Anda di halaman 1dari 27

EUTHANASIA DALAM PRAKTIK ETIKA KEPERAWATAN

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Etika Keperawatan
Yang dibina oleh Bapak Joko Pitoyo, S.Kp., M.Kep.

Kelas 1A
Kelompok 3

Istifar Eka Pradita P17210191001


Elvira Ekklesia Aprilita P17210191006
Delia Ihda Mufidah P17210191018
Erin Kholifatun Nisak P17210191023
Youlanda Tania Ma’rifana P17210193043
Mochammad Alfath Luqman P17210193046

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
D-III KEPERAWATAN MALANG
Maret 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa,


karena atas limpahan berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul “Euthanasia Dalam Etika Keperawatan”.

Dengan selesainya makalah ini, maka terpenuhilah salah satu tugas


matakuliah Etika Keperawatan kami yang dibina oleh Bapak Joko Pitoyo,
S.Kp., M.Kep.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan makalah


ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan adanya masukan, saran, dan koreksi dari berbagai
pihak untuk memperbaiki segala kekurangan sehingga dapat menghasilkan
makalah dengan baik.

Malang, Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
1.3 Tujuan................................................................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Pengertian Euthanasia........................................................................................4
2.2 Jenis Euthanasia.................................................................................................6
2.3 Faktor- Faktor Euthanasia..................................................................................7
2.4 Pandangan Etika Mengenai Euthanasia.............................................................9
2.5 Hukum Mengenai Euthanasia..........................................................................12

BAB III KASUS

3.1 Kasus................................................................................................................15

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Masalah.........................................................................................18
4.2 Data Yang Dikembangkan...............................................................................18
4.3 Identifikasi Rencana/ solusi.............................................................................18
4.4 Pemilihan Keputusan.......................................................................................19
4.5 Implementasi....................................................................................................19
4.6 Evaluasi............................................................................................................20

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan......................................................................................................22
5.2 Saran.................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kematian, bagi sebagian besar umat manusia itu merupakan suatu hal yang
tidak menyenangkan dan mungkin tidak dikehendaki.Manusia sebagai salah satu
ciptaan Tuhan yang paling sempurna karena dilengkapi dengan akal, pikiran dan
rasa. Dengan menggunakan akal dan pikirannya tersebut manusia mampu
menciptakan teknologi untuk mempermudah dalam hal menjalankan aktifitasnya
sehari-hari (Ni Made Puspasutari Ujianti, dkk., 2013:41), maka dari sinilah
manusia terus-menerus berusaha menunda kematian dengan berbagai cara,
termasuk didalamnya temuan sains dan teknologi untuk menyembuhkan
kesehatan manusia, tetapi sebaliknya, dengan adanya penemuan-penemuan sains
dan teknologi tersebut, membawa suatu konsekuensi tertentu kepada ummat
manusia seperti euthanasia. Padahal yang diharapkan manusia adalah sains dan
teknologi memfasilitasi kehidupan manusia dengan berbagai kemajuannya.Dalam
arti, pengembangan sains adalah manifestasi keinginanmanusia untuk maju dan
juga berkembang menyempurnakan hidupnya, dan untuk memecahkan rahasia
alam.
Salah satu pengembangan sains yang membantu dan terkait langsung dengan
kesehatan dan kehidupan manusia adalah teknologi kedokteran. Kehidupan, serta
juga kematian manusia merupakan suatu hal yang mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam nilai-nilai moral manapun, hingga setiap perlakuan terhadapnya akan
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari segi moral. Inilah dasar perkembangan
rekayasa genetika dan bioetika atau bioteknologi sebagai suatu bidang ilmu yang
kini dianggap menjadi disiplin tersendiri di dalam bidang kedokteran.
Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat
menakutkan, namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu
proses yang tidak dapat ditunda, namun kebanyakan orang tidak menghendaki
bila kematiaan itu datang dengan segera.
Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba.
Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih

