Anda di halaman 1dari 22

PERAWATAN DAERAH TAK BERGIGI 1

DVO DAN LEMPENG GALANGAN GIGIT

Fasilitator :

Anita, drg, sp. pros

Disusun Oleh Kelas E Kelompok 3:

1. Sabilla Nurul Safitri (2019-11-141) 6. Salsabila Nazhifah M (2019-11-146)


2. Sabrina (2019-11-142) 7. Salsabila Putri A (2019-11-147)
3. Sabrina Fitri A (2019-11-143) 8. Salsabila Tsabitha (2019-11-148)
4. Salim Hartawan (2019-11-144) 9. Sarah Az-Zahra (2019-11-149)
5. Salsabila Dikeputri (2019-11-145) 10. Selly Nursyafiyah (2019-11-150)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada tuhan yang maha esa, yang telah
memberikan kita kesehatan jasmani dan rohani sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini sesederhana mungkin. Tim penulis menyusun makalah perawatan daerah tak bergigi ini
dengan topik “DVO dan Lempeng Galangan Gigit” mencoba untuk menjelaskan definisi
DVO dan lempeng galangan gigit. Dalam hal ini tim penulis juga menyadari bahwasannya
dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi memajukan kinerja kami di
masa mendatang. Akhir kata semoga makalah ini memberikan tambahan wawasan untuk kita
semua khususnya dalam bidang sains dan medis.

Jakarta, 29 Maret 2021

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………...3

BAB I

PENDAHULUAN …………………………………………………………………………...4
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………….4
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………...4
1.3 Tujuan Makalah …………………………………………………………………….4

BAB II

PEMBAHASAN ……………………………………………………………………………..5
2.1 Pengertian lempeng dan galangan gigit ……………………………………….5
2.2 Persyaratan pembuatan lempeng gigit dan galangan gigit agar protesa stabil
dalam mulut …………………………………………………………………………….6
2.3 Bahan lempeng gigit ……………………………………………………………….6
2.4 Dimensi vertikal …………………………………………………………………….7
2.4.1 Pengertian Dimensi Vertikal ……………………………………………….7
2.5 Dimensi vertikal oklusal dan fisiologis …………………………………………..8
2.5.1 Dimensi Vertikal Oklusi (DVO) ……………………………………………..8
2.5.2 Dimensi Vertikal Fisiologis (DVF) ………………………………………….9
2.6 Pengukuran dimensi vertikal ……………………………………………………...9
2.6.1 Kesalahan Pada Penentuan Dimensi Vertikal Oklusi. …………………...9
2.6.1.1 Metode Langsung …………………………………………………...10
2.6.1.2 Metode Tidak Langsung …………………………………………..14
2.7 Pengukuran dimensi vertikal oklusal …………………………………………..15
2.7.1 Pengukuran wajah ………………………………………………………....15
2.7.2 Swallowing (penelanan) …………………………………………………..17
2.7.3 Metode fonetik ……………………………………………………………..17
2.7.4 Metode taktil ………………………………………………………………..18
2.8 Penurunan DVO …………………………………………………………………..18

BAB II

PENUTUP ………………………………………………………………………………….20
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………..20

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………..21


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehilangan gigi merupakan salah satu masalah di masyarakat yang sering kita
jumpai, baik karena penyakit periodontal atau penyakit lainnya. Kehilangan gigi juga
merupakan salah satu perubahan jaringan rongga mulut. Jika gigi yang hilang tidak
segera diganti dapat menimbulkan kesulitan bagi pasien sendiri, seperti mengunyah
makanan, adanya gigi yang supraerupsi, miring atau bergeser. Penggantian gigi yang
hilang dapat dilakukan dengan pembuatan gigi tiruan lepasan atau gigi tiruan cekat.
Gigi tiruan digunakan untuk menggantikan gigi yang hilang dan mengembalikan
estetika serta kondisi fungsional pasien. Menurut Glossary of Prosthodontic gigi
tiruan sebagian lepasan adalah gigi tiruan yang menggantikan satu atau lebih gigi asli,
tetapi tidak seluruh gigi asli dan/atau struktur pendukungnya, didukung oleh gigi serta
mukosa, yang dapat dilepas dari mulut dan dipasangkan kembali oleh pasien sendiri.
Sedangkan gigi tiruan penuh adalah gigi tiruan lepasan yang menggantikan seluruh
gigi geligi asli dan struktur pendukungnya baik di maksila maupun mandibula.
Bagian penting dalam pembuatan GTSL yang harus kita ketahui yaitu adalah
lempeng gigit, galangan gigit dan penentuan DVO.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan lempeng gigit dan galangan gigit ?
2. Apa itu DVO?

