Dosen Pembimbing :
Drg. Irma Susanti, MH (Kes)
Disusun Oleh :
Selly Nursyafiyah
201911150
1
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
Rahmat-Nya penulis dapat menulis makalah ini yang berjudul “Euthanasia” hingga
selesai. Meskipun dalam makalah ini penulis mendapat banyak yang menghalangi,
namun mendapat pula bantuan dari beberapa pihak baik secara moril, materil maupun
spiritual.
Makalah ini memuat tentang “Euthanasia.” Tema yang akan dibahas di makalah ini
sengaja dosen pembimbing pilih untuk dipelajari lebih dalam. Makalah ini disusun
berdasarkan proses pembelajaran yang telah disampaikan kepada penulis.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Irma Susanti K, drg, MH (Kes) yang
telah memberikan bimbingan sehingga makalah berjudul Euthanasia ini dapat
diselesaikan dengan baik. serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan
saran atas selesainya penulis makalah ini. Di dalam penulisan makalah ini penulis
menyadari bahwa masih ada kekurangan-kekurangan meningat keterbatasannya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh sebab itu, sangat di harapkan kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun untuk melengkapkan makalah ini dan
berikutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
2
JUDUL …………………………………………………………………………………………….i
KATAPENGANTAR…………………………………………………………………………..…ii
DAFTARISI…………………………………………………………………………………...…iii
BAB I………………………………………………………………………………………….…..4
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………...4
1.1. Latar Belakang………………………………………………………………………………..4
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………4
1.3. Tujuan………………………………………………………………………………………...4
BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………..5
2.1. Euthanasia…………………………………………………………………………………….5
2.1.1 Pengertian Euthanasia……………………………………………………………………….5
2.1.2 Jenis-jenis euthanasia………………………………………………………………………..5
2.1.3 Etik dan hukum
euthanasia………………………………………………………………………………………….7
2.1.4 Pro dan kontra pada euthanasia…………………………………………………...
……………………………………10
BAB III PENUTUP……………………………………………………...………………..
………………12
3.1.1. Kesimpulan………………………………………………………..………………………12
3.1.2. Saran………………………………………………………………………………………13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………....13
3
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
4
PEMBAHASAN
5
Juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat
atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.Tindakan pada eutanasia pasif
ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang
mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita
pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti
morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu
mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak
mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk
dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah.Ini
sebagai upaya defensif medis.
c. Eutanasia agresif
Suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang
mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan
ke dalam tubuh pasien.
d. Eutanasia non agresif
Atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia
negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan
tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas
permintaan.
6
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah
seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo).Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan
bagi si pasien.
c. Eutanasia secara sukarela
Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal
kontroversial.
3. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
a. Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
b. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara
sukarela
7
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat kabur batas antara hidup & mati.
Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya & telah berhenti denyut jantungnya,
berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali.
Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan &
jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen.
Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup
dengan bantuan berbagai alat medis.
Bantuan alat medis tersebut menjadi patokan penentuan kematian pasien tersebut.Permasalahan
penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun
keluarga pasien dalam kelanjutan pengobatan, apakah dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan
belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan
pasti akan membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan medis tersebut merupakan salah
satu bentuk dari euthanasia.Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di
masyarakat.
Mereka yang menyetujui tindakan euthanasia berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu
tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan
penderitaan pasien.Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk
menderita.Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan pasien
dengan memperbaiki resiko hidupnya.
Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia merupakan tindakan
pembunuhan terselubung, karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan.Kematian semata-
mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai
hak untuk menentukan kematiannya.
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g: menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia adalah keadaan insani
yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau
denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di
Indonesia.
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan
secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu
perlu memahami apa yang disebut hidup.
Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paru-
paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi oksigen.
Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi
organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.
Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang
sangat luas, baik pidana maupun perdata.
Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa
permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan.
8
Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan
biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang
lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”
Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas
tahun.”
Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”\
Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”
Pada dewasa ini, para dokter & petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam
bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut medis-etis-yuridis dari semua masalah
yang ada itu. Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter
& tenaga kesehatan.Mereka seringkali dihadapkan pada kasus di mana seorang pasien menderita
penyakit yang tidak dapat diobati lagi, misalnya kanker stadium lanjut, yang seringkali
menimbulkan penderitaan berat pada penderitanya.Pasien tersebut berulangkali memohon dokter
untuk mengakhiri hidupnya.Di sini yang dihadapi adalah kasus yang dapat disebut euthanasia.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya
seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan.Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter
tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis
dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan
medis, & dapat dijerat hukum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan, yang berbunyi :
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314,
1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau
perjanjian.Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin
berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak.Sehingga bila seorang dokter melakukan
tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang
penganiayaan.Tindakan menghentikan perawatan medis yang dianggap tidak ada gunanya lagi,
sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan
kompetensinya, & bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
9
Dengan kata lain, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia adalah memperpendek atau
mengakhiri penderitaan pasien & bukan mengakhiri hidup pasien. Ini sesuai dengan pendapat
Prof.Olga Lelacic yang mengatakan: Dalam kenyataan yang meminta dokter untuk mengakhiri
hidupnya, sebenarnya tidak ingin mati, tetapi ingin mengakhiri atau ingin lepas dari penderitaan
karena penyakitnya.
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia ? Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak
mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak
untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri
sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak
atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak dapat disimpangi oleh
siapapun & menuntut penghargaan & pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Tuhan di bibir.
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
& keluarganya.
10
Kelompok ini menyatakan bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan, dengan
tujuan utama menghentikan penderitaan pasien.Salah satu prinsip yang menjadi pedoman
kelompk ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita.Jadi, tujuan
utamanya adalah meringankan penderitaan pasien.
