Anda di halaman 1dari 27

MANAJEMEN KOTA SEHAT

Dianjukan sebagai salah satu tugas untuk memenuhi mata kuliah


Keperawatan Komunitas Di Masyarakat

Dosen : Meivi Sesanelvira., M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.Kom

Oleh :

Syiva Dwi Fatmala


215119021

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S-2)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan upaya strategis untuk memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan.
Untuk mencapai hal tersebut, dilakukan melalui peningkatan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat pada setiap individu. Dalam hal
ini pendekatan yang paling tepat adalah bidang kesehatan, seperti yang
tercantum dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Kesehatan Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor 1138/Menkes/PB/VII/2005
yang berisi pedoman dan penyelenggaraan kabupaten/ kota sehat.
Kota sehat adalah suatu kondisi kota yang bersih, nyaman, aman dan
sehat untuk dihuni penduduk. Penyelenggaraannya dicapai melalui penerapan
beberapa tatanan dengan kegiatan yang terintegrasi, disepakati oleh
masyarakat dan pemerintah daerah (Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Kesehatan No. 34 pasal 1 Tahun 2005).
Penyelenggaraan kota sehat merupakan kumpulan berbagai kegiatan
untuk mewujudkan kota sehat, melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat,
dan forum kesehatan yang difasilitasi oleh pemerintah kota. Forum kerupakan
wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan menyalurkan aspirasi. Forum
sendiri memiliki peranan untuk menentukan arah, prioritas, perencanaan
pembangunan wilayah yang mengintegrasikan berbagai aspek agar
terwujudnya wilayah yang bersih, aman, nyaman, dan sehat untuk dihuni
warganya.
Di Indonesia, program Kota Sehat pertama kali dimulai pada 1998
yang dicanangkan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia yang
diluncurkan di 6 kota, yaitu Kabupaten Cianjur, Kota Balikpapan, Bandar
Lampung, Pekalongan, Malang, dan Jakarta Timur, yang dicanangkan oleh
Menteri Dalam Negeri pada tanggal 26 Oktober 1998 di Jakarta. Kemudian
diikuti dengan pengembangan Kabupaten/Kota Sehat khususnya di bidang
pariwisata di delapan kota, yaitu Kawasan Anyer di Kabupaten Serang,
Kawasan Batu Raden di Kabupaten Banyumas, Kotagede di Kota
Yogyakarta, Kawasan Wisata Brastagi di Kabupaten Karo, Kawasan Pantai
Senggigi di Kabupaten Lombok Barat, Kawasan Pantai. Program kota sehat
efektif berjalan pada tahun 2005 sejak dikeluarkannya Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 tahun 2005 dan
Nomor 1138/ Menkes/PB/VIII/2005 tentang penyelenggaran kabupaten/kota
sehat di Indonesia (Peraturan Bersama Menteri Kesehatan & Menteri Dalam
Negeri No 34, 2005).
Dalam penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat terdapat 9 tatanan
yang dikelompokkan berdasarkan kawasan dan permasalahan khusus, yang
terdiri atas : kawasan pemukiman, sarana dan prasarana umum, kawasan
saran lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi, kawasan pertambangan
sehat, kawasan industri dan perkantoran sehat, kawasan pariwisata sehat,
ketahanan pangan dan gizi, kehidupan masyarakat sehat dan mandiri,
kehidupan sosial yang sehat.
Ketahanan pangan dan gizi merupakan salah satu tatanan paling
penting dalam penyelenggaraan Kabupaten/ Kota Sehat. Tatanan ini menjadi
salah satu tatanan penting yang ditetapkan dalam peraturan, yang langsung
berkaitan dengan sektor kesehatan. Terdapat indikator - indikator pertanyaan
dalam tatanan ini yang menginformasikan mengenai kondisi eksistensi yang
telah dicapai yang masih perlu mendapat perhatian ke depan dalam
penyelenggaraan kabupaten/ kota sehat.
Salah satu permasalahan kesehatan banyak perhatian adalah kejadian
stunting berdasarkan indeks TB/U. Stunting merupakan keadaan tubuh yang
pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median
panjang atau tinggi badan. Prevalensi stunting pada balita di Indonesia terus
meningkat, dari 17,1% di tahun 2010 (Riskesdas, 2010) dan naik menjadi
19,2% di tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir mencatat bahwa prevalensi stunting mengalami
peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017
(PSG, 2017).
Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
asupan yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi, proporsi stunting di Indonesia
masih cukup tinggi, sekitar 30,8%, balita di Indonesia mengalami stunting,
stunting dapat dicegah dengan peningkatan ketahanan pangan dan perbaikan
gizi.
Adapun upaya perbaikan gizi yang dicanangkan oleh Pemerintah
Pusat melalui Kementrian Kesehatan, untuk mengatasi stunting salah satunya
ialah program Kadarzi (Keluarga Sadar Gizi). Kadarzi merupakan suatu
keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi
setiap anggota keluarganya. Salah satu indikator yang ada dalam Kadarzi
adalah suatu keluarga mampu mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam
untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka.
Upaya perbaikan dan edukasi gizi dilakukan pada seluruh siklus hidup
manusia, perbaikan gizi dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pelayanan
gizi, perilaku untuk tercapainya gizi seimbang, dan pemerintah beserta
masyarakat menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai
yang tinggi, merata dan terjangkau, seperti masyarakat dapat memanfaatkan
pekarangan rumah untuk kewaspadaan pangan dan gizi masyarakat. Upaya
pendampingan masyarakat dalam usaha peningkatan gizi seharusnya tidak
terlepas dari dari aset dan potensi yang ada di lingkungan tempat masyarakat
tinggal. Desa Pasirdoton, merupakan salah satu dari desa yang ada di
Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Desa dengan mayoritas
masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani ini memiliki aset alam berupa
pekarangan yang cukup luas. Pekarangan milik masyarakat merupakan aset
yang seharusnya dapat dikembangkan untuk menunjang kebutuhan gizi
sehari-hari. Apalagi ditunjang dengan kondisi tanah yang subur, terbukti
dapat tumbuh berbagai macam tumbuhan seperti pisang, mangga, jambu,
nangka, aneka tanaman bunga, dan tanaman jenis lainnya.
Selain sumber daya alam, Desa Pasirdoton juga memiliki sumber daya
manusia yang bisa dimanfaatkan diantaranya kelompok masyarakat seperti
PKK, kelompok pengajian, Karang Taruna, Kader Posyandu, Kelompok
Tani, Remaja Masjid dan lain-lain. Kelompok ini memiliki potensi sebagai
pelopor pemberdayaan di lingkungan masyarakat. Kelompok ini memiliki
kegiatan bersama, rasa tanggung jawab bersama, kerjasama antar individu
dalam kelompok, serta rasa kepedulian terhadap masingmasing anggota
kelompok. Kelompok-kelompok ini jika dikembangkan akan menjadi aktor
utama dalam upaya edukasi gizi masyarakat di Desa Pasirdoton.
Upaya pengoptimalan yang ada di masyarakat ini diaharapkan mampu
mengotimalkan fungsi lahan pekarangan rumah yang tidak hanya sebagai
penyedia kebutuhan pangan, namun sekaligus dapat menjadi sarana edukasi
bagi masyarakat untuk memahami manfaat serta kandungan gizi dari apa
yang dikonsumsi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masing-masing
anggota keluarga. Sehingga kegiatan ini mampu mempercepat serta
menunjang usaha perbaikan gizi yang selama ini telah dilakukan baik oleh
Pemerintah Kabupaten Sukabumi, maupun oleh masyarakat sendiri

