hipotensi, atau ikterus, diperlukan pencarian komplikasi
kolelitiasis, termasuk kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, atau
penyebab sistemik lainnya.
Koledolitiasis adalah komplikasi batu empedu ketika batu
menghalangi saluran empedu yang menghambat aliran empedu
dari hati ke usus. Tekanan meningkat mengakibatkan peningkatan
enzim hati dan penyakit kuning. Kolangitis dipicu oleh kolonisasi
bakteri dan pertumbuhan berlebih dalam empedu statis di atas batu
saluran umum yang menghalangi. Ini menghasilkan peradangan
purulen pada hati dan saluran empedu. Trias Charcot terdiri dari
nyeri tekan RUQ yang parah dengan demam dan ikterus dan klasik
untuk kolangitis. Operasi pengangkatan sumbatan batu dengan
antibiotik intravena diperlukan untuk mengobati kondisi ini.

2.1.7 Diagnosis

Diagnosis kolelitiasis ditegakkan dengan melakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, ultrasonografi.
1. Tes laboratorium
Beberapa tes laboratorium harus dipertimbangkan dalam
mendiagnosis kolelitiasis. Hitung sel darah lengkap (CBC) dapat
menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih (WBC), meskipun
hasil WBC yang normal terkadang tidak menyingkirkan kemungkinan
dalam menegakkan diagnosis. Komponen laboratorium lainnya termasuk
tes fungsi hati, lipase, amilase, urinalisis, tes kehamilan pada wanita usia
subur, dan tes guaiac tinja untuk menyingkirkan perdarahan intestinal
pada kasus yang disertai dengan BAB berdarah.
2. Pencitraan
Sangat penting untuk memiliki modalitas pencitraan yang
akurat pada kolelitiasis untuk memastikan intervensi dini dan
mencegah komplikasi (infeksi bakteri pada kantong empedu,
perforasi, dll.). Modalitas pencitraan juga dapat mencegah
pengobatan yang tidak perlu jika ditemukan hasil positif palsu.
Beberapa alat diagnostik yang berguna adalah ultrasonografi
(USG), computed tomography (CT scan), magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP).
Ultrasonografi adalah metode pilihan dan juga sebagai standar
emas untuk diagnosis kolelitiasis. USG memiliki akurasi
diagnostik yang tepat dan dapat dilakukan untuk memeriksa
hampir seluruh organ perut, terlepas dari non-invasif, kurangnya
radiasi dan biaya yang relatif rendah. Sebuah studi dari Scruggs et
al. menemukan bahwa USG juga memiliki sensitivitas tinggi
(97%) dan spesifisitas (93,6%)13,14. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa salah satu keuntungan utama dari USG dibandingkan teknik
pencitraan lain dalam diagnosis kolelitiasis adalah kemampuan
untuk menilai tanda Murphy sonografi, yang merupakan indikator
kolelitiasis yang dapat diandalkan dengan sensitivitas 92%.
Penebalan dinding kantung empedu dengan adanya batu empedu
oleh USG memiliki nilai prediksi positif 95% untuk diagnosis
kolelitiasis. Peningkatan ketebalan dinding lebih dari 3,5 mm
ditemukan menjadi temuan yang dapat diandalkan dari
kolelitiasis15. Cairan pericholecystic (cairan di sekitar kandung
empedu), distensi kandung empedu, edema kandung empedu, dan
batu empedu juga dapat dihasilkan secara signifikan pada USG.
Sirkulasi warna USG Doppler dapat menunjukkan hiperemis,
aliran darah perikolesistik, dan inflamasi akut. Visualisasi temuan
USG umumnya akan menunjukkan fokus echogenic mobile yang
membentuk bayangan akustik posterior dan kadang-kadang echo-
shadow dinding dapat terlihat jika kantong empedu penuh dengan
batu empedu. Temuan ini menunjukkan kolelitiasis dengan
kolesistitis terdiri dari distensi kandung empedu (> 40 mm)16.

Gambar 2.1 Posterior Acoustic Shadows pada Kolelitiasis

Temuan CT pada kolelitiasis termasuk adanya batu empedu,


distensi kandung empedu dengan penebalan dinding difusa,
peningkatan kontras dinding kantung empedu, dan edema lemak
pericholecystic. Studi menunjukkan bahwa di antara temuan ini
yang paling umum adalah: penebalan dinding (59%), edema lemak
pericholecystic (52%), distensi kandung empedu (41%),
pericholecystic (31%). Salah satu keterbatasan utama evaluasi CT
pada kasus kolelitiasis adalah penurunan sensitivitas dibandingkan
dengan USG untuk mendeteksi kolelitiasis. Campuran batu
empedu yang mengandung kolesterol dan pigmen kandung empedu
memiliki nilai redaman yang sama dengan garam empedu yang ada
di dalam lumen kandung empedu, oleh karena itu, membatasi
visualisasi CT.13
Gambar 2.2 CT Scan non kontras menunjukkan batu empedu kalsifikasi.14

Gambar 2.3 CT scan dengan kontras: multipel batu empedu. 7

Sebagian besar batu empedu tidak memiliki sinyal pada MRI


dan muncul sebagai sinyal cacat pengisian rongga di dalam
kantong empedu. Hal ini paling jelas terlihat pada T2 di mana batu
sinyal-void dikontraskan dengan empedu sinyal tinggi. Cacat
pengisian rongga sinyal multipel, faceted, atau piramidal pada
pemindaian T2-weighted paling menunjukkan adanya batu. Karena
keakuratan MRI dalam mengidentifikasi batu di dalam kandung
empedu belum ditetapkan, disarankan melakukan pemeriksaan
USG untuk menyingkirkan polip atau tumor. Batu mungkin tidak
bisa dibedakan dari polip atau tumor, juga mungkin terlewatkan
karena kecil atau karena dinamika pernapasan atau gerak.
Pada T1, empedu biasanya menunjukkan sinyal rendah yang
homogen; namun, karena komposisi dan konsentrasi empedu
bervariasi, mungkin tampak tidak homogen dengan area atau
tingkat sinyal yang lebih tinggi. Oleh karena itu, batu signal-void
juga dapat terlihat pada gambar T1. Sinyal tinggi kadang-kadang
dapat terlihat pada gambar dT2 di dalam batu yang mengandung
empedu di dalam celah. Batu dengan kandungan asam lemak tinggi
dapat menunjukkan sinyal tinggi pada T1.15

