MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Etika Keperawatan
Yang dibina oleh Bapak Joko Pitoyo, S.Kp., M.Kep.
Kelas 1A
Kelompok 3
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3 Tujuan................................................................................................................3
3.1 Kasus................................................................................................................15
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Masalah.........................................................................................18
4.2 Data Yang Dikembangkan...............................................................................18
4.3 Identifikasi Rencana/ solusi.............................................................................18
4.4 Pemilihan Keputusan.......................................................................................19
4.5 Implementasi....................................................................................................19
4.6 Evaluasi............................................................................................................20
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan......................................................................................................22
5.2 Saran.................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
1
dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi. Tidak
demikian halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup karena
penyakit yang diderita sangat menyiksanya.Mereka ingin segera mendapatkan
kematian, dimana bagi mereka kematian bukan saja merupakan hal yang
diharapkan, namun juga merupakan suatu hal yang dicari dan diidamkan.Terlepas
daripada siap tidaknya mereka menghadapi kehidupan setelah kematian, mereka
menginginkankematian segera tiba. Kematian yang diidamkan oleh pada
penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh
dari rasa sakit dan mengerikan.Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut
euthanasia yang mana dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien
yang tipis harapannya untuk dapat sembuh.
Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru. Bahkan
euthanasia telah ada sejak dari zaman Yunani purba. Dari Yunanilah euthanasia
bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik itu di Benua Eropa
sendiri, Amerika maupun di Asia.Euthanasia merupakan suatu persoalan yang
cukup dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan
agamawan.
Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus
berlangsung (Akh. Fauzi Aseri,1995:51). Mengingat euthanasia merupakan
suatupersoalan yang rumit dan memerlukan kejelasandalam kehidupan
masyarakat, khususnya bagi umatIslam.Maka MUI dalam pengkajian
(muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni 1997 di Jakartayang
menyimpulkan bahwa euthanasia merupakansuatu tindakan bunuh diri (Forum
Keadilan No. 4,29 April 2001:45). Secara logika berdasarkan konteks
perkembanganilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini
merupakan suatu konsekuensi dari proses penelitian dan juga pengembangan.
Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia tampaknya
merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia dalam
mengakhiri kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72).
2
2. Bagaimana pandangan etik mengenai euthanasia?
3. Apa saja Hukum mengenai euthanasia?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Eutanasia.
2. Untuk mengetahui pandangan etik mengenai euthanasia.
3. Untuk mengetahui hukum euthanasia.
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos.
Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan
demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada
yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan,
maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk
menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan
orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu
euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih
menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut
pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan
yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan
penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang
menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah
yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena
definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis,
hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:
1. Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang
pasien.
2. Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang
hidup pasien
4
3. Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan
atau tanpa permintaan pasien.
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan
dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.
2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberinya obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia
adalah sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang
hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.1.1 Klasifikasi Eutanasia
Menurut hukum islamDalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga
macam, yaitu:
a. Pertama pembunuhan sengaja (Alqathl Al-amd ), suatu tindakan yang
direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud
menghilangkan nyawa.
b. Kedua, pembunuhan semisengaja Al-qathl saudara Al-'amd ), suatu tunjangan
keuangan terhadap diri seseorang tidak dengan suatu maksud membunuhnya,
tetapi dimaksudkan kematian.
c. Ketiga, pembunuhan karena kesalahan Alqathl alkhatta), pembunuhan
yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan tindakannya (Djazuli, 2000:
123).
