Anda di halaman 1dari 10

CONTOH PROPOSAL PENELITIAN

KEPERAWATAN
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRES,
DUKUNGAN KELUARGA, DUKUNGAN TEMAN DAN DUKUNGAN IKLAN DENGAN
PERILAKU REMAJA TERHADAP ROKOK
DI SUSUN MEMENUHI SALAH SATU TUGAS MATA KULIAH METODE
PENELITIAN
OLEH

ACH ARIFIN (193210002)

PROGRAM STUDIS1 KEPERAWATAN INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN


KESEHATANINSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG

BAB I
PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang Masalah

Masalah rokok saat ini menjadi topik yang sedang hangat dibicarakan. Telah banyak
artikel dalam media cetak dan pertemuan ilmiah, ceramah, wawancara baik di radio
maupun televisi serta penyuluhan mengenai bahaya merokok dan kerugian yang
ditimbulkan akibat rokok. Berbagai kebijakan dan aturan yang memuat sanksi bagi para
perokok dipublikasikan secara terus-menerus. Bahkan setiap tanggal 31 Mei, Badan
Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No
Tobacco Day). Melalui peringatan hari tanpa rokok sedunia ini, diharapkan menjadi
kesempatan bagi kita untuk berfikir kembali dan menyadari akan bahaya dan dampak
rokok baik bagi perokok itu sendiri maupun lingkungan disekitarnya.
1Rokok merupakan zat aditif yang mengancam kesehatan karena didalamnya
mengandung zat-zat yang membahayakan tubuh. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan
beberapa artikel ilmiah menerangkan bahwa dalam setiap kepulan asap rokok terkandung
± 4000 racun kimia berbahaya dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang
tumbuhnya kanker). Beberapa zat yang berbahaya tersebut diantaranya tar,
karbonmonoksida (CO) dan nikotin (Abadi, 201305).
Melalui zat yang dihisap dalam rokok, hampir sekitar 90 % kanker paru-paru tidak dapat
diselamatkan. (Basyir, 2005). Selain itu rokok dapat menyebabkan kanker mulut, bibir,
kerongkongan, penyakit jantung, bahkan disinyalir dapat memperpendek usia. Menurut
perhitungan Fakultas kedokteran di Inggris, rata-rata setiap perokok kehilangan 5 ½
menit umurnya setiap menghisap sebatang rokok (Nainggolan, 2000).
Dalam sebuah study yang dilakukan di Jepang, seperti yang diberitakan The Asahi
Shimbun terbitan 23 April 201304, didapatkan hasil bahwa 29 % (80.000 orang) pada pria
dan 4 persen (5000 orang) pada wanita penderita kanker di jepang disebabkan oleh rokok
(Basyir, 201305).
Di Indonesia sendiri angka kejadian penyakit akibat rokok menurut mantan menteri
kesehatan Achmad Sujudi, tercatat sebanyak 6,5 juta jiwa menderita penyakit akut akibat
merokok. Antara lain berupa kanker paru-paru, jantung, dan gangguan peredaran darah.
Achmad sujudi menambahkan bahwa ''Bayi yang lahir dari ibu yang merokok juga
memiliki berat badan yang rendah serta bisa menimbulkan sindroma bayi meninggal
mendadak (Sudden Death).'' (www.republikaonline.com, 2003) .
Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 1,2 miliar penduduk dunia merupakan perokok,
dan 800 juta di antaranya terdapat di negara berkembang. Besarnya jumlah perokok
tersebut menyebabkan angka kematian akibat merokok saat ini adalah 4 juta jiwa setiap
tahun, yang berarti terdapat sekitar satu kematian dalam setiap 8 menit (Burhan, 2004).
Melihat dari data akibat yang disebabkan oleh bahaya merokok tersebut, tidak heran
bahwa di negara maju aktivitas merokok mulai dibatasi, dan jumlah perokok semakin
berkurang. Menurut badan kesehatan WHO dinegara maju prevalensi jumlah perokok
menurun 1,1% setiap tahunnya, akan tetapi dinegara berkembang seperti Indonesia