B. Tujuan Makalah
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep kota sehat dengan perancangan kota
sehat pada agregat balita.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam makala ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui konsep kota/kabupaten sehat
b. Mengetahui penyusunan program kota sehat yang sesuai dengan
agregat balita
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Kota Sehat


Kabupaten/ Kota Sehat adalah suatu kondisi kabupaten/ kota yang
bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui
terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dengan kegiatan yang
terintegrasi yang disepakati masyarakat dari pemerintah daerah. Pendekatan
Kota Sehat pertama kali dikembangkan di Eropa oleh WHO pada tahun 1980-
an sebagai strategi menyongsong Ottawa Charter, dimana ditekankan
kesehatan untuk semua yang dapat dicapai dan langgeng, jika semua aspek,
sosial, ekonorni, lingkungan dan budaya diperhatikan. Oleh karena itu konsep
kota sehat tidak hanya memfokuskan kepada pelayanan kesehatan yang lebih
ditekankan kepada suatu pendekatan kondisi sehat dan problem sakit saja,
tetapi kepada aspek menyeluruh yang mempengaruhi kesehatan masyarakat,
baik jasmani maupun rohani.
Kota sehat melakukan pendekatan yang fokus pada inisiasi kesehatan
berbasis masyarakat melalui multisektoral dengan pendekatan setting area.
Gerakan kota sehat telah berkembang menjadi gerakan yang menolak
pendekatan "top-down" (rekayasa fisik dan solusi masalah sosial) tetapi
dengan perspektif “bottom-up” yang berbasis masyarakat untuk mengatasi
masalah kesehatan masyarakat.
Upaya meningkatkan kesehatan merupakan tanggung jawab semua
sektor, masyarakat dan swasta. Peringkat kota sehat bisa ditetapkan
berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM).
Terdapat 24 indikator yang masuk dalam IPKM. IPKM adalah indikator
komposit yang menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan yang
dirumuskan dari data kesehatan berbasis komunitas yaitu Riskesdas (riset
kesehatan dasar), PSE (pendataan sosial ekonomi) dan survei podes (potensi
desa) (Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan No.
34 tahun 2005).
Kota Sehat adalah suatu kondisi kota yang bersih, nyaman, aman dan
sehat untuk dihuni penduduk. Penyelenggaraannya dicapai melalui penerapan
beberapa tatanan dengan kegiatan yang terintegrasi yang disepakati
masyarakat dan pemerintah daerah. Penyelenggaraan Kota Sehat adalah
berbagai kegiatan untuk mewujudkan Kota Sehat, melalui pemberdayaan
masyarakat, dan forum yang difasilitasi oleh pemerintah kota. Forum adalah
wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dan berpartisipasi.
Forum Kota Sehat berperan untuk menentukan arah, prioritas, perencanaan
pembangunan wilayahnya yang mengintegrasikan berbagai aspek, sehingga
dapat mewujudkan wilayah yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk
dihuni oleh warganya.
Indikator Tatanan Kota Sehat dikelompokkan berdasarkan, kawasan
dan permasalahan khusus, yang terdiri dari:
1. kawasan permukiman, sarana dan prasarana umum.
2. kawasan sarana lalu lintas tertib dan pelayanan transportasi,
3. kawasan pertambangan sehat,
4. kawasan hutan sehat,
5. kawasan industri dan perkantoran sehat,
6. kawasan pariwisata sehat,
7. ketahanan pangan dan gizi,
8. kehidupan masyarakat sehat yang mandiri, dan
9. kehidupan sosial yang sehat.
Tatanan dan permasalahan khusus tersebut dapat berkembang sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi spesifik daerah. Setiap Kabupaten/Kota Sehat
yang memenuhi kriteria yang ditetapkan diberikan penghargaan Swasti Saba.
Perhargaan tersebut dapat diklasifikasikan atas 3 kategori, yaitu :
1. Penghargaan Padapa untuk taraf pemantapan sekurang-kurangnya 2
tatanan.
2. Penghargaan Wiwerda untuk taraf pembinaan memilih 3 sampai 4 tatanan.
3. Penghargaan Wistara untuk taraf pengembangan memilih 5 tatanan.
B. Konsep Keperawatan Komunitas
Keperawatan kesehatan komunitas adalah area pelayanan keperawatan
profesional yang diberikan secara holistik (bio-psiko-sosio-spritual) dan
difokuskan pada kelompok risiko tinggi yang bertujuan meningkatkan derajat
kesehatan melalui upaya promotif, preventif, tanpa menhabaikan kuratif dan
rehabilitatif dengan melibatkan komunitas sebagai mitra dalam
menyelesaikan masalah (Hithcock, Scubert dan Thomas, 1999; Allender dan
Spradley, 2001, Stanhope dan Lancaster, 2016). Komunitas adalah komponen
penting dari pengalaman manusia sebagai bagian dari pengalaman yang
saling terkait dengan keluarga, rumah, serta berbagai ragam budaya dan
agama (Ervin, 2002).
Praktik keperawatan komunitas adalah sintesis praktik keperawatan
dan praktik kesehatan masyarakat, diaplikasikan dalam peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan masyarakat (populasi),menggunakan ilmu yang
berasal dari keperawatan, sosial, dan kesehatan masyarakat (Stanhope dan
Lancaster, 2016). Lingkup praktik keperawatan komunitas adalah generalis
dan spesialis. Praktik keperawatan generalis bertujuan memberikan asuhan
keperawatan komunitas dasar (basic community) dengan sasaran individu,
keluarga, dan kelompok untuk beberapa aspek keterampilan dasar (beginning
skill). Sedangkan praktik keperawatan spesialis bertujuan memberikan asuhan
keperawatan komunitas lanjut (advanced nursing comunnity) dengan sasaran
kelompok (agregat) dan masyarakat serta masalah individu dan dan keluarga
yang kompleks.

