Anda di halaman 1dari 19

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PERAWAT

HUKUM PIDANA

Diajukan sebagai salah satu Tugas dalam Mata Kuliah


Etika Keperawatan& Hukum Kesehatan

Dosen Pengampu: Dr. Mulyati, S.Kep.,Ners.,M.Kes

Oleh:
Kelompok II

NAMA KETUA Nisa / komunitas


NAMA ANGGOTA 1. Nesra simbolon/ mankep 2. Ora mekei/ mankep
3. Sri Susanty/komunitas 4. Sukirno/kmb
5. Uun komalawati 6.Nasrianti/manajemen
7. Nandita / jiwa 8. Saryomo / jiwa
9. Dedeh/kmb 10. Astri / kmb
11. Iqbal/komunitas 12. Bela sitepu/m.kep
13. Ricky solihin/m.kep

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


STIKES JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik, dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan tugas Mata Kuliah etik dan hukum Keperawatan yang berjudul
“Pertanggungjawaban Hukum Perawat (hukum pidana)”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah etik dan hukum
keperawatan. Sehubungan dengan tersusunnya makalah ini kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada Ibu Dr. Mulyati, S.Kep.,Ners.,M.Kes selaku dosen
pengampu mata kuliah etik dan hukum kkeperawatan yang telah meluangkan
waktu dan memberikan bimbingan serta arahan sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Harapan kami semoga tugas makalah ini dapat membantu menambah
pengetahuan dan wawasan serta pengalaman bagi para pembaca. Makalah ini,
saya akui masih banyak kekurangan Oleh karena itu, kami berharap kritik dan
saran serta masukan-masukan yang bersifat membangun dari para pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
dari makalah ini agar menjadi lebih baik kedepannya.

Cimahi, September 2020

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Masalah ............................................................................... 3
C. Tujuan .................................................................................. 3
BAB II : KERANGKA KONSEP
A. Definisi Hukum Pidana ....................................................... 4
B. Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana ..................................... 4
C. Ruang Lingkup Hukum Pidana ........................................... 5
D. Tindak Pidana....................................................................... 5
E. Sanksi Pidana ...................................................................... 6
F. Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana ....................... 7
BAB III: PEMBAHASAN
A. Pertanggungjawaban Secara Hukum Pidana Perawat ......... 8
B. Tanggung Jawab Hukum Pidana Perawat Berdasarkan EBP 10
C. Contoh Kasus Pertanggungjawaban Hukum Pidana Perawat 13
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 15
B. Saran .................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (1)
menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian Undang-
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 4
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Karena itu setiap
individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan
terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar
terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya.
Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan bahwa tenaga kesehatan salah
satunya adalah tenaga keperawatan. Penyelenggaraan praktik keperawatan
didasarkan pada kewenangan yang diberikan karena keahlian yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat,
perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan globalisasi sebagaimana
tertera dalam Undang-Undang Kesehatan 36 Tahun 2009. Praktik
keperawatan merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan
mutunya melalui registrasi, seritifikasi, akreditasi pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan serta pemantauan terhadap tenaga keperawatan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tumpang tindih pada tenaga keperawatan maupun dengan profesi
kesehatan lainnya merupakan hal yang sering sulit untuk dihindari dalam
praktik, terutama terjadi dalam keadaan darurat maupun karena
keterbatasan tenaga di daerah terpencil. Dalam keadaan darurat, perawat
yang dalam tugasnya sehari-hari berada di samping klien selama 24 jam,
sering menghadapi kedaruratan klien, sedangkan dokter tidak ada. Dalam

