Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN

 Misconduct (kesalahan dan kelalaian)


 Whisteblowing (tindakan yang dilakukan seseorang untuk dilakukan kecurangan/
complaints)

Dosen Pengampu: Melva Simatupang, SST, M. Kes

Disusun Oleh Kelompok 14:


 Mifta Hulwardah (P07524422064)
 Lady Shinta Marito Sinaga (P07524422063)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN


JURUSAN KEBIDANAN MEDAN
POLTEKKES KEMENKES RI MEDAN
TA. 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan kesehatan dan kesempatan sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan
baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini saya buat untuk melengkapi tugas mata kuliah
“ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN” yang sedang saya tempuh. Makalah ini dibuat dengan
berbagai sumber kajian dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu
menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini.

Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan pada
makalah kali ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
penyelesain makalah ini, yang telah membimbing penyusun dalam pembuatan makalah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya para peserta didik.

Medan, 22 Januari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR .................................................................................................. 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................. 3
BAB 1: PENDAHULUAN........................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 6
BAB 2 : PEMBAHASAN ............................................................................................ 7
2.1 Kelalaian medis .............................................................................................. 7
2.2 Macam macam bentuk kelalaian ..................................................................... 9
2.3 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan oleh
bidan ............................................................................................................. 10
2.4 Pengertian Whistleblowing System ................................................................ 12
2.5 Jenis-Jenis Whistleblowing System ................................................................ 13
2.6 Manfaat Whisteblowing system...................................................................... 15

BAB 3 : PENUTUP ..................................................................................................... 16


3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 16
3.2 Saran .............................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Sedangkan pembangunan kesehatan
pada hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk
mencapai kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat
kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan
nasional.
Dokter sebagai anggota profesi yang mengabdikan ilmunya untuk kepentingan umum,
mempunyai kebebasan dan kemandirian yang berorientasi kepada nilai-nilai kemanusiaan
sesuai dengan kode etik kedokteran. Kode etik kedokteran ini bertujuan untuk mengutamakan
kepentingan dan keselamatan pasien, menjamin bahwa profesi kedokteran harus senantiasa
dilaksanakan dengan niat yang luhur dan dengan cara yang benar.
Tindakan malpraktek medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang
professional terutama dalam dunia kesehatan. Tindakan malpraktek medik yang melibatkan
para dokter dan tenaga kesehatan lainnya seperti perawat dan bidan terdapat banyak jenis dan
bentuknya, misalnya kesalahan melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan
yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan proses persalinan terhadap pasien dengan
baik, teliti dan cermat.
Seperti halnya dokter, bidan juga sering mendapat sorotan mengenai tindakan
malpraktek. Dikarenakan selama ada proses reproduksi manusia, keberadan bidan di Indonesia
sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya, sehingga pelayanan
kebidanan berada dimana-mana dan kapan saja. Bidan dalam melaksanakan tugas profesinya
kadang kala diprotes oleh masyarakat karena membuat kesalahan atau kelalaian yang
mendatangkan kerugian bagi pasien yang ditanganinya. Kemungkinan terjadinya kesalahan
atau kelalaian tersebut, biasanya mendatangkan kerugian yang tidak sedikit bagi pasien baik
itu yang merupakan kerugian fisik, psikis maupun materil. Dimana kerugian fisik yang dapat
dialami oleh pasien akibat dari tindakan malpraktek yang dilakukan oleh bidan dapat
mengakibatkan kematian bayi maupun pasien itu sendiri.
Pengertian malpraktik secara umum menyebutkan adanya kesembronoan (professional
miscounduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang

1
diukur dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikan pada setiap situasi dan kondisi di
dalam komunitas yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata.
Ketentuan perbuatan pidana terhadap kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dokter
yang menyebabkan kematian pada pasien terdapat dalam Pasal 359 Jis. Pasal 361 KUHP, Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum
Pidana yang mengatakan:
a. Pasal 359 mengatakan “barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun”.
b. Pasal 361 mengatakan “jika kejahatan diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana tambahan denga sepertiga dan
yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim memerintahkan supaya putusannya diumumkan”.
c. Pasal 55 Ayat (1) mengatakan “dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. Mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka
yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan”.