1.3 Tujuan Makalah


Pembaca dapat mengetahui apa itu lempeng gigit, galangan gigit dan DVO.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian lempeng dan galangan gigit

Pengertian lempeng gigit (base plate/record base/temporary base/trial base)


adalah suatu bentukan sementara yang mewakili bentukan basis gigi tiruan,
digunakan untuk pencatatan relasi maksilomandibula (penetapan gigit). Sedangkan
galangan gigit (occlusion rims/bite rims) merupakan suatu replica permukaan oklusal
yang dibuat pada basis sementara atau permanen gigi tiruan yang digunakan untuk
pencatatan relasi maksilomadibula dan penyusunan gigi tiruan. Galangan gigit (Bite
rim) adalah tanggul gigitan yang terbuat dari lembaran malam (wax) yang berfungsi
untuk menentukan tinggi gigitan pada pasien yang sudah kehilangan semua gigi agar
mendapatkan kontak oklusi. Galangan gigit dibuat dengan menggunakan malam yang
berwarna merah yang bisa dibentuk sebagai basis pengganti sementara bagi gigi
tiruan penuh yang akan dibuat pada basis protesa, dan digunakan untuk menentukan
profile pasien, menentukan tinggi gigit, oklusi sentrik, dimensi vertikal, menentukan
letak permukaan bidang oklusal, menentukan letak garis tengah, garis senyum, garis
caninus, dan panduan saat menyusun elemen gigi (Zarb, George A, et al, 2002). 1
Tujuan pembuatan lempeng gigit menurut Keyworth (1929) adalah (1)
bertindak sebagai pembawa galangan gigit saat penetapan gigit, (2) untuk menahan
susunan anasir gigi tiruan pada tahapan pasang coba dan (3) untuk mengevaluasi
keakuratan penetapan gigit.1
2.2 Persyaratan pembuatan lempeng gigit dan galangan gigit agar
protesa stabil dalam mulut

Kriteria lempeng gigit (Elder, 1955; Tucker, 1966) antara lain:1


1. Lempeng gigit mampu beradaptasi dengan baik pada area basal seat sama seperti gigi
tiruan.
2. Lempeng gigit memiliki bentuk tepi yang sama dengan gigi tiruan.
3. Lempeng gigit cukup rigid agar mampu menahan daya kunyah.
4. Stabilitas baik dan ketepatan permukaan (surface fit) lempeng gigit terhadap
modal kerja.
5. Dapat digunakan sebagai landasan untuk penyusunan anasir gigi tiruan.
6. Mudah pembuatannya dan ekonomis.
7. Tidak mengabrasi model kerja saat pemasangan dan pelepasannya.
8. Lempeng gigit tidak mudah berubah bentuk.

2.3 Bahan lempeng gigit

Basis sementara dihilangkan sebelum memproses gigi tiruan dan digantikan dengan
bahan yang baru.2
a. Thermoplastic resin
- (+) Murah, mudah diadaptasikan di model kerja, mudah diadaptasikan untuk
postdam
- (-) Brittle, ada kemungkinan untuk fraktur
b. Auto-polymerised PMMA (Poly Methyl Methacrylate)
- (+) Murah, operator familiar dengan penggunaannya
c. Light-cured PMMA
- (+) Mudah diadaptasikan dengan teknik yang cepat
- (-) Permasalahan pada adhesi dengan wax polishing lebih sulit daripada
auto-polimerisasi PMMA
d. Vacuum Formed
- (+) Cepat dan murah
- (-) Membutuhkan mesin thermal
e. Baseplate wax
- (+) Murah dan mudah untuk diadaptasikan
- (-) Mudah terdistorsi

Basis permanen digunakan untuk basis gigi tiruan dan gigi tiruan lengkap.2
a. Resin akrilik
- (+) Rigid, akurat dan stabil
- Dapat merusak model kerja, butuh teknik yang baik bagi operator.
b. Cast alloys (contoh: Gold, cobalt-chromium)
- (+) Rigid, stabil dan akurat
- (-) Butuh biaya lebih terutama untuk gold alloy, sebelum di casting wax harus
di try in dengan benar.