Gambar 2.3 Kolelitiasis pada MRI T2. 15


Gambar 2.3 beberapa batu empedu muncul

sebagai void-filling defects pada kantung empedu di MRI T1-weighted.

2.1.8 Tatalaksana

2.1.8.1 Tatalaksana Farmakologi

Tatalaksana untuk kolelitiasis meliputi tatalaksana farmakologi


dan non-farmakologi. Tatalaksana farmakologi fokus pada kontrol nyeri
kolik, Pengobatan nyeri kolik dengan pilihan pertama obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID) atau pereda nyeri narkotika, dan juga dapat disertai
dengan pengobatan simtomatik untuk mual, muntah, dan demam sesuai
keluhan pasien. Pilihan lain untuk mengontrol rasa sakit adalah agen anti-
spasmodik (hyoscine-N-butyl bromide), yang berfungsi untuk relaksasi dan
meredakan kontraksi kandung empedu. Namun, sebuah studi
menunjukkan bahwa NSAID bekerja lebih cepat dan lebih efektif sebagai
pereda nyeri. Pasien harus berpuasa sebagai bagian dari manajemen
konservatif nyeri kolik dan untuk menghindari pelepasan kolesistokinin
endogen. Sebuah studi dari European Association for the Study of the
Liver (EASL) menunjukkan bahwa asam ursodeoxycholic (UDCA) tidak
diindikasikan sebagai obat pencegahan penyakit batu empedu pada
populasi umum. Jika tidak, UDCA profilaksis (500 g/hari) dapat
mencegah pembentukan batu pada pasien pasca bedah bariatrik.16
Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah injeksi pelarut
seperti metil tert-butil eter di dalam kandung kemih menggunakan kateter
perkutan. Prosedur ini dapat membantu melarutkan batu empedu
kolesterol dengan cepat. Cara lain yang mungkin adalah injeksi melalui
endoskopi ke dalam kandung kemih. Teknik-teknik ini bisa sulit dan
dikaitkan dengan komplikasi seperti rasa sakit yang parah. Oleh karena itu,
hanya dokter yang sangat berpengalaman yang diizinkan untuk
melakukannya.18
2.1.8.2 Tatalaksana Non-Farmakologi
Pengobatan definitif adalah kolesistektomi elektif yang
direkomendasikan dan terbukti meningkatkan harapan hidup.
 Kolesistektomi profilaksis
Beberapa pasien disarankan untuk menjalani kolesistektomi profilaksis
karena diperkirakan bahwa pasien tersebut pasti akan mengalami
gejala di kemudian hari, sehingga melakukan prosedur profilaksis akan
jauh lebih aman dibandingkan tindakan emergensi. Populasi ini
termasuk anak-anak dan pasien dengan sickle cell anemia, di mana
gejala batu empedu tidak dapat dibedakan dari gejala krisis sel sabit.
Dapat ditemukan juga pada pasien obesitas, ketika kolelitiasis secara
tidak sengaja ditemukan selama operasi lain, juga dianjurkan untuk
melakukan kolesistektomi karena ada risiko tinggi menjadi simtomatik
setelah operasi. Beberapa pedoman bahkan merekomendasikan
kolesistektomi ketika kolelitiasis ditemukan dalam setiap operasi perut
pada setiap pasien. Pada kelompok yang memiliki risiko tinggi terkena
kanker kandung empedu, seperti penduduk asli Amerika dengan batu
empedu, setiap pasien dengan batu untuk waktu yang lama, atau
dengan kandung empedu porselen, juga disarankan untuk menjalani
kolesistektomi profilaksis. Sebelumnya, diperkirakan bahwa penderita
diabetes dengan batu empedu akan meningkatkan kelangsungan hidup
jika menjalani kolesistektomi profilaksis. Namun, sebuah studi
menemukan bahwa mereka justru memiliki risiko tinggi komplikasi
dengan operasi elektif, dan profilaksis tidak lagi direkomendasikan
kecuali ada gejala.
 Laparoskopi
Kolesistektomi laparoskopi pertama kali diperkenalkan lebih dari dua
puluh tahun yang lalu. Laparoskopi diindikasikan pada batu empedu
simtomatik dengan kolik bilier, kolesistitis akut/kronis, pankreatitis
batu empedu, diskinesia bilier, atau komplikasi dan manifestasi lain
dari penyakit batu empedu. Sedangkan laparoskopi
dikontraindikasikan pada pasien yang tidak dapat dibius total.
Sebelumnya, kehamilan, sirosis, dan koagulopati dianggap sebagai
kontraindikasi untuk laparoskopi, tetapi sekarang tidak lagi.17,18
Teknik dari laparoskopi kolesistektomi sendiri yaitu dengan
insuflasi abdomen dicapai hingga 15 mmHg menggunakan karbon
dioksida. Selanjutnya, empat sayatan kecil dibuat di perut untuk
penempatan trocar (supraumbilikalis x1, subxiphoid x1, dan subkostal
kanan x2). Dengan menggunakan kamera (laparoskop) dan instrumen
panjang, kantong empedu ditarik ke atas hepar. Hal ini visualisasi
wilayah yang dari segitiga hepatokistik. Visualisasi ini didefinisikan
sebagai (1) pembersihan jaringan fibrosa dan lemak dari segitiga
hepatokistik, (2) adanya hanya dua struktur tubular yang masuk ke
dasar kantong empedu, dan (3) pemisahan sepertiga bagian bawah
kantong empedu. dari hati untuk memvisualisasikan lempeng kistik.
Setelah visualisasi ini tercapai, ahli bedah yang melakukan operasi
dapat melanjutkan dengan keyakinan bahwa duktus sistikus dan arteri
sistikus telah terisolasi. Kedua struktur dipotong dan ditranseksi
dengan hati-hati. Elektrokauter atau pisau bedah kemudian digunakan
untuk memisahkan kantong empedu dari dasar hati sepenuhnya.
Hemostasis harus dicapai setelah perut dibiarkan mengempis hingga 8
mmHg selama 2 menit. Teknik ini digunakan untuk menghindari
potensi perdarahan vena yang hilang yang dapat diatasi dengan
peningkatan tekanan intra-abdomen (15 mmHg). Kandung empedu
dikeluarkan dari perut dalam kantong spesimen. Semua trocar harus
dihilangkan dengan visualisasi langsung.20
Komplikasi dari prosedur ini termasuk perdarahan, infeksi, dan
kerusakan pada struktur di sekitarnya. Pendarahan adalah komplikasi
umum karena hati adalah organ yang sangat vaskular. Komplikasi
yang paling parah adalah cedera iatrogenik pada saluran empedu/hati.
Cedera pada salah satu dari struktur ini mungkin memerlukan prosedur
pembedahan lebih lanjut untuk mengalihkan aliran empedu ke usus.21
Komplakasi lainnya yaitu, meskipun bukan merupakan komplikasi,
konversi ke prosedur terbuka menciptakan sayatan perut yang lebih
besar, menyebabkan masalah kontrol nyeri yang signifikan pasca
operasi, dan menyebabkan bekas luka kosmetik yang tidak
menyenangkan. Kebocoran empedu dapat mempersulit prosedur dan
muncul dengan demam nyeri perut yang tidak jelas, dengan atau tanpa
ciri khas hiperbilirubinemia langsung. Pasien dengan komplikasi
biasanya muncul dalam minggu pertama setelah operasi.
Penatalaksanaan harus dimulai dengan ultrasonografi diagnostik dan
atau CT scan abdomen. Dalam kasus koledokolitiasis yang tertahan,
sfingterotomi bilier adalah hal yang harus dilakukan. Kebocoran
tingkat tinggi harus dikelola dengan sfingterotomi dan stenting.22