1
keadaan seperti ini perawat terpaksa harus melakukan tindakan medis yang
bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan pasien. Tindakan ini
dilakukan perawat tanpa adanya delegasi dan protapnya dari pihak dokter
dan/atau pengelola Rumah Sakit. Keterbatasan tenaga dokter terutama di
Puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai
pengelola Puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan
perawat melakukan tindakan pengobatan. Tindakan pengobatan oleh
perawat yang telah merupakan pemandangan umum di hampir semua
Puskesmas terutama yang berada di daerah tersebut dilakukan tanpa
adanya pelimpahan wewenang dan prosedur tetap yang tertulis. Dengan
pengalihan fungsi perawat ke fungsi dokter, maka sudah dapat dipastikan
fungsi perawat akan terbengkalai dan tentu saja hal ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara profesional.
Perlindungan hukum terhadap tenaga perawat masih terbilang
minim. Dalam beberapa kasus di bidang pelayanan kesehatan pernah
terjadi, seperti kasus kesalahan perawat dalam memberi obat kepada
pasien, kasus pemberian infus yang sudah kadaluarsa, dan kasus salah
pemberian transfuse (golongan darah berbeda. Dengan berbagai kasus
yang ada, tidak sedikit perawat yang akhirnya harus berurusan dengan
hukum akibat ketidaktahuan mereka soal batas-batas mana perawat boleh
memberikan pelayanan medis kepada pasien. Tidak hanya itu, posisi
perawat selama ini masih dianggap tidak lebih sebagai pembantu dokter.
Dampaknya, tidak sedikit pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh dokter,
justru malah diserahkan kepada perawat, seperti ganti verband, pasang
catether, pasang infus, menjahit/merawat luka, mengeluarkan nanah dari
luka, mencabut tampon hidup setelah pasien operasi hidung, menyuntik,
dan lain sebagainya.
Perawat dimungkinkan untuk melakukan tindakan medis di rumah
sakit dan praktik keperawatan mandiri yang didasarkan pada kompetensi
perawat, latar belakang pendidikan, kursus, pelatihan, dan asistensi dari
dokter yang bersangkutan (yang menangani pasien) karena perawat adalah

2
partner dokter. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 hal ini
tidak secara tegas diatur, namun dalam berbagai peraturan tingkat Menteri
hal ini ditegaskan, seperti yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (4) Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi
dan Praktik Perawat yang menyatakan bahwa pelayanan tindakan medis
hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari dokter.

B. Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang dirumuskan masalah dalam
makalah ini, yaitu: “Bagaimana tanggung jawab hukum pidana perawat
dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan Undang-Undang”?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu hukum pidana.
2. Mengetahui pertanggungjawaban hukum pidana perawat.

  

3
BAB II
KONSEP TEORI

A. Definisi Hukum Pidana


Hukum pidana itu ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran
-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau siksaan (Maramis 2017). Dari definisi tersebut di atas tadi
dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa Hukum Pidana itu bukanlah
suatu hukum yang mengandung norma-norma yang baru, melainkan hanya
mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan
terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.

B. Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana


1) Tujuan Hukum Pidana
 Untuk melindungi suatu kepentingan orang atau perseorangan (hak
asasi manusia) untuk melindungi kepentingan suatu masyarakat
dan negara dengan suatu perimbangan yang serasi dari suatu
tindakan yang tercela/kejahatan di satu pihak dari tindak-tindakan
perbuatan yang melanggar yang merugiakan dilain pihak.
 Untuk membuat orang yang ingin melakukan kejahatan atau
perbuatan yang tidak baik akan menjadi takut untuk melakukan
perbuatan tersebut.
 Untuk mendidik seseorang yang melakukan perbuatan yang
melanggar agar tidak melakukan lagi, dan agar diterima kembali
dilingkungan masyarakat.
 Mencegah akan terjadinya gejala-gejala sosial yang tidak sehat atau
yang melakukan perbuatan yang dilanggar, dan hukuman untuk
orang yang sudah terlanjur berbuat tidak baik

4
2) Fungsi Hukum Pidana
a. Secara umum
Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana
sama saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada umumnya karena
untuk mengatur hidup dalam kemasyarakatan atau
menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat.
b. Secara khusus
Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu
kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar
dengan suatu sanksi atau hukuman yang berupa pidana yang telah
ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan yang
sifatnya lebih tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk
memberikan aturan-aturan untuk melindungi yang pihak yang telah
dirugikan

C. Ruang Lingkup Hukum Pidana


Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana
berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya
hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari
segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana
sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan
ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama
sekali tidak dapat dipidana.  Asas Legalitas (nullum delictum nula poena
sine praevia lege poenali)Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak
dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam
suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.