2.4 Dimensi vertikal


2.4.1 Pengertian Dimensi Vertikal
Dimensi vertikal biasanya diartikan sebagai sepertiga panjang wajah bagian
bawah. Dimensi vertikal memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan gigi
tiruan. Menurut The Glossary Of Prosthodontics Terms, dimensi vertikal adalah jarak
yang terdapat diantara dua tanda anatomis yaitu, pada ujung hidung dan ujung dagu
dimana, salah satu dari titik berada pada jaringan yang dapat bergerak sedangkan titik
lainnya berada pada jaringan yang tidak bergerak.3
Dimensi vertikal dapat juga disebut hubungan posisi mandibula terhadap
maksila secara vertikal. Penentuan dimensi vertikal yang tepat merupakan salah satu
tahap penting dalam konstruksi gigi tiruan. Hal ini disebabkan karena fungsi
mastikasi, berbicara, maupun estetika wajah, semuanya bergantung pada hubungan
vertikal mandibula dengan maksila. Dimensi vertikal dibagi menjadi Dimensi
Vertikal Oklusal (DVO) dan Dimensi Vertikal Fisiologis (DVF). Menurut Glossary of
Prosthodontics, DVO merupakan jarak antara dua titik anatomi pada posisi oklusi
sentris sedangkan DVF merupakan jarak antara dua titik anatomi ketika mandibula
dalam posisi istirahat fisiologis. Dengan kata lain DVO merupakan jarak vertikal
rahang saat gigi geligi beroklusi sedangkan DVF merupakan jarak vertikal saat
otot-otot pembuka dan penutup mandibula dalam kondisi istirahat pada tonic
contraction, dan kondilus pada posisi yang netral atau tidak tegang. Karena itu nilai
DVF selalu lebih besar dari DVO. Ruang yang terbentuk antara DVO dan DVF
disebut free way space atau interocclusal gap. Dimana jarak rata free way space yang
normal yaitu 2-4 mm. 4

Gambar 2.1 Perbedaan dimensi vertikal oklusi dan istirahat 1 Keterangan: OVD = Occlusion
Vertical Dimension = Dimensi vertikal oklusi; RVD = Rest Vertical Dimension = Dimensi vertikal
istirahat.4

2.5 Dimensi vertikal oklusal dan fisiologis

2.5.1 Dimensi Vertikal Oklusi (DVO)


Dimensi Vertikal Oklusi adalah jarak antara 2 titik ketika kontak oklusi. Pada
saat DVO, gigi-gigi atas dan bawah berkontak maksimum, bibir atas dan bibir bawah
berkontak wajar.18
2.5.2 Dimensi Vertikal Fisiologis (DVF)
Dimensi vertikal fisiologi (DVF) adalah jarak antara 2 titik (satu di bagian
tengah wajah atau hidung, dan satu lagi pada bagian bawah wajah atau dagu) diukur
ketika mandibula dalam posisi istirahat fisiologis. Posisi istirahat fisiologis diartikan
posisi rahang bawah saat otot elevator dan depresor dalam keadaan istirahat
fisiologis, tonus seimbang, dan kondilus dalam kedudukan rileks dalam fosa
glenoid.17

2.6 Pengukuran dimensi vertikal


Ketika melakukan pengukuran DV oklusi, gigi-gigi rahang atas dan rahang
bawah berkontak maksimal, bibir atas dan bibir bawah berkontak wajar. Seseorang
yang memiliki gigi geligi alami mempunyai celah antara permukaan oklusal gigi
geligi ketika dalam posisi istirahat, ini dikenal dengan freeway space atau jarak
interoklusal yang ditentukan berdasarkan keseimbangan antara otot elevator dan
depresor rahang bawah, dan sifat elastis keseluruhan jaringan lunak pada gigi alami.5
Freeway space ini dapat diukur secara tidak langsung dengan mencari selisih
antara DV istirahat dengan DV oklusi pada saat gigi geligi dalam keadaan oklusi.
Idealnya, jarak interoklusal pada posisi istirahat sekitar 2 - 4 mm.3

2.6.1 Kesalahan Pada Penentuan Dimensi Vertikal Oklusi.


Peran dimensi vertikal yang begitu besar pada perawatan gigi tiruan, membuat
penentuan dimensi vertikal harus dilakukan secepat mungkin. Terutama DVO yang
menjadi faktor fundamental dalam pembuatan gigi tiruan lengkap. Kesalahan
penentuan DV oklusi dapat menyebabkan DV terlalu tinggi atau terlalu rendah.6

Pengukuran DV yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan:6


1. gigi tiruan tidak stabil karena permukaan oklusi gigi tiruan letaknya
terlalu jauh dari puncak lingir
2. gigi tiruan tidak nyaman digunakan dan otot pengunyahan terlalu
rendah,
3. profil pasien menjadi kurang baik karena otot ekspresi terlihat tegang
4. bibir tidak dapat menutup
5. terjadi clicking
6. dapat menyebabkan luka pada jaringan pendukung
7. resorpsi tulang serta dapat mengakibatkan gangguan sendi
temporomandibular (TMJ).

Adapun DV yang terlalu rendah juga dapat menyebabkan:6


1. kekuatan gigit berkurang sehingga efisiensi pengunyahan berkurang
2. ekspresi wajah terlihat lebih tua karena bibir kehilangan kepadatan dan
terlihat terlalu tipis
3. sudut mulut menjadi turun dan terbentuk lipatan
4. costen syndrome, dengan gejala gangguan pendengaran, sering
merasakan pusing, nyeri saat pergerakan sendi dan nyeri saat ditekan.