 Kolesistektomi Terbuka
Kolesistektomi pertama yang didokumentasikan dilakukan
oleh Carl Johann August Langenbuch, yang telah mempraktikkan
operasi ini pada hewan sebelum mencoba pada manusia. Kolesistektomi
terbuka terus menjadi pilihan terbaik dan standar pengobatan emas
dikasus batu empedu, sampai adanya kolesistektomi laparoskopi.
Umumnya, kolesistektomi terbuka aman dengan tingkat kematian
kurang dari 1% bila dilakukan pada pasien yang sehat. Satu-satunya
kendala adalah rasa sakit selama beberapa minggu setelah operasi. Pada
tahun 1988, kolesistektomi laparoskopi dilakukan untuk pertama
kalinya, dan tidak memiliki keterbatasan terkait dengan kolesistektomi
terbuka. Sejak saat itu, prosedur ini menjadi pengobatan standar.
Namun, masih tidak dapat diterima untuk pasien dengan riwayat
beberapa operasi abdomen. Selain itu, pasien yang tidak stabil yang
tidak dapat menjalani kolesistektomi terbuka, juga bukan kandidat yang
cocok untuk kolesistektomi laparoskopi. Ketika mencurigai adanya batu
di saluran empedu, endoskopi retrograde cholangiopancreatography
(ERCP) dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis sebelum menjalani
kolesistektomi laparoskopi. Namun, apabila selama kolesistektomi
laparoskopi, penemuan tak terduga dari batu saluran empedu, operasi
terbuka diindikasikan. Faktor lain yang terkait dengan kebutuhan operasi
terbuka meliputi: pasien yang lebih tua dari 60 tahun, laki-laki, pasien
dengan berat lebih dari 65 kg, kolesistitis akut, riwayat operasi abdomen
sebelumnya, dan diabetes yang tidak terkontrol. Indikasi lain dari
operasi terbuka adalah adanya massa kandung empedu, karena mungkin
diperlukan untuk melakukan diseksi kelenjar getah bening portal, reseksi
en bloc dari kantong empedu, bagian dari hati, atau saluran empedu.
Sindrom Mirizzi dan ileus batu empedu juga merupakan kasus di mana
operasi kolesistektomi terbuka diindikasikan. Ileus batu empedu terjadi
karena adanya sumbatan pada usus halus dengan batu yang tersangkut
dari kandung kemih, hal ini umumnya terjadi pada populasi geriatri.18
Contoh paling umum yang dilaporkan pada 2 hingga 10%
kasus yang dilakukan kolesistektomi terbuka adalah ketika mengubah
dari laparoskopi menjadi kolesistektomi terbuka. Perubahan ini
dilakukan karena berbagai alasan. Setiap kali adanya keraguan mengenai
anatomi, ahli bedah dapat mengubah ke teknik terbuka. Peradangan yang
luas, perlengketan, kelainan anatomi, cedera saluran empedu, batu
saluran empedu yang tertahan, dan perdarahan yang tidak terkontrol
merupakan indikasi untuk beralih ke prosedur terbuka. Perlunya
eksplorasi saluran empedu umum juga bisa menjadi alasan untuk beralih
ke prosedur terbuka, karena eksplorasi saluran empedu laparoskopi bisa
jadi sulit. Kolesistektomi terbuka yang direncanakan dapat dilakukan
dalam kasus sirosis, kanker kandung empedu, operasi perut bagian atas
yang ekstensif dengan perlengketan, dan kondisi komorbiditas lainnya
(terutama, diabetes mellitus)30. Situasi pasien sakit kritis juga mungkin
memerlukan kebutuhan untuk kolesistektomi terbuka yang
direncanakan, karena prosedur terbuka mungkin kurang stres pada
pasien sakit kritis, sehingga menghindari perubahan fisiologis yang
terkait dengan pneumoperitoneum bedah (misalnya penurunan curah
jantung dan tekanan ventilasi yang lebih tinggi). Visualisasi yang buruk
dan anatomi yang tidak jelas biasanya menjadi alasan untuk beralih dari
laparoskopi ke prosedur terbuka
Tidak ada kontraindikasi dalam melakukan kolesistektomi
terbuka dibandingkan dengan kolesistektomi laparoskopi. Namun,
metode yang lebih disukai adalah prosedur menggunakan teknik
laparoskopi karena ini dapat dilakukan secara rawat jalan dan
mengurangi waktu pemulihan dari beberapa minggu menjadi sekitar satu
minggu. Kontradiksi umum untuk setiap operasi, secara umum, berlaku
untuk kolesistektomi terbuka. Kondisi komorbiditas yang parah seperti
syok, penyakit jantung dan pernapasan dengan severitas tinggi,
antikoagulasi, masalah neurologis, dan penyakit yang mengancam jiwa
lainnya merupakan kontraindikasi relatif terhadap laparotomi. Selain itu,
jika ada kekhawatiran untuk kemungkinan kanker kandung empedu,
reseksi tidak boleh dilanjutkan sampai pemeriksaan menyeluruh telah
diselesaikan, termasuk potensi kedalaman invasi dan metastasis.23
Teknik dari kolesistektomi terbuka yaitu dengan sayatan
subkostal kanan (Kocher) atau sayatan garis tengah atas dibuat. Penting
untuk mendapatkan visualisasi yang baik dari kandung empedu, segitiga
Calot, dan saluran empedu. Perawatan harus diambil untuk menghindari
cedera hati dari retraktor. Setelah ahli bedah telah cukup
mengidentifikasi semua struktur porta hepatis, kantong empedu dijepit
dengan klem dan dimanipulasi untuk memfasilitasi visualisasi terbaik.
Keputusan dibuat untuk mengeluarkan kantong empedu dari atas ke
bawah atau secara klasik dari segitiga Calot ke atas. Duktus sistikus
pertama kali diidentifikasi dan dibagi antara hemoklip, seperti arteri
kistik. Identifikasi definitif dari struktur ini sangat penting. Kandung
empedu kemudian dapat diangkat dari dasar kandung empedu hati
menggunakan elektrokauter atau pisau bedah harmonik. Inspeksi
kandung empedu dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi
perdarahan atau kebocoran empedu dari saluran Luschka. Kolangiogram
operatif atau eksplorasi duktus biliaris komunis bergantung pada faktor-
faktor yang berhubungan dengan batu duktus biliaris komunis seperti
peningkatan bilirubin dan dilatasi duktus biliaris komunis (lebih dari 8
mm). Abdomen kemudian ditutup dengan cara multilayer standar.24Ada
kalanya kantong empedu tegang dan distensi akibat peradangan yang
mungkin perlu dikeringkan dengan jarum dekompresi sebelum memulai
prosedur. Seperti pada laparoskopi, teknik ini didasarkan pada
pengalaman dan kenyamanan ahli bedah. Beberapa kasus mungkin
muncul dengan inflamasi yang hebat, atau kantong Hartmann begitu
fibrotik sehingga diperlukan manuver "bailout"; ini mungkin terdiri dari
tabung kolesistostomi, kolesistektomi parsial, atau pada saat nekrosis
meninggalkan dinding belakang. 24, 25
Tingkat komplikasi dilaporkan lebih tinggi dibandingkan
dengan kolesistektomi laparoskopi rutin (16% berbanding 9% dalam
penelitian terbaru). Karena sayatan lebih besar dari yang diperlukan
untuk operasi laparoskopi, ada insiden yang lebih tinggi dari
pembentukan hernia, infeksi luka, dan hematoma. Operasi terbuka
biasanya lebih menyakitkan daripada prosedur laparoskopi. Kebocoran
empedu dan cedera saluran empedu, serta batu saluran empedu yang
tertahan, merupakan komplikasi dari prosedur ini. Selain itu, tingkat
komplikasi lebih tinggi dan dapat mengakibatkan masalah yang
memerlukan prosedur dan/atau pengobatan tambahan, terutama jika
cedera saluran empedu terjadi selama operasi. Waktu pemulihan yang
lebih lama dapat membuat pasien tidak bekerja untuk waktu yang
lama.26
Penelitian melaporkan bahwa laparoskopi memiliki tingkat
morbiditas, komplikasi, dan kematian yang lebih rendah daripada operasi
terbuka kolesistektomi. Sebuah studi sebelumnya menemukan bahwa
laparoskopi memiliki 1,9% dan 1% tingkat morbiditas dan mortalitas,
masing-masing, dibandingkan operasi terbuka kolesistemtomi dengan
7,7% dan 5% morbiditas dan mortalitas, masing-masing. Kolesistitis akut
dikaitkan dengan risiko komplikasi yang lebih tinggi, karena
menyebabkan gangguan anatomi, sehingga lebih sulit untuk
mengidentifikasi struktur, dan meningkatkan risiko terjadinya cedera
saluran empedu. Resiko lainnya adalah hilangnya bidang pembelahan
kantong empedu, membuat parenkim hepar rentan terhadap perforasi
selama operasi, dan meningkatkan risiko kebocoran, perdarahan, dan
abses. Hal ini menyebabkan peningkatan mortalitas secara keseluruhan
dan morbiditas jangka panjang. Pada pasien obesitas, laparoskopi
membawa peningkatan yang signifikan dalam morbiditas dan mortalitas
daripada operasi terbuka kolesistektomi, dan menurunkan tingkat infeksi
luka, dehiscence, dan hernia. Di sisi lain, laparoskopi dapat dikaitkan
dengan beberapa efek samping dan komplikasi termasuk cedera saluran
empedu, perdarahan atau abses sub-hepatik, yang lebih jarang terjadi
setelah operasi terbuka kolesistektomi. Cedera saluran empedu utama
dianggap sebagai komplikasi paling serius yang harus dipantau secara
ketat. Sebuah studi menunjukkan bahwa angka kejadian cedera saluran
empedu utama lebih tinggi pada laparoskopi dibandingkan dengan
operasi terbuka kolesistektomi. Teknik yang digunakan untuk
menghindari komplikasi ini adalah kipping distance klip yang digunakan
dari cysticocholedochal junction. Komplikasi lainnya adalah perdarahan
akibat cedera arteri, yang merupakan penyebab umum konversi menjadi
operasi terbuka untuk mengelola situasi. Abses juga dapat terbentuk
setelah kebocoran atau pendarahan empedu.18

