Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN RADIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

PNEUMOTHORAX E CAUSA FRAKTUR COSTA

Oleh:

KELOMPOK 3

1. Muhammad Rezha Mansyur C 111 12 901


2. Itzar Chaidir Islam C 111 13 037
3. Nurul Fadhilah C 111 13 044
4. Dewi Katarina C 111 13 017
5. Reski Handayani C 111 13 057
6. Zulfatul Ain Binti Zulkefli C 111 13 860

Pembimbing:
dr. Agustining Rahayu

Konsulen:
dr. Luthfy Attamimi, Sp. Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA


TUGAS KEPANITERAANKLINIK
BAGIAN RADIOLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Muhammad Rezha Mansyur C 111 12 901


Itzar Chaidir Islam C 111 13 037
Nurul Fadhilah C 111 13 044
Dewi Katarina C 111 13 017
Reski Handayani C 111 13 057
Zulfatul Ain Binti Zulkefli C 111 13 860

Judul Laporan Kasus: Pneumothorax E Causa Fraktur Costa


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juni 2017


Konsulen Pembimbing

dr. Luthfy Attamimi, Sp.Rad dr. Agustining Rahayu

Penguji Lisan

( )

Mengetahui,
Kepala Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Prof.Dr. dr. Bachtiar Murtala, Sp. Rad (K)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB 1 LAPORANKASUS
1.1. Identitas Pasien ...................................................................................... 1
1.2. Anamnesis .............................................................................................. 1
1.3. Pemeriksaan Fisis ................................................................................... 2
1.4. Pemeriksaan Laboratorium .................................................................... 4
1.5. Radiologi ................................................................................................ 5
1.6. Diagnosis................................................................................................. 6
1.7.Terapi ...................................................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur Costa ………………………………………………………….. 7
2.2 Pneumothorax ………………………………………………………….17
BAB 3 DISKUSI ………………………………………………………………….. 23
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………........... 27

iii
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : Tn. CD
Tanggal Lahir : 5 Juli 1954
No. Rekam Medik : 802660
Perawatan bagian : Lontara 2 Bawah Belakang
Tanggal masuk RS : 26 Mei 2017
Pendidikan : SD sederajat
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bontopanno Gowa

1.2 Anamnesis
A. Keluhan utama
Sesak nafas.
B. Anamnesis terpimpin
Seorang laki-laki berusia 63 tahun datang ke rumah sakit pada tanggal 26 Mei 2017
dengan keluhan sesak nafas secara tiba-tiba yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Sesak dikeluhkan setelah pasien terjatuh dari pohon dengan ketinggian 1,5
meter dimana Saat terjatuh dada pasien membentur tanah. Sesak semakin lama dirasakan
semakin bertambah berat. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri dada terutama saat
menarik nafas. Tidak dikeluhkan batuk maupun demam
C. Riwayat penyakit sebelumnya
- Tidak ada riwayat penyakit asma
- Tidak ada riwayat batuk lama
- Tidak ada riwayat penyakit jantung
- Tidak ada riwayat kaki bengkak
D. Riwayat kehidupan sosial
- Tidak ada riwayat merokok

1
1.3 Pemeriksaan Fisis
1.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum: sakit sedang / gizi baik /composmentis (E4M6V5)
Tanda Vital T: 160/80mmHg
N: 69x/menit
P: 32 x/menit
S: 36.50C, axilla
1.3.2 Status Lokalis
a. Kepala:
- Mata : Sklera Ikterus tidak ada, Konjungtiva anemis tidak ada, pupil
isokor 2,5 mm, udem palpebral tidak ada
- Telinga : Otorrhea tidak ada, simetris kiri dan kanan
- Hidung : Epistaksis dan rinorrhea tidak ada
- Mulut : Stomatitis tidak ada, sianosis tidak ada, tonsil tidak hiperemis,
faring tidak hiperemis
- Leher : DVS= R+2 cmH2O, Pembesaran kelenjar limfe tidak ada, deviasi
trakea tidak ada
b. Thorax
Paru
- Inspeksi
Statis : Dada asimetris, kanan kesan tertinggal., terdapat memar pada dada
kanan.
Dinamis : Pergerakan dada asimetris kanan kesan tertinggal.
- Palpasi : krepitasi pada hemithorax kanan dan terdapat nyeri tekan setinggi
costa VII, VIII, IX posterior dextra
- Perkusi : hipersonor pada hemithorax kanan.
batas paru hepar sulit dievaluasi
batas paru belakang kanan Vertebra thorakal VII
batas paru belakang kiri Vertebra thorakal XI
- Auskultasi : bunyi nafas kanan menurun, tidak terdengar ronkhi dan wheezing
pada hemithorax kanan.