1
dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi. Tidak
demikian halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup karena
penyakit yang diderita sangat menyiksanya.Mereka ingin segera mendapatkan
kematian, dimana bagi mereka kematian bukan saja merupakan hal yang
diharapkan, namun juga merupakan suatu hal yang dicari dan diidamkan.Terlepas
daripada siap tidaknya mereka menghadapi kehidupan setelah kematian, mereka
menginginkankematian segera tiba. Kematian yang diidamkan oleh pada
penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh
dari rasa sakit dan mengerikan.Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut
euthanasia yang mana dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien
yang tipis harapannya untuk dapat sembuh.
Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru. Bahkan
euthanasia telah ada sejak dari zaman Yunani purba. Dari Yunanilah euthanasia
bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik itu di Benua Eropa
sendiri, Amerika maupun di Asia.Euthanasia merupakan suatu persoalan yang
cukup dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan
agamawan.
Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus
berlangsung (Akh. Fauzi Aseri,1995:51). Mengingat euthanasia merupakan
suatupersoalan yang rumit dan memerlukan kejelasandalam kehidupan
masyarakat, khususnya bagi umatIslam.Maka MUI dalam pengkajian
(muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni 1997 di Jakartayang
menyimpulkan bahwa euthanasia merupakansuatu tindakan bunuh diri (Forum
Keadilan No. 4,29 April 2001:45). Secara logika berdasarkan konteks
perkembanganilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini
merupakan suatu konsekuensi dari proses penelitian dan juga pengembangan.
Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia tampaknya
merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia dalam
mengakhiri kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72).

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian Eutanasia?

2
2. Bagaimana pandangan etik mengenai euthanasia?
3. Apa saja Hukum mengenai euthanasia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Eutanasia.
2. Untuk mengetahui pandangan etik mengenai euthanasia.
3. Untuk mengetahui hukum euthanasia.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI
 
2.1. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos.
Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan  dan thanatos berarti mati. Dengan
demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada
yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan,
maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk
menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan
orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu
euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih
menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut
pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan
yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan
penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang
menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah
yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena
definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis,
hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:
1.  Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang
pasien.
2. Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang
hidup pasien

4
3. Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan
atau tanpa permintaan pasien.
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan
dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.
2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberinya obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia
adalah sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang
hidup pasien.
c.  Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
 
2.1.1 Klasifikasi Eutanasia
Menurut hukum islamDalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga
macam, yaitu:
a. Pertama pembunuhan sengaja (Alqathl Al-amd ), suatu tindakan yang
direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud
menghilangkan nyawa. 
b. Kedua, pembunuhan semisengaja Al-qathl saudara Al-'amd ), suatu tunjangan
keuangan terhadap diri seseorang tidak dengan suatu maksud membunuhnya,
tetapi dimaksudkan kematian.
c. Ketiga, pembunuhan karena kesalahan Alqathl alkhatta), pembunuhan
yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan tindakannya (Djazuli, 2000:
123).

5
2.2 Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari
mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar
euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter
untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya
dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan
medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya
dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis
yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui
bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya,
mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala


tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia,
sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan
dihentikan.
3. Euthanasia volunter

Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau


mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien


dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan
keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas
penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan

6
kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai
macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans
magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka
menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya,
yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang
tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha
perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".

2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian


dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di
sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,
hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek
kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja

3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau


permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan
pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.

4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan


keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga
(misalnya keluarga), atau atas keputusan

2.3 Faktor-Faktor Seorang Dokter Melakukan Euthanasia

1. Tidak ada harapan hidup bagi pasien


Faktor- faktor yang mempengaruhi seorang dokter mengambil keputusauntuk
melakukan euthanasia terhadap seorang pasien salah satu hal yang fundamental
adalah ketika pasien tersebut berada pada situasi atau kondisi dimana keadaaan
fisik dan psikisnya sudah tidak dapat me-regenerasi lagi. Dalam keondisi ini
seorang dokter dibantu oleh kolega dokter yang lain telah mengeluarkan diagnosa
atas penyakit pasien yang bersangkutan bahwa pasien dengan penyakit yang
berada pada stadium lanjut atau akhir sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Dalam