D. Tindak Pindana
Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana (strafbaar feit)
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

5
yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu
diperhatikan :
 Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana.
 Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman
pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
 Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh
karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada
hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika
tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

E. Sanksi Pidana
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian
yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain.
Pasal 359 KUHP misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa
seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) :
1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau kurungan paling lama satu tahun.
2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan
paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

6
F. Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana
Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan
perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada
pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis
tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal
48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan
perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat
dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai
pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur,
sebagai berikut :
 Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan
jiwa petindak harus normal.
 Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang
dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
 Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau pemaaf.

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Secara Hukum Pidana Seorang Perawat.


Pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat
dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum; dalam hal ini apabila
perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang
dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/Menkes/148/2010.
2. Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang
memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara
kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya
seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan
pasien, ketiga; adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau
karena kealpaan (culpa).
3. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada
alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya
melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar
(Departemen Kesehatan RI 2010).
berbagai tindakan keperawatan sudah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, namun berbeda dengan profesi dokter yang diatur
dengan undang-undang, untuk profesi perawat hanya diatur dalam berbagai
peraturan di tingkat Menteri, sehingga pengaturan sanksi pidananya tidak ada
tetapi mengacu pada sanksi pidana yang terdapat dalam Undang-undang
Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009) yang tidak mengatur secara khusus
mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran/kejahatan yang dilakukan oleh
perawat, kecuali perawat melakukan tindakan yang diancam dengan sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 190 UU No. 36 Tahun 2009, (Departemen
Kesehatan RI 2009) yaitu:

8
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien
yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 191 UU No. 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa: Setiap
orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional
yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau
kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Kemudian
Pasal 192 menyatakan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja
memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 193 UU No. 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk
tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 194 menyatakan bahwa Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling

9
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). Kemudian Pasal 195 menyatakan bahwa Setiap orang
yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam hal perawat melakukan asuhan keperawatan/tindakan medis
atas perintah dokter, maka perawat bertanggungjawab kepada dokter atas
tindakan medis yang dilakukannya asal ada pendelegasian tugas
(rangkuman hasil wawancara dengan perawat di Rumah Sakit Umum
Santo Antonius Pontianak) (Yuliana 2013).
Dalam melakukan tindakan medis, batas-batas kewenangan dan
ancaman sanksi pidana bagi dokter diatur dengan tegas dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, namun untuk
perawat tidak ada pengaturan mengenai tanggungjawab pidananya dalam
berbagai undang-undang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009.

B. Tanggungjawab Hukum Pidana Perawat Berdasarkan Evidence Base


1. Tanggung jawab hukum pidana perawat di Rumah Sakit termasuk di
Rumah Sakit Umum Santo Antonius Pontianak dalam melakukan
tindakan keperawatan tidak secara tegas diatur dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga kurang
memberikan perlindungan hukum bagi perawat yang melaksanakan
pelayanan kesehatan dan masyarakat yang menerima pelayanan
kesehatan dari perawat. Dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya terkadang perawat melakukan tindakan yang salah dan hal
ini pernah terjadi di RSSA Pontianak, antara lain yaitu: (1) kasus
perawat salah memberikan obat atau salah Route pemberian (per
oral/mulut, tetapi yang diberikan per vaginam); (2) kasus perawat salah
pemberian infus (kadaluarsa); dan (3) kasus perawat salah pemberian

10
transfusi (golongan darah berbeda). Terhadap tindakan perawat ini
tidak dikenakan sanksi pidana karena tidak diatur dalam Undang-
undang Kesehatan maupun Undang- Undang tentang Rumah Sakit dan
pasien juga tidak sampai meninggal dunia. Tindakan yang dilakukan
terhadap perawat tersebut adalah pemberian sanksi administrasi dan
pembinaan profesi sesuai dengan Peraturan Internal di RSSA
Pontianak (Yuliana 2013).
2. Perawat yang melaksanakan tugas dokter dibenarkan menurut Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009, yaitu perawat yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu. Kewenangan perawat didasarkan
pada pendelegasian dari dokter, sehingga perawat tidak diperkenankan
untuk melakukan tindakan keperawatan/tindakan medis jika tidak ada
pendelegasian kewenangan dari dokter. Namun dalam kenyataannya
ada tindakan keperawatan/tindakan medis yang dilakukan oleh perawat
tanpa didahului adanya pendelegasian kewenangan dari dokter, hal ini
dikarenakan kondisi pasien yang semakin memburuk atau memerlukan
tindakan tertentu, sehingga sangat diperlukan kebijakan formulasi
berupa undang-undang mengenai praktik keperawatan yang di
dalamnya juga memuat rumusan pidananya, karena Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tidak mengatur mengenai hal ini (Yuliana
2013).
3. Pertanggungjawaban hukum pidana perawat merupakan tanggung
jawab secara perorangan atas kesalahan dan kelalaian yang
menyebabkan kerugian dan atau penderitaan terhadap klien atau pasien
dalam hubungannya dengan tindakan keperawatan atau tindakan medis
yang dilakukan oleh perawat secara mandiri terhadap klien atau pasien
dalam rangka pemenuhan upaya kesehatan. Pertanggungjawaban
pidana terkait dengan pelaksanaan tindakan medis yang dilakukan oleh
perawat diluar kewenangannya atau dalam arti melakukan tindakan
medis yang belum diatur dalam ketentuan perundang undangan
sebagai bagian dari kewenangan yang dimiliki, maka dapat dikatakan