1. Tujuan Keperawatan Komunitas


Menurut Wallace dalam Allender (2014), tujuan keperawatan
komunitas adalah mempertahankan sistem klien dalam keadaan stabil
melalui upaya prevensi primer, sekunder, dan tersier. Berikut penjelasan
mengenai upaya prevensi :
a. Prevensi Primer
Prevensi primer ditujukan kepada individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat yang sehat. Bentuk tindakan keperawatan
yang dapat dilakukan adalah promosi kesehatan dan perlindungan
spesifik agar terhindar dari masalah/penyakit. Contohnya adalah
promosi kesehatan tentang perilaku hidup bersih dan sehat, pemberian
vaksin, serta memberikan imunisasi pada balita.
b. Prevensi Sekunder
Prevensi sekunder ditujukan kepada individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat yang berisiko mengalami masalah
kesehatan. Bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah upaya
penemuan penyakit sejak awal (skrining kesehatan), pelayanan/asuhan
keperawatan mencakup identifikasi masyarakat atau kelompok yang
berisiko mengalami masalah kesehatan, pemeriksaan kesehatan
berkala, melakukan penanggulangan masalah kesehatan secara tepat
dan cepat, serta melakukan rujukan terhadap masyarakat yang
memerlukan penatalaksanaan lebih lanjut.
c. Prevensi Tersier
Prevensi tersier ditujukan kepada individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat pada masa pemulihan setelah mengalami
masalah kesehatan. Bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah
upaya rehabilitasi pasca perawatan di fasilitas tatanan pelayanan
kesehatan lain untuk mencegah ketidakmampuan, ketidak berdayaan
atau kecacatan lebih lanjut.
2. Strategi Intervensi
Strategi intervensi dalam keperawatan komunitas dibuat agar
tujuan yang diharapkan dapat tercapai, adapun strategi yang dapat
diterapkan diantaranya:
a. Proses Kelompok
Proses kelompok adalah suatu bentuk intervensi keperawatan
komunitas yang di lakukan dengan melibatkan peran serta aktif
masyarakat (melalui pembentukan peer atau social support
berdasarkan kondisi dan kebutuhan masyarakat). Perawat komunitas
dapat membentuk kelompok baru atau bekerja sama dengan kelompok
yang telah ada (Stanhope dan Lancaster, 2016). Sebagai suatu
intervensi, kelompok bisa menjadi cost efficient treatment dengan
hasil terapeutik yang positif. Proses kelompok ini dilakukan dengan
membentuk kelompok dari-oleh-untuk masyarakat yang
memperhatikan kesehatan di wilayahnya sehingga dapat secara
mandiri mengatasi masalah yang muncul di masyarakat. (Snyder dan
Lindquist, 2009).
Berikut beberapa pengaruh positif strategi intervensi dengan
proses kelompok (Yalom, 1983; dalam Hitchcock, Schubert dan
Thomas, 1999) diantaranya:
1) Membangun harapan ketika anggota kelompok menyadari bahwa
ada orang lain yang telah menghadapi atau berhasil menyelesaikan
masalah yang sama.
2) Universalitas, dengan menyadari bahwa dirinya tidak sendiri
menghadapi masalah yang sama.
3) Berbagi informasi;
4) Altruisme dan saling membantu;
5) Pengembangan teknik sosialisasi;
6) Perilaku imitatif dari pemimpin kelompok;
b. Promosi Kesehatan
Bentuk promosi kesehatan adalah sebagai berikut :
1) Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu kegiatan dalam rangka upaya
promotif dan preventif dengan melakukan penyebaran informasi
dan meningkatkan motivasi masyarakat untuk berperilaku sehat
(Stanhope dan Lancaster, 2016). Pendidikan kesehatan umumnya
bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketidak
mampuan dan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi
kesehatan dari individu, keluarga, komunitas dan masyarakat
diseminasi informasi bertujuan mengubah sikap, keyakinan dan
perilaku masyarakat melalui pemeberian informasi serta
memunculkan kesadaran bahwa suatu masalah yang timbul dapat
diatasi.
2) Modifikasi gaya hidup (Life Style Modification)
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memodifikasi
gaya hidup diantaranya perubahan situasi, tersedianya
pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan dan
meneruskan perubahan, hasil yang akan diperoleh dari perilaku
baru, serta adanya dukungan fisik dan sosial untuk merubah
perilaku. Modifikasi gaya hidup dapat membantu klien untuk
bertanggung jawab atas kesehatan sendiri dan membuat perubahan
perilaku yang sesuai untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
3) Penataan lingkungan (Environmental Restructuring)
Lingkungan yang ditata mencakup lingkungan fisik, sosial dan
ekonomi misalnya mengatur kenyamanan dan keamanan fisik,
menghindarkan terjadi pencemaran air minum, menciptakan
keterpaduan kelompok, dan menetapkan penyediaan koperasi.
Kegiatan ini mencakup kegiatan penyediaan atau penataan faktor
pendukung untuk mengoptimalkan kualitas lingkungan dan
peningkatan perilaku.
4) Pengkajian dan penilaian
Mendorong seseorang agar mengurangi faktor resiko dan
mengadopsi gaya hidup sehat. Contohnya mengadakan lomba atau
kompetisi penampilan sesuai indikator sehat
c. Pemberdayaan (Empowerment)
Pemberdayaan atau empowerment adalah suatu kegiatan
keperawatan komunitas dengan melibatkan masyarakat secara aktif
untuk menyelesaikan masalah yang ada di komunitas, masyarakat
sebagai subjek dalam menyelesaikan masalah (Stanhope dan
Lancaster, 2016). Perawat dapat menggunakan strategi pemberdayaan
untuk membantu masyarakat mengembangkan keterampilan dalam
menyelesaikan masalah, menciptakan jejaring, negoisasi, lobbying,
dan mendapatkan informasi untuk meningkatkan kesehatan (Nies dan
McEwen, 2015).
Terdapat lima area pemberdayaan yaitu interpersonal
(personal empowerment), intragroup (small group development),
intergroup (komunitas), interorganizational (coalition building), dan
political action (Labonte, 1994; Stanhope dan Lancaster, 2016).
Tahapan proses pemberdayaan masyarakat meliputi :
