MAKALAH
Disusun Oleh:
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena
kasih dan rahmat-Nyalah, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang aspek
legal mallpraktik, abortus dan euthanasia Makalah ini kami susun sebagai penugasan dari
mata ajar etik dan legal dalam keperawatan Lanjutan pada Program Magister Ilmu
Keperawatan peminatan Keperawatan Medikal Bedah.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari akan adanya kekurangan baik dalam segi
penulisan maupun pemaparan makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan saran yang
bersifat membangun demi peningkatan pengetahuan kami dalam bidang Sains dalam
Keperawatan. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampuh mata kuliah,
Prof. Dr. Indar, SH., MPH.dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan
penyusunan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat dalam proses
pembelajaran bagi mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan.
HALAMAN JUDUL............................................................................................... 1
KATA PENGANTAR............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................... 4
B. Rumusan masalah................................................................................ 5
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………. 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Sistem perkemihan .............................................................................. 6
1 Pengertian ................................................................................... 6
2 Anatomi system perkemihan......................................................... 6
3 Fisiologi system perkemihan......................................................... 7
4 Autoregulasi ginjal......................................................................... 8
5 Peranan renin dan angiotensin aldesteron pada tekanan darah...... 9
6 Hormone yang mengatur system perkemihan............................... 10
B. Teori keperawatan............................................................................... 10
C. Pengkajian sistem perkemihan ........................................................... 12
1. Anamnesa ..................................................................................... 12
2. Pemeriksaan fisik .......................................................................... 13
3. Pemeriksaan diagnostic ................................................................ 15
4. Pengobatan..................................................................................... 16
D. Diagnosa keperawatan ........................................................................ 17
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………… 32
B. Saran ………………………………………………………………….. 30
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai salah
satu tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan melaksanakan kegiatan praktek
keperawatan dengan mengunakan ilmu pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat
dipertanggung jawabkan. Dimana ciri sebagai profesi adalah mempunyai bdy of knowledge
yang dapat diuji kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada masyarakat
langsung.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk
implementasi praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik kepada
individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan kesehatan dan
kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara kesehatan serta menyembuhkan
dari sakit, dengan kata lain upaya praktek keperawatan berupa promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitasi.
Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung berhubungan
dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan, dan pada saat interaksi inilah sering
timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik disengaja maupun tidak disengaja,
kondisi demikian inilah sering menimbulkan konflik baik pada diri pelaku dan
penerima praktek keperawatan. Oleh karena itu profesi keperawatan harus
mempunyai standar profesi dan aturan lainnya yang didasari oleh ilmu pengetahuan
yang dimilikinya, guna memberi perlindungan kepada masyarakat. Dengan adanya
standar praktek profesi keperawatan inilah dapat dilihat apakah seorang perawat
melakukan malpraktek, kelalaian ataupun bentuk pelanggaran praktek keperawatan
lainnya.
Ketentuan hukum tentang aborsi terdapat di dalam Pasal 295 s.d. 298 KUHP
Belanda 1881 yang dinyatakan tidak berlaku lagi setelah aborsi dilegalkan di Belanda
dengan ditetapkannya Undang-Undang Pengguguran Kandungan 1 Mei 1981 Stb.
1981, 257 yang kemudian dirubah dengan Undang-undang tanggal 6 Nopember 1997,
Stb. 1997, 510. Di dalam KUHP Indonesia yang masih berlaku sampai sekarang,
aborsi diatur dalam Pasal 346 s.d. 349 KUHP yang termasuk dalam kejahatan
terhadap nyawa, khususnya nyawa janin. Pasal-pasal tersebut merupakan turunan atau
kopi dari Pasal 295 s.d. 298 KUHP Belanda 1881 yang dinyatakan tidak berlaku lagi
sebagaimana telah diutarakan di atas.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai aspek legal praktek keperawatan etik
malpraktek, dalam keperawatan.