11
sebagai tindakan kelalaian dalam hukum pidana. Pertanggung jawaban
pidana terkait dengan kelalaian memenuhi beberapa rumusan Undang
Undang Pidana yaitu Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP. Selain itu diatur
pula ketentuan pidana pada Undang Undang nomor 36 tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan dalam Pasal 84 tentang kelalaian tenaga
kesehatan. Hal serupa pula diatur dalam Pasal 73 Undang Undang
Praktik Kedokteran (Wulandari and Firdaus 2017).
4. Pengkajian dan pemahaman tentang dasar dasar tindakan medis yang
dilakukan oleh perawat diluar kewenangannya yang terkait dengan
kewenangan perawat untuk melakukan tindakan medis tertentu, dirasa patut
dan cukup rasional untuk dipertimbangkan oleh pemerintah dan para
legislatif sebagai bahan diakomodirnya kewenangan perawat tersebut dalam
peraturan perundang undangan kesehatan khususnya Undang Undang
Keperawatan. Dan apabila Undang Undang Keperawatan saat ini sudah
diberlakukan, maka digunakan sebagai upaya peninjauan kembali dan
perbaikan berupa penambahan atau perkecualian terhadap essensi dari
Undang Undang Keperawatan. Sehingga pada akhirnya Undang Undang
Keperawatan merupakan produk hukum yang mampu secara menyeluruh
melindungi kepentingan dan sekaligus memberikan kepastian hukum
terhadap perawat dalam melakukan tindakan keperawatan atau tindakan
medis sebagai larangan kepada seseorang atau profesi lain yang melakukan
kewenangan layaknya sebagai dokter. Akan tetapi bertolak dari kewajiban
perawat untuk mengemban pertanggungjawaban hukum secara pidana atas
kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan, sampai saat ini terhadap
pelaksanaan tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh perawat diluar
kewenangannya tidak membawa dampak atau kerugian yang ditimbulkan,
dilaksanakan dengan alasan dan pertimbangan yang patut, berdasarkan
permintaan dan kebutuhan dari masyarakat, dan sepanjang dilakukan dengan
standar prosedur yang benar, maka dengan beberapa pertimbangan tersebut
dimungkinkan membawa kepada kondisi dikecualikannya perawat untuk
mengemban pertanggungjawaban hukum secara pidana. Oleh karena itu
upaya yang juga penting untuk dilakukan adalah dengan mengakomodir
kewenangan perawat untuk melakukan beberapa tindakan medis tertentu,

12
yang dalam hal ini adalah tindakan pengobatan terhadap penyakit umum dan
tindakan khitan/sirkumsisi, dalam ketentuan upaya pemenuhan dan
peningkatan derajat kesehatan terhadap masyarakat (Wulandari and Firdaus
2017).