1) Tahap persiapan (Engagement)
Pada tahap engagement dilakukan persiapan awal atau enrty point
proses pemberdayaan yang meliputi persiapan sumber daya
manusia, sarana serta lingkungan. Persiapan yang dilakukan
meliputi: a) persiapan tenaga pemberdayaan; tahap ini ditujukan
untuk menyamakan persepsi dan pengetahuan antar anggota
terutama jika tenaga petugas memiliki latar belakang pendidikan
yang berbeda-beda. b) persiapan lapangan; pada tahapan ini
perawat melakukan pengkajian kelayakan pada daerah yang akan
dijadikan sasaran baik secara formal maupun informal. Selain itu,
pada tahap ini, perijinan juga dilakukan. Akses relasi dengan
tokoh informal juga penting untuk dilakukan agar terjalin
hubungan yang baik dengan masyarakat.
2) Tahap pengkajian (Assesment)
Pengkajian dapat dilakukan terhadap individu (tokoh masyarakat)
atau kelompok-kelompok masyarakat dengan menggunakan
metode focus group discussion, curah pendapat atau nominal
group proces. Perawat komunitas melakukan identifikasi masalah
mengenai kebutuhan masyarakat. Masyarakat mulai di libatkan
secara aktif agar permasalahan yang dirasakan masyarakat benar-
benar berasal dari masyarakat sendiri. Setelah mendapatkan
permasalahan, perawat memfasilitasi masyarakat dalam
menyusun prioritas masalah akan ditindaklanjuti.
3) Tahap perencanaan kegiatan (Designing)
Perawat komunitas melakukan proses penyusunan perencanaan
program pemberdayaan masyarakat pada tahap designing.
Perencanaan program dilakukan aktif bersama partisipasi
masyarakat. Masyarakat tidak hanya dituntut untuk mengetahui
permasalahan dan kebutuhannya namun juga bekerja sama
dengan perawat untuk menyusun penanganan yang tepat dan
sesuai. Diskusi dilakukan perwakilan masyarakat dan perawat
mengenai alternatif program dan tujuan yang ingin dicapai yang
dapat dilakukan oleh masyarakat dalam proses pemberdayaan.
Perawat bertugas sebagai fasilitator yang membantu masyarakat
berdiskusi bersama mengenai rencana program dan
menuangkannya dalam bentuk tertulis seperti penyusunan
proposal.
4) Tahap Implementasi (pelaksanaan program)
Tahap implementasi merupakan tahap pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat. Proses implementasi yang baik harus
dilandasi kerja sama yang baik antara perawat dan masyarakat
maupun antar masrakat. Hal ini ditujukan agar proses pelaksanaan
sesuai dengan perencanaan yang telah disusun.
5) Tahap evaluasi
Evaluasi dilakukan sebagai proses pengawasan dari masyarakat
dan perawat terhadap program yang sedang dijalnkan. Pada tahap
evaluasi, warga harus dilibatkan agar terbentuk pengawasan
secara internal dan dalam rangka memandirikan masyarakat
dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Evaluasi
diharapkan dapat memberikan umpan balik yang berguna bagi
perbaikan program.
6) Tahap terminasi (Disengagement)
Pada tahap terakhir ini terjadi pemutusan hubungan secara formal
dengan komunitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat telah
mampu secara mandiri atau telah mencapai waktu yang
ditetapkan sebelumnya. Proses terminasi tidak serta merta
dilakukan secara mendadak namun harus bertahap. Sehingga jika
perawat belum menyelesaikan dengan baik maka kontak dengan
masyarakat tetap dilakukan namun tidak secara rutin dan akhirnya
perlahan-lahan dikurangi kontrak dengan komunitas sasaran.
d. Kemitraan (Partnership)
Partnership atau kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama aktif
antara perawat komunitas, masyarakat, maupun lintas sektor dan
program. Bentuk kegiatannya adalah kolaborasi, negosiasi dan sharing
dilakukan untuk saling menguntungkan ( Stanhope & Lancaster,
2014). Partnership adalah intervensi keperawatan komunitas dalam
bentuk kerjasama dengan pihak terkait untuk membina, mengawasi,
dan mencegah permasalahan komunitas.
Pihak yang dapat dilibatkan dalam partnership adalah
pemerintah (Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Kelurahan),
Lembaga Swadaya Masyarakat/ LSM dan pihak swasta. Bentuk
kegiatan tersebut dapat berupa kerjasama program dan dukungan dari
pihak yang diajak kerjasama. Program dapat berasal dari pihak yang
diajak kerjasama atau perawat.
Aktivias kemitraan dapat membantu perawat dalam mengubah
komunitas risiko tinggi ke dalam realitas komunitas yang berarti. Jenis
dari kemitraan meliputi :
1) Kerjasama dengan konsumen (Consumery Advocacy)
Consumery advocacy merupakan bentuk partnership yang terjadi
jika melihat kebijakan sumber pelayanan kesehatan prioritas
tertinggi ditujukan untuk kebutuhan klien. Consumery advocacy
juga diartikan sebagai upaya pemecahan masalah lebih lanjut jika
penyelesaian konflik tidak konsisten dengan keinginan klien.
Perawat diharapkan melakukan advokasi jika kebutuhan kelompok
berisiko tidak tersedia di dalam program atau didalam sistem
pelayanan kesehatan. Perawat dapat melakukan tindakan untuk
meningkatkan penyediaan dana, penyediaan waktu dari profesi
lain. Keterlibatan klien dalam proses advokasi sangat pening.
2) Multidisiplin kolaborasi sangat efektif untuk mengidentifikasi dan
mengkaji resiko kesehatan di masyarakat yaitu:
a) Mengkaji kebutuhan kesehatan komunitas
b) Menentukan populasi yang beresiko sakit, cacat, kematian.
c) Merencanakan program dan mengalokasikan sumber
d) Mengidentifikasi isu-isu penelitian.
3) Membangun jejaring (Networking) :
a) Mengumpulkan informasi tentang kebutuhan pelayanan
kesehatan mulai dari waktu (when), alasan (why) dan cara
(how). Menurunkan resiko kesehatan di masyarakat dan dapat
memfasilitasi perawat untuk masuk ke masyarakat dan
mengembangkan kerjasama komunitas.
b) Meningkatkan dan mempertahankan hubungan kerjasama
dengan profesi lain dan memfasilitasi terjadinya tipe kerjasama
perawat dengan klien maupun kerjasama dengan multidisiplin.