2
Jantung:
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Thrill tidak teraba
- Perkusi : Pekak, Batas jantung normal
- Auskultasi : Bunyi Jantung I/II murni regular, bising tidak ada
c. Abdomen
- Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
- Auskultasi : Bunyi peristaltik ada kesan normal
- Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba
massa
- Perkusi : Timpani, tidak ada asites
d. Extremitas : Tidak tampak kelainan, tidak ada edema, dan ekstremitas hangat.
e. Status Neurologis
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
Tanda rangsang meninges : Kaku kuduk tidak ada, Kernign sign tidak ada
Nervus Cranialis : Dalam Batas normal
Motorik : Tonus otot normal
Refleks Fisiologis : KPR/APR : N/N
TPR/BPR : N/N
Refleks Patologis : Babinski tidak ada
Sensorik : dalam batas normal

3
1.4 Pemeriksaan Laboratorium
27 Mei 2017 00.57 WITA
NILAI
PEMERIKSAAN HASIL UNIT
RUJUKAN
HEMATOLOGI
WBC 12.0 4.00 – 10.0 10^3/uL
RBC 4.02 4.00 – 6.00 10^6/uL
HGB 13.8 12.0 – 16.0 gr/dl
HCT 39.9 37.0 – 48.0 %
MCV 99 80.0 – 97.0 fL
MCH 34.4 26.5 – 33.5 Pg
MCHC 34.6 31.5 – 35.0 gr/dl
PLT 242 150 – 400 10^3/uL
NEUT 80.1 52.0 – 75.0 [10^3/uL] 47.4 * [%]
LYMPH 24.1 20.0 – 40.0 [10^3/uL] 30.4 * [%]
MONO 2.5 2.00 – 8.00 [10^3/uL] 18.1 * [%]
EOS 2.9 1.00 – 3.00 [10^3/uL] 3.7 + [%]
BASO 0.4 0.00 – 0.10 [10^3/uL] 0.4 + [%]
PT 10.3 10-14 Detik
APTT 0.99 - -
INR 24.1 22.0-30.0 Detik
KIMIA DARAH
Ureum 56 10-50 mg/dl
Kreatinin 0.82 L(<1.3);P(<1.1) mg/dl
GDS 118 <140 mg/dl
SGOT 36 <38 U/L
SGPT 20 <41 U/L
Natrium 136 136-145 mmol/l
Kalium 2.7 3.5-5.1 mmol/l
Clorida 99 97-111 mmol/l
IMUNOSEROLOGI
Non
HBS Ag (ICT) Non reactive
Reactive

4
1.5 Radiologi
26 Mei 2017

Foto Thorax AP:


-Tampak gambaran hiperlusen avascular dan pleural white line pada hemithorax dextra
disertai collaps paru dextra
- Corakan bronkovaskular paru kiri dalam batas normal
-Cor dan aorta kesan normal.
- Kedua sinus dan diafragma kiri baik, Diafragma kanan letak rendah
- Terdapat Diskontinuitascosta 7, 8, 9 belakang kanan.
- Tampak gambaran hiperlusen pada subcutis sisi lateral hemithorax kanan dan regio
paracervical kanan

Kesan:
Pneumothorax kanan
Fraktur costa 7,8, dan 9 kanan posterior
Emfisema subcutis.

5
1.6 Diagnosis
Pneumothorax Dextra
Fraktur Costa 7,8, dan 9 Kanan posterior
Emfisema subcutis.

1.7 Tatalaksana
-Penangan Circulation, Aiway, Breathing
- Oksigen 8 liter/menit
- Infus RL 16 tetes/menit
- Pemasangan WSD
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam/intravena
- Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ intravena

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PNEUMOTHORAX
2.1.1 Definisi
Pneumothorax adalah terdapatnya udara bebas di dalam rongga pleura, yaitu rongga di
antara pleura parietalis dan viseralis. Dalam keadaan normal, rongga ini tidak terisi udara, namun
pada keadaan tertentu seperti adanya trauma maka akan terjadi hubungan antara rongga pleura
dan parenkim paru, sehingga terjadi hubungan antara udara atmosfer dengan tekanan positif
dengan kavum pleura yang bertekanan negatif.1
Pneumothorax merupakan suatu kegawatan medik yang membutuhkan pengenalan dini
dan penanganan secepatnya. Insiden pneumothorax diperkirakan sebesar 7.4-18 kasus per 100.000
orang per tahun. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah pneumothorax spontan, terutama
dijumpai pada penderita laki-laki, perokok dan populasi berumur 20-40 tahun.1

2.1.2 Anatomi
Pleura merupakan membran serosa intrathorax yang membatasi rongga pleura, secara
embriogenik berasal dari jaringan selom intraembrionik; terdiri dari pleura viseral dan pleura
parietal. Pleura viseral dan parietal merupakan jaringan berbeda yang memiliki inervasi dan
vaskularisasi berbeda pula. Pleura secara mikroskopis tersusun atas selapis mesotel, lamina
basalis, lapisan elastik superfi sial, lapisan jaringan ikat longgar, dan lapisan jaringan fibroelastik
dalam. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas menimbulkan tekanan transpulmoner yang
memengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi.2

7
Gambar 2.1. Pleura dan struktur yang mengelilinginya2

Cairan pleura dalam jumlah tertentu berfungsi untuk memungkinkan pergerakan kedua pleura
tanpa hambatan selama proses respirasi. Keseimbangan cairan pleura diatur melalui mekanisme
hukum Starling dan sistem penyaliran limfatik pleura. Rongga pleura merupakan rongga potensial
yang dapat mengalami efusi akibat penyakit yang mengganggu keseimbangan cairan pleura.
Karakteristik pleura lain penting diketahui sebagai dasar pemahaman patofisiologi kelainan pleura
dan gangguan proses respirasi.1,2