7
keadaan seperti ini, seorang dokter yang bertanggungjawab untuk menangani
pasien tersebut adalah merupakan pelaku medis yang bisa melakukan determinasi
terhadap pasien.pada kondisi ini pula memungkinkan untuk dilakukan tindakan
euthanasia terhadap seorang pasien ketika pasien tersebut mengalami keadaan
koma yang berkepanjangan disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Seorang
dokter saat mendiagnosa pasien mengalami suatu penyakit yang mematikan dan
sulit untuk disembuhkan, maka dokter yang bersangkutan akan melakukan diskusi
kepada keluarga pasien yang bersangkutan. Untuk melakukan determinasi
terhadap pasien bukanlah merupakan perkara yang mudah untuk dilakukan karena
hal ini menyangkut hidup seorang manusia. Seorang dokter tidak akan melakukan
suatu tindakan mengakhiri hidup seorang pasien atas kehendak pribadinya. Proses
determinasi yang dilakukan seorang dokter dalam mengakhiri hidup pasiennya
harus melalui berbagai proses yang panjang dan berhati- hati.
1. Kehendak Dari Dokter Atau Keluarga Pasien

Baik dokter maupun keluarga pasien, kalapun ada kehendak untuk


melaksanakan euthanasia, umumnya dikarenakan faktor kasihan melihat
penderitaan pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi pasien yang mengalami
fase koma yang cukup lama memungkinkan keluarga pasien mengambil
keputusan untuk melakukan tindakan euthanasia pasien tersebut. Dalam
diagnosanya, seorang dokter benar- benar harus memahami keadaan pasiennya,
umunya seorang dokter akan mempelajari keadaan pasiennya selama berada
dibawah perawatannya. Keadaan yang dialami seorang pasien ketika dibawah
perawatan, diketahui oleh dokter yang bersangkutan. Keadaan yang seperti inilah
seorang dokter akan merasa iba dan kasihan terhadap pasien yang mengalami
penderitaan yang begitu berat atas penyakit yang dideritanya. Seperti yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai proses euthanasia yaitu membantu
mempercepat kematian seseorang agar terbebas dari penderitaan. Menurut Anton
M. Moeliono dan kawan- kawan, pengertian euthanasia adalah tindakan dengan
sengaja mengakhiri kehidupan seseorang (orang ataupun piaraan hewan) yang
sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar
perikemanusiaan.
2. Faktor Ekonomi

8
Hal yang paling sensitif dan paling memberikan beban terhadap pasien
maupun keluarga pasien mungkin adalah masalah finansial yaitu biaya
pengobatan yang tidak murah. Dalam keadaan pasien yang memiliki penyakit
yang berat dan memerlukan penindakan yang luar biasa dibantu oleh peralatan
kedokteran yang canggih, tentu tidak memiliki biaya yang sedikit. Dibutuhkan
pembiayaan yang besar untuk tetap melakukan tindakan pengobatan terhadap
pasien yang memiliki penyakit berat seperti kanker, jantung, ginjal dan
sebagainya. Kesulitan yang terus menggerus keuangan pihak keluarga pasien pun
bisa memicu terjadinya tindakan euthanasia dalam hal ini euthanasia pasif. Pada
keadaan seperti ini, euthanasia pasif banyak terjadi di kalangan dokter maupun
pihak Rumah sakit.
3. Mati Secara Terhormat.

Di England, terdapat organisasi gerakan ‘hospice’ yang bertujuan untuk


memberi penhormatan khusus kepada pasien-pasien yang mempunyai harapan
tipis untuk hidup. Menurut Hospice Foundation Amerika, tujuan yayasan adalah
untuk memberi kenyamanan kepada pasien yang tipis harapan, di samping juga
memberi keutamaan untuk menjaga pasien dari rasa sakit dan penderitaan yang
dialaminya. Caranya ialah dengan melakukan euthanasia yaitu dengan memberi
obat atau menyediakan obat untuk pasien yang akan dilakukan determinasi.
Berbeda jika dilihat dari perspektif Islam yang melihat segala bentuk kesusahan
yang dialami oleh seseorang tidak akan merendah atau mencemarkan kehormatan
dirinya. Justru ini adalah kesempatan bagi dirinya untuk mendapat ampunan dan
ganjaran pahala daripada Allah swt.