C. Teori Model
1. Teori Health Promotion Model (HPM)
Teori health belief model ini mengintegrasikan konstruksi dari teori
nilaii harapan dari perspektif keperawatan secara holistik (Pender, 2015).
Health Promotion Model (HPM) adalah perilaku untuk menggambarkan
sifat multidimensional dari orang yang berinteraksi dengan lingkungan
interpersonal dan fisik. Teori Pender ini mirip dengan kerangka teori
Health Belief Model (HBM) dari Orem, namun HPM tidak hanya
menjelaskan perilaku pencegahan penyakit akan tetapi juga menjelaskan
perilaku lainnya untuk meningkatkan kesehatan dan mengaplikasikan
sepanjang daur kehidupan (Alligod, 2017). Pada prinsipnya model ini
menekankan pada 2 teori sebagai berikut:
a. Expectancy Value Theory (Teori Nilai Pengharapan)
Setiap individu memiliki nilai pengharapan dalam dirinya
tentang kesehatan yang ingin dicapai. Harapan tersebut bersifat rasional
dan ekonomis. Sehingga individu akan berusaha mencapai serta
mempertahankan harapan tersebut. Hal pokok dalam nilai pengharapan
ini adalah hasil tindakan positif dan melakukan tindakan untuk
menyempurnakan hasil yang diinginkan.
b. Social Cognitive Theory (Teori Sosial Kognitif)
Teori ini menjelaskan interaksi pikiran, perilaku dan lingkungan
yang saling mempengaruhi. Pada teori ini menekankan pada pentingnya
proses kognitif dalam merubah perilaku seseorang. Dalam teori ini ada
tiga macam kepercayaan yaitu self atribution (pengenalan diri), self
evaluation (evealuasi diri), dan self efficacy (kemajuan diri).
Health Promotion Model (HPM) memiliki tiga komponen yaitu
karakteristik individu dan pengalaman, kognisi dan sikap spesifik, dan
hasil perilaku kesehatan. Pada variabel dari karakteristik individu dan
pengalaman individu dimana di dalamnya meliputi perilaku sebelumnya
dan faktor personal. Variabel dari perilaku spesifik, kognisi dan afek yang
meliputi manfaat tindakan yang dirasakan, hambatan terhadap tindakan
yang dirasakan, self-efficacy, sikap yang berhubungan dengan aktivitas,
pengaruh interpersonal, dan pengaruh situasional. Hasil akhir perilaku
mempunyai variabel perilaku promosi kesehatan. Menurut Pender (2015),
variabel dari masing-masing komponen akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Prior related behavior (perilaku sebelumnya)
Perilaku yang sering dilakukan sebelumnya dimasa lalu secara
langsung maupun tidak langsung yang berdampak kepada
kemungkinan perilaku yang dapat meningkatkan status kesehatan
b. Personal factor (faktor personal)
Faktor personal ini memprediksi pemberian periaku dan dibentuk
secara alami dalam target perilaku menjadi pertimbangan. Faktor ini
dikategorikan sebagai faktor biologis meliputi usia, indeks massa
tubuh (IMT), status pubertas, status menopause, kapasitas aerobik,
kekuatan, kelincahan atau keseimbangan, faktor psikologis meliputi
harga diri, motivasi diri dan status kesehatan yang dirasakan, dan
faktor sosial budaya meliputi ras, etnis, akulturasi, pendidikan dan
status sosial ekonomi.
c. Perceived benefits to action (persepsi terhadap manfaat tindakan)
Manfaat tindakan ini menjadi gambaran mental positif atau
reinforcement positif bagi perilaku. Menurut teori ekpentansi motivasi
penting untuk mewujudkan hasil seseorang dari pengalaman dahulu
melalui pelajaran observasi dari orang lain dalam perilaku. Individu
cenderung untuk menghabiskan waktu dan hartanya dalam beraktifitas
untuk mendapatkan hasil yang positif. Keuntungan dari penampilan
perilaku bisa intrinsik dan ekstrinsik
d. Perceived barrier to action (hambatan yang dirasakan)
e. Perceived self efficacy (kemampuan diri)
f. Activity related affect (afek sikap yang berhubungan dengan aktivitas)
g. Personal influences (pengaruh individu)
h. Situasional influences (pengaruh situasional)
i. Comitment to plan of action (komitmen dengan rencana tindakan)
j. Immediate competing demans and preferences (kebutuhan untuk
berkompetisi)