1.2 Perumusan Masalah


1. Apa itu kesalahan atau kelalaian?
2. Sebutkan macam macam dari bentuk kelalaian?
3. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh
bidan?
4. Apa itu definisi whisteblowing?
5. Sebutkan apa saja jenis-jenis whisteblowing?
6. Apa manfaat dari whisteblowing?

2
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa maksud dari kesalahan atau kelalaian
2. Mengetahui macam macam dari bentuk kelalaian
3. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya malpraktek yang dilakukan
oleh bidan
4. Mengetahui definisi dari whisteblowing
5. Mengetahui jenis-jenis whisteblowing
6. Mengetahui manfaat dari whisteblowing

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kelalaian medis


Menurut Simons (Moeljatno, 1993: 158), kesalahan adalah: ”Adanya keadaan psychis
yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara
keadaaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu
dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”. Kesalahan dianggap ada, apabila dengan
sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau
akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung jawab.
Dalam hukum pidana, kesalahan dan kelalaian seseorang dapat diukur dengan apakah
pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu memuat 4 unsur
(Moeljatno, 1993: 164), yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab.
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) dan
kealpaan/kelalaian (culpa).
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu
yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana (Bahder Johan, 2005: 54), bentuk-bentuk
kesalahan terdiri dari:
1. Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi:
a. kesengajaan dengan maksud, dimana akibat dari perbuatan itu diharapkan akan
timbul, atau agar peristiwa pidana itu sendiri terjadi.
b. kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian bahwa
akibat dari perbuatan itu sendiri akan terjadi, atau dengan kesadaran sebagai
suatu kemungkinan saja;
c. kesengajaan bersyarat sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan
disengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang mengarah pada suatu kesadaran
bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar terjadi;
2. Kealpaan, sebagaimana dirumuskan dalam KUHP, yaitu

4
”seharusnya mengetahui atau dapat mengetahui atau menyadari”. Jadi, kelalaian
merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi
standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi
dikarenakan perilaku orang itu sendiri.
Dalam pelayanan kesehatan yang menyebabkan timbulnya kelalaian adalah
”karena kurangnya pengetahuan, kurangnya kesungguhan serta kurangnya ketelitian
dokter dan atau tenaga kesehatan lainnya pada waktu melaksanakan pelayanan medis”
(Bahder Johan, 2005: 55).
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai “professional
misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional
services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the
circumstances in the community by the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or
to those entitled to rely upon them”
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktek
dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence),ataupun suatu kekurangmahiran/ketidak kompetenan yang
tidak beralasan. Malpraktek dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter.
Profesional di bidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar
kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktek dalam pekerjaannya masing-
masing. J. Guwandi, S.H. mengatakan malpraktek bukan sinonim dengan kelalaian.
Menurutnya, malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam
arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian, dapat juga
karena ada unsur kesengajaan . Malpraktek mempunyai pengertian yang lebih luas daripada
kelalaian. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-
tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, onzettelijk) dan melanggar
undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya suatu motif (mens rea, guilty mind).
Sedangkan arti kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-
hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang
timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.

5
2.2 Macam macam bentuk kelalaian
Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam (Bahder Johan, 2005: 56), yaitu:
a. Kealpaan perbuatan
Apabila hanya dengan melakukan perbuatannya sudah merupakan suatu peristiwa
pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut
sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP;
b. Kealpaan akibat
Merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah
menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya
orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, 360,361 KUHP.
Sedangkan kealpaan itu sendiri memuat tiga unsur, yaitu:
1) pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis
maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan
(termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
2) pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang.
3) perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung
jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.
Sedangkan menurut S.Schaffmeister (Achmad Ali, 2004: 219), skema kelalaian atau
culpa yaitu :
1. Conscious : kelalaian yang disadari, contohnya antara lain sembrono (roekeloos), lalai
(onachttzaam), tidak acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat
buruk tidak akan terjadi;
2. Unconscius : kelalaian yang tidak disadari, contohnya antara lain kurang berpikir
(onnadentkend), lengah (onoplettend), dimana seseorang seyogianya harus sadar
dengan risiko, tetapi tidak demikian.
Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan,
namun dia sadar apabila dia tidak melakukan perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan
akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari terjadi
apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, dan
apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya.
Berpedoman pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat dikatakan kealpaan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang dapat dilihat, artinya
6
perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih
dahulu sudah dipenuhi oleh seorang dokter, perawat maupun bidan. Ukuran normatifnya adalah
bahwa tindakan dokter dan perawat maupun bidan tersebut setidak-tidaknya sama dengan apa
yang diharapkan dapat dilakukan teman sejawatnya dalam situasi yang sama.