2.4  Pandangan Etika Mengenai Euthanasia


Etik berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti ”yang baik, yang layak”.
Etik merupakan morma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok
profesi terentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat.
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam
hubungan dengan orang lain.
Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta
ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara

9
umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang
berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk
penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral
mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang
atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup,
sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang
mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup moral perawat telah
dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang
digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa
yang seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan
yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus
menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan
mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan"
(The Sanctity Of Life).
Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena
itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui
kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan
eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa
hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang
dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini
bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu
bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.
            (PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari
segala sesuatu. Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya.
Karena itu, hidup manusia adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat
manusia tidak berubah meskipun dia dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang
bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap
harus dihormati.

10
Penilaian etika euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya
dalam decade sekarang ini. Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma
moral yang sangat fundamental untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau
dalam segala aspek kebudayaan diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk
dalam bidang agama. Malah boleh dikatakan, ini norma moral yang paling
penting, sebagaimana pelanggarannya juga merupakan kejahatan paling besar.
Namun demikian norma moral ini pun tidak bersifat absolute. Rasanya
dalam etika tidak ada norma moral yang sama sekali absolute. Karena itu disekitar
norma ini pun selalu masih ada hal-hal yang dipermasalahkan. Dizaman sekarang
menyangkut hukuman mati dan euthanasia, tetapi berlawanan. Apakah pantas
Hukuman mati dipertahankan sebagai pengecualian atas larangan untuk
membunuh sedangkan tentang euthanasia dipersoalkan tidak perlu diakui adanya
pengecualian atas larangan untuk membunuh.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan
Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.”
Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri
yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah
mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter.
Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk
insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun
menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia.
Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus
mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk
mengakhirinya.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5

11
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa
penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2012).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak
mudah melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan
adanya eutanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak
dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter
tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan
pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena
adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter
dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak
lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu
sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-
undangan merupakan tindak pidana, yang secara hukum di negara manapun, tidak
dibenarkan oleh Undang-undang.
Di dalam Wikipedia (2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat
beberapa negara yang telah melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa
persyaratan dan pertanyaan yang harus dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya,
diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika. Di dalamnya
juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang
merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan
bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah
merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

2.5  Hukum Mengenai Euthanasia


Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum
ada pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal
keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau

12
pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu.
Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah
apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
a. Pasal 344 KUHP:

Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun. Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran
sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau
keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman
hukuman ini harus dihadapinya. Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan, beberapa pasal dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
b. Pasal 338 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena


makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
c. Pasal 340 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan


jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan
hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-
lamanya dua puluh tahun.
d. Pasal 359 KUHP:                    

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara


selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia, yaitu:
e. Pasal 345 KUHP:

13
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.Kalau diperhatikan bunyi
pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut,
maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-undang pada
saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai
miliknya yang paling berharga.
Oleh sebab itu setiap perbuatan  apapun motif dan macamnya sepanjang
perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka
hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara. Adalah suatu
kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan
ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin
oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