D. Konsep Agregat Balita


Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan
salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia
balita dimulai dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan
perhitungan bulan yaitu usia 12-60 bulanPeraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia (2014) seorang anak dikatakan balita apabila anak berusia
12 bulan sampai dengan 59 bulan. Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa
seorang anak dari usia 1 sampai 3 tahun disebut batita atau toddler dan anak
usia 3 sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah atau preschool child.
Usia balita merupakan sebuah periode penting dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menjelaskan balita
merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang pesat. Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap individu berbeda-
beda, bisa cepat maupun lambat tergantung dari beberapa faktor diantaranya
herediter, lingkungan, budaya dalam lingkungan, sosial ekonomi, iklim atau
cuaca, nutrisi dan lain-lain (Aziz, 2006 dalam Nurjannah, 2013).
Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan
pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh
kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan
pernah terulang, karena itu sering disebut golden age atau masa keemasan.

E. Konsep Stunting
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak ,pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang
didasarkan pada indeks Panjang badan menurut umur (PB/U) atau Tinggi
Badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted
(pendek) dan severely stunted (sangat pendek).
Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah
diukur panjang atau tinggi badan nya, lalu dibandingkan dengan standar dan
hasilnya berada dibawah normal. Balita penpek adalah balita dengan status
gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila
dibandingkan dengan standar baku WHO. Anak digolongkan stunting jika
tingginya berada dibawah -2 SD dari standar WHO.
Stunting disebabkan oleh multifaktor yaitu mencakup pendidikan
ibu,status ekonomi, tinggi badan ibu, pola asuh, usia balita, Pemberian ASI
Eksklusif, kelengkapan imunisasi, BBLR, asupan energi, asupan protein,
riwayat penyakit infeksi, dan makanan pendamping ASI.

BAB III
RANCANGAN PROGRAM KOTA SEHAT: PENANGANAN STUNTING
PADA AGREGAT BALITA

A. Identifikasi Masalah.
Berdasarkan data dari Tim Nasional percepatan penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) untuk Kabupaten Sukabumi sendiri masuk kedalam 1000 desa
prioritas percepatan penurunan stunting, prevalensinya mencapai 37,1%
dengan jumlah baita stunting adalah 85,651 balita. Ty Beal (2017) dalam
penelitiannya menyatakan faktor yang mempengaruhi kejadian penyebab
stunting diantaranya pemberian ASI non-eksklusif selama 6 bulan pertama,
rendah status sosial ekonomi rumah tangga, kelahiran prematur, panjang
kelahiran pendek, dan rendah tinggi pendidikan ibu di Indonesia.