5
2.2 Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari
mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar
euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter
untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya
dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan
medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya
dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis
yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui
bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya,
mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
6
kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai
macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans
magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka
menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya,
yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang
tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha
perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
7
keadaan seperti ini, seorang dokter yang bertanggungjawab untuk menangani
pasien tersebut adalah merupakan pelaku medis yang bisa melakukan determinasi
terhadap pasien.pada kondisi ini pula memungkinkan untuk dilakukan tindakan
euthanasia terhadap seorang pasien ketika pasien tersebut mengalami keadaan
koma yang berkepanjangan disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Seorang
dokter saat mendiagnosa pasien mengalami suatu penyakit yang mematikan dan
sulit untuk disembuhkan, maka dokter yang bersangkutan akan melakukan diskusi
kepada keluarga pasien yang bersangkutan. Untuk melakukan determinasi
terhadap pasien bukanlah merupakan perkara yang mudah untuk dilakukan karena
hal ini menyangkut hidup seorang manusia. Seorang dokter tidak akan melakukan
suatu tindakan mengakhiri hidup seorang pasien atas kehendak pribadinya. Proses
determinasi yang dilakukan seorang dokter dalam mengakhiri hidup pasiennya
harus melalui berbagai proses yang panjang dan berhati- hati.
1. Kehendak Dari Dokter Atau Keluarga Pasien
8
Hal yang paling sensitif dan paling memberikan beban terhadap pasien
maupun keluarga pasien mungkin adalah masalah finansial yaitu biaya
pengobatan yang tidak murah. Dalam keadaan pasien yang memiliki penyakit
yang berat dan memerlukan penindakan yang luar biasa dibantu oleh peralatan
kedokteran yang canggih, tentu tidak memiliki biaya yang sedikit. Dibutuhkan
pembiayaan yang besar untuk tetap melakukan tindakan pengobatan terhadap
pasien yang memiliki penyakit berat seperti kanker, jantung, ginjal dan
sebagainya. Kesulitan yang terus menggerus keuangan pihak keluarga pasien pun
bisa memicu terjadinya tindakan euthanasia dalam hal ini euthanasia pasif. Pada
keadaan seperti ini, euthanasia pasif banyak terjadi di kalangan dokter maupun
pihak Rumah sakit.
3. Mati Secara Terhormat.
9
umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang
berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk
penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral
mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang
atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup,
sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang
mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah
dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang
digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa
yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan
yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus
menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan
mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan"
(The Sanctity Of Life).
Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena
itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui
kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan
eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa
hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang
dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini
bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu
bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari
segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya.
Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat
manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang
bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap
harus dihormati.
10
Penilaian etika euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya
dalam decade sekarang ini. Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma
moral yang sangat fundamental untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau
dalam segala aspek kebudayaan diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk
dalam bidang agama. Malah boleh dikatakan, ini norma moral yang paling
penting, sebagaimana pelanggarannya juga merupakan kejahatan paling besar.
Namun demikian norma moral ini pun tidak bersifat absolute. Rasanya
dalam etika tidak ada norma moral yang sama sekali absolute. Karena itu disekitar
norma ini pun selalu masih ada hal-hal yang dipermasalahkan. Dizaman sekarang
menyangkut hukuman mati dan euthanasia, tetapi berlawanan. Apakah pantas
Hukuman mati dipertahankan sebagai pengecualian atas larangan untuk
membunuh sedangkan tentang euthanasia dipersoalkan tidak perlu diakui adanya
pengecualian atas larangan untuk membunuh.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan
Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.”
Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri
yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah
mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter.
Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk
insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun
menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia.
Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus
mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk
mengakhirinya.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
11
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa
penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2012).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak
mudah melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan
adanya eutanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak
dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter
tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan
pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena
adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter
dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak
lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-
undangan merupakan tindak pidana, yang secara hukum di negara manapun, tidak
dibenarkan oleh Undang-undang.
Di dalam Wikipedia (2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat
beberapa negara yang telah melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa
persyaratan dan pertanyaan yang harus dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya,
diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika. Di dalamnya
juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang
merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan
bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah
merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
12
pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu.
Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah
apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
a. Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun. Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran
sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau
keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman
hukuman ini harus dihadapinya. Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
b. Pasal 338 KUHP:
13
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.Kalau diperhatikan bunyi
pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut,
maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada
saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai
miliknya yang paling berharga.
Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang
perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka
hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara. Adalah suatu
kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan
ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin
oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
14
BAB III
KASUS
3.1 Kasus
Mensos Dampingi Keluarga Pria yang Ajukan Suntik Mati di Aceh
Sabtu, 6 Mei 2017 | 21:33 WIB
15
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. "Jadi Bapak sepertinya sudah putus asa.
Setelah pembongkaran barak kemarin secara paksa, dia ambil keputusan
itu, saya terkejut. Saya sudah upaya melarang, tapi dia bersikeras atas
kemauannya itu," ungkap Ratnawati. (Baca juga: Perjuangan Suami Rawat Istri
yang Sakit Keras hingga Berniat Ajukan Suntik Mati) Ratnawati bercerita, mereka
adalah korban bencana gempa dan tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004 lalu.
Pasca-bencana mereka tak kunjung mendapat bantuan rumah dari pemerintah
maupun dari lembaga non pemerintah. “Jadi kami tinggal di barak pengungsian
ini dari dulu, karena tidak kunjung dapat bantuan rumah, tapi kini barak tersebut
digusur, dan ini semakin menambah beban hidup kami,” keluhnya. Safaruddin,
Ketua YARA, yang juga Kuasa Hukum Ratnawati, mengatakan pihaknya hanya
membantu sebatas pemberian pemahaman secara hukum kepada BA. “Pasca
digusur, Ratnawati beserta suaminya tinggal bersama 17 kepala keluarga lainnya
di kantor YARA. Mereka tinggal berdesak-desakan dalam kondisi darurat
sebelum mendapat hunian yang lebih layak,” ujar Safaruddin. Sementara itu,
Humas Pengadilan Negeri Banda Aceh, Eddy SH mengatakan bahwa hokum
positif di Indonesia tidak mengenal pelaksanaan eutanasia. Menurut dia, belum
pernah pengadilan menerima pengajuan itu karena eutanasia tidak terdapat dalam
hukum positif, yang ada hanya hukuman mati atas putusan pengadilan. "Namun
demikian, permohonan yang diajukan ke pengadilan tetap kita terima, dan akan
diproses, majelis hakimlah nanti yang akan memutuskan hal ini,” ungkap Eddy.
16
orang putri, Tasya Maizura (11) dan Fitria Balqis (5). Saat ini Tasya akhirnya
diserahkan kepada kakak sang istri Ratnawati untuk dirawat dan bisa melanjutkan
sekolah. “Saya tak tahu harus bagaimana, keluarga kakak saya itu pun bukan
keluarga mampu, tapi Cuma mereka yang bisa kami minta untuk merawat anak
saya, kasian anak saya tahun ini dia harus menamatkan sekolah dasarnya, agar
bisa melanjutkan ke sekolah SMP,” ucap Berlin dengan bibir bergetar menahan
sedih. “Anak yang kecil masih ikut bersama kami, tapi saya cemas juga
bagaimana kehidupannya nanti,” tambah dia.
17
BAB IV
PEMBAHASAN
18
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”. Sebenarnya bentuk merampas nyawa orang lain yang diatur dalam
pasal 344 KUHP hanya merupakan salah satu bentuk dari euthanasia yaitu
euthanasia aktif (atas permintaan) langsung.
Pasal lain yang dapat dihubungkan dengan masalah euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan ialah pasal 338 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, dan pasal
340 “Barang siapa sengaja dang dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord),
dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”.
Karena unsur kesengajaan tidak selalu ada pada euthanasia pasif
(permission), maka dapatlah kiranya ketentuan pasal 359 KUHP yang
berbunyi: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun”, dimasukkan sebagai aturan yang mengatur perbuatan
euthanasia pasif.
f. Dampak konflik nilai yang terdapat dalam kasus adalah ketidakpercayaan
pasien akan hidup dan mati ditentukan oleh Tuhan,
19
1) Bina hubungan saling percaya dengan tujuan pasien mudah menerima
setiap saran dari perawat yang dipercayainya
2) Mengobservasi kepercayaan pasien tentang hidup dan mati dengan tujuan
perawat mampu memberikan saran yang tepat sesuai dengan kepercayaan
pasien.