2.1.3 Etiopatogenesis
Pneumothorax dapat terjadi tanpa diketahui dengan jelas faktor penyebabnya
(pneumothorax spontan idiopatik). Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan pneumothorax
adalah tuberkulosis paru, pneumonia, abses paru, infark paru, keganasan, asma, dan penyakit paru
obstruktif menahun, bentuk ini dikenal sebagai pneumothorax spontan simtomatik. Adapun
pneumothorax traumatik terjadi akibat trauma tembus atau tidak tembus atau trauma tumpul, dan
kadangkala bersifat iatrogenik akibat tindakan medik tertentu, seperti trakeostomi, intubasi
endotrakea, kateterisasi vena sentralis, atau biopsi paru. Pada kejadian trauma, pneumothorax
akan menyebabkan keadaan berkurangnya kapasitas vital paru dan juga menurunkan tekanan
oksigen yang terjadi karena kebocoran antara alveolus dan rongga pleura. Sehingga, udara akan
berpindah dari alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi sama. Akibatnya, volume
paru bekurang dan volume rongga thorax bertambah. 1,2,3
Akibat adanya peningkatan tekanan di dalam rongga pleura, jaringan paru akan
mengempis yang derajatnya tergantung pada besar kenaikan tekanan, pengembangan jaringan

8
paru sisi yang sehat terganggu, dan mediastinum dengan semua isinya terdorong ke arah sisi sehat
dengan segala akibatnya. 1

2.1.4 Klasifikasi
Pneumothorax dapat dikelompokkan berdasarkan cara kejadian dan jenis fistel yang
terjadi. Berdasarkan kejadiannya, pneumothorax digolongkan ke dalam pneumothorax spontan,
dan traumatika. Sementara menuju jenis fistel yang terbentuk, pneumothorax dikelompokkan
menjadi pneumothorax terbuka, tertutup dan ventil.1,4
Penggolongan yang banyak berkaitan dengan manifestasi klinik dan penanganan adalah
menurut jenis fistel yang ada. Pada kasus pneumothorax terbuka (open pneumothorax), udara
bebas keluar masuk rongga pleura karena terdapat hubungan langsung yang terbuka antara
bronkus atau udara luar dengan rongga pleura; tekanan di dalam rongga pleura sama dengan
tekanan atmosfir. 4

Gambar 2.2 : Gambaran skematik pneumothorax terbuka

Pada pneumothorax tertutup (simple pneumothorax) sudah tidak terdapat aliran udara
antara rongga pleura dengan bronkus atau dunia luar karena fistel sudah tertutup; tekanan rongga
pleura dapat sama, lebih tinggi atau lebih rendah dan tekanan atmosfir. 4

9
Gambar 2.3 Gambaran skematik pneumothorax tertutup

Sedangkan pada pneumothorax ventil (tension pneumothorax), udara dan bronkus atau
dunia luar dapat masuk ke dalam rongga pleura pada saat inspirasi tetapi tidak dapat keluar pada
waktu ekspirasi karena terdapat fistel yang bersifat sebagai katup. Makin lama volume dan
tekanan udara di dalam rongga pleura makin tinggi akibat penumpukan udara di dalam rongga
pleura.4 Jenis fistel dapat berubah dan waktu ke waktu; pneumothorax terbuka dapat secara
mendadak berubah menjadi pneumothorax tertutup atau bahkan pneumothorax ventil, demikian
sebaliknya.3,4

Gambar 2.4 Gambaran skematik pneumothorax ventil

10
2.1.5 Diagnosis
Keluhan utama yang diungkapkan penderita adalah nyeri dada disertai sesak nafas yang
timbul secara mendadak. Batuk acapkali juga ditemukan. Rasa nyeri bersifat menusuk di daerah
hemithorax yang terserang dan bertambah berat pada saat bernafas, batuk dan bergerak. Nyeri
dapat menjalar ke arah bahu, hipokondrium atau tengkuk. Rasa nyeri ini disebabkan oleh robekan
pleura viseralis dan darah yang terjadi akibat robeknya pleura dapat menimbulkan iritasi pada
pleura viseralis.5
Sesak nafas makin lama makin hebat akibat pengempisan paru yang terkena dan gangguan
pengembangan paru yang sehat. Penderita dapat mengalami kegagalan pernafasan akut, terutama
bila penyakit yang mendasari timbulnya pneumothorax adalah asma atau penyakit paru obstruktif
menahun. Keluhan lain yang dapat dijumpai tergantung pada kelainan yang mendasari timbulnya
pneumothorax.5
Pada tahap pemeriksaan fisis, inspeksi memberikan informasi tentang hemithorax yang
terkena cembung dengan ruang sela iga yang melebar dan tertinggal pada pernafasan, iktus kordis
bergeser ke sisi yang sehat dan trakea juga terdorong ke sisi yang sehat. Pada palpasi didapatkan
fremitus suara melemah, iktus kordis dan trakea bergeser ke sisi yang sehat. Perkusi di daerah
paru yang terserang terdengar hipersonor dan diafragma terdorong ke bawah. Batas-batas jantung
bergeser ke sisi yang sehat. Suara nafas pada auskultasi melemah sampai menghilang pada bagian
paru yang terkena.5,6

2.1.6 Gambaran Radiologi


Terlihat gambaran yang khas; bagian yang berisi udara akan tampak hiperlusen (lebih
gelap) tanpa corakan jaringan paru. Jaringan paru yang menguncup terlihat di daerah hilus dengan
garis batas yang sangat halus (Pleural white line). Juga terlihat mediastinum beserta isinya
terdorong ke sisi sehat jika terjadi suatu tension pneumothorax. Apabila disertai darah atau cairan
(Hydropneumothorax) , maka akan tampak garis batas mendatar yang merupakan batas antara
udara dan cairan.6

11
Gambar 2.5 Foto radiologi konvensional thorax dengan tampakan hiperlusen avaskular dengan
jaringan paru yang tidak tampak.