jumlah perokok ini 2,1% meningkat setiap tahunnya (A.F Muchtar, 2005). Aktivitas
merokok dianggap sebagai suatu trend di Indonesia. Riset WHO 1998 menunjukan,
kelompok perokok aktif usia 10 tahun ke atas di Indonesia tercatat 59,04% untuk pria dan
4,85%untuk wanita. Dari kelompok usia tersebut 12,8%-27,7% pria berusia muda (young
males) dan 0,64%-1% adalah wanita muda (young females) (Syahrir, 2003).
Jumlah perokok di Indonesia menempati urutan terbesar keempat dunia dengan
kekerapannya sekitar 60% pada laki-laki dan 4% pada perempuan yang berumur lebih
dari 15 tahun (Burhan, 2004). Sedangkan di Asia Indonesia menempati urutan kedua
terbesar setelah Kamboja dengan prosentasi perokok pria; Kamboja 54%, Indonesia 53%,
Vietnam 50%, Malaysia 49% dan Thailand 39% (Basyir, 2005).
Kondisi yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa kebiasaan merokok justru dimulai pada
usia yang sangat muda. Psikolog A Kasandra Oemarjoedi (2004) mengatakan, jika dua
puluh tahun yang lalu umur rata-rata seseorang mulai merokok adalah pada usia 16 tahun
(remaja tingkat SLTA), estimasi sekarang seseorang mulai merokok pada usia remaja 12-
14 tahun (remaja tingkat SLTP). Oemarjoedi menambahkan, berdasarkan data Survei
Yayasan Pelita Ilmu lebih dari tiga juta remaja menggunakan rokok tembakau, dan dari
keseluruhan jumlah tersebut, hampir 20 persen adalah siswa SLTP. Bahkan data dari tiga
tahun terakhir, 30 persen dari jumlah anak SLTP adalah perokok aktif. Satu dari tiga
siswa menjadi perokok permanen sampai dia dewasa dan meninggal pada usia yang sangat
muda yang diakibatkan oleh penyakit yang disebabkan karena merokok (Daryanto,2004).
Secara psikologis remaja SLTP (usia 12-16 tahun) berada pada tahapan perkembangan
remaja awal. Periode masa remaja awal dikatakan sebagai masa transisi dimana jiwa anak
masih labil. Hal ini disebabkan karena anak belum menemukan pegangan hidup yang
mantap. Akibat labilnya jiwa anak, menjadikan mereka sangat sensitif terhadap
pengaruh-pengaruh dari luar, baik yang bersifat positif maupun negatif (Kartono, 1995).
Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa masa remaja awal memiliki beberapa ciri tahapan
perkembangan yaitu tahap periode peralihan, periode perubahan, periode bermasalah dan
periode pencarian identitas. Pada periode pencarian identitas, remaja cenderung meniru
tingkah laku orang dewasa yang dianggap menunjukan kematangan dan kemapanan
dalam hal identitas diri. Proses identifikasi remaja terhadap orang dewasa menyebabkan
mereka mengadopsi perilaku yang ada pada orang dewasa, salah satunya adalah perilaku
merokok. Merokok menjadi perilaku negatif yang umum dan bersifat legal bagi para
remaja.
Merokok pada remaja perlu mendapatkan perhatian besar. Penurunan sumber-daya
manusia dimasa yang akan datang menjadi sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi yang
disebabkan karena remaja terbiasa dengan perilaku yang tidak sehat. Taylor (Syahrir
201603) menyatakan bahwa perilaku merokok pada remaja dapat menjadi bagian dari
serangkaian sindrom perilaku bermasalah secara umum, misalnya: penggunaan obat-
obatan terlarang, alkoholik dan perilaku sex bebas.
SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 merupakan instansi pendidikan yang berada di
wilayah Bandung Timur, tepatnya di Jl. Raya A.H. Nasution No 25A. Sekolah ini
merupakan sekolah gabungan antara SLTP, SMU dan SMK Karya Pembangunan.
Instansi pendidikan ini merupakan sekolah swasta yang banyak diminati di wilayah