3) Mengobservasi setiap masalah dan alasan pasien ingin mengakhiri
hidupnya melalui euthanasia dengan tujuan mengetahui pokok
permasalahan yang dihadapi oleh pasien.
4) Berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya seperti psikiater untuk
meningkatkan motivasi pasien untuk bertahan hidup melawan penyakitnya
5) Berkolaborasi dengan keluarga untuk memotivasi pasien dan memberikan
pengertian kepada pasien bahwa masih ada orang lain yang membutuhkan
kehadiran pasien.
4.5 Implementasi
20
Setelah pasien mengubah keputusannya, sampai saat ini pasien tetap
menjalankan pengobatannya/kontrol secara rutin ke dokter sehingga dapat
memperpanjang usia kehidupan pasien dan mengurangi penderitaan penyakit
pasien.
4.6 Evaluasi
Dalam kasus ini tindakan yang dilakukan oleh tim kesehatan dan hasil kolaborasi
dengan keluarga telah tercapai, tindakan selanjutnya adalah perawat harus
menunjang kesembuhan pasien dan mencegah berbagai masalah yang mungkin
akan timbul seperti decubitus, sehingga pasien perlu dilakukan mobilisasi.
21
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa sebagai seorang perawat
yang professional dalam bertugas dalam bidang pelayanan masyarakat harus
memahami dan menerapkan etika keperawatan yang digunakan sebagai acuan
bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang
dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.
Selain berpedoman pada etika keperawatan, dalam memberikan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat, perawat juga harus mengetahui prinsip-prinsip etika
keperawatan, ethical issue dalam praktik keperawatan dan prinsip-prinsip legal
dalam praktik keperawatan, sehingga nantinya dalam memberikan pelayanan
kesehatan, seorang perawat dapat meberikan pelayanan terbaik kepada klien.
Aturan mengenai masalah euthanasia berbeda-beda di setiap negara dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya. Di beberapa
negara, euthanasia dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap
dilarang karena tidak ada dasar hukum yang jelas, sebagaimana tercantum dalam
pasal 338, 340, 344, dan pasal 359 KUHP.
5.2 Saran
1. Saran untuk pembaca
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca lebih berpikir secara
rasional akan dampak tindakan euthanasia itu sendiri . Jadi sebelum melakukan
tindakan euthanasia lebih baik meminta persetujuan dari keluarga terdekatnya.
22
Pemerintah merupakan aspek yang sangat fundamental dalam kelangsungan
suatu Negara harus mampu secara tegas dalam menangani dan mengatur UU
yang mencantumkan tentang hukum euthanasia menegakkan segala aturan sesuai
dengan norma hokum yang berlaku didalam masyarakat Indonesia. Misalnya
dengan membuat UU yang lebih mengacu pada kasus euthanasia.
23
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika.
Prakoso, dkk. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Jariah, A.A. 2015. Tindakan Euthanasia yang Dilakukan Oleh Dokter Ditinjau
Dari Hukum Positif di Indonesia. UIN Alauddin Makassar.
http://repositori.uinalauddin.ac.id/2524/1/ANDI%20AINUN%20JARIAH
%2C%20S.H..pdf. Diakses tanggal 19 Maret 2020.
Movamita, A.N.K. 2017. Mensos Dampingi Keluarga Pria yang Ajukan Suntik
Mati di Aceh. Jakarta: Kompas.com.
https://amp.kompas.com/nasional/read/2017/05/06/21334621/mensos.dam
pingi.keluarga.pria.yang.ajukan.suntik.mati.di.aceh. Diakses tanggal 20
Maret 2020.
24