2.6.1.1 Metode Langsung


Pengukuran dimensi vertikal oklusal
■ DVO = PRS - Freeway Space
■ DVO = Dimensi vertikal pada saat oklusi
■ PRS = Pyshiological rest position

A. Pengukuran wajah
Metode McGee menghubungkan DVO dengan 3 pengukuran wajah yang
dianggap konstan selama hidup, yaitu: jarak dari tengah pupil mata ke garis yang
ditarik dari sudut bibir, jarak dari glabella ke subnasion, dan jarak antara sudut mulut
ketika bibir istirahat. Metode McGee menyatakan dua dari tiga pengukuran ini akan
sama dan terkadang ketiganya akan sama satu sama lain.7
Selain itu Hurst mengembangkan metode pengukuran DVO berdasarkan
tinggi bibir atas dan bagian gigi insisivus sentral yang kelihatan ketika bibir terbuka
dalam posisi istirahat. Metode ini membagi tipe bibir dari sangat pendek sampai
sangat panjang, dan kemudian membuat tabel untuk menentukan DVO pada pasien
tak bergigi.7
Metode yang sering digunakan di klinik adalah metode 2 titik (two dot
technique). Dimana pasien diarahkan untuk duduk dengan posisi kepala tegak dan
rileks di kursi dental kemudian ditetapkan 2 titik pengukuran pada garis tengah
wajah. Satu pada hidung, satu lagi pada dagu. Titik ini dipilih pada daerah yang tidak
mudah bergerak akibat otot ekspresi. Namun menurut Geertz, pada pelaksanaan
metode ini, dokter gigi sulit mendapatkan hasil yang tepat dan akurat dikarenakan
terjadinya pergeseran jaringan lunak. Keakuratan metode ini bersifat subjektivitas
karena dokter gigi menilai sendiri hasil dari metode tersebut. Selain itu, penggunaan
metode ini harus dilakukan secara berulang untuk mendapatkan hasil akhir dan juga
tidak konsisten dalam pengukuran untuk setiap kunjungan.8
Alat yang digunakan pada pengukuran 2 titik adalah jangka sorong dan Willis
bite gauge, karena mempunyai skala yang cocok. Walaupun berdasarkan hasil
penelitian bahwa dengan jangka sorong lebih akurat dari pada Willis bite gauge.9

Gambar 2.2 Pengukuran dimensi vertikal menggunakan jangka sorong.10


Gambar 2.3 Alat pengukuran dimensi vertikal bernama Willis bite gauge Sumber: Instruments
used in removable and fixed prosthodontics.10

B. Swallowing (penelanan)
Proses menelan sebagai salah satu fungsi fisiologis, dianjurkan untuk
digunakan dalam menentukan dimensi vertikal. Posisi mandibula pada awal gerakan
menelan dapat dipakai sebagai dasar dalam menentukan dimensi vertikal. Secara
teori, bila seseorang menelan maka gigi-geligi akan berkontak sangat ringan pada
fase awal penelanan. Jika oklusi tiruan tidak tercapai saat menelan, kemungkinan
dimensi vertikalnya kurang tinggi atas dasar itu maka cara ini digunakan untuk
mengukur dimensi vertikal oklusi. Cara yang dapat digunakan yaitu dengan
meletakkan segumpal malam berbentuk kerucut pada pada basis galangan gigit
bawah sedemikian rupa sehingga berkontak dengan gelengan gigit atas ketika kedua
rahang dibuka lebar, kemudian saliva distimulasi dengan sepotong permen atau
lainnya. Gerakan menelan ludah yang berulang kali secara bertahap akan mengurangi
tinggi kerucut malam tersebut untuk memungkinkan mandibular mencapai ketinggian
dimensi vertikal oklusi. Hasil yang diperoleh dari pengukuran ini dipengaruhi oleh
lama perlakuan dan tingkat kelunakan dari malam yang digunakan.9