2.3 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Malpraktek Yang Dilakukan Oleh


Bidan
Terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh bidan disebabkan karena beberapa faktor, menurut
analisa Penulis faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya malpraktek yang dilakukan
oleh bidan yakni:
1. Kelalaian
Kelalaian adalah suatu kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja, atau kurang
hati-hati, atau kurang penduga-duga. Akibat yang terjadi karena kelalaian sebenarnya
tidak dikehendaki oleh si pembuat. Didalam KUHP, tindak pidana yang sebabkan oleh
kelalaian diatur dalam Pasal 359,360 dan 361 KUHP. Pasal 359: Barangsiapa karena
salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Pasal 360:
a) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan
selama-lamanya satu tahun.
b) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan
jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam
bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4500,.Pasal 361:
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan
sesuatujabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah sepertiganya dan
sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam mana waktu kejahatan itu
dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu
diumumkan. Mengenai penyebutan kelalaian dengan “karena kesalahannya”,
menurut Penulis hal ini kurang tepat, karena dalam hukum pidana, kesalahan
lebih luas pengertiannya yaitu menyangkut kelalaian (culpa) dan kesengajaan
(dolus). Kelalaian adalah salah satu faktor yang sering dijadikan sebagai
penyebab terjadinya malpraktek. Bahkan ada juga yang menyebutkan bahwa
7
kelalaian dan malpraktek adalah istilah yang memiliki maksud yang sama. Hal
ini dapat dilihat dari pengertian-pengertian malpraktek yang diberikan oleh
beberapa sarjana. Misalnya pengertian yang diberikan oleh Jusuf Hanafiah yang
menyebutkan bahwa malpraktek medik adalah kelalaian seorang tenaga
kesehatan untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan
yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama. Mengenai malpraktek yang dilakukan
oleh bidan, kemungkinan terjadinya malpraktek dikarenakan oleh kelalaian
sangatlah besar. Contohnya saja seorang bidan yang memberi obat kepada
pasien ibu hamil tanpa konsultasi lebih dahulu dengan dokter yang lebih paham
mengenai kondisi yang dialami oleh pasien.
2. Kurangnya Pengetahuan dan Pengalaman
Pasien yang datang untuk mendapatkan pelayanan dan perawatan dari seorang bidan
baik itu dirumah sakit ataupun ditempat praktek persalinan tentu saja mengharapkan
dengan kemampuan dan pengetahuannya di bidang kesehatan , bidan tersebut dapat
membantunya untuk menjalani proses persalinan dengan baik sehingga bayinya bisa
lahir dengan selamat.
Bagi ibu atau wanita hamil yang datang untuk mendapatkan pelayanan dari seorang
bidan tentu saja mengharapkan agar bidan tersebut dapat membantunya melahirkan
tanpa ada suatu hal yang tidak diharapkan untuk terjadi yang dapat membahayakan
kesehatan dari sang ibu atau bayinya. Akan tetapi sering terjadi, bahwa dalam
pelayanan dan perawatan yang diberikan oleh bidan kepada pasiennya, terjadi
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bidan yang membahayakan kesehatan pasien
atau mungkin mengakibatkan sang pasien menjadi cacat atau bahkan meninggal dunia.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan dari bidan. Kesalahan
yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan bidan tersebut dapat terjadi ketika
melakukan diagnose, penanganan pada proses persalinan dan pada perawatan yang
harus diberikan kepada pasien.
3. Faktor Ekonomi
Perkembangan yang terjadi didalam masyarakat yang sangat cepat sangat berpengaruh
terhadap pandangan masyarakat mengenai berbagai segi kehidupan. Segi positif dari
perkembangan ini misalnya masyarakat semakin menyadari hak- haknya dan cara
berpikir pun menjadi semakin kritis terhadap berbagai segi kehidupan. Sedangkan segi
negatifnya adalah masyarakat menjadi semakin materialistik, hedonistik dan konsumtif,
8
dimana materi menjadi tolok ukur utama dalam menilai suatu masalah dan hidup
menjadi seolah-olah “perlombaan” mencari materi. Seorang bidan selain dalam
profesinya adalah juga merupakan manusia biasa. Didalam kehidupannya, seorang
bidan tentu saja mempunyai kebutuhan- kebutuhan yang harus dipenuhi. Terlebih lagi
disaat ini ketika kehidupan ekonomi di Indonesia sedang mengalami masa sulit. Dengan
kondisi seperti itu tidak menutup kemungkinan, bahwa keinginan untuk memenuhi
kebutuhan dengan mencari materi, telahmenutupi peran yang mulia dari profesi bidan.
Yang menjadi fokus dalam pelaksanaan praktek bidan hanyalah imbalan yang akan
didapat dari sang pasien. Sehingga pelayanan yang diberikan kepada pasien menjadi
tidak maksimal.
4. Faktor Rutinitas
Seorang bidan yang sehari-harinya selalu menangani klien atau pasien dapat juga
terjebak dalam keadaan dimana pekerjaan atau profesinya tersebut menjadi sebuah
rutinitas belaka. Hal ini dapat juga menjadi faktor penyebab terjadinya malpraktek atau
pelayanan yang dibawah standar. Karena dengan menjadikan praktek pelayanannya
menjadi sebuah rutinitas, kemungkinan kehati- hatian atau ketelitian dalam
melaksanakan tugasnya menjadi berkurang. Sehingga kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam melakukan proses persalinan dan perawatan menjadi semakin besar.