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis termasuk radang kandung empedu,
yang merupakan komplikasi paling umum yang ditandai dengan gejala:
nyeri di kuadran kanan atas, demam, leukositosis, yang berhubungan
dengan peradangan kandung empedu. Pada pemeriksaan ultrasonografi
kolesistitis akut umumnya akan menunjukkan penebalan dinding kandung
empedu (lebih besar dari 4 sampai 5 mm) dengan hipervaskularisasi atau
edema (tanda dinding ganda sesuai dengan cairan pericholecystic), tanda
Murphy sonografi positif, dan adanya batu empedu tunggal atau multipel.
koledolitiasis, dengan atau tanpa radang saluran empedu, mengacu pada
adanya endapan di saluran empedu, misalnya di saluran empedu.
Komplikasi umum lainnya yaitu kolangitis, yang ditandai dengan tiga
serangkai gejala (triad of Charcot): demam, sakit kuning, dan nyeri di
perut bagian atas (yang dapat merambat ke tulang belikat kanan).
Pankreatitis akut juga merupakan salah satu komplikasi kolesistitis, hal
mungkin disebabkan oleh masuknya batu empedu ke CBD dan
mengakibatkan refluks ke dalam saluran pankreas, baik karena aliran
keluar yang terhambat dari saluran pankreas atau karena obstruksi pada
tingkat papila. Pasien dengan pankreatitis akut yang berhubungan dengan
impaksi batu empedu di outlet CBD juga dapat hadir dengan peningkatan
parameter hati (bilirubin, alkaline phosphatase, transaminase).19