C. Fonetik
Pengukuran fonetik ditentukan berdasarkan closest speaking distance yaitu
pada saat menghasilkan suara “s” atau “sh”, atau tidak ada kontak antar gigi. Posisi
ini digunakan sebagai panduan memprediksi DVO. Dapat juga dilakukan dengan
mengucapkan huruf “m” sampai didapat kontak bibir atas dan bibir bawah dalam
keadaan rileks. Penggunaan closest speaking space dianggap yang paling akurat,
mudah dan praktis untuk mendapatkan DVO. Penentuan DVO dengan menggunakan
metode fonetik lebih bersifat mendengar suara yang dihasilkan daripada
memperhatikan hubungan antara gigi-geligi ketika berbicara. Produksi suara “ch”,
”s”, dan ”j” membawa gigi anterior saling mendekat. Apabila semuanya benar,
insisivus bawah harus bergerak maju ke posisi hampir langsung di bawah dan hampir
menyinggung gigi insisivus satu atas. Jika jaraknya terlalu besar, berarti DV terlalu
rendah. Namun jika gigi anterior bersentuhan sewaktu suara-suara tersebut diucapkan
bahkan saling berbenturan Ketika berbicara, DV mungkin terlalu tinggi.11

D. Metode taktil
Sensasi taktil pasien digunakan sebagai panduan untuk menentukan hubungan
vertikal oklusi. Pengukuran ini dilakukan dengan memasukan bite plane yang pada
bagian palatal gigi tiruan rahang atas dilekatkan adjustable central bearing screw dan
central bearing screw pada tepian rim oklusal rahang bawah ke dalam mulut pasien
dan pasien diarahkan untuk membuka dan menutup mulutnya sampai kontak. Pasien
ditanya apakah rim oklusal tampak menyentuh sebelum waktunya, atau apakah
rahang tampak menutup terlalu jauh sebelum disentuh atau jika ketinggian terasa
tepat. Namun metode ini tidak terlalu efektif untuk pasien pikun atau mereka yang
memiliki gangguan kondisi neuromuskuler.12

E. Biting force
Pengukuran ini menggunakan alat (bimeter). Alat bimeter yang digunakan
adalah untuk mengukur kekuatan gigit pada berbagai dimensi vertikal dan dicatat
sebagai “power point”, yang terletak bertepatan pada posisi istirahat mandibula.
Dimana biting force maksimum terjadi pada jarak antar rahang atau hampir sama
dengan DVO. Kerugiannya, hasil pengukuran ini terkadang meragukan. Kekuatan
terbesar otot terletak saat berkontraksi maksimal. DVO yang ditetapkan dengan
mengurangi jarak tersebut dengan 1,5-2 mm.12
F. Rumus Hayakawa
Hayakawa berdasarkan studinya mengembangkan indeks untuk menentukan
dimensi vertikal dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti jarak interpupillary
(pp), jarak antar zygomatic (zy-zy), jenis kelamin, profil, panjang telapak tangan,
subnasional pupillary jarak (p-sn), dan pupil-chelion (p-ch). Faktor-faktor tersebut
dianggap terkait dengan dimensi vertikal. Rumus ini sangat praktis tetapi sampel
pengukurannya hanya terhadap orang Jepang. Oleh karena itu tidak diketahui apakah
rumus ini dapat diterapkan pada populasi Deutero-Melayu yang secara fisik berbeda
dari orang Jepang.13

2.6.1.2 Metode Tidak Langsung


A. Sefalometri
Analisis sefalometri telah digunakan sebagai data tambahan yang berharga
pada penelitian dan diagnosis di bidang kedokteran gigi. Radiografi ini menggunakan
pendekatan rontgenografi menunjukkan tingkat akurasi sebesar 95 sehingga saat ini
telah digunakan sebagai salah satu pilihan metode penentuan DVO pada pembuatan
GTL pada pasien full edentulous Radiografi ini menggunakan pendekatan
rontgenografi menunjukkan tingkat akurasi sebesar 95. Radiografi sefalometri
merupakan metode tidak langsung yang menetapkan tinggi wajah bagian bawah
berdasarkan titik SNA dan titik Gnathion. Berbeda dengan metode konvensional,
metode radiografi sefalometri berorientasi pada titik di jaringan keras sehingga
kesalahan dalam proses pengukuran DVO dapat diminimalisir. Namun metode ini
seringkali tidak digunakan oleh praktisi gigi karena prosesnya yang membutuhkan
untuk pengambilan foto rontgen terlebih dahulu.14
Brzoza menyatakan bahwa titik referensi pada jaringan lunak, tidak stabil dan
sulit ditentukan sehingga penggunaan referensi tulang meningkatkan akurasi
pengukuran. Foto sefalometri menurut Brzoza dkk, Shepherd dan Sheppard, Ciftci
dkk, Shimizu dkk, dan Miyasaki dkk dapat dijadikan alat ukur DV khususnya pada
sepertiga bagian bawah wajah, namun Bassi dkk melaporkan bahwa penggunaan
sefalometri tidak menjamin tepatnya DVO karena variabilitas intraoral yang
ditekankan. Akan tetapi saat ini tidak ada metode pengukuran DV yang akurat
sepenuhnya, sehingga pengukuran perlu dikombinasikan dengan metode lain seperti
fonetik untuk memperkecil kesalahan.15