Gambar 2.6 Foto radiologi konvensional thorax tension pneumothorax yang disertai dengan
adanya cairan pada rongga pleura (hydropneumothorax). tampak pergeseran trakea dan jantung ke
arah kontra lateral.

12
Gambar 2.7 Foto radiologi konvensional thorax. Gambar kiri menunjukkan tension pneumothorax
sinistra sebelum pemasangan WSD dan gambar kanan menunjukkan setelah penatalaksanaan
WSD dimana pendorongan organ mediastinum mulai berkurang.

Gambar 2.8 Foto radiologi konvensional thorax pada pneumothorax bilateral

2.1.7 Diagnosis Banding


Adapun diagnosis banding dari suatu pneumothorax pada foto radiologi konvensional
adalah emfisema paru. Pada emfisema terlihat gambaran: Diafragma letak rendah dan datar,
Ruang retrosternal melebar, Gambaran vaskuler berkurang, Jantung tampak sempit memanjang,
Pembuluh darah perifer mengecil.6

13
Gambar 2.9 Foto radiologi konvensional thorax dengan emfisema paru

Selain itu, kejadian pneumothorax dapat pula didiagnosis banding dengan penyakit giant
bullae, diamana gambaran radiologis menunjukkan adanya gambaran hiperlusen pada area
parenkim paru. pada dasarnya, bulla (blep) merupakan pengumpulan udara di subpleuraakibat
rupturnya alveolus. Lokasi bulla tersering adalah di lobus atas paru-paru. Jika bula dijumpai pada
ukuran besar (lebih dari 50% hemithorax) maka sering disebut giant bullous emphysema atau
vanishing lung syndrome, terutama bila bula memenuhi hampir seluruh hemithorax. Pada keadaan
lanjut, bulla dapat menyebabkan pneumothorax spontan.6

14
Gambar 2.10 Gambaran Foto radiologi konvensional thorax dengan giant bulla7

2.1.8 Penatalaksanaan
Pemasangan Water Seal Drainage (WSD)
Setelah diagnosis ditegakkan, maka harus segera dilakukan tindakan untuk
menyelamatkan nyawa penderita. Sebuah jarum atau Abbocath berukuran besar (8, 14, 24
bergantung pada pasien yang dihadapi) harus segera ditusukkan ke dalam rongga pleura pada
ruang sela iga ke lima linea mideo-klavikularis untuk mengeluarkan udara dan dalam rongga
pleura. Apabila ragu-ragu terhadap kebenaran diagnosis, jarum dapat dihubungkan dengan
semprit. Jika memang benar, maka penghisap (piston semprit) akan terdorong atau udara di dalam
rongga pleura akan mudah dihisap. Bahaya tertusuknya paru tidak perlu dihirau-kan, karena tidak
berarti dibandingkan dengan hasil yang di-peroleh melalui tindakan tersebut.7
Jika WSD dapat berfungsi dengan baik, maka akan terlihat keluarnya gelembung-
gelembung udara ke permukaan air. Selanjutnya penderita dapat segera dikirim ke rumah sakit
agar mendapatkan penanganan yang lebih baik serta pemeriksaan lebih lengkap untuk
menemukan kemungkinan penyakit yang mendasari timbulnya pneumothorax. Semua penderita
kegawatan medik ini harus dirawat di rumah sakit.7
Di rumah sakit selanjutnya dilakukan pemasangan WSD, dengan sistem satu, dua atau tiga
botol Pada sistem satu botol, ujung selang dan rongga pleura dimasukkan ke dalam botol yang
berisi air. Jika ujung selang tidak berada di dalam air, udara dari luar dapat masuk ke dalam

15
rongga pleura. Pada WSD sistem dua botol terdapat satu botol tambahan untuk mengumpulkan
cairan yang tidak mempengaruhi botol dengan selang yang terdapat di bawah permukaan air.
Sementara pada sistem tiga botol terdapat botol kontrol penghisap yang tekanannya dapat diatur
sesuai dengan tekanan rongga pleura yang diinginkan.7 Keberhasilan penanganan pneumothorax
dengan WSD dipengaruhi oleh pemeliharaan WSD; ujung selang tidak jarang tergantung di atas
permukaan air, sehingga udara dan luar justru mengalir masuk ke dalam rongga pleura.7
Selang WSD dapat dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui ruang sela iga ke 2 linea
mid-klavikularis atau ruang sela iga ke 7, 8 atau 9 linea aksilaris media. Setelah daerah penusukan
yang terpilih dibersihkan, selanjutnya dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 1%. Untuk
mendapatkan efek anestesi lokal yang memadai biasanya diperlukan waktu sekitar 5-10 menit.
Insisi kulit dilakukan secara transversal selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis dan kemudian
dibuka secara tumpul dengan kiem sampai mendapatkan pleura parietalis. Pleura ditembus
dengan gunting tajam yang ujungnya melengkung sampai terdengar suara aliran udara (tanda
pleura parietalis telah terbuka). Selang dimasukkan ke dalam trokar dan kemudian dimasukkan
bersama-sama melalui lubang pada kulit ke dalam rongga pleura. Apabila dipakai selang tanpa
trokar, maka ujung selang dijepit dengan klem tumpul untuk mempermudah masuk nya selang ke
dalam rongga pleura. Jika posisi selang sudah benar, kulit di sekitar selang dijahit dengan jahitan
sarung guling dan sisa benang dililitkan pada selang.6,7
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan WSD adalah empiema, laserasi
paru, perforasi diafragma, selang masuk ke dalam subkutan, perdarahan akibat ruptur arteri
interkostalis dan edema paru akibat pengembangan paru yang mengempis secara mendadak.9,10,12
Setelah paru mengembang, yang ditandai terdengarnya kembali suara nafas dan dipastikan dengan
foto thorax, maka selang WSD diklem selama 13 hari. Pengembangan paru secara sempurna
selain dapat dilihat pada foto thorax biasanya dapat diperkirakan jika sudah tidak terdapat
undulasi lagi pada selang WSD. Apabila setelah diklem selama 13 hari paru tetap mengembang,
maka WSD dapat dicabut. Pencabutan selang WSD dilakukan dalam keadaan ekspirasi
maksimal.7