2.4 Pengertian Whistleblowing System


Dalam rangka melakukan pengawasan internal perusahaan, inisiatif ini membuat
sebuah whistleblowing system. Sistem pelaporan pelanggaran atau whistleblowing system
adalah suatu sistem yang dirancang sedemikian rupa mengenai kriteria kecurangan yang di
laporkan yang meliputi 5W+1H, tindak lanjut dari laporan tersebut, reward dan perlindungan
bagi sang pelapor atau whistleblower, dan hukuman atau sanksi untuk terlapor. Sistem ini
disusun sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan di
internal perusahaan. Sistem ini disediakan agar para karyawannya atau orang diluar perusahaan
dapat melaporkan kejahatan yang dilakukan di internal perusahaan, pembuatan whistleblowing
system ini untuk mencegah kerugian yang diderita perusahaan, serta untuk menyelamatkan
perusahaan. Sistem yang dibangun ini kemudian disesuaikan ke dalam aturan perusahaan
masing-masing, sehingga diharapkan sistem ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan
pelaksanaan corporate governance (Semendawai dkk, 2011:69). Komite Nasional Kebijakan
Governance (2008:3) mendefinisikan whistleblowing sebagai berikut:

9
“Pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum,
perbuatan tidak etis atau perbuatan tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan
organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan
organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tidakan atas
pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential).”

Sedangkan menurut Srividyha dan Shelly (2012) whistleblowing yaitu:


“Whistleblowing is an increasingly common element of regulatory enforcement programs.
Whistle blowing is basically an act of alerting the higher ups and the society about endanger.
Whistle blowing may be internal or external. Internal whistle blowing is to report to the
boss/higher-up, while external whistle blowing is to inform to mass media and society about
such.”