B. Foto digital
Telah diteliti proporsi golden ratio wajah dengan melakukan pengukuran pada
foto digital. Berdasarkan penelitian, pengukuran DVF pada subjek mahasiswa di
Brazil dengan menggunakan foto digital, dengan mengukur jarak sudut mata ke sudut
bibir dan jarak dasar hidung ke ujung dagu menggunakan software HL image ++97,
kedua jarak ini dinyatakan sama besarnya. Pada penelitian Gomez VL pada tahun
2008, pengukuran dimensi vertikal fisiologis wajah dapat dilakukan pada foto wajah
secara digital, menggunakan kamera foto digital dengan jarak pemotretan 56 cm
antara ujung hidung subjek dengan lensa kamera, dengan ketinggian 112 cm pada
tripod. 24 Penelitian lain juga menyatakan bahwa pengukuran DVF pada subjek
mahasiswa FKG UI dengan menggunakan foto digital, mereka menemukan bahwa
jarak dari sudut mata ke sudut bibir dan jarak dari dasar hidung ke ujung dagu dapat
dilakukan secara langsung pada wajah dan secara tidak langsung pada foto digital
dengan menggunakan aplikasi Adobe Photoshop. 16

2.7 Pengukuran dimensi vertikal oklusal

2.7.1 Pengukuran wajah

Metode McGee menghubungkan DVO dengan 3 pengukuran wajah yang


dianggap konstan selama hidup, yaitu: jarak dari tengah pupil mata ke garis yang
ditarik dari sudut bibir, jarak dari glabella ke subnasion, dan jarak antara sudut mulut
ketika bibir istirahat. Metode McGee menyatakan dua dari tiga pengukuran ini akan
sama dan terkadang ketiganya akan sama satu sama lain.7
Selain itu Hurst mengembangkan metode pengukuran DVO berdasarkan
tinggi bibir atas dan bagian gigi insisivus sentral yang kelihatan ketika bibir terbuka
dalam posisi istirahat. Metode ini membagi tipe bibir dari sangat pendek sampai
sangat panjang, dan kemudian membuat tabel untuk menentukan DVO pada pasien
tak bergigi.7
Metode yang sering digunakan di klinik adalah metode 2 titik (two dot
technique). Dimana pasien diarahkan untuk duduk dengan posisi kepala tegak dan
rileks di kursi dental kemudian ditetapkan 2 titik pengukuran pada garis tengah
wajah. Satu pada hidung, satu lagi pada dagu. Titik ini dipilih pada daerah yang tidak
mudah bergerak akibat otot ekspresi. Namun menurut Geertz, pada pelaksanaan
metode ini, dokter gigi sulit mendapatkan hasil yang tepat dan akurat dikarenakan
terjadinya pergeseran jaringan lunak. Keakuratan metode ini bersifat subjektivitas
karena dokter gigi menilai sendiri hasil dari metode tersebut. Selain itu, penggunaan
metode ini harus dilakukan secara berulang untuk mendapatkan hasil akhir dan juga
tidak konsisten dalam pengukuran untuk setiap kunjungan.8
Alat yang digunakan pada pengukuran 2 titik adalah jangka sorong dan Willis
bite gauge, karena mempunyai skala yang cocok. Walaupun berdasarkan hasil
penelitian bahwa dengan jangka sorong lebih akurat dari pada Willis bite gauge.9

Gambar 2.2 Pengukuran dimensi vertikal menggunakan jangka sorong.10

Gambar 2.3 Alat pengukuran dimensi vertikal bernama Willis bite gauge Sumber: Instruments
used in removable and fixed prosthodontics.10
2.7.2 Swallowing (penelanan)

Proses menelan sebagai salah satu fungsi fisiologis, dianjurkan untuk


digunakan dalam menentukan dimensi vertikal. Posisi mandibula pada awal gerakan
menelan dapat dipakai sebagai dasar dalam menentukan dimensi vertikal. Secara
teori, bila seseorang menelan maka gigi-geligi akan berkontak sangat ringan pada
fase awal penelanan. Jika oklusi tiruan tidak tercapai saat menelan, kemungkinan
dimensi vertikalnya kurang tinggi atas dasar itu maka cara ini digunakan untuk
mengukur dimensi vertikal oklusi. Cara yang dapat digunakan yaitu dengan
meletakkan segumpal malam berbentuk kerucut pada pada basis galangan gigit
bawah sedemikian rupa sehingga berkontak dengan gelengan gigit atas ketika kedua
rahang dibuka lebar, kemudian saliva distimulasi dengan sepotong permen atau
lainnya. Gerakan menelan ludah yang berulang kali secara bertahap akan mengurangi
tinggi kerucut malam tersebut untuk memungkinkan mandibular mencapai ketinggian
dimensi vertikal oklusi. Hasil yang diperoleh dari pengukuran ini dipengaruhi oleh
lama perlakuan dan tingkat kelunakan dari malam yang digunakan.9