2.1.10 Prognosis
Studi menunjukkan bahwa hanya 50% pasien dengan batu empedu yang
mengalami gejala. Tingkat kematian setelah kolesistektomi laparoskopi
elektif kurang dari 1%. Namun, kolesistektomi darurat dikaitkan dengan
tingkat kematian yang tinggi yaitu mencapai 3-5%. Komplikasi
intraoperative kolesistektomi termasuk batu di saluran empedu setelah
operasi, hernia insisional, dan cedera pada saluran empedu. Beberapa
persentase pasien juga dilaporkan mengalami nyeri pasca kolesistektomi,
diare, mual muntah, konstipasi atau icterus. Hal ini dapat disebabkan oleh
sisa batu empedu, komplikasi tindakan pembedahan, stress psikologis
ataupun disfungsi anatomi yaitu sfingter Oddi.7

BAB III

KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Teori

Pemecahan eritrosit
Supersaturasi kolesterol
berlebih
Hipomotilitas kandung
empedu
Kristal Bilirubin berlebih

Batu kolesterol Kolelithiasis Batu pigmen

Faktor Risiko Komplikasi

Perempuan Obesitas Kolesistitis akut Koledokolithiasis

Usia lanjut Multipara Pancreaitis Kolangitis

Diabetes melitus Metabolic syn

Penatalaksanaan

Cholecystectomy

Laparotomy Laparoskopi

Gambar 3.1 Kerangka Teori

3.2 Kerangka Konseptual

Lama perawatan,
lama kembali
Jenis kolesistektomi beraktivitas,
tingkat nyeri
paska operasi

Faktor perancu : jenis


kelamin, usia, indeks massa
tubuh, penyakit penyerta,
Laparotomi tingkat nyeri sebelum
kolesistektomi vs
kolesistektomi

Variabel Bebas

Variabel tergantung

Gambar 3.2 Kerangka Konseptual

BAB IV

METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah sebuah studi analitik eksperimental dengan

jenis randomized control trial (RCT) yang bertujuan untuk

menganalisis perbedaan lama perawatan, lama kembali beraktivitas,

dan tingkat nyeri paska operasi pada pasien kolelithiasis yang

dilakukan open laparotomy kolesistektomi dengan laparoskopi

kolesistektomy di RS blabla. Penelitian eksperimental adalah

penelitian dimana peneliti tidak hanya melakukan pengamatan namun

juga melakukan intervensi terhadap subjek penelitian. Analitik adalah

suatu penelitian yang menggali bagaimana dan mengapa fenomena

kesehatan itu terjadi.