C. Tujuan penulisan
1. perbedaan antara malpraktek, kesalahan dan kelalaian
2. Aspek legal abortus di AS dan Indonesia.
3. Tiga alasan pelarangan euthanasia diindonesia
4. Euthanasia masuk kedalam konstitusi belanda dan belgia
BAB II
PEMBAHASAN
Contoh Kasus :
Dalam memindahkan pasien yang tidak bisa mobilisasi secara aktif dan
kesakitan apabila bergerak pasien akan dipindahkan dari tempat tidur ke brangkar
untuk dilakukan MRI diruang radiologi dalam proses pemindahan, dilakukan 4
orang petugas kesehatan, pemindahan pasien dan satu orang perawat memberikan
aba-aba untuk pasien mulai diangkat ketika proses pengangkatan dilakukan
brangkar terdorong atau bergeser kedepan perawat sehingga posisi pasien
mendarat kebrangkar hampir jatuh karena petugas lupa dalam mengunci brangkar
pada saat pemindahan.
3. Kelalaian
Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar
standar sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain (Sampurno, 2005).
Contoh kasus :
Seorang klien menderita lumpuh seluruh badan akibatnya pasien bedrest
total pasien dirawat selama 30 hari selama masa perawatan pasien tidak pernah
dilakukan mika-miki akbibatnya Timbul luka Decubitus selama dalam perawatan,
kondisi ini sering muncul karena asuhan keperawatan yang dijalankan oleh
perawat tidak dijalankan dengan baik dan juga pengetahuan perawat terdahap
asuhan keperawatan tidak optimal.
B. Aspek legal abortus di AS dan Indonesia.
1. Aspek legal abortus di AS
Sampai dengan pertengahan abad ke-19 hukum yang berlaku di AS adalah
Common Law Inggris. Connecticut, negara bagian pertama yang memberlakukan
perundangundangan aborsi, pada tahun 1821 mengadopsi bagian dari hukum
aborsi Inggris yaitu Lord Ellenbrough’s Act yang berkaitan dengan “quickening”
pada wanita hamil. Undang-undang ini melarang aborsi setelah “quickening”, dan
menganggapnya. sebagai kejahatan utama (capital crime), tetapi menetapkan
hukuman yang lebih ringan terhadap aborsi sebelum “quickening”, dan dengan
demikian mempertahankan perbedaan berdasarkan prinsip “quickening” di dalam
common law.
, New York memberlakukan perundang-undangan yang dalam dua hal
dapat menjadi model perundang-undangan anti-aborsi awal. Pertama, undang-
undang tersebut melarang perusakan janin baik sebelum maupun sesudah
“quickening”. Perusakan janin sebelum “quickening” dianggap sebagai
pelanggaran, dan bila dilakukan sesudah “quickening” dianggap sebagai
pembunuhan. Kedua, undang-undang tersebut menyatukan konsep aborsi
therapeutik dengan mengatur bahwa aborsi dimaafkan “apabila diperlukan untuk
mempertahankan kehidupan ibu, atau dinasihatkan oleh dua dokter bersertifikat
bahwa hal itu diperlukan untuk tujuan tersebut.
Pada tahun 1840, ketika negara Bagian Texas menerima common law,
hanya ada 8 negara bagian AS mempunyai undang-undang yang berkaitan dengan
aborsi. Kebanyakan perundang-undangan yang awalnya mengatur secara keras
aborsi setelah “quickening,” tetapi lembut terhadap aborsi sebelum “quickening.”
Kebanyakan perundang-undangan menghukum percobaan melakukan aborsi sama
dengan aborsi yang selesai, dan banyak pula yang memasukkan pengecualian
untuk aborsi yang diperkenankan oleh satu atau lebih dokter yang diperlukan
untuk menyelamatkan jiwa ibu. Secara bertahap, pada pertengahan dan akhir abad
ke-19, perbedaan berdasarkan prinsip “quickening” hilang dari hukum perundang-
undangan, dan dibuat peraturan yang lebih keras terhadap aborsi.
Menurut O’Conner,14 sejak awal perlu ditegaskan kembali dasar putusan Roe v.