Maksud dari kutipan di atas bahwa whistleblowing merupakan salah satu elemen dalam
program penegakan peraturan. Pada dasarnya whistleblowing adalah tindakan
memperingatkan petinggi (manajemen) dan masyarakat tentang tindakan yang
membahayakan. Whistleblowing dapat berasal baik dari dalam ataupun dari luar.
Whistleblowing yang berasal dari dalam adalah untuk melaporkan kepada pimpinan,
sedangkan whistleblowing yang berasal dari luar adalah untuk menginformasikan kepada
media masa dan masyarakat tentang tindakan yang membahayakan.

2.5 Jenis-Jenis Whistleblowing


Menurut Hertanto (2009:12) whistleblowing dikategorikan menjadi dua jenis yaitu:
A. Whistleblowing internal
B. Whistleblowing eksternal.
Dari kedua jenis whistleblowing di atas, dapat disimpulkan bahwa whistleblowing
internal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan karyawan
kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada atasannya. Sedangkan whistleblowing
eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh
perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena kecurangan itu akan merugikan
masyarakat sehingga dapat dikatakan sebagai tindakan kewarganegaraan yang baik.
Mekanisme whistleblower adalah suatu sistem yang dapat dijadikan media bagi saksi pelapor
untuk menyampaikan informasi mengenai tindakan penyimpangan yang diindikasi terjadi di
10
dalam suatu organisasi, di dalam perusahaan umumnya terdapat dua cara sistem pelaporan agar
dapat berjalan dengan efektif (Semendawai dkk, 2011:19), adapun dua cara pelaporan tersebut,
yaitu:

A. Mekanisme Internal
Sistem pelaporan internal umumnya dilakukan melalui saluran komunikasi
yang sudah baku dalam perusahaan. Sistem pelaporan internal whistleblower perlu
ditegaskan kepada seluruh karyawan. Dengan demikian, karyawan dapat mengetahui
otoritas yang dapat menerima laporan. Bermacam bentuk pelanggaran yang dapat
dilaporkan seorang karyawan yang berperan sebagai whistleblower. Misalnya: perilaku
tidak jujur yang berpotensi atau mengakibatkan kerugian finansial perusahaan,
pencurian uang atau aset, perilaku yang menggangu atau merusak keselamatan kerja,
lingkungan hidup, dan kesehatan.
Aspek kerahasiaan identitas whistleblower, jaminan bahwa whistleblower dapat
perlakuan yang baik, seperti tidak diasingkan atau dipecat, perlu dipegang oleh
pimpinan eksekutif atau Dewan Komisaris. Dengan demikian, dalam sistem pelaporan
internal, peran pimpinan eksekutif atau Dewan Komisaris sangat penting. Pimpinan
eksekutif atau Dewan Komisaris juga berperan sebagai orang yang melindungi
whistleblower (protection officer).
Menurut Semendawai dkk, (2011:73), adapun infrastruktur dan mekanisme
penyampaian laporan yaitu: perusahaan harus menyediakan saluran khsuus yang
digunakan untuk menyampaikan laporan pelanggaran, baik itu berupa e-mail dengan
alamat khusus yang tidak dapat diterobos oleh bagian Information Technology (IT)
perusahaan, atau kontak pos khusus yang hanya boleh diambil oleh petugas
whsitleblowing system, ataupun saluran telepon khusus yang akan dilayani oleh
petugas khusus pula. Informasi mengenai adanya hotline ini haruslah diinformasikan
secara meluas ke seluruh karyawan. Pelaporan pelanggaran haruslah disosialisasikan
secara meluas, sehingga mudah diketahui oleh karyawan perusahaan. Dalam prosedur
penyampaian laporan pelanggaran juga harus dicantumkan dalam hal pelapor melihat
bahwa pelanggaran dilakukan oleh petugas whistleblowing system, maka laporan
pelanggaran harus dikirmkan langsung kepada direktur utama perusahaan.
B. Mekanisme Eksternal
Dalam sistem pelaporan secara eksternal diperlukan lembaga di luar perusahaan
yang memiliki kewenangan untuk menerima laporan whistleblower. Lembaga ini

11
memiliki komitmen tinggi terhadap perilaku yang mengedepankan standar legal,
beretika, dan bermoral pada perusahaan. Lembaga tersebut bertugas menerima laporan,
menelusuri atau menginvestigasi laporan, serta memberi rekomendasi kepada Dewan
Komisaris. Lembaga tersebut berdasarkan UU yang memiliki kewenangan untuk
menangani kasus-kasus whistleblowing, seperti LPSK, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Yudisial, PPATK, Komisi
Kepolisian Nasional, dan Komisi Kejaksaan.