Laparotomi kolesistektomi Luaran paska operasi

Kolelitiasis
Laparoskopi kolesistektomi Luaran paska operasi

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dimulai dari Oktober 2022-Maret 2023 atau sampai

dengan jumlah sampel terpenuhi. Penelitian dilakukan di:

1. Departemen Bedah Digestif RS blablabla

2. Instalasi Bedah RS blablabla

4.3 Subyek Penelitian


4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien

dengan kolelithiasis di RS blablabla.

4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi

kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dari populasi yang

dijangkau dengan metode consecutive sampling dengan

sampel minimum yang dihitung berdasarkan formula

sampel minimum. Data yang diambil diekstraksi ke dalam

bentuk penelitian dan dianalisis menggunakan komputer.

4.3.3 Kriteria Inklusi

1. Pasien dewasa dengan diagnosis kolelithiasis

2. Pasien dengan indikasi kolesistektomi akut maupun

elektif

3. Berusia diatas 18 tahun

4. Bersedia menjadi sampel dengan menandatangani

informed consent

5. Memiliki data hasil pemeriksaan yang lengkap

4.3.4 Kriteria Eksklusi

1. Berusia kurang dari 18 tahun

2. Pasien mengalami jaundice

3. Pasien hamil
4. Pasien dengan sirosis hati, kecurigaan keganasan, dan

pasien dengan riwayat operasi saluran gastrointestinal

atas sebelumnya

5. Tidak bersedia menjadi sampel penelitian

6. Tidak memiliki data hasil pemeriksaan yang lengkap

4.3.5 Kriteria Drop-out

1. Tidak mengikuti seluruh prosedur penelitian

4.3.6 Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel minimum ditetapkan berdasarkan

dengan rumus untuk penelitian eksperimental dengan

desain cohort dengan perhitungan :

Keterangan :

n = besar sampel

Z = kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 0,05

Z = kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 0,95

P1 = proporsi efek standar (dari pustaka) 1,65

P2 = proporsi efek yang diteliti (ditetapkan peneliti)

G*Power software versi 3.1 digunakan untuk

memperkirakan besar sampel. Nilai-nilai di bawah ini


diasumsikan untuk memperkirakan besar sampel. Proporsi

efek sama dengan 1,65 diperoleh dari penelitian

sebelumnya, α probabilitas kesalahan sama dengan 0,05

dan probabilitas kesalahan β sama dengan 0,95. Terakhir,

besar sampel diperkirakan sebanyak 11 pasien untuk setiap

kelompok. Drop-out diperkirakan sebanyak 30%, sehingga

ukuran sampel dianggap 30 pasien per kelompok.

4.4 Cara Pengumpulan Data

4.4.1 Alat dan Bahan

1. Ultrasonografi

2. Kit laparotomi kolesistektomi

3. Kit laparoskopi kolesistektomi

4. Formulir pengambilan data penelitian

5. Perangkat komputer untuk analisis data dan pembuatan

laporan

4.4.2 Cara Kerja

1. Melakukan pencatatan identitas pasien yang memenuhi

kriteria inklusi dan memberikan penjelasan lengkap

mengenai apa yang akan dilakukan, dan apabila setuju

mereka akan mengisi dan menandatangani informed

consent.
2. Peneliti melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang untuk mengetahui gejala klinis

dan diagnosis pasien.

3. Peneliti membagi subyek penelitian menjadi 2

kelompok secara randomisasi untuk menentukan

kelompok laparotomi kolesistektomi dan kelompok

laparoskopi kolesistektomi.

4. Melakukan intervensi pada masing-masing kelompok

sesuai dengan pembagian kelompok.

5. Pada akhir intervensi, dilakukan pencatatan lama

perawatan, lama kembali beraktivitas, dan tingkat nyeri

paska operasi.

6. Hasil penelitian dicatat dalam lembar format penelitian

kemudian dilakukan analisis data dan hasilnya disajikan

dalam bentuk narasi, tabel, dan grafik

4.5 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel

4.5.1 Variabel Bebas

Variabel bebas/independent adalah variabel yang

nilainya menentukan variabel lain. Dalam penelitian ini

variabel bebasnya adalah jenis kolesistektomi yaitu

laparotomi kolesistektomi dan laparoskopi kolesistektomi.

4.5.2 Variabel Terikat


Variabel terikat/dependen adalah variabel yang

nilainya ditentukan oleh variabel lain. Dalam penelitian ini

variabel dependennya adalah lama perawatan, lama kembali

beraktivitas, dan tingkat nyeri paska operasi.

4.5.3 Variabel Perancu

Variabel perancu adalah jenis kelamin, usia, indeks

massa tubuh (IMT), penyakit penyerta, tingkat nyeri

sebelum operasi.
4.6 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

Nama Variabel Definisi Operasional Nilai Tipe

Kolelithiasis Adanya batu pada gall

bladder berdasarkan

pemeriksaan ultrasonografi

Laparotomi Pengambilan gall bladder

kolesistektomi dengan menggunakan teknik

laparotomi dengan insisi

Laparoskopi Pengambilan gall bladder

kolesistektomi dengan menggunaan teknik

laparoskopi

Lama perawatan Merupakan lama pasien Numerik

dirawat setelah prosedur

kolesistektomi

Lama kembali Merupakan lama pasien ijin Numerik

beraktivitas sakit hingga mampu

beraktivitas kembali seperti

sebelum sakit

Tingkat nyeri Melalui pemeriksaan Numerik

paska operasi anamnesis atau melalui

pemeriksaan VAS

Jenis kelamin Jenis kelamin pasien Laki-laki Kategorik

berdasarkan karakteristik Perempuan

biologis

Usia Usia merupakan lamanya Numerik

pasien hidup, sejak


dilahirkan sampai sekarang

yang dinyatakan dalam

satuan tahun. Usia dalam

penelitian ini ditentukan

sesuai dengan anamnesis,

dikelompokkan berdasarkan

tingginya risiko insidensi

KKR

Indeks Massa IMT dihitung berdasarkan Underweight Kategorik

Tubuh (IMT) berat badan (Kg) dibagi Normal

dengan kuadrat tinggi badan Overweight

(m), dengan klasifikasi: Obese

< 18.5 (underweight)