Wade dan Doe v. Bolton, yang memberikan teori tiga kerangka waktu tersebut,
yaitu:
a. Putusan itu merupakan pengakuan terhadap hak privasi perempuan untuk
memilih aborsi sebelum janin mampu hidup di luar rahim dan dapat
melakukannya tanpa campur tangan negara. Sebelum janin mampu hidup di
luar rahim kepentingan negara tidak cukup kuat untuk mendukung larangan
aborsi atau hambatan terhadap hak privasi perempuan untuk memilih prosedur
aborsi.
b. Putusan tersebut merupakan konfirmasi terhadap kekuasaan negara untuk
melarang induksi setelah janin mampu hidup di luar rahim, apabila hukum
mengatur tentang pengecualian terhadap kehamilan yang membahayakan
kehidupan atau kesehatan perempuan.
c. Prinsip bahwa negara mempunyai kepentingan yang sah untuk melindungi
kehidupan janin yang dapat menjadi seorang anak. Prinsip-prinsip ini tidak
saling bertentangan dan setiap prinsip menjadi pegangan bangsa AS.
Oleh karena itu O’Conner15 menyimpulkan bahwa batas waktu harus ditarik pada
saat janin mampu hidup di luar rahim, sehingga sebelum saat tersebut, perempuan
mempunyai hak privasi untuk memilih menghentikan kehamilannya. Kita
berpegang pada prinsip ini karena dua alasan:
a. Setiap tindakan pengadilan untuk menarik garis batas dapat merupakan suatu
perbuatan yang sewenang-wenang, tetapi dalam keputusan Roe dan Doe hal
tersebut dielaborasi dengan sangat teliti.
b. Konsep kemampuan hidup di luar rahim, sebagaimana dapat diketahui dalam
putusan Roe dan Doe, adalah saat dimana terdapat kemungkinan yang realistik
untuk mempertahankan dan mengasuh kehidupan di luar rahim, sehingga
keberadaan yang bebas dari kehidupan anak dalam kandungan mendapatkan
perlindungan dari negara yang sekarang melebihi hak perempuan.
2. Aspek legal Abortus di indonesia
Di Indonesia, sejak diberlakukannya KUHP yang diadopsi dari KUHP
Belanda 1881 berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946, ketentuan hukum tentang
aborsi menganut model larangan (model of prohibition) karena aborsi dilarang
tanpa pengecualian sebagaimana diatur di dalam Pasal 346 s.d. 349 KUHP yang
merupakan kopi atau turunan dari Pasal 295 s.d. 298 KUHP Belanda 1881.
Kemudian model larangan yang dianut di dalam KUHP ini disempurnakan dengan
adanya pengecualian setelah dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (UUK), meskipun hanya terbatas pada alasan medis untuk
menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat.
Oleh karena itu hukum pidana yang berkaitan dengan aborsi atau ius
constitutum tentang aborsi di Indonesia tergolong hukum yang paling konservatif
dan keras terhadap aborsi karena melarang aborsi kecuali untuk menyelamatkan
jiwa ibu.
menghadapi perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini
ada dua pilihan ius constituendum tentang aborsi yang dimungkinkan.
a. Pertama, ketentuan yang hanya membolehkan aborsi berdasarkan indikasi
medis untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat sebagaimana
diatur di dalam UUK tetap dipertahankan dengan kewajiban untuk
melengkapinya dengan PP sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (3) UUK.
b. Kedua, mengesahkan RUU Amandemen UUK yang memuat ketentuan yang
pada dasarnya melegalkan aborsi aman berdasarkan permintaan perempuan
yang mengalami KTD karena mengacu pada kesepakatan ICPD Kairo 1994
tentang hak reproduksi.
C. Tiga alasan pelarangan euthanasia diindonesia
1. Euthanasia dalam ilmu kedokteran
Beauchamp and Childress (1994) mengemukakan bahwa untuk mencapai
suatu keputusan etik diperlukan empat kaidah dasar moral dan beberapa aturan di
bawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut iala:
a. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien. Dalam hal ini, seorang dokter wajib
menghormati martabat dan hak manusia.
b. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan demi kebaikan pasien. Dalam prisnip beneficience tidak hanya
dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, tetapi juga perbuatan dengan sisi baik
yang lebih besar daripada sisi buruk. Dalam hal ini, seorang dokter harus
berbuat baik, menghormati martabat manusia, dan dokter tersebut harus
berusaha secara maksimal agar pasien-nya tetap dalam kondisi sehat.
c. Prinsip non-malficience, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini terkenal sebagai primum non nocere
atau “above all do no harm”. Non-malficience ialah suatu prinsip dimana
seorang dokter tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan
memilih pengobatan yang berisiko paling kecil bagi pasien yang dirawat atau
diobati olehnya.
d. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan
dalam bersikap maupun dalam mendis-tribusikan sumber daya. Keadilan
(justice) merupakan suatu prinsip di-mana seorang dokter wajib memberikan
perlakuan sama rata serta adil untuk kebahagiaan dan kenyamanan pasien
tersebut.