2.6 Manfaat whisteblowing system


Menurut Komite Kebijakan Nasional Governance (2008:2) manfaat dari
penyelenggaran whistleblowing system yang baik antara lain adalah:
1. Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kritis bagi perusahaan kepada
pihak yang harus segera menanganinya secara aman.
2. Timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran, dengan semakin meningkatnya
kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena kepercayaan terhadap
sistem pelaporan yang efektif.
3. Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning system) atas kemungkinan
terjadinya masalah akibat suatu pelanggaran.
4. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal terlebih
dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran yang bersifat publik.
5. Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi akibat dari pelanggaran, baik dari segi
keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja, dan reputasi.
6. Mengurangi biaya dalam menangani akibat dari terjadinya pelanggaran.
7. Meningkatnya reputasi perusahaan di mata pemangku kepentingan (stakeholders),
regulator, dan masyarakat umum.
8. Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat lebih jauh area kritikal dan
proses kerja yang memiliki kelemahan pengendalian internal, serta untuk merancang
tindakan perbaikan yang diperlukan.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan,
namun dia sadar apabila dia tidak melakukan perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan
akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari terjadi
apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, dan
apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya.
Berpedoman pada pengertian dan unsur-unsur diatas, dapat dikatakan kealpaan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang dapat dilihat, artinya
perbuatan atau tindakan kelalaian itu, selalu dapat diukur dengan syarat-syarat yang lebih
dahulu sudah dipenuhi oleh seorang dokter, perawat maupun bidan. Ukuran normatifnya adalah
bahwa tindakan dokter dan perawat maupun bidan tersebut setidak-tidaknya sama dengan apa
yang diharapkan dapat dilakukan teman sejawatnya dalam situasi yang sama.
Sedangkan whistleblowing eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui
kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena
kecurangan itu akan merugikan masyarakat sehingga dapat dikatakan sebagai tindakan
kewarganegaraan yang baik. Mekanisme whistleblower adalah suatu sistem yang dapat
dijadikan media bagi saksi pelapor untuk menyampaikan informasi mengenai tindakan
penyimpangan yang diindikasi terjadi di dalam suatu organisasi, di dalam perusahaan
umumnya terdapat dua cara sistem pelaporan agar dapat berjalan dengan efektif (Semendawai
dkk, 2011:19)

3.2 Saran
Jika kami menjadi bidan harus berhati-hati dalam melakukan segala tindakan dan harus
sesuai dengan standar profesi kebidanan. Sebagai tenaga kesehatan juga sangat perlu
komunikasi dengan klien seperti informed consesnt dan informed choice. Agar tidak terjadi hal
yang tidak diinginkan dalam asuhan kebidananyang kami berikan kepada klien. Agar klien
percaya atas tindakan yang kami berikan dan juga agar terhindar dari malpraktik dan kelalaian.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 2004. Malpraktek, “Medical Errors” dan “Criminal Malpractice” Jurnal Ilmu
Hukum Amannagappa Vol. 12 Nomor 3, September 2004 hal: 215-222) Makassar.
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Hertanto, Hasril. 2009. Mengadili Whistleblower. Jaringan Advokasi Untuk Whistleblower.


Artikel. Jakarta Pusat.

Sampurna B. “Malpraktek medik dan kelalaian medik”.


http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/39d3b4586639419ac008d2e6de979065b
438d6cb.pdf Diunduh 17 februari 2014

Semendawai, Abdul Haris, dkk. 2011. Memahami Whistleblower. Jakarta: Lembaga


Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Srividyha, S and Shelly, C. Stalin. 2012. Whistleblowing Protection – a watch dog for the
organization. International Journal of Social Science & Interdisciplinary Research. Vol.
1.

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002

14

Anda mungkin juga menyukai