Argumen yang paling sering digunakan adalah argumen atas dasar belas kasihan terhadap
mereka yang menderita sakit berat dan secara medis tidak mempunyai harapan untuk pulih. Ada
dua argumen dalam pro Euthanasia, diantaranya:
a. Argumen pokok, bahwa kematian menjadi jalan yang dipilih demi menghindari rasa sakit yang
luar biasa dan penderitaan tanpa harapan si pasien.
b. Argumen perasaan hormat atau agung terhadap manusia yang ada hubungannya dengan suatu
pilihan yang bebas sebagai hak asasi. Setiap orang memiliki hak asasi. Di dalamnya termasuk
hak untuk hidup maupun hak untuk mati.
2. Kontra Euthanasia
Setiap orang menerima prinsip nilai hidup manusia.Orang-orang tidak beragama pun, yang tidak
menerima argumen teologis mengenai kesucian hidup, setuju bahwa hidup manusia itu sangat
berharga dan harus dilindungi.Mereka setuju bahwa membunuh orang adalah tindakan yang
salah.Bagi mereka, euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung.Bagi orang beragama,
euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangan dengan kehendak Tuhan.Mereka
berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada
seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderita
tersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk
mati.
Penolakan euthanasia ini berkaitan erat dengan penolakan abortus atas dasar argumen “kesucian
hidup”. Karena kehidupan itu sendiri berharga, maka hidup manusia tidak pernah boleh diakhiri
dalam keadaan apa pun juga. Banyak orang menolak euthanasia langsung atau aktif karena takut
akan “menginjak lereng licin” (the slippery slope). Jika kita boleh membunuh orang yang sedang
dalam proses meninggal dunia atau pasien koma yang irreversible maka bisa jadi kita akan
memperluas pengertian dan mulai membunuh bayi yang baru lahir, mereka yang sakit jiwa, anak
cacat mental, orang yang tidak produktif atau secara sosial tidak diinginkan. Begitu batas-batas
untuk membunuh diperluas, tidak ada lagi orang yang aman.
BAB III
PENUTUP
3.1.1 KESIMPULAN
11
HAM yang terutama adalah “hak untuk hidup”, yang dimaksudkan untuk melindungi nyawa
seseorang terhadap tindakan sewenang-wenang dari orang lain. Oleh karena itu masalah
euthanasia yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi karena pertolongan dokter atas
permintaan sendiri atau keluarganya, atau tindakan dokter yang membiarkan saja pasien yang
sedang sakit tanpa menentu, dianggap pelanggaran terhadap hak untuk hidup milik pasien.
Di Indonesia, masalah euthanasia ini tetap dilarang. Oleh karenanya, dikatakan bahwa masalah
HAM bukanlah merupakan masalah yuridis semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan
masalah nilai-nilai etis & moral yang ada di suatu masyarakat tertentu.
Sejak berlakunya KUHP sampai saat ini, belum ada kasus yang secara nyata terjadi di Indonesia
yang berkaitan dengan euthanasia seperti diatur dalam pasal 344 KUHP yang sampai ke
pengadilan.
Hal ini mungkin disebabkan karena:
1. Bila memang benar terjadi di Indonesia, tetapi tidak pernah dilaporkan ke polisi, sehingga
sulit untuk pengusutan lebih lanjut.
2. Keluarga korban tidak tahu bahwa telah terjadi kematian sebagai euthanasia, karena
masyarakat Indonesia masih awam terhadap hokum, apalagi menyangkut euthanasia.
3. Alat-alat kedokteran di rumah sakit di Indonesia belum semodern di negara maju, &
kalaupun ada, masih terlalu mahal untuk dapat digunakan oleh masyarakat umum, sebagai
pencegah kematian seorang pasien secara teknis.
Di samping itu, dari hukum materilnya sendiri, yaitu pasal 344 KUHP, sulit untuk dipenuhi
unsur-unsurnya, sehingga bila terjadi kasus, maka akan sulit pembuktiannya.
Apapun alasannya, bila tindakan dilakukan dengan tujuan mengakhiri hidup seseorang maka
dapat digolongkan sebagai tindak pidana pembunuhan.Namun dalam hal euthanasia hendaknya
tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan euthanasia yang bermacam-
macam.
Perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh penegak hukum tentang hal-hal yang
mempengaruhi emosi seorang dokter yang secara langsung berhadapan dengan pasien, antara
lain penderitaan pasien mengatasi penyakitnya, kondisi penyakit yang sudah stadium terminal &
tidak mungkin lagi diobati.
Oleh sebab itu, hukuman untuk tindakan euthanasia aktif yang pernah terjadi di Belanda
misalnya, hanya berupa hukuman percobaan yang sangat ringan.Bahkan pada beberapa kasus
nampak ada kecenderungan hakim untuk tidak menghukum pelaku euthanasia.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa euthanasia di Indonesia tetap
dilarang.Larangan ini terdapat dalam pasal 344 KUHP yang masih berlaku hingga saat ini. Akan
tetapi perumusannya dapat menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum untuk
menerapkannya atau mengadakan penuntutan berdasarkan ketentuan tersebut
3.1.2 SARAN
12
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan
kritikan dan saran dari dosen pengajar dan teman – teman sesama mahasiswa. Selain itu dalam
hal euthanasia hendaknya tidak secara gegabah memberikan penilaian, apalagi jenis & alasan
euthanasia yang bermacam-macam.
Kita sebagai tenaga kesehatan harus bijak dalam mengambil keputusan dan mempertimbangkan
setiap apapun yang akan dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/65556/Chapter%20II.pdf?
sequence=3&isAllowed=y
http://nabila-aidillah.blogspot.com/2017/05/makalah-tentang-euthanasia.html
http://agungmavis20.blogspot.com/2015/11/makalah-euthanasia.html
13