B. Dasar Hukum
Dasar hukum penyelenggaraan kabupaten/ kota sehat
1. UU Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
2. UU Nomor: 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
3. UU Nomor: 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
4. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor :
34 Tahun 2005 Nomor : 1138/Menkes/PB/VIII/2005 tentang
Penyelenggaraan Kabupaten/Kota sehat
Dasar hukum pembentukan Tim Pembina Teknis Kab./Kota Sehat adalah :
1. KepMendagri No. 650/174 Tahun 1998 Tentang Pembentukan
Kelompok Kerja Pembinaan Pelaksanaan Program Kabupaten/Kota
Sehat
2. Kep.Mendagri No. 650-185 Tahun 2002 Tentang Pembentukan
Kelompok Kerja Pembinaan Pelaksanaan Program Kabupaten/Kota
Sehat

C. Tujuan Program
Tujuan Program Kota/Kabupaten Sehat pada agregat Balita adalah
meningkatnya kesadaran , kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
masyarakat serta meningkatnya kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu dan merata. Dengan terlaksananya berbagai
program-program kesehatan dan sektor lain, sehingga dapat mewujudkan
masyarakat yang mandiri. Disamping itu terkhusus pada balita bahwa
masalah – masalah kesehatan terutama stunting dapat di tangulangi dengan
meningkatan peran serta masyarakat yang ada didalammnya. Dengan adanya
program kota sehat, diharapkan mampu mengajak masyarakat dalam
meningkatkan kreatifitas agar balita dapat terhindar dari stunting.

D. Rencana Kegiatan
Adapun perencanaan program kegiatan yang akan dilakukan terdapat
pada tabel berikut :
Tabel 3.1 Perencanaan Program Kota Sehat
Program Kegiatan Sasaran Fasilitator Anggaran
Penyuluhan 1. Koordinasi Dinas Dinkes dan Rp. 5.000.000
tentang gizi dan dengan pihak kesehatan, Perawat
pemanfaatan stakeholder Petugas komunitas
pekarangan terkait dan program gizi
masyarakat Masyarakat
2. Tentukan
pemateri
3. Tentukan
jumlah peserta
yang terlibat
4. Pelaksanaan
kegiatan
Mandiri pangan 1. Koordinasi Dinas Dinas Rp. 10.000.000
: Pembuatan dengan pertanian Pertanian
Kebun Gizi program gizi Perawat dan
dan sektor dinas Komunitas, camat/kades
pertanian, petugas
camat dan puskesmas,
kades Kader
2. Penyediaan Masyarakat
lahan tanam
3. Penyiapan
benih dan
media tanam
4. Pelatihan dan
pembimbingan
kepada kader
Gerakan peduli 1. koordinasi petugas Dinkes dan Rp. 10.000.000
1000 hari dengan puskesmas perawat
kehidupan program gizi, Kader komunitas
pertama kesling Masyarakat
(PEKA) 2. koordinasi
dengan pihak
Camat dan
Kades
3. membentuk
tim inovasi
4. koordinasi
untuk
menentukan
desa
percontohan
5. pelatihan dan
bimbingan
kader
E. Pengorganisasian Program
Untuk kejelasan peran/ fungsi dapat terlihat pada struktur pengorganisasian
forum kota/kabupaten sehat pada bagan dibawah ini :

FORUM KOTA/KABUPATEN SEHAT

Forum Desa Forum Desa Forum Desa


Sehat Sehat Sehat

RW RW RW RW RW RW
Siaga Siaga Siaga Siaga Siaga Siaga

F. Evaluasi Program
Teknik yang digunakan dalam evaluasi program yang dijalankan
adalah dengan menggunakan teknik CIPP (Context, Input, Process, Product),
most significant change atau perubahan paling menonjol berdasarkan kondisi
before after program. Teknik ini merupakan perangkat evaluasi yang sangat
efektif dalam membantu komunitas masyarakat untuk mengidentifikasi serta
menilai perubahanperubahan penting yang telah terjadi di masyarakat.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis Program (Analisis SWOT)


Untuk mengetahui berbagai faktor pendukung dan penghambat program
kota sehat, dilakukan kajian secara seksama dengan analisis SWOT sebagai
berikut :
1. Strengths (Kekuatan)
 Jumlah tenaga pelaksana program penanganan stunting seperti petugas
puskesmas dan kader kesehatan sudah memadai
 Sumber dana untuk kegiatan sudah tersedia dan cukup
 Fasilitas sarana dan prasarana kegiatan program kebun gizi seperti lahan
untuk bercocok tanam, media tanam, dan tempat untuk penyuluhan sudah
tersedia
2. Weakness (Kelmahan)
 Tenaga pelaksana program penanganan stunting (kader) ada yang belum
mendapatkan pelatihan
3. Opportunities (Peluang)
 Tenaga pelaksana program telah melakukan upaya kerjasama lintas
program dan lintas sektor yang dikoordinasikan dan disetujui oleh kepala
wilayah/daerah
4. Threats (Ancaman)
 Kurangnya pengetahuan dan perilaku sehat masyarakat terhadap
penanganan stunting