Bandung Timur. Hal ini terlihat dari banyaknya siswa yang terdaftar di SLTP KP 10.
Jumlah siswa secara keseluruhan di SLTP KP berjumlah 985 siswa (488 siswa laki-laki
dan 497 siswa perempuan). Dari 985 siswa tersebut terbagi menjadi 320 siswa kelas I, 376
siswa kelas II dan 289 siswa kelas III.
Berdasarkan hasil study pendahuluan yang dilakukan pada bulan April 201006,
didapatkan informasi dari guru bimbingan konseling SLTP KP 10 Bandung, bahwa di
sekolah tersebut belum pernah dilakukan penelitian yang berkaitan dengan perilaku
merokok siswa. Padahal dari beberapa permasalahan mengenai kenakalan remaja di
SLTP KP 10, merokok menjadi masalah dengan tingkat prosentase tertinggi (25-30%)
dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan, perkelahian / tawuran dan, perkumpulan
remaja atau gangster, yang hanya tercatat (< 10%). Sedangkan berdasarkan hasil
wawancara dengan 10 orang siswa kelas III didapatkan data bahwa semua siswa tersebut
merokok, bahkan mereka mengatakan, hampir seluruh anak laki-laki di kelasnya sudah
pernah merokok. Adapun untuk kelas II mereka mengatakan hanya sekitar (30-35%) yang
merokok, dan kelas I (±10%). Kebanyakan siswa di SLTP KP merokok diluar lingkungan
sekolah, mereka bergerombol disuatu tempat yang memang memudahkan mereka
mendapatkan rokok. Padahal SLTP KP sendiri memiliki kebijakan yang tertulis dalam
perjanjian antara pihak sekolah dengan calon siswa mengenai larangan membawa
ataupun merokok didalam maupun diluar lingkungan sekolah, termasuk sanksi tegas yang
menjerat apabila larangan ini di langgar oleh siswa.
Adapun informasi yang penulis dapatkan dari Badan Musyawarah Guru Pembimbing
(MGP) kota Bandung perilaku merokok termasuk kedalam 6 bentuk perilaku bermasalah
yang ada pada remaja SMP. Munculnya perilaku bermasalah terutama merokok terjadi
pada sekolah-sekolah dengan kriteria sebagai berikut: 1) sekolah yang menerima siswa
tanpa testing, 2) sekolah yang berada di daerah pinggiran kota, 3) sekolah yang kurang
komitmen terhadap penerapan disiplin, dan 4) sekolah yang berada dekat keramaian.
Banyak hal yang dapat menjadi resiko timbulnya perilaku merokok pada anak usia
remaja. Subanada (Soetjiningsih, 2004) mengungkapkan bahwa faktor resiko munculnya
perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh berberapa faktor diantaranya: 1). Faktor
psikologis/kepribadian yang terdiri dari faktor psikososial yang meliputi stress, rasa bosan,
rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri dan perilaku yang menunjukan
pemberontakan menjadi hal yang mengkontribusi remaja untuk mulai merokok. Selain
itu, secara psikologis perilaku merokok pada remaja diasosiasikan juga dengan gangguan
psikiatrik. 2). Faktor biologis, meliputi fungsi kognisi, etnik, genetik dan jenis kelamin. 3).
Faktor lingkungan, yakni orangtua, saudara kandung, teman sebaya dan reklame atau
iklan menampilkan sang idola remaja, 4). Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea
cukai yang tinggi terhadap rokok dengan maksud untuk menurunkan daya beli
masyarakat terhadap rokok, dan pembatasan fasilitas / lokasi untuk merokok.
Faktor psikologis dapat dilihat dari kajian perkembangan remaja lingkungan, artinya
perilaku merokok selain disebabkan oleh faktor dalam di, Erikson mengatakan bahwa
setiap remaja akan mengalami fase krisis dalam proses pencarian jati dirinya yang
disebabkan karena adanya perubahan fisik dan psikososial. Ketidaksesuaian antara
perkembangan fisik, psikis dan sosial menyebabkan remaja berada dalam kondisi dibawah