14
BAB III
KASUS

3.1 Kasus
Mensos Dampingi Keluarga Pria yang Ajukan Suntik Mati di Aceh
Sabtu, 6 Mei 2017 | 21:33 WIB

Tak tahan menanggung beban penyakit yang dideritanya, Berlin Silalahi


(46) mengajukan permohonan eutanasia atau tindakan mengakhiri hidup
seseorang yang sakit parah dengan kematian yang dinilai tenang, biasanya dengan
suntikan, ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Berlin adalah seorang korban
penggusuran dari barak pengungsi tsunami di Gampong Bakoy, Kecamatan Ingin
Jaya, Aceh Besar. Sang istri, Ratnawati, sudah menyetujui permohonan tersebut.
Dia mengaku hanya bisa pasrah atas keinginan suaminya tersebut. “Saya sudah
bilang jangan lakukan itu dan katanya dia sudah tak sanggup lagi menahan beban
hidup dan sakit yang diderita,” ujar Ratnawati saat mengantarkan permohonan
pengajuan tersebut didampingi kuasa hukum mereka dari Yayasan Advokasi
Rakyat Aceh (YARA), Rabu, (3/5/2017). Berlin sendiri tidak bisa hadir karena
sedang sakit dan menderita lumpuh dan saat ini berada di Kantor YARA. Dokter
memvonis Berlin Silalahi menderita radang tulang sehingga menyebabkan kedua
kakinya tak bisa digerakkan lagi. Menurut dia, suaminya sudah merasa putus asa
dengan penyakit kronis yang dideritanya yang tak kunjung sembuh. Ditambah lagi
kondisi hidup mereka yang kini tidak lagi memiliki rumah tempat tinggal karena
barak yang mereka huni dalam beberapa tahun terakhir ini digusur oleh

15
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. "Jadi Bapak sepertinya sudah putus asa.
Setelah pembongkaran barak kemarin secara paksa, dia ambil keputusan
itu, saya terkejut. Saya sudah upaya melarang, tapi dia bersikeras atas
kemauannya itu," ungkap Ratnawati. (Baca juga: Perjuangan Suami Rawat Istri
yang Sakit Keras hingga Berniat Ajukan Suntik Mati) Ratnawati bercerita, mereka
adalah korban bencana gempa dan tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004 lalu.
Pasca-bencana mereka tak kunjung mendapat bantuan rumah dari pemerintah
maupun dari lembaga non pemerintah. “Jadi kami tinggal di barak pengungsian
ini dari dulu, karena tidak kunjung dapat bantuan rumah, tapi kini barak tersebut
digusur, dan ini semakin menambah beban hidup kami,” keluhnya. Safaruddin,
Ketua YARA, yang juga Kuasa Hukum Ratnawati, mengatakan pihaknya hanya
membantu sebatas pemberian pemahaman secara hukum kepada BA. “Pasca
digusur, Ratnawati beserta suaminya tinggal bersama 17 kepala keluarga lainnya
di kantor YARA. Mereka tinggal berdesak-desakan dalam kondisi darurat
sebelum mendapat hunian yang lebih layak,” ujar Safaruddin. Sementara itu,
Humas Pengadilan Negeri Banda Aceh, Eddy SH mengatakan bahwa hokum
positif di Indonesia tidak mengenal pelaksanaan eutanasia. Menurut dia, belum
pernah pengadilan menerima pengajuan itu karena eutanasia tidak terdapat dalam
hukum positif, yang ada hanya hukuman mati atas putusan pengadilan. "Namun
demikian, permohonan yang diajukan ke pengadilan tetap kita terima, dan akan
diproses, majelis hakimlah nanti yang akan memutuskan hal ini,” ungkap Eddy.

BANDA ACEH, KOMPAS.com – Berlin Silalahi (46) mengajukan


permohonan euthanasia atau tindakan mengakhiri hidup seseorang yang sakit
parah dengan kematian yang dinilai tenang, biasanya dengan suntikan, ke
Pengadilan Negeri Banda Aceh. Salah seorang korban penggusuran dari barak
pengungsi tsunami di Gampong Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar itu
mengaku sudah tidak tahan lagi dengan penyakit yang dideritanya. “Kalau
sebelumnya saya masih bisa duduk dalam waktu yang agak lama, tapi kalau
sekarang, sebentar saja duduk badan saya langsung terasa sakit semua, dan saya
harus berbaring lagi, saya sudah tidak tahan lagi,” ucap dia kepada Kompas.com,
Kamis (4/52017) di Banda Aceh. Sebelum tsunami, Berlin bekerja sebagai
mekanik mesin di sebuah bengkel sepeda motor. Dia juga sempat bekerja sebagai
petugas ticketing pada angkutan minibus L-300 Trayek Antar Kota Dalam
Propinsi (AKDP). Pasca musibah gempa dan tsunami, Berlin tinggal di barak
hunian sementara, karena rumah yang mereka sewa hancur dilanda tsunami. Pria
kelahiran Batak-Jawa ini mulai sakit-sakitan sejak tinggal di barak. Hingga
akhirnya pada tahun 2014 lalu, ia mengalami kelumpuhan setelah menjalani
pengobatan medis dan alternatif di Kota Lhokseumawe. Sejak kembali ke Banda
Aceh, sebut Berlin, ia sudah bolak balik menjalani perawatan ke rumah sakit. Tapi
penyakit yang dideritanya belum kunjung sembuh. Kini kondisinya semakin
parah. Berlin yang menikah dengan Ratnawati tahun 2002 itu dikaruniai dua