2.7.3 Metode fonetik

Pengukuran fonetik ditentukan berdasarkan closest speaking distance yaitu


pada saat menghasilkan suara “s” atau “sh”, atau tidak ada kontak antar gigi. Posisi
ini digunakan sebagai panduan memprediksi DVO. Dapat juga dilakukan dengan
mengucapkan huruf “m” sampai didapat kontak bibir atas dan bibir bawah dalam
keadaan rileks. Penggunaan closest speaking space dianggap yang paling akurat,
mudah dan praktis untuk mendapatkan DVO. Penentuan DVO dengan menggunakan
metode fonetik lebih bersifat mendengar suara yang dihasilkan daripada
memperhatikan hubungan antara gigi-geligi ketika berbicara. Produksi suara “ch”,
”s”, dan ”j” membawa gigi anterior saling mendekat. Apabila semuanya benar,
insisivus bawah harus bergerak maju ke posisi hampir langsung di bawah dan hampir
menyinggung gigi insisivus satu atas. Jika jaraknya terlalu besar, berarti DV terlalu
rendah. Namun jika gigi anterior bersentuhan sewaktu suara-suara tersebut diucapkan
bahkan saling berbenturan Ketika berbicara, DV mungkin terlalu tinggi.11

2.7.4 Metode taktil

Sensasi taktil pasien digunakan sebagai panduan untuk menentukan hubungan


vertikal oklusi. Pengukuran ini dilakukan dengan memasukan bite plane yang pada
bagian palatal gigi tiruan rahang atas dilekatkan adjustable central bearing screw dan
central bearing screw pada tepian rim oklusal rahang bawah ke dalam mulut pasien
dan pasien diarahkan untuk membuka dan menutup mulutnya sampai kontak. Pasien
ditanya apakah rim oklusal tampak menyentuh sebelum waktunya, atau apakah
rahang tampak menutup terlalu jauh sebelum disentuh atau jika ketinggian terasa
tepat. Namun metode ini tidak terlalu efektif untuk pasien pikun atau mereka yang
memiliki gangguan kondisi neuromuskuler.12

2.8 Penurunan DVO

Penurunan dimensi vertikal oklusi prosedur pengurangan DV akibat adanya


kesalahan perhitungan DV yang disebabkan karena kehilangan gigi dengan gangguan
skeletal, kehilangan gigi kombinasi dengan abrasi gigi, kehilangan gigi kombinasi
dengan abrasi dan migrasi gigi, dan prosedur iatrogenik. Penurunan dimensi vertikal
yang terlalu signifikan dapat dicegah selain dengan menggunakan free way space 2
mm, juga dengan memperhatikan setiap proses pembuatan GTL. Perubahan tersebut
dapat disebabkan karena kesalahan-kesalahan yang terjadi pada prosedur laboratoris
ataupun kesalahan-kesalahan yang terjadi secara klinis. Occlusal errors dapat terjadi
karena berbagai sebab yaitu perubahan keadaan sendi temporomandibular,
ketidakakuratan dalam penentuan maxillomandibular relation records yang dibuat
oleh dokter gigi, kesalahan dalam transfer maxillomandibular relation records ke
artikulator, basis gigi tiruan yang tidak pas, kegagalan dalam penggunaan facebow
yang kemudian mengubah dimensi vertikal pada artikulator, serta penyusunan gigi
posterior yang salah.19
BAB II

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pengertian lempeng gigit adalah suatu bentukan sementara yang mewakili