tekanan atau stress. Merokok menjadi alternatif yang mereka pilih karena dianggap dapat
mengurangi ketegangan dan membantu relaksasi terhadap stress (Helmi & Komalasari,
2006).
Selain itu, perilaku merokok merupakan perilaku yang dipelajari, sehingga perlu ada agen
sosialisasi dalam proses munculnya perilaku tersebut, dan lingkungan merupakan faktor
penting yang pertama kali memperkenalkan remaja terhadap perilaku merokok. Aktivitas
merokok yang ada di lingkungan menstimulasi remaja untuk mencoba hal yang sama agar
dapat diterima sebagai anggota dari lingkungan tersebut (A.F Muchtar 2005). Orangtua,
saudara kandung, teman sebaya dan iklan merupakan faktor lingkungan yang mendorong
remaja untuk merokok.
Berdasarkan faktor biologi, merokok merupakan perilaku yang diturunkan secara
genetik, dan perilaku ini lebih banyak terjadi pada mereka keturunan ras kulit putih.
Sedangkan berdasarkan faktor regulatori, perilaku merokok berkaitan dengan daya beli
masyarakat terhadap rokok yang akan terpengaruh oleh kebijakan pemerintah melalui
pajak atau bea cukai rokok. Selain itu adanya kebijakan penentuan daerah bebas rokok,
menjadi upaya yang diharapkan dapat mengurangi konsumsi mayarakat akan rokok dan
sekolah menjadi salah satu tempat yang ditetapkan sebagai kawasan bebas rokok
(Soetjiningsih, 2004).
Melihat dari faktor-faktor tersebut, dalam kesempatan ini penulis hanya memfokuskan
penelitian pada dua faktor yakni psikologis (stress) dan faktor lingkungan yang meliputi
dukungan keluarga, dukungan teman, dan dukungan iklan. Adapun faktor biologi dan
regulatori tidak menjadi lingkup penelitian dengan pertimbangan; faktor biologis akan
sangat sulit untuk diteliti, sedangkan berkaitan dengan faktor regulatori, SLTP KP sendiri
telah memiliki aturan mengenai larangan membawa maupun melakukan aktivitas
merokok baik di dalam maupun di luar lingkungan pendidikan.
1. 2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, peneliti merumuskan permasalahan
sebagai berikut: apakah terdapat hubungan antara tingkat stress, dukungan keluarga,
dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP
Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I. 3 Tujuan
I.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara tingkat stress,
dukungan keluarga, dukungan teman dan dukungan iklan dengan perilaku remaja
terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi gambaran perilaku merokok pada remaja SLTP KP 10
Bandung.
2. Untuk mengidentifikasi gambaran tingkat stres pada remaja di SLTP KP 10 Bandung.
3. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan keluarga untuk merokok pada remaja di
SLTP KP 10 Bandung.
4. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan teman untuk merokok pada remaja di
SLTP KP 10 Bandung.
5. Untuk mengidentifikasi gambaran dukungan iklan untuk merokok pada remaja di
SLTP KP 10 Bandung.
6. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Stress dengan perilaku
remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
7. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan keluarga dengan
perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
8. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan teman dengan
perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
9. Untuk mengidentifikasi hubungan yang bermakna antara Dukungan Iklan di media
dengan perilaku remaja terhadap rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung.
I. 4. Kegunaan
Melalui identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku remaja terhadap