Pleurodesis dan Torakotomi


Pleurodesis adalah tindakan melekatkan pleura panietalis dengan pleura viseralis untuk
mencegah kekambuhan pneumothorax. Tindakan ini dilakukan dengan memasukkan bahan kimia

16
tertentu, seperti glukosa 40% sebanyak 20 ml atau tetrasiklin HCl 500 mg dilarutkan dalam 2550
ml garam faal. Karena tetrasiklin dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat, maka pemberian
bahan ini sebaiknya didahului dengan pemberian analgesik.6
Torakotomi adalah operasi pembukaan rongga thorax kemudian dilanjutkan dengan
penjahitan fistel pada pleura. Operasi ini diindikasikan pada kasus pneumothorax kronik,
pneumothorax yang berulang 3 kali atau lebih, pneumothorax bilateral, serta jika pemasangan
WSD mengalami kegagalan (paru tidak mengembang atau terjadi kebocoran udara yang
menetap.6,8,9

2.1.9 Prognosis dan Komplikasi


Prognosis pneumothorax dipengaruhi oleh kecepatan penanganan dan kelainan yang mendasari
timbulnya pneumothorax. Hampir semua penderita dapat diselamatkan jika penanganan dapat
dilakukan secara dini. Sekitar 50- 80% kasus pneumothorax spontan akan mengalami
kekambuhan. Tidak ditemukan komplikasi jangka panjang setelah tindakan penanganan yang
berhasil.10

2.2 FRAKTUR COSTA


2.2.1 Definisi
Fraktur adalah suatu bentuk dikontinuitas struktur tulang. Diskontinuitas tulang tersebut
mungkin tidak lebih dari suatu retakan atau perimpilan korteks, atau dapat berupa patahan
lengkap dan dapat disertai dengan pergeseran fragmen tulang. Jika kulit diatasnya masih utuh,
disebut fraktur tertutup sedangkan jika salah satu dari rongga tubuh tertembus disebut fraktur
terbuka.11,12
Costa merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. fraktur costa yang dimana
terjadi dikontinuitas/jaringan tulang rawan biasanya disebabkan oleh cedera langsung. Tetapi
pada pasien ortoporotik, fraktur costa dapat terjadi dengan tekanan kecil misalnya batuk atau
bersin. 11,12
Oleh karena tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung,
maka setiap trauma dada biasanya dapat menyebabkan trauma pada costa. Fraktur costa dapat
terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut. Dari kedua belas pasang costa yang ada, tiga costa
pertama paling jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat

17
terlindung. Costa ke IV-IX paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan
memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke X-XII juga
jarang mengalami fraktur.11,12

2.2.2 Anatomi
Thorax adalah bagian atas tubuh yang terletak antara leher dan abdomen. Kerangka
dinding thorax membentuk sangkar yang melindungi jantung, paru-paru dan beberapa organ
abdomen seperti hepar.16

Gambar 2.11 Anatomi Tulang Thorax

Costa adalah tulang pipih yang sempit dan lengkung serta membatasi bagian terbesar
sangkar dada. Tujuh atau delapan costa pertama disebut costae sejati (vertebrosternal) karena
menghubungkan vertebrae dengan sternum melalui kartilago kostalisnya. Costae VIII sampai
costae X dipanggil vertebrokondral karena kartilago kostalis tepat diatasnya. Costae XI dan XII
adalah costae yang melayang karena ujung kartilago kostalis dan antara costae ini dipisahkan oleh
spatium intercostale (muskulus interkostalis, arteria interkostalis, vena interkostalis, dan nervus
interkostalis.16