16
orang putri, Tasya Maizura (11) dan Fitria Balqis (5). Saat ini Tasya akhirnya
diserahkan kepada kakak sang istri Ratnawati untuk dirawat dan bisa melanjutkan
sekolah. “Saya tak tahu harus bagaimana, keluarga kakak saya itu pun bukan
keluarga mampu, tapi Cuma mereka yang bisa kami minta untuk merawat anak
saya, kasian anak saya tahun ini dia harus menamatkan sekolah dasarnya, agar
bisa melanjutkan ke sekolah SMP,” ucap Berlin dengan bibir bergetar menahan
sedih. “Anak yang kecil masih ikut bersama kami, tapi saya cemas juga
bagaimana kehidupannya nanti,” tambah dia.

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa


mengatakan, pihaknya akan mendampingi keluarga Berlin Silalahi (46) yang
mengajukan eutanasia ke Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Eutanasia merupakan tindakan mengakhiri hidup seseorang yang sakit parah


dengan kematian yang dinilai tenang, biasanya dengan suntik mati.

Menurut Khofifah, kasus Berlin sangat memprihatinkan. Terlebih Berlin adalah


korban selamat tsunami. Khofifah menegaskan bahwa eutanasia dilarang di
Indonesia. "Di beberapa negara ada yang membolehkan praktik tersebut, tapi di
Indonesia tidak," kata Khofifah melalui keterangan tertulis, Sabtu (6/5/2017).
Khofifah mengatakan, dalam hukum yang berlaku, eutanasia masuk dalam
kategori pembunuhan. Khofifah mengutip QS Az-Zumar ayat 53 yang
menyebutkan bahwa Allah menghendaki kepada setiap Muslim hendaknya selalu
optimistis menghadapi setiap musibah. Seorang mukmin harus berjuang, bukan
tinggal diam dan untuk berperang bukan lari. "Dalam Islam diajarkan untuk tidak
mudah berputus asa dari rahmat Allah SWT, sebaliknya banyak-banyak bersyukur
atas kehidupan yang diberikan," kata Khofifah. Oleh karena itu, Khofifah
meminta kasus ini dapat diselesaikan dengan bijak. Ia berharap Pemerintah
Daerah bisa mencari jalan keluar terkait pengobatan terhadap penyakit yang
diderita Berlin. Berlin ingin mengakhiri hidupnya karena tidak tahan dengan
penyakit yang dideritanya. Berlin menderita radang tulang sejak 2012 yang
menyebabkan kedua kakinya lumpuh. Pascamusibah gempa dan tsunami, Berlin
tinggal di barak hunian sementara, karena rumah yang mereka sewa hancur
dilanda tsunami. Berlin mulai sakit-sakitan sejak tinggal di barak. Sejak 2014 lalu,
ia mengalami kelumpuhan setelah menjalani pengobatan medis dan alternatif di
Kota Lhokseumawe.