rokok di SLTP Karya Pembangunan (KP) 10 Bandung., diharapkan dapat berguna bagi ;
I.4.1 Instansi Pendidikan (SLTP KP 10 Bandung)
1. Sebagai gambaran bagi instansi mengenai perilaku merokok yang terjadi pada siswa.
2. Sebagai bahan acuan untuk penegakan disiplin bagi siswa selanjutnya
3. Sebagai bahan pemikiran untuk evaluasi kebijakan yang telah diterapkan sekolah bagi
para siswa.
4. Sebagai landasan untuk pelaksanaan program incidental/ program extra yang
membahas mengenai masalah yang berhubungan dengan perilaku remaja.
I.4.2 Petugas Kesehatan (Instansi Puskesmas)
Menjadi masukan penting bagi instansi puskesmas setempat sebagai bahan pokok untuk
melakukan penyuluhan tentang bahaya merokok sesuai dengan program UKS di SLTP
Karya Pembangunan 10.
I.4.3 Peneliti dan Penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian atau data awal untuk melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan perilaku merokok pada anak remaja SLTP.
1.5 Kerangka konsep
Subanada dalam Soetjiningsih 2004 mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor
resiko timbulnya perilaku merokok pada remaja, yakni :
1. Faktor psikologis/kepribadian yang terdiri dari faktor psikososial yang meliputi stress,
rasa bosan, rasa ingin tahu, ingin terlihat gagah, rendah diri dan perilaku yang
menunjukan pemberontakan. Selain itu perilaku merokok pada remaja diasosiasikan
dengan gangguan psikiatrik seperti depresi dan skizofrenia.
2. Faktor biologis, meliputi fungsi kognisi dimana para perokok menganggap bahwa
merokok dapat meningkatkan konsentrasi mereka. Faktor etnik, dimana remaja yang
berasal dari keturunan ras kulit putih di Amerika akan mempunyai kecenderungan lebih
besar untuk menjadi seorang perokok dibandingkan dengan keturunan lain. Selanjutnya
faktor genetik, yang menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, seorang perokok
mempunyai gen yang akan diturunkan yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku
merokok pada generasi selanjutnya. Adapun yang terakhir adalah faktor jenis kelamin,
dimana pada saat ini perilaku merokok tidak hanya muncul pada kaum pria tetapi juga
pada wanita.
3. Faktor lingkungan yang meliputi perilaku merokok orangtua, saudara kandung, teman
sebaya dan reklame atau iklan rokok yang menampilkan sang idola remaja sebagai role
model mereka.
4. Faktor regulatori yakni adanya pajak atau bea cukai yang tinggi terhadap rokok dengan
maksud untuk menurunkan daya beli masyarakat terhadap rokok. Selain itu, yang
temasuk kedalam faktor ini adalah adanya pembatasan fasilitas untuk merokok dengan
diberlakukan kawasan bebas asap rokok.
Hasil konsensus FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) tahun 2000 tentang
opiat, masalah media dan penatalaksanaannya menyatakan, terdapat dua hal yang
menjadi faktor pendukung bagi seseorang untuk menggunakan zat aditif termasuk rokok
yaitu faktor psikologis dan lingkungan (Oktariani, 2006). Erikson (Helmi & Komalasari
2006) mengungkapkan bahwa munculnya perilaku merokok pada remaja dikarenakan
adanya krisis aspek psikososial yang dialami dalam masa proses mencari jati diri.
Ketidaksesuaian antara perkembangan fisik, psikis dan sosial menyebabkan remaja
berada dalam kondisi dibawah tekanan atau stress. Merokok menjadi alternatif yang
mereka pilih karena mereka menganggap merokok dapat mengurangi ketegangan dan
membantu relaksasi terhadap stress.

http://diajengdwi.blogspot.com/2009/02/contoh-proposal-penelitian-keperawatan.html

Anda mungkin juga menyukai