bentukan basis gigi tiruan. Galangan gigit merupakan suatu replica permukaan
oklusal yang dibuat pada basis sementara atau permanen gigi tiruan yang digunakan
untuk pencatatan relasi maksilomadibula dan penyusunan gigi tiruan.
Dimensi vertikal biasanya diartikan sebagai sepertiga panjang wajah bagian
bawah. Dimensi vertikal memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan gigi
tiruan. Dimensi Vertikal Oklusi (DVO) adalah jarak antara 2 titik ketika kontak
oklusi, sedangkan Dimensi vertikal fisiologi (DVF) adalah jarak antara 2 titik (satu di
bagian tengah wajah atau hidung, dan satu lagi pada bagian bawah wajah atau dagu)
diukur ketika mandibula dalam posisi istirahat fisiologis.
Ketika melakukan pengukuran DV oklusi, gigi-gigi rahang atas dan rahang
bawah berkontak maksimal, bibir atas dan bibir bawah berkontak wajar. Kesalahan
penentuan DV oklusi dapat menyebabkan DV terlalu tinggi atau terlalu
rendah.Kesalahan penentuan DV oklusi dapat menyebabkan DV terlalu tinggi atau
terlalu rendah. Penurunan dimensi vertikal oklusi prosedur pengurangan DV akibat
adanya kesalahan perhitungan DV yang disebabkan karena kehilangan gigi dengan
gangguan skeletal, kehilangan gigi kombinasi dengan abrasi gigi, kehilangan gigi
kombinasi dengan abrasi dan migrasi gigi, dan prosedur iatrogenik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Virgita A. Penyusunan Anasir Gigi Tiruan [PDF] | Documents Community
Sharing [Internet]. Diakses pada tanggal 29 Maret 2021 pada laman:
https://xdocs.tips/doc/penyusunan-anasir-gigi-tiruan-vod7g914gdo6
2. Mutiarani A. [Internet]. Id.scribd.com. 2016. Diakses pada tanggal 29 Maret
2021 pada laman:
https://id.scribd.com/document/332048728/Lempeng-Gigit-Dan-Galangan-Gi
git-pada-Gigi-Tiruan-Penuh
3. Glossary of Prosthodontics Terms. 8th ed. J Prosthet Dent 94; 2005, Hal: 10 –
85.
4. Chusnul Chotimah dan Masriadi. Correlation Ear Leaf Height with
Measurement of Vertical Dimension of Occlusion. Indian Journal of Forensic
Medicine & Toxicology, ISSN : 0973-9122 (Print), 0973-9130 (Electronic),
July-September 2019, Vol. 13, Hal: 3.
5. Ratmini dan Arifin (2011). Hubungan Kesehatan Mulut dengan Kualitas
Hidup Lansia. Jurnal Ilmu Gizi Vol.2(2), Hal: 139-147.
6. Mehta JD, Joglekar AP. Vertikal jaw relation as a factor in partial dentures. J
Prosthet Dent 1969; 2: 618-25) (Beckett LS. Accurate occlusal relation in
partial denture constructions. J Prosthet Dent 1954; 4, Hal: 487-95.
7. Turrell AJW. Clinical assessment of vertical dimension. J Prosthodont.
2006;96, Hal:79-82.
8. Geerts GA, Stuhlinger ME. A comparison of the accuracy of two methods
used by pre-doctoral students to measure vertical dimension. J Prosthet Dent.
2004,Hal:91.
9. Gunadi H.A., dkk. Ilmu Geligi Tiruan Sebagian Lepasan. Edisi 2. Jakarta :
EGC;2016. 295-99,30)( Zarb GA., Charles LB., Hickey JC. Carlsson GE.
Buku ajar prostodonsi untuk pasien tak bergigi menurut Boucher. Edisi 10.
Alih Bahasa oleh Daroewati Mardjono. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC; 2001, Hal: 234-239.
10. J Aruna B, R Ladda, J Akshay B. Correlation between vertical dimension of
occlusion and length of little finger. Pravara Med Rev 2012,10-14.
11. Frank MS. Approaches to vertical dimension. Advanced esthetics &
interdisciplinary dentistry; 2000,Hal:3-4.
12. Nallaswamy D. Textbook of prosthodontics. 1st ed. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publishers (P) Ltd.; 2006, Hal: 240-241.
13. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2012-2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013, Hal: 119.
14. Annida Fatiya Zahra, Ady Soesetijo. Perbandingan dimensi vertikal oklusal
sebelum dan setelah insersi gigi tiruan lengkap dengan metode Niswonger dan
radiografi sefalometri: J Ked Gi Unpad. April 2019; 31(1), Hal: 47-53.
15. McCord JF, Grant AA. Registration: Stage II intermaxillary relations. Brit
Dent J. 2000, Hal:188.
16. Wirahadikusumah A., Koesmaningati H, Fardaniah S. Digital photo analysis
as a predictor of physiological vertical dimension. Journal of Dentistry
Indonesia.2011; 18(2), Hal:38.
17. Repository.unimus.ac.id. Diakses pada tanggal 29 Maret 2021 pada laman:
http://repository.unimus.ac.id/3860/4/15.BAB%20II.pdf
18. Academia.edu. Diakses pada tanggal 29 Maret 2021 pada laman:
https://www.academia.edu/34864867/Penentuan_Dimensi_Vertikal_dan_Rela
si_Sentrik_pada_Complete_Denture_dan_Single_Denture
19. Morais ECC, Ornaghi BP, Sponchiado AP, Zielak JC, da Costa RG, Bindo
MJF, et al Determination of final occlusal vertical dimension by
cephalometric analysis. Rev Sul-Brasileira Odontol. 2015; 12(2): 143-50.

Anda mungkin juga menyukai