C. Contoh Kasus Pertanggungjawaban Hukum Pidana Perawat


1. Dalam kasus, yang dilakukan oleh Misran, dapat dikategorikan bahwa
pebuatan Misran dapat menimbulkan kesan bahwa ia adalah seorang
perawat karena telah melakukan praktik pengobatan yang merupakan
diluar kewenangannya. Perbuatan memberikan resep dan obat yang
dilakukan oleh perawat Misran adalah tindak malpraktik yang masuk
dalam ranah hukum pidana karena melawan UU No. 29 Tahun 2010
tentang Praktik Kedokteran. Namun, setelah terbit Peraturan Menteri
Kesehatan No. 148 Tahun 2010, dan undang-undang nomer 38 tahun
2014 tentang Keperawatan, apabila terjadi kasus serupa maka
perbuatan tersebut adalah legal sesuai dengan peraturan yang berlaku
(Triwibowo 2010).
2. dalam kasus yang dilakukan oleh Desril Amelia dan Erwanty yang
merupakan perawat honorer di RSU CUTNYADIEN Meulaboh yang
divonis oleh majelis hakim pengadilan negeri Meulaboh dengan vonis
2 tahun penjara, terkait kasus dugaan salah suntik terhadap pasien anak
bernama Alfareza (11 tahun), Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim
menilai jika kasus salah suntik terjadi akibat kelalaian dari terdakwa,
Desril bersama Erwanty. Dalam putusan itu, hakim menyatakan jika
Desril dan Erwanty melanggar pasal 84 Undang-undang Nomor 36
tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan jouncto pasal 359 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Darmansyah 2020)
3. Pertanggungjawaban pidana Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Banda
Aceh pada kasus Kematian Ibu Suryani dan bayinya akibat
penelantaran yang dilakukan oleh pihak RSIA belum terealisasi
sebagaimana mestinya. Semestinya, rumah sakit selaku korporasi

13
bertanggungjawab secara pidana terhadap kelalaian pihak rumah sakit
yang bermula dari buruknya pengelolaan dan sistem manajemen rumah
sakit. Pertanggungjawaban pidana rumah sakit sebagai korporasi dapat
diimplementasikan dengan memintakan pertanggungjawaban pidana
terhadap direktur selaku perwakilan direksi rumah sakit. Namun
praktiknya, saat ini yang dimintakan pertanggungjawaban pidana
adalah dokter yang bertugas pada saat kasus tersebut terjadi (Maulana
2019).

14
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum pidana itu ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran
-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu
penderitaan atau siksaan. kedudukan perawat dalam hukum pidana dalam
praktik keperawatan dalam fasyankes pertanggung jawaban hukum pidana
jika melakukan kelalaian dan kealpaan dalam menjalankan praktik
keperawatan begitu juga dalam praktik keperawatan mandiri. sedangkan
kedudukan fasyankes dalam hukum adalah bertanggung jawab dalam
hukum perdata, namun jika menjalankan mandat atau pelimpahan
wewenang dari dokter maka perawat bertanggung jawab kepada dokter
dan pertanggung jawaban secara pidana adalah oknum dokter tersebut
sepanjang tidak ada kelalaian dan kealpaan yang dilakukan oleh perawat
tersebut.

B. Saran
Dalam menjalankan praktik keperawatan tidak luput dari masalah hukum
oleh karena itu agar mematuhi segala kebijakan dan ketentuan dalam
perundang-undangan. perawat melakukan konsultasi dengan organisasi
profesi untuk meminta bimbingan dan perlindungan hukum apabila
masalah hukum menimpa kepada perawat.

15
DAFTAR PUSTAKA

Darmansyah. 2020. “Kasus Salah Suntik Di Meulaboh, Dua Perawat Divonis Dua
Tahun Penjara.” Aceh Journal National Network.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/Menkes/148/2010 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik
Perawat. Jakarta.
Maramis, Frans SH MH. 2017. Hukum Pidana Umum Dan Tertulis Di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Ekspres.
Maulana, Panji. 2019. “Akibat Kelalaian Pelayanan Meids ( Studi Di Rumah Sakit
Ibu Dan Anak ) Hospital Libiality Due To Medical Service Negligence
( Study at Ibu Dan Anak Hospital ).” Law Journal 3(3):417–28.
Triwibowo, C. 2010. Hukum Keperawatan: Panduan Hukum Dan Etika Bagi
Perawat. Yogyakarta: Pustaka Book Pulisher.
Wulandari, Ratna Tri and Ach Dafir Firdaus. 2017. “Pertanggungjawaban Pidana
Perawat Dalam Melakukan Tindakan Medis.” Journal of Nursing Care &
Biomolecular – 2(2):68–76.
Yuliana, Merdekawati Sh. 2013. “Tanggung Jawab Pidana Perawat Dalam
Melakukan Tindakan Keperawatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan.”

16

Anda mungkin juga menyukai