18.5-24.9 (normal)

25-29.9 (overweight)

> 30 (obese)

Penyakit Merupakan penyakit Hipertensi Kategorik

penyerta penyerta lainnya yang Diabetes

dimiliki oleh pasien melitus

Dislipidemia

Tingkat nyeri Melalui pemeriksaan Numerik

sebelum operasi anamnesis atau melalui

pemeriksaan VAS

4.7 Analisis Data dan Uji Statistik


Data penelitian ini dicatat dalam formulir pengambilan data

yang dirancang khusus untuk penelitian ini. Hasil penelitian akan

ditampilkan secara deskriptif dengan menggunakan jumlah dan

persentase untuk variabel kategorik serta rerata dan SD untuk variabel

numerik atau median dan interquartile range jika didapatkan sebaran

yang tidak rata. Dilakukan analisis secara statistik menggunakan

program SPSS 26. Dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov

untuk melihat distribusi data. Untuk membandingkan variabel

kuantitatif digunakan uji Chi square. Untuk membandingkan rata-rata

data kuantitatif antara dua kelompok, digunakan uji-t sampel

independen. Dalam hal variabel intervensi dalam variabel demografis,

analisis kovarians (ANCOVA) digunakan. Uji t sampel berpasangan

digunakan untuk membandingkan jumlah sebelumnya dan berikutnya

dalam suatu kelompok. Untuk variabel yang distribusinya tidak

normal, digunakan uji non-parametrik (uji statistik Wilcoxon dan

Mann-Whitney). Hasil dianggap bermakna secara statistik apabila

didapatkan nilai p<0,05 dengan kepercayaan 95%.

4.8 Izin Penelitian dan Kelayakan Etik

Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapatkan sertifikat laik

etik atau ethical clearance dari Komite Etik Penelitian Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas blablabla. Surat permohonan


penelitian dari Unit Pengelola Karya Tulis Ilmiah (UP –KTI) dan SMF

Bedah Digestif RS blablabla diajukan kepada bagian Tata Usaha dan

Pendidikan dan Penlitian (Diklit) di RS blablabla untuk diproses dan

kemudian diserahkan kepada Direktur RS blablabla. Pada setiap

tindakan diperlukan persetujuan tertulis (informed consent) dari

keluarga pasien. Kepada subjek dan keluarganya diberikan penjelasan

tentang maksud dan tujuan penelitian serta manfaat yang diharapkan

dari penelitian ini. Setelah memahami dengan jelas, subjek atau

keluarganya diminta untuk menandatangani surat persetujuan tidak

keberatan untuk diikutsertakan dalam penelitian ini.

4.8.1 Kerahasiaan Pasien

Semua data dan informasi mengenai subjek

penelitian akan dirahasiakan terhadap pihak ketiga. Untuk

menjaga kerahasiaan indentitas pasien, maka lembar

pengumpulan data dan tabung berisi sampel darah pasien

menggunakan kode, bukan identitas lengkap pasien

4.8.2 Konfidentialitas Penelitian

Hasil penelitian ini hanya akan disampaikan dalam

forum ilmiah kedokteran dengan tetap merahasiakan

indentitas subjek penelitian dan tidak akan digunakan untuk

kepentingan komersial.
4.9 Alur Penelitian

Populasi Target
Kriteria Inklusi

Populasi Terjangkau
Consecutive sampling

Sampel Terpilih
Kriteria Eksklusi

Eligible sample

Pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan penunjang

Penegakkan diagnosis
kolelithiasis

Randomisasi

Laparotomi kolesistektomi Laparoskopi kolesistektomi

Lama perawatan, lama kembali beraktivitas, tingkat nyeri paska operasi

Analisis data
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurzweil A, Martin J. StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing;