Setelah mengidentifikasi faktor – faktor internal (kekuatan dan


kelemahan) dan faktor – faktor eksternal (peluang dan ancaman) program,
kemudian mendiskusikan rencana strategi dengan menggunakan analisis
matriks SWOT sebagai berikut :

B. MATRIKS SWOT
Kondisi internal Strengths (Kekuatan) Weakness (Kelemahan)
Jumlah petugas Petugas ada yang belum
memadai mengikuti pelatihan
Sumber dana cukup
Kegiatan program baik
Kondisi eksternal
Fasilitas tersedia
Opportunities (Peluang) Strategi SO Strategi WO
Kerjasama lintas Dengan sumber daya, Mengikutsertakan
program dan lintas sektor kegiatan, dan fasilitas petugas yang belum
yang telah yang memadai serta mengikuti pelatihan agar
dikoordinasikan oleh telah bekerjasama semua petugas dapat
kepala wilayah/daerah dengan kepala daerah, melaksanakan program
maka akan dicapai dengan baik
keberhasilan program
Threats (Ancaman) Strategi ST Strategi WT
Kurangnya pengetahuan Melakukan penyuluhan Meningkatkan pelatihan
dan perilaku sehat agar meningkatnya kepada petugas agar
masyarakat kesadaran dan kemauan dapat meningkanya
hidup sehat bagi setiap derajat kesehatan
masyarakat masyarakat melalui
kegiatan penyuluhan

Kesimpulan dari analisis SWOT :


Strategi prioritas : Menggunakan seluruh kekuatan dan memanfaatkan peluang
sebesar – besarnya untuk memperbaiki kelemahan serta mengatasi ancaman
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
1. Ciri-ciri kota/kabupaten sehat ialah pendekatan tergantung permasalahan
yang dihadapi, berasal dari kebutuhan masyarakat, dikelola oleh masyarakat,
sedangkan pemerintah sebagai fasilitator.
2. Tatanan kota/kabupaten sehat meliputi Kawasan Permukiman, Sarana dan
Prasarana Umum, Sarana Lalu Lintas Tertib & Pelayanan Transportasi,
Industri & Perkantoran yang Sehat. Pariwisata Sehat, Pertambangan Sehat,
Hutan Sehat, Kehidupan Masyarakat Sehat yang Mandiri, Ketahanan Pangan
dan Gizi , Kehidupan Sosial yang Sehat.
3. Kota Sehat merupakan gerakan untuk mendorong inisiatif masyarakat menuju
hidup sehat. Memperhatikan konsepsi gerakan kota sehat tersebut, tampak
bahwa gerakan kota sehat merupakan pendekatan “multi stakeholders‟,
dimana sektor kehutanan (pemerintah dan swasta) yang merupakan bagian
dari stakeholders dapat ikut aktif/ berpartisipasi sesuai dengan bidang
tugasnya. Partisipasi tersebut dalam tahap awal dapat berupa upaya untuk
mempromosikan/ menginformasikan kegiatan-kegiatan yang telah dan akan
dilakukan, yang dapat menunjang gerakan kota sehat, serta menselaraskan
kegiatan dengan sektor lain yang secara bersama-sama dapat mewujudkan
kota sehat
DAFTAR PUSTAKA
Beal Ty, Tumilowicz, Alison, Sutrisna Aang, Izwardy, Doddy, Neufeld, Lynnette
M. (2017). A review of child stunting determinants in Indonesia.
Maternal and Child Nutrition Published by John Wiley & Sons, Ltd.
doi: 10.1111/mcn.12617 .
Buku Saku Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017. di akses pada 3 Juli
2020
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20180125/3424539/buk
u-saku-hasil-pemantauan-status-gizi-psg-tahun-2017/
Izwardy, Doddy. (2019). Kebijakan Dan Strategi Penanggulangan Stunting Di
Indonesia. di akses pada 3 Juli 2020.
https://www.persi.or.id/images/2019/data/FINAL_PAPARAN_PERSI
_22_FEB_2019_Ir._Doddy.pdf
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Balitbang.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan
Republik Indonesia. (2018) Penanganan Stunting Terintegrasi Di
Indonesia. di akses pada tanggal 3 Juli 2020.
https://standarpangan.pom.go.id/dokumen/lain-lain/WNPG/Materi-
Deputi-PMK-HPS.pdf
Kurniasih, Dwi Endah, dan Adianto, Joko.(2017) Kebun gizi sebagai strategi
berbasis masyarakat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. BKM
Journal of Community Medicine and Public Health. Volume 34
Nomor 2  Halaman 93-97
Ni’mah, Khoirun, Nadhiroh, Siti Rahayu. (2015). Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita. Media Gizi Indonesia, Vol.
10, No. 1 Januari–Juni 2015: hlm. 13–19.
Paramita, V. Santi, Isnayat, Iis, Ikrawan, Yusep, Adialita, Tania. (2019).
Secercah Hati: Community Empowerment Program in Health and
Economic Affairs through the Role of Posyandu and Posbindu.
JURNAL MITRA Vol. 3 No. 2
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan No. 34 pasal 1
Tahun 2005
Rifiana, Andi Julia dan Linda Agustina. (2018). Analisis Kejadian Stunting Pada
Balita Di Desa Pasirdoton Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi
Provinsi Jawa Barat Tahun 2017-2018. JAKHKJ. Vol. 4, No. 2.
Stanhope, M. dan Lancaster, J. (2014.) Foundations of Nursing in the
Community. 4th ed. Elsevier: America.

Anda mungkin juga menyukai