17
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Masalah


a. Isu: keinginan pasien untuk meninggal dengan tenang karena telah putus asa
dengan keadaannya dan minta dilakukan suntik mati.
b. Hubungan berdampak antara pasien dan tim kesehatan di RS.
c. Hal yang menentukan keputusan yaitu berdasarkan kesepakatan bersama
antara pihak pasien dan keluarga serta tim kesehatan di RS yang bertanggung
jawab mengenai hal tersebut.
d. Prinsip dan teori keperawatan yang relevan:
1) Prinsip otonomi. Dalam hal ini perawat harus menghargai prinsip
otonominya. Menghargai otonomi berarti menghargai manusia sebagai
seseorang yang mempunyai harga diri dan martabat yang mampu
menentukan sesuatu bagi dirinya.
2) Prinsip non-maleficience. Dalam hal ini perawat harus menghargai prinsip
tersebut. Karena tindakan euthanasia adalah tindakan yang membahayakan
nyawa pasien.
3) Teori yang relevan adalah deontologi karena berprinsip pada aksi atau
tindakan yang memiliki nilai moral. Tindakan yang mengakhiri hidup
seperti euthanasia adalah tindakan yang melanggar moral dan nilai-nilai
kemanusiaan/tindakan yang buruk secara moral.
e. Undang-undang di Indonesia yang relevan:
Dilihat dari aspek hukum pidana, maka euthanasia aktif dalam bentuk
apapun adalah dilarang. Euthanasia aktif atas permintaan dilarang menurut
pasal 344 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa menghilangkan nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan

18
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”. Sebenarnya bentuk merampas nyawa orang lain yang diatur dalam
pasal 344 KUHP hanya merupakan salah satu bentuk dari euthanasia yaitu
euthanasia aktif (atas permintaan) langsung.
Pasal lain yang dapat dihubungkan dengan masalah euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan ialah pasal 338 KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”, dan pasal
340 “Barang siapa sengaja dang dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord),
dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun”.
Karena unsur kesengajaan tidak selalu ada pada euthanasia pasif
(permission), maka dapatlah kiranya ketentuan pasal 359 KUHP yang
berbunyi: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun”, dimasukkan sebagai aturan yang mengatur perbuatan
euthanasia pasif.
f. Dampak konflik nilai yang terdapat dalam kasus adalah ketidakpercayaan
pasien akan hidup dan mati ditentukan oleh Tuhan,

4.2 Data yang Perlu Dikembangkan


Data yang perlu dikembangkan dalam hal ini adalah bagaimana keyakinan
pasien kepada Tuhan mengenai hidupnya.

4.3 Identifikasi Rencana/Solusi


a. Situasi yang memperburuk masalah yaitu kurangnya motivasi dari keluarga
supaya pasien berusaha dan berjuang untuk sembuh. Terbukti dari pernyataan
keluarga pasien yang mendukung keputusan pasien tersebut atas permintaan
euthanasia.
b. Pilihan solusi:

19
1) Bina hubungan saling percaya dengan tujuan pasien mudah menerima
setiap saran dari perawat yang dipercayainya
2) Mengobservasi kepercayaan pasien tentang hidup dan mati dengan tujuan
perawat mampu memberikan saran yang tepat sesuai dengan kepercayaan
pasien.
3) Mengobservasi setiap masalah dan alasan pasien ingin mengakhiri
hidupnya melalui euthanasia dengan tujuan mengetahui pokok
permasalahan yang dihadapi oleh pasien.
4) Berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya seperti psikiater untuk
meningkatkan motivasi pasien untuk bertahan hidup melawan penyakitnya
5) Berkolaborasi dengan keluarga untuk memotivasi pasien dan memberikan
pengertian kepada pasien bahwa masih ada orang lain yang membutuhkan
kehadiran pasien.

4.4 Pemilihan Keputusan


a. Keuntungan
Apabila pasien dapat menerima saran dan dukungan dari orang lain dan
keluarga maka tindakan buruk yang melanggar moral dapat dihindari, dan
pasien dapat terus melanjutkan hidupnya.
b. Kerugian
Jika pasien tidak dapat menerima saran dan dukungan dari orang lain dan
keluarga maka pasien harus menanggung setiap perbuatannya karena
menyalahi norma dan mendahului kehendak Tuhan Yang Mahaesa
c. Konsekuensi dalam kasus ini yaitu jika pasien tidak dapat menerima saran dari
orang lain dan keluarga maka tim kesehatan harus menghargai otonomi
pasiennya karena itu bersangkutan dengan harkat dan martabat pasien.
d. Keputusan yang diambil dalam kasus ini adalah pasien akhirnya menerima
saran dan dukungan dari orang lain dan keluarga untuk mengubah
keputusannya. Sehingga pasien dapat hidup sampai saat ini walaupun masih
sakit.