Treasure Island (FL): Aug 13, 2021. Transabdominal Ultrasound.
[PubMed] [Reference list]
2. Chen X, Yan XR, Zhang LP. Ursodeoxycholic acid after common bile
duct stones removal for prevention of recurrence: A systematic review and
meta-analysis of randomized controlled trials. Medicine (Baltimore). 2018
Nov;97(45):e13086. [PMC free article] [PubMed] [Reference list]
3. 3. Stinton LM, Shaffer EA. Epidemiology of gallbladder disease:
Cholelithiasis and cancer. Gut Liver 2012; 6:172–87.
https://doi.org/10.5009/gnl.2012.6.2.172.
4. Tuuk ALZ, Panelewen J, Noersasongko AD. Profil kasus batu empedu di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Oktober 2015-Oktober
2016. E-Clin 2016;4. https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14454.
5. Chung AY, Duke MC. Acute Biliary Disease. Surg Clin North Am. 2018
Oct;98(5):877-894. [PubMed] [Reference list]
6. Ibrahim M, Sarvepalli S, Morris-Stiff G, Rizk M, Bhatt A, Walsh RM,
Hayat U, Garber A, Vargo J, Burke CA. Gallstones: Watch and wait, or
intervene? Cleve Clin J Med. 2018 Apr;85(4):323-331. [PubMed]
[Reference list]
7. Tanaja J, Lopez RA, Meer JM. Cholelithiasis. [Updated 2022 May 1]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan.
8. Abraham S, Rivero HG, Erlikh IV, Griffith LF, Kondamudi VK. Surgical
and nonsurgical management of gallstones. Am Fam Physician. 2014 May
15;89(10):795-802. PMID: 24866215.
9. Keus, F., de Jong, J., Gooszen, H. and Laarhoven, C., 2006. Laparoscopic
versus open cholecystectomy for patients with symptomatic
cholecystolithiasis. Cochrane Database of Systematic Reviews
10. Reshetnyak, V., 2012. Concept of the pathogenesis and treatment of
cholelithiasis. World Journal of Hepatology, 4(2), p.18.
11. Center SA. Diseases of the gallbladder and biliary tree. Vet Clin North Am
Small Anim Pract. 2009 May. 39(3):543-98.
12. Pak, M. and Lindseth, G., 2016. Risk Factors for
Cholelithiasis. Gastroenterology Nursing, 39(4), pp.297-309
13. Schiappacasse, G., Soffia, P., Silva, C. and Villacrés, F., 2018. Computed
tomography imaging of complications of acute cholecystitis. Indian
Journal of Radiology and Imaging, 28(02), pp.195-199.
14. Fagenholz PJ, Fuentes E, Kaafarani H, Cropano C, King D, de Moya M, et
al. Computed Tomography is More Sensitive than Ultrasound for the
Diagnosis of Acute Cholecystitis. Surg Infect (Larchmt). 2015 Oct. 16
(5):509-12.
15. Shiozawa S, Tsuchiya A, Kim DH, Usui T, Inose S, Aizawa M, et al.
Preoperative assessment for feasibility of laparoscopic cholecystectomy
using magnetic resonance cholangiography. Hepatogastroenterology.
2008. Nov-Dec. 55(88):1955-7.
16. European Association for the Study of the Liver (2016) EASL clinical
practice guidelines on the prevention, diagnosis and treatment of
gallstones. Journal of Hepatology 65:146-181
17. Hani BM (2007): Laparoscopic surgery for symptomatic cholelithiasis
during pregnancy. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech., 17: 482-486.
18. Al-Saad, M., Alawadh, A. and Al-Bagshi, A., 2018. Surgical Management
of Cholelithiasis. The Egyptian Journal of Hospital Medicine, 70(8),
pp.1416-1420.
19. Migda, B., Gabryelczak, M., Migda, A. and Prostacka, K., 2021. A rare
complication of cholecystolithiasis: perforation of the gallbladder. Journal
of Ultrasonography, 21(84), ppe63-e66.
20. Hassler KR, Collins JT, Philip K, et al. Laparoscopic Cholecystectomy.
[Updated 2022 Apr 13]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448145/
21. Schreuder AM, Busch OR, Besselink MG, Ignatavicius P, Gulbinas A,
Barauskas G, Gouma DJ, van Gulik TM. Long-Term Impact of Iatrogenic
Bile Duct Injury. Dig Surg. 2020;37(1):10-21. [PMC free article]
[PubMed] 
22. Chinnery GE, Krige JE, Bornman PC, Bernon MM, Al-Harethi S,
Hofmeyr S, Banderker MA, Burmeister S, Thomson SR. Endoscopic
management of bile leaks after laparoscopic cholecystectomy. S Afr J
Surg. 2013 Oct 25;51(4):116-21. [PubMed] 
23. Han HS, Yoon YS, Agarwal AK, Belli G, Itano O, Gumbs AA, Yoon DS,
Kang CM, Lee SE, Wakai T, Troisi RI. Laparoscopic Surgery for
Gallbladder Cancer: An Expert Consensus Statement. Dig
Surg. 2019;36(1):1-6. [PubMed]
24. Tay WM, Toh YJ, Shelat VG, Huey CW, Junnarkar SP, Woon W, Low
JK. Subtotal cholecystectomy: early and long-term outcomes. Surg
Endosc. 2020 Oct;34(10):4536-4542. [PubMed]
25. Elshaer M, Gravante G, Thomas K, Sorge R, Al-Hamali S, Ebdewi H.
Subtotal cholecystectomy for "difficult gallbladders": systematic review
and meta-analysis. JAMA Surg. 2015 Feb;150(2):159-68
26. Kuga D, Ebata T, Yokoyama Y, Igami T, Sugawara G, Mizuno T,
Yamaguchi J, Nagino M. Long-term survival after multidisciplinary
therapy for residual gallbladder cancer with peritoneal dissemination: a
case report. Surg Case Rep. 2017 Dec;3(1):76. [PMC free article]
[PubMed]
27. Handra-Luca A, Ben Romdhane HM, Hong SM. Luschka Ducts of the
Gallbladder in Adults: Case Series Report and Review of the Medical
Literature. Int J Surg Pathol. 2020 Aug;28(5):482-
489. [PubMed] [Reference list]
28. Madni TD, Nakonezny PA, Imran JB, Taveras L, Cunningham HB, Vela
R, Clark AT, Minshall CT, Eastman AL, Luk S, Phelan HA, Cripps MW.
A comparison of cholecystitis grading scales. J Trauma Acute Care
Surg. 2019 Mar;86(3):471-478. [PubMed] [Reference list]
29. Saldinger, P. and Bellorin-Marin, O., 2019. Anatomy, Embryology,
Anomalies, and Physiology of the Biliary Tract. Shackelford's Surgery of
the Alimentary Tract, 2 Volume Set, pp.1249-1266.
30. Stanisic V, Milicevic M, Kocev N, Stanisic B. A prospective cohort study
for prediction of difficult laparoscopic cholecystectomy. Ann Med Surg
(Lond). 2020 Dec; 60:728-733. [PMC free article] [PubMed] [Reference
list]

Anda mungkin juga menyukai