2. Euthanasia Dalam pandangan islam
euthanasia tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan
tetapi telah merambah kepada para ulama Islam. Meskipun di dalam hukum Islam
belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia
termasuk jarimah (dosa) atau bukan.
Konsep euthanasia yang dirumuskan para ahli, sebenarnya ditemukan pula
larangannya dalam Al-Quran dan Hadits. Misalnya dalam Al-Qur’an pada QS. Al-
An’am ayat 151: ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar”. Membunuh disini
dapat diartikan membunuh dengan cara apapun termasuk membunuh dengan
bantuan orang lain seperti konsep euthanasia aktif. Pembunuhan yang
dikecualikan dalam ayat tersebut adalah pembunuhan yang dibenarkan seperti
membunuh saat berperang dalam melawan kaum kafir. Penderitapun tidak berhak
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena berputus asa terhadap penyakit
yang dideritanya.
3. Euthanasia ditinjau dari Aspek Yuridis Indonesia
Peraturan yang dapat dihubungkan dengan euthanasia dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dapat ditemukan dalam Bab XIX pasal
338 sampai dengan pasal 350 tentang kejahatan terhadap jiwa orang. Kejahatan
terhadap jiwa manusia terdiri atas 5 jenis yaitu: (1) Pembunuhan dengan sengaja
(doodslag), pasal 338 KUHP, (2) Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu
(moord), pasal 340 KUHP, (3) Pembunuhan dalam bentuk yang dapat
memperberat hukuman (gequalificeerde doodslag), pasal 339 KUHP, (4)
Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan yang sangat dan tegas oleh
korban, pasal 344 KUHP, (5).
Tindakan seseorang yang dengan sengaja menganjurkan atau membantu
atau memberi daya upaya kepada orang lain untuk melakukan bunuh diri, pasal
345 KUHP. Dalam KUHP tidak diketemukan pasal yang secara eksplisit
mengatur tentang eutahanasia. Akan tetapi jika dicermati maka pasal yang
digunakan untuk menunjukkan pelarangan terhadap euthanasia adalah pasal 344
KUHP yaitu mengenai pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan sangat
dan tegas oleh korban[4,20]. Pasal 344 KUHP menyebutkan bahwa: “Barang
siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, di hukum penjara
selama-lamanya 12 tahun”.
D. Euthanasia masuk kedalam konstitusi belanda dan belgia
1. Legislasi belanda
Berdasarkan Dutch Penal Codes Article 293, 294 kegiatan euthanasia atau
“assisted suicide” dilindungi oleh hukum dengan beberapa panduan yang
ditetapkan oleh pengadilan di Rotterdam tahun 1981 sbb:
Amir, N., & Purnama, D. (2021). Perbuatan Perawat yang Melakukan Kesalahan dalam
Tindakan Medis. Kertha Wicaksana, 15(1), 26–36.
https://doi.org/10.22225/kw.15.1.2821.26-36
Rodziewicz, T. L., Houseman, B., & Hipskind, J. E. (2021). Medical Error Reduction and
Prevention. In StatPearls. StatPearls Publishing.
Prihastuti, I. (2018). Euthanasia Dalam Pandangan Etika Secara Agama Islam, Medis Dan
Aspek Yuridis Di Indonesia. Jurnal Filsafat Indonesia, 1(2), 85.
https://doi.org/10.23887/jfi.v1i2.13995
Simón Lorda, P., & Barrio Cantalejo, I. M. (2012). La eutanasia en Bélgica [Euthanasia in
Belgium]. Revista espanola de salud publica, 86(1), 5–19.
https://doi.org/10.1590/S1135-57272012000100002