4.5 Implementasi

20
Setelah pasien mengubah keputusannya, sampai saat ini pasien tetap
menjalankan pengobatannya/kontrol secara rutin ke dokter sehingga dapat
memperpanjang usia kehidupan pasien dan mengurangi penderitaan penyakit
pasien.

4.6 Evaluasi
Dalam kasus ini tindakan yang dilakukan oleh tim kesehatan dan hasil kolaborasi
dengan keluarga telah tercapai, tindakan selanjutnya adalah perawat harus
menunjang kesembuhan pasien dan mencegah berbagai masalah yang mungkin
akan timbul seperti decubitus, sehingga pasien perlu dilakukan mobilisasi.

21
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa sebagai seorang perawat
yang professional dalam bertugas dalam bidang pelayanan masyarakat harus
memahami dan menerapkan etika keperawatan yang digunakan sebagai acuan
bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang
dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral.
Selain berpedoman pada etika keperawatan, dalam memberikan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat, perawat juga harus mengetahui prinsip-prinsip etika
keperawatan, ethical issue dalam praktik keperawatan dan prinsip-prinsip legal
dalam praktik keperawatan, sehingga nantinya dalam memberikan pelayanan
kesehatan, seorang perawat dapat meberikan pelayanan terbaik kepada klien.
Aturan mengenai masalah euthanasia berbeda-beda di setiap negara dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya. Di beberapa
negara, euthanasia dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap
dilarang karena tidak ada dasar hukum yang jelas, sebagaimana tercantum dalam
pasal 338, 340, 344, dan pasal 359 KUHP.

5.2 Saran
1. Saran untuk pembaca
Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca lebih berpikir secara
rasional akan dampak tindakan euthanasia itu sendiri . Jadi sebelum melakukan
tindakan euthanasia lebih baik meminta persetujuan dari keluarga terdekatnya.

2. Saran Untuk Pemerintah

22
Pemerintah merupakan aspek yang sangat fundamental dalam kelangsungan
suatu Negara harus mampu secara tegas dalam menangani dan mengatur UU
yang mencantumkan tentang hukum euthanasia menegakkan segala aturan sesuai
dengan norma hokum yang berlaku didalam masyarakat Indonesia. Misalnya
dengan membuat UU yang lebih mengacu pada kasus euthanasia.

3. Saran untuk tenaga kesehatan


Tenaga kesehatan adalah sebagai sarana dalam penyembuhan penyakit
seorang pasien. Untuk kasus euthanasia,seorang tenaga kesehatan harus
memenuhi syarat yang ditentukan dalam melakukan euthanasia agar tidak
dikategorikan sebagai kasus malpraktik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Akh. Fauzi Aseri. 1995. Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran,


Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum
Kontemporer. Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary.
Jakarta: Pustaka Firdaus hal. 51.

Forum Keadilan No. 4. 29 April 2001. hal. 45.

Amir, Amri, 1997, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika.

Prakoso, dkk. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. Jakarta:
Ghalia Indonesia.

Prasetyo, Agung. 2015. Makalah Euthanasia. http://agungmavis20.blogspot.


com/2015/11/makalah-euthanasia.html. Diakses tanggal 19 Maret 2020.

Bara, Satria. 2012. Makalah Euthanasia.


http://satriabara.blogspot.com/2012/06/makalah-euthanasia.html. Diakses
tanggal 19 Maret 2020.

Jariah, A.A. 2015. Tindakan Euthanasia yang Dilakukan Oleh Dokter Ditinjau
Dari Hukum Positif di Indonesia. UIN Alauddin Makassar.
http://repositori.uinalauddin.ac.id/2524/1/ANDI%20AINUN%20JARIAH
%2C%20S.H..pdf. Diakses tanggal 19 Maret 2020.

Movamita, A.N.K. 2017. Mensos Dampingi Keluarga Pria yang Ajukan Suntik
Mati di Aceh. Jakarta: Kompas.com.
https://amp.kompas.com/nasional/read/2017/05/06/21334621/mensos.dam
pingi.keluarga.pria.yang.ajukan.suntik.mati.di.aceh. Diakses tanggal 20
Maret 2020.

24

Anda mungkin juga menyukai