18
2.2.3 Patogenesis Dan Patofisiologi
Fraktur didefinisikan sebagai diskontinuitas tulang yang diakibatkan oleh trauma secara
langsung maupun tidak langsung. Dapat juga disebabkan oleh penekanan berulang atau akibat
patologik tulang itu sendiri. Pada kasus trauma thorax pasien akan mengalami keluhan rasa sesak
dan juga rasa nyeri saat bernafas. Proses awal akibat kejadian tersebut adalah adanya gangguan
dalam proses respirasi teruma proses ventilasi dan proses difusi (perubahan tekanan intrathorakal)
yang dapat diikuti oleh kegagalan sirkulasi yang disebabkan oleh gangguan hemodinamik. Hal ini
dapat menyebabkan transportasi oksigen ke jaringan tidak adekuat sehingga jaringan mengalami
hipoksia dan pada pemeriksaan akan didapatkan hiperkarbia, asidosis respiratorik dan asidosis
metabolic.11
Trauma merupakan penyebab fraktur costa yang paling umum. Dalam luka traumatis,
pukulan langsung ke costa akan membuat inward fracture, berpotensi merusak pleura dan
parenkim paru. Pneumothorax, hemothorax, danpneumohemothorax sering terjadi bersamaan.
Lokasi luka yang spesifik dapat menyampaikan beberapa informasi penting tentang arah dan
kekuatan dampak. Fraktur costa pertama, kedua, atau ketiga dapat dikaitkan dengan luka pada
aorta, tulang belakang, atau jalan nafas. Trauma ke costa bawah (kesepuluh, kesebelas, atau costa
ke dua belas) sering dikaitkan dengan trauma perut bagian atas, seperti luka pada limpa, ginjal,
atau hati. Pada pasien dengan penyakit tulang yangmendasarinya, seperti tumor dan osteoporosis,
serta trauma ringan, seperti batuk, bisa memicu fraktur tulang costa.13
Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan, samping
ataupun dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma
costa, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa pada dinding dada, maka tidak semua
trauma dada akan terjadi fraktur costa. 12,13
Pada trauma langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costa pada tempat
traumanya. Pada trauma tidak langsung, fraktur costa dapat terjadi apabila energi yang
diterimanya melebihi batas toleransi dari kelenturan costa tersebut. Seperti pada kasus kecelakaan
dimana dada terhimpit dari depan dan belakang,maka akan terjadi fraktur pada sebelah depan dari
angulus costa,dimana pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling lemah. Fraktur costa
yang “displace” akan dapat mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya.
Fraktur pada costa ke VI-IX dapat mencederai arteri intercostalis, pleura visceralis, paru maupun

19
jantung, sehingga dapat mengakibatkan timbulnya hematothorax, pneumothorax ataupun laserasi
jantung.12,13,14

2.2.4 Faktor Risiko Dan Klasifikasi


Pada kasus fraktur biasanya terjadi karena trauma mendadak yang disebabkan oleh kekerasan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut etiologinya fraktur dibedakan menjadi 3
yaitu (1) fraktur yang disebabkan trauma baik secara langsung maupun tidak langsung, (2) fraktur
yang disebabkan oleh kelemahan tulang, (3) fraktur yang disebabkan keadaan patologi.12,13
Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu disebabkan
trauma tumpul dan trauma tembus. Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya
fraktur costa antara lain kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian,
atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian. Manakala penyebab trauma tembus yang
sering menimbulkan fraktur costa adalah luka tusuk dan luka tembak. Namun ada juga jika
menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan fraktur simple atau fraktur
multiple. Jika menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat dibagikan kepada fraktur segmental,
fraktur simple dan fraktur communitif.12,13
Costa merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena tulang ini sangat
dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka setiap ada trauma dada akan
memberikan trauma juga kepada costa. Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa
tersebut. Dari kedua belas pasang costa yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami
fraktur hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke IV-IX paling banyak
mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit,
sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke X-XII juga jarang mengalami fraktur oleh karena
sangat mobil. Pada olahragawan biasanya lebih banyak dijumpai fraktur costa yang
“undisplaced”, oleh karena pada olahragawan otot intercostalnya sangat kuat sehingga dapat
mempertahankan fragmen costa yang ada pada tempatnya.12,13

2.2.5 Diagnosis
Adanya rasa nyeri pada daerah dada dan nyeri bertambah parah jika disertai batuk atau
pernapasan dalam yang berlangsung selama beberapa minggu dapat menjadi suatu pertanda
adanya suatu fraktur costa.16,17

20
Fraktur costa ini dapat disebabkan oleh trauma atau penyakit tulang seperti tumor,
osteoporosis. Terkadang klinisi dapat mendeteksi nyeri tekan pada daerah fraktur dan adanya
suatu krepitasi pada tulang rusuk yang terkena dampak karena segmen fraktur bergerak saat
palpasi.15,16
Foto konvensional thorax secara historis merupakan pemeriksaan pilihan. Namun, pada 25%
kasus bisa saja fraktur costa dapat tidak teridentifikasi oleh karena foto konvensional tidak sensitif
terhadap tulang rawan kartilago ataufrakturstres. Namun, foto konvensional sangat penting dalam
mendiagnosis komplikasi dan cedera terkait seperti pneumothorax, hemothorax, pulmonary
contusion, pneumomediastinum, atau pneumoperitoneum. Saat ini, rontgen thorax standar
seringkali merupakanpilihan awal dalam evaluasi nyeri dada dan pada kasus trauma tumpul
ringan serta fraktur kosta dicurigai secara klinis.15,16

Gambar 2.12 Foto radiologi konvensional thorax pada fraktur costa akibat trauma tumpul
thorax

21
2.2.6 Tatalaksana
Penanganan tergantung pada komplikasi fraktur costa yang terjadi, kerana hal ini
dianggap lebih penting daripada cedera itu sendiri. Kontusio paru yang signifikan harus ditangani
dengan bantuan pernafasan dan ventilasi mekanis, jika perlu. Pengendalian rasa sakit merupakan
bagian penting dari perawatan untuk dapat memperbaiki fungsi pernapasan, rasa nyeri dapat
menyebabkanterbatasnya upaya inspirasi yang mengakibatkan terjadinya atelektasis, kolaps, dan
pneumonia sekunder. Narkotika oral atau intravenabiasanya digunakan sebagai penanganan nyeri
namun bisa menyebabkan gangguan pernafasan. Penempatan kateter epidural untuk pengendalian
nyeri juga dianggap cukup baik dalam mengatasi nyeri.13
Penanganan fraktur costa tergantung pada keadaan pasien. Pada umumnya dilakukan
penanganan awal. Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam
menetapkan prioritas. Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan
Survey Primer dengan menilai apakah ada obstruksi jalan nafas, cedera dada dengan kesukaran
bernafas, perdarahan berat eksternal dan internal serta cedera abdomen.13

2.2.7 Komplikasi
Apabila penanganan tidak dilakukan dengan cepat dan tepat, pasien yang mengalami fraktur
thorax bisa menimbulkan komplikasi seperti atelektasis, pneumonia, hematothorax,
pneumothorax, edema a. intercostalis, pleura visceralis paru maupun jantung, dan laserasi
jantung. Komplikasi fraktur costa, seperti peradangan paru dan pneumonia, dianggap lebih
signifikan daripada cedera itu sendiri.17

22
BAB III
DISKUSI

Seorang laki-laki berusia 63 tahun datang ke rumah sakit pada tanggal 26 Mei 2017
dengan keluhan sesak nafas secara tiba-tiba yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak dikeluhkan setelah pasien terjatuh dari pohon dengan ketinggian 1,5 meter dimana Saat
terjatuh dada pasien membentur tanah. Sesak semakin lama dirasakan semakin bertambah berat.
Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri dada terutama saat menarik nafas. Tidak dikeluhkan batuk
maupun demam, serta tidak ditemukan riwayat penyakit spesifik.
Pada pemeriksaan awal (primary survey) ketika diterima di ruang resusitasi instalasi
rawat darurat (23:45), jalan napas bebas sumbatan. Tekanan darah 160/60mmHg, nadi 69 x/menit,
pernapasan 32 kali/menit. GCS pasien E4M6V5, pupil bulat isokor, refleks cahaya ada. Suhu
36.5°c. Pada pemeriksaan lanjut (secondary survey) tidak tampak jejas dan dada kanan teringgal.
Krepitasi teraba pada kedua hemithorax. Perkusi dada hipersonor pada hemithorax kanan. Suara
napas kanan menurun, wheezing dan rhonki tidak ada. Pasien melakukan foto polos thorax posisi
AP pada tanggal 26 Mei 2017 dengan hasil Tampak gambaran hiperlusen avascular (garis hijau)
dan pleural white line pada hemithorax dextra disertai collaps paru dextra (garis Merah), Corakan
bronkovaskular paru kiri dalam batas normal, Cor dan aorta kesan normal, Kedua sinus dan
diafragma kiri baik, Diafragma kanan letak rendah, Terdapat Diskontinuitas costa 7, 8, 9 belakang
kanan (panah kuning), Tampak gambaran hiperlusen pada subcutis sisi lateral hemithorax kanan
dan regio paracervical kanan (lingkaran biru). Kesan: Pneumothorax kanan, Fraktur costa 7,8, dan
9 kanan posterior, Emfisema subcutis.

23
Gambar 3.1 Foto radiologi konvensional thorax pada pasien pada tanggal 26 Mei 2017.

Pneumothorax adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura, yang pada
keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara. Pneumothorax diklasifikasikan menjadi
pneumothorax spontan dan pneumothorax traumatik. Pneumothorax spontan adalah
pneumothorax yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab trauma atau iatrogenik,
sedangkan pneumothorax traumatik adalah pneumothorax yang terjadi akibat suatu trauma baik
trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumothorax traumatik dibagi menjadi dua, yaitu pneumothorax traumatik iatrogenik, yaitu
pneumothorax yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis, dan pneumothorax traumatik
non iatrogenik, yaitu pneumothorax yang terjadi akibat jejas trauma misalnya pada suatu
kecelakaan. Pada kasus ini didapatkan riwayat pasien terjatuh dari pohon dengan ketinggian 1,5
meter sebelum akhirnya secara tiba tiba merasakan sesak napas, sehingga pneumothorax yang

24
terjadi adalah jenis pneumothorax traumatik yang disebabkan oleh trauma tumpul akibat benturan
dada dengan tanah saat terjatuh dari pohon. Pneumothorax akibat trauma tumpul dalam kasus ini
terjadi akibat robekan pleura oleh fraktur costa yang didapatkan dari hasil foto konvensional
radiologi thorax AP bahwa terdapat diskontinuitas pada costa 7-8-9 kanan belakang. Fraktur costa
menyebabkan kebocoran antara alveolus dan rongga pleura. Sehingga, udara akan berpindah dari
alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi sama. Akibatnya, volume paru bekurang
sehingga pada foto radiologi konvensional akan tampak kolaps paru yang disertai dengan garis
halus intermediet (pleural white line) yang merupakan gambaran dari pleura viseral yang
terdorong oleh udara yang mengisi kavum pleura dan digambarkan sebagai hiperlusen avascular.
Untuk menentukan diagnosis dari sebuah pneumothorax harus didapatkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi yang memberikan gambaran pneumothorax. Gejala
klinis yang mengarah pada suatu pneumothorax pada pasien ini adalah sesak napas dan nyeri dada
yang hebat apalagi jika menarik nafas yang terjadi secara tiba-tiba semenjak terjatuh dari pohon.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan inspeksi dada kanan teringgal, pada palpasi teraba krepitasi
pada kedua hemithorax, perkusi dada hipersonor pada hemithorax kanan, dan auskultasi suara
napas kanan menurun yang turut menunjang suatu kecurigaan terjadinya pneumothorax.
Pemeriksaan penunjang yang dapat menjadi penentu diagnosis pneumothorax adalah radiologi.
Pada kasus ini dilakukan foto radiologi konvensional thorax AP. Pada foto polos thorax kasus ini
ditemukan bayangan hiperlusen avaskuler yang disertai dengan kolaps paru dan pleural white line
sehingga diagnosis yang tepat pada kasus ini adalah pneumothorax.
Setelah dilakukan penegakan diagnosis, selanjutnya dilakukan penanganan terhadap kasus
pneumothorax ini. Penangan awal yang dilakukan adalah pengelolaan trauma dengan tujuan
segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey Primer yaitu penanganan
circulation, airway, breathing. Pada kasus ini pasien merasa sesak sehingga untuk memberikan
oksigenasi yang adekuat diberikan Oksigen 8 liter/menit, dan Infus RL 16 tetes/menit digunakan
untuk mempermudah pemberian obat serta penanganan jika terjadi shock.
Langkah penanganan selanjutnya adalah WSD (Water Seal Drainage). Cara melakukan
pemasangan WSD adalah sebuah jarum atau Abbocath berukuran besar harus segera ditusukkan
ke dalam rongga pleura pada ruang sela iga ke dua linea mideo-klavikularis untuk mengeluarkan
udara dan dalam rongga pleura. Pangkal jarum dihubungkan dengan selang infus dan bagian
ujung selang lainnya dimasukkan ke dalam botol berisi air kira-kira 2 cm di bawah permukaan

25
air, sehingga menjadi sebuah Water Sealed Drainage (WSD). Jika WSD dapat berfungsi dengan
baik, maka akan terlihat keluarnya gelembung-gelembung udara ke permukaan air.
Pengendalian rasa sakit merupakan bagian penting dari perawatan, pada pasien ini
diberikan Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ intravena sebagai anti nyeri pasca pemasangan WSD dan
diberikan antibiotik untuk mencegah terjadi infeksi berupa Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam/ intravena.
Pada kasus ini, dapat disimpulkan bahwa pasien didiagnosis sebagai pneumothorax
dekstra berdasarkan dari gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologi yang
mendukung diagnosis pneumothorax sehingga dilakukan penanganan yang sesuai berupa
pemasangan WSD.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. B.J. Tsuei, P.E. Lyu, Atlas Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 10, 2002, 189–211
2. Netter F.H., Bony Framework of Thorax, Atlas of Human Anatomy, 5th ed, 2011: 179
3. Moore, Keith L. Thorax, Essential Clinical Anatomy, 3rd Edition. America : Lippincott
Williams & Wilkins, 2007.
4. Koentjahja, Abiyoso, Agung S, Muktyati S. Pneumothorax dan Penatalaksanaannya.
Kumpulan Makalah Simposium Dokter Umum Gawat Darurat Paru, Surakarta, 3 Juli 1993;
3945.
5. Suwento R, Fachruddin D. Emfisema Mediastinum dan Pneumothorax Pasca Trakeostomi.
ORLI 1991; XXII (4): 10312.
6. PDPI Cabang Jakarta. Pneumothorax. Kumpulan Makalah Seminar Penanggulangan
Keadaan Darurat pada Paru dan Saluran Pernafasan, Surakarta, 8 November 1986; 115.
7. StafferJL. Spontaneous Pneumothorax. In: SchroederAS. et al (ed). Current Medical
Diagnosis and Treatment. Connecticut, USA: Appleton & Lange 1989; 18991.
8. Suryatenggara W. Pneumothorax. Dalam: Yunus, F. dkk (ed). Pulnionologi Klinik. PB
FKUI, 1992; 185187.
9. Tjandrasusilo H. Nyeri Dada. Kumpulan Makalah Simposium Dokter Umum Gawat Darurat
Paru, Surakarta, 3 Juli 1993; 2 126.
10. Empisema Paru dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Paru, Rumah Sakit
Umum Daerah Dokter Soetomo, Surabaya, 1994, Hal 91-93.
11. Goldberg M. Bullous Disease. In: Pearson FG, Cooper JD, Deslauriers J, Ginsberg RJ,
Hiebert CA, Patterson GA, et al., editors. Thoracic Surgery. 2nd Edition. Philadelphia:
Churchill Livingstone; 2002. P.697-715.
12. Solomon L., et al, Apley’s System of Orthopaedics and Fractures; 9th edition.2010.
13. B.J. Tsuei, P.E. Lyu, Atlas Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 2002: 10, 189–211
14. Netter F.H., Bony Framework of Thorax, Atlas of Human Anatomy, 5th ed, 2011: 179
15. Bhavnagri J. S., When and how to image a suspected broken rib, Cleveland Clinic Journal of
Medicine; 2009 : 76(5):309-314
16. Moore, Keith L .Thorax, Essential Clinical Anatomy, 3rd Edition. America : Lippincott
Williams & Wilkins.2007
17. Thomas G. W. Rib Fracture, Merck’s Manual, 5th ed. Amerika : Merck & Co.2017

27

Anda